Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

1. Pengertian

Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat di mana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali
lebih lama dari normal). Miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Usia
awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk wanita dan 40-60 tahun untuk pria.
Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah
komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicara
cadel, kelopak mata turun, dan penglihatan kabur atau ganda. Sekitar 15% orang mengalami
peristiwa berat yang disebut dengan krisis miastenia. Hal ini kadang kala dipicu oleh infeksi.
Lengan dan kaki menjadi sangat lemah dan pada beberapa orang, otot yang diperlukan untuk
pernafasan melemah. Keadaan ini dapat mengancam nyawa (Abdullah, 2016)

Kematian dari penyakit miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi


pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif sehingga
komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik. Pengelolaan akut krisis miastenia
memerlukan terapi suportif umum dan ventilasi serta langkah-langkah untuk meningkatkan
blokade neuromuskuler yang mencakup pertukaran plasma atau immunoglobulin intravena,
serta penghapusan pemicu. Terapi ini telah meningkatkan secara signifikan harapan hidup
penderita dengan krisis miastenia dan tingkat kematian saat ini adalah sekitar 4-8%.
Penyembuhan dapat terjadi pada 10-20% pasien dengan melakukan timektomi elektif pada
pasien-pasien tertentu (PERDOSI, 2006)

2. Etiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui. Akan tetapi, penyakit ini diyakini
karena;
1. Respon autoimun.
2. Pelepasan asetilkolin yang tidak efektif.
3. Respon serabut otot yang tidak adekuat terhadap asetilkolin.

Myasthenia gravis disebabkan oleh gangguan transimisi impuls saraf ke otot.


Hal ini terjadi ketika komunikasi normal antara saraf dan otot terganggu di
persimpangan neuromuskuler dimana sel-sel saraf terhubung dengan otot-otot yang
dikontrol. Biasanya bila impuls menuju saraf, ujung saraf akan melepaskan zat
neurotransmitter yang disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan dari sambungan
neuromuskuler dan mengikat reseptor asetilkolin yang diaktifkan dan menghasilkan
kontraksi otot. Pada myasthenia gravis antibodi blok mengubah atau menghancurkan
reseptor untuk asetilkolin pada sambungan neuromuskuler yang mencegah terjadinya
kontraksi otot. Antibodi ini diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh. (Yudistira, 2014)
Krisis miastenik biasanya dicetuskan oleh kontrol yang buruk pada penyakit,
pengobatan miastenia bulbar (steroid dan antikolinesterase) yang tidak adkuat, obat-
obatan, infeksi sistemik yang melibatkan saluran pernafasan, aspirasi, dan
pembedahan. Pencetus lain yang diketahui pada krisis miastenia refraktori adalah
stres emosional, lingkungan yang panas, peningkatan yang mendadak dari suhu tubuh,
dan hipertioridism, dengan penyakit tiroid autoimun sering dikaitkan dengan
miastenia gravis.(Setiabudi 2012; Abdullah, 2016)
Pencetus tersering adalah infeksi. Infeksi dilaporkan merupakan pencetus
krisis miastenik pada 38% pasien, di mana penyebab tersering adalah pneumonia
bakterial diikuti oleh infeksi saluran nafas atas oleh bakteri atau virus. Pencetus lain
adalah pneumonitis aspirasi, pembedahan, kehamilan, perimenstrual state, beberapa
obat-obatan, dan pengobatan secara tapering dari pengobatan modulasi imun. Sekitar
sepertiga sampai setengah pasien dengan krisis miastenik masih belum diketahui
penyebabnya. Berbagai macam obat-obatan dapat memperburuk keadaan miastenia
gravis, seperti kuinidin, prokainamide, antagonis β-adrenergic, antagonis calcium
channel (verapamil, nifedipine, felodipine), magnesium, antibiotik (ampisilin,
gentamicin, streptomicin, polimiksin, ciprofloxacin), phenytoin, gabapentin,
methamizole, α-interferon, dan media kontras. Obat-obatan ini harus digunakan
secara hati-hati pada pasien miastenik, terutama setelah tindakan pembedahan. Obat-
obatan yang dicurigai dapat mencetuskan krisis miastenik harus dihentikan
penggunaannya pada penderita.(Setiabudi, 2012)
Walaupun kortikosteroid dapat digunakan pada pengobatan miastenia gravis,
pengobatan awal dengan prednisone dapat memperburuk keadaan miastenia gravis
pada hampir setengah pasien. Prediktor dari perburukan adalah umur tua, skor rendah
pada Myasthenia Severity Scale, dan gejala bulbar.

3. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit Myasthenia Gravis menurut osserman ada 4 tipe :
1. Okular myasthenia
terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada
kematian
2. A. Mild generalized myasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan
bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
2. B. Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
A. Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progesi penyakit biasanya
komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas
dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
B. Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis
dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap
obat dan prognosis jelek
4. Myasthenia crisis
Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat disebabkan :
- pekerjaan fisik yang berlebihan
- emosi
- infeksi
- progresif dari penyakit
- obat-obatan yang dapat menyebabkan kerusakan neuro muskuler, misalnya streptomisin,
neomisisn, kurare, kloroform, eter, morfin sedative dan muscle relaxan.
Sedangkan menurut MGFA klasifikasi Myasthenia Gravis dibagi menjadi :
Kelas I: kelemahan otot mata, bisa terdapat ptosis, tidak ada kelemahan otot di tempat lain.
Kelas II: kelemahan otot mata dengan berbagai keparahan, kelemahan ringan pada otot yang
lain.
Kelas IIa: terutama pada lengan dan kaki, dan atau otot aksial.
Kelas IIb: terutama pada otot bulbar dan atau otot pernafasan.
Kelas III: kelemahan otot mata dengan berbagai keparahan, kelemahan tingkat sedang pada
otot yg lain.
Kelas IIIa: terutama pada lengan dan kaki, dan atau otot aksial.
Kelas IIIb: terutama pada otot bulbar dan atau otot pernafasan.
Kelas IV: kelemahan otot mata berbagai keparahan dan kelemahan tingkat berat pada otot
lain.
Kelas IVa: terutama pada lengan dan kaki, dan atau otot aksial.
Kelas IVb: terutama pada otot bulbar dan atau otot pernafasan ( bisa memakai Nasogastric
Tube tanpa intubasi )
Kelas V: butuh intubasi

4. Patofisiologi
Myasthenia gravis merupakan gangguan neuromuskular junction yang
disebabkan oleh gangguan transmisi asetilkolin (Ach) untuk berikatan dengan
reseptornya di permukaan membran sel otot. Kelainan ini disebabkan oleh terbentuknya
antibodi berupa IgG yang nantinya akan berikatan secara inhibitor kompetitif pada reseptor
asetilkolin (AchR). Adanya antibodi yang terikat ini nantinya akan menyebabkan lisis
fokal yang ditandai dengan rusaknya reseptor. Reseptor yang rusak akan mempercepat
proses turn over dan mengurangi jumlahnya pada permukaan membran sel. Mekanisme
pembentukan antibodi terhadap reseptor Ach ini masih belum dimengerti. Namun,
mekanisme ini tergolong dalam proses autoantibodi tipe II (reaksi kompleks imun).
Selain itu, antibodi yang terbentuk (IgG) dapat melewati plasenta. Sehingga, kelainan
myasthenia gravis dapat ditularkan secara kongenital dari ibu yang menderita myasthenia
gravis.

Pada myasthenia gravis, gangguan yang terjadi terletak pada bagian membran post
sinaptik. Gangguan ini menyebabkan asetilkolin tidak akan berikatan dengan reseptor
sehingga asetilkolin akan terlihat “berenang” didalam celah sinaptik. Kondisi asetilkolin
bebas ini akan memudahkan asetilkolin dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase.
Sehingga, jumlah asetilkolin yang terikat reseptor akan semakin sedikit dan hal ini
menimbulkan depolarisasi membran sel otot yang sifatnya tidak sekuat normal.
Depolarisasi berjenjang sel otot akan semakin menurun jumlahnya sehingga nantinya akan
bermanifes pada kelemahan otot dalam kontraksi.

Kelainan myasthenia gravis ditandai pada kelemahan otot-otot volunter. Pada awalnya gejala
ini timbul pada serat otot dengan satuan motorik terkecil seperti otot-otot penggerak
bola mata. Dan seringkali kelainanini menyerang otot yang dipersarafi nervus kranial.
Pada skenario, penderita mengalami keluhan berupa kelopak mata sulit dibuka serta
bila melihat cepat capai dan tampak double. Hal ini disebabkan oleh kelemahan otot-
otot pada kelopak mata yaitu m. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam
kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak, yang berfungsi dalam
menutup bola mata yang dipersarafi n. VII. Sedangkan m. levator palpebra yang dipersarafi
oleh n. III berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.

Selain itu, kelemahan akibat gangguan neurotransmiter ini juga terjadi di berbagai otot
volunter tubuh. Kelemahan otot penyangga leher, nantinya akan bermanifes pada
kesulitan menegakkan kepala, gangguan pada otot menelan bulbair ditandai dengan kesulitan
menelan dan suara yang makin melemah. Sedangkan kelemahan otot-otot ekstremitas
ditandai dengan kelemahan yang bersifat layuh (misalnya bila mengangkat tangan
selama 2-3 menit, tangan akan semakin menurun).

Keluhan pada myasthenia gravis ini semakin memburuk pada sore hari dan membaik setelah
istirahat karena hal ini terkait dengan penggunaan ATP dan perangsangan yang timbul.
Myasthenia gravis merupakan kelainan yang bermanifes pada otot volunter/ otot skelet. Dan
otot skelet ini diinervasi pada persarafan somatik yang timbul oleh adanya rangsangan
eksitatorik di otak. Pada keadaan istirahat dan tidur, tidak ada rangsangan yang timbul
sehingga produksi asetilkolin berjumlah banyak tersimpan dalam vesikel. Dan pada
saat memulai aktivitas (rangsangan aksi awal), asetilkolin yang berikatan dengan
reseptornya masih dalam kadar yang cukup banyak sehingga mampu menimbulkan
depolarisasi membran dalam jumlah cukup. Namun, lama kelamaan keadaan ini tidak
akan terkompensasi dengan semakin lamanya aktivitas yang dicetuskan karena terkait
pada jumlah reseptor Ach yang semakin sedikit dan Ach yang banyak dihidrolisis.

Myasthenia gravis merupakan penyakit yang bersifat progresif. Baik progresif lambat
ataupun cepat, tergantung pada kondisi autoimun yang diderita. Akibatnya, keluhan
yang dialami semakin lama akan makin berat. Pada kasus di skenario, penderita belum
mengalami sesak nafas/ perasaan tidak enak di dada. Dalam hal ini, penderita masih
belum mengalami gangguan pernafasan yang nanti
nya dapat menimbulkan krisis miastenik. Dan bila sudah timbul kondisi ini, maka
penderita sudah berada dalam kondisi kritis yang memerlukan penanganan secepat
mungkin.

Dalam myasthenia gravis, pemeriksaan darah menunjukkan hasil normal karena tidak
terjadikenaikan kadar kreatin kinase. Kadar kreatin kinase ini biasanya timbul bila terjadi
kerusakan otot sedangkan pada myasthenia, tidak timbul kerusakan otot melainkan
gangguan pada neurotransmiternya. Sehingga, otot pada pasien myasthenia tampak normal.
Akan tetapi, bila otot pasien yang mengalami kelemahan tidak digunakan, lama
kelamaan akan timbul disuse atrophy.

Sebenarnya, gangguan pada neurotransmiter dapat ditemukan pada myathenia gravis


dan sindrom Eaton-Lambert. Pada myasthenia gravis, asetilkolin tidak dapat diterima
oleh reseptor pada membran postsinaptik karena antibodi telah menduduki reseptor itu.
Pada sindrom Eaton-Lambert, asetilkolin di dalam gelembung presinaptik tidak dapat
dituangkan (eksositosis) di celah sinaptik karena membran presinaptiknya terganggu
oleh adanya antibodi pada kanal kalsium.

Penanganan myasthenia gravis dapat dilakukan dengan terapi farmakologik berupa


pemberian obat imunosupresif, kortikosteroid ataupun obat antikolinesterase. Selain itu, dapat
pula dilakukan operasi pengangkatan timus karean sekitar 15% penderita myasthenia
gravis mengalami hiperplasia kelenjar timus (timoma). Obat antikolinesterase memiliki
spektrum kerja dalam menghambat efek kerja enzim asetilkolinesterase (enzim yang
terlibat dalam penguraian asetilkolin/ Ach). Obat ini akan secara efektif meningkatkan
konsentrasi Ach pada motor end plate dan memperpanjang masa kerjanya. Telah
diketahui bahwa kerusakan
reseptor karena antibodi bersifat reversibel, sehingga terjadi pengurangan jumlah
reseptor dalam satu permukaan membran sel otot. Namun, dengan penggunaan obat
antikolinesterase, Ach akan tidak langsung dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterae.
Sehingga, Ach yang berada dalam celah sinaps akan memiliki waktu paruh panjang
dalam menemukan reseptor yang sehat (tidak terikat antibodi) dan nantinya menimbulkan
pembukaan saluran Na-K.

Komplikasi yang dapat terjadi pada pada penderita myasthenia gravis sesudah
mendapat pengobatan antikolinesterase yaitu krisis miastenik yang timbul karena
underdose obat antiasetilkolinesterase sehingga gejala-gejala lebih memburuk,
biasanya terjadi karena gangguan resorpsi obat antiasetilkolinesterase atau karena infeksi
berat. Selain itu, dapat juga terjadi krisis kolinergik yang timbul karena obat
antikolinesterase yang merusak sinaps sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja lagi sebagai
neurotransmiter.
5. Manifestasi Klinis

Miasthenia Gravis dapat terjadi secara berangsur atau mendadak. Tanda dan gejala
(Yudistira, 2014):
a. Pengatupan kelopak mata yang lemah, ptosis, dan diplopia akibat kerusakan
transmisi neuromuskuler pada nervus kranialis yang mempersarafi otot-otot bola
mata (mungkin menjadi satu-satunya gejala yang ada).
b. Kelemahan otot skeletal dan keluhan mudah lelah yang akan bertambah ketika hari
semakin siang, tetapi akan berkurang setelah pasien beristirahat (pada stadium awal
MG dapat terjadi keadaan mudah lelah pada otot-otot tertentu tanpa ada gejala lain.
Kemudian, keadaan ini bisa menjadi cukup berat dan menyebabkan paralisis).
c. Kelemahan otot yang progresif dan kehilangan fungsi yang menyertai menurut
kelompok otot yang terkena; keadaan ini menjadi semakin parah pada saat haid dan
sesudah mengalami stress emosi, terkena cahaya matahari dalam waktu lama, serta
pada saat menderita demam atau infeksi.
d. Tampilan wajah yang kosong serta tanpa ekspresi dan nada vocal hidung, yang
semua terjadi sekunder karena kerusakan transmisi pada nervus kranialis yang
mempersarafi otot-otot wajah.
e. Regurgitasi cairan yang sering ke dalam hidung dan kesulitan mengunyah serta
menelan akibat terkenanya nervus kranialis.
f. Kelopak mata yang jatuh akibat kelemahan otot-otot wajah dan ekstraokuler.
g. Kelemahan otot-otot leher dengan kepala yang miring ke belakang untuk melihat
(otot-otot leher terlalu lemah untuk menyangga kepala tanpa gerakan menyentak).
h. Kelemahan otot-otot pernapasan, penurunan volume tidal serta kapasitas vital
akibat kerusakan transmisi pada diafragma yang menimbulkan kesulitan bernapas.
Keadaan ini merupakan faktor predisposisi pneumonia dan infeksi saluran napas
lain pada pasien myasthenia gravis.
i. Kelemahan otot pernapasan (krisis miastenik) mungkin cukup berat sehingga
diperlukan penanganan kedaruratan jalan napas dan pemasangan ventilator
mekanis.
6. Komplikasi
Krisis miastenia, yang ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka
yang memncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal
menjadi lumpuh, dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress seperti
penyakit, gangguan emosiaonal, pembedahan, atau selama kehamilan. Krisis
kolinergik adalah respon toksisk yang kadang dijumpai pada penggunaan obat
antikolinesterase yang terlalu banyak. Status hiperkolinergik dapat terjadi yang
ditandai den gan peningkatan motilitas usus, kontrisksi pupil, dan bradikardi. Individu
dapat mengalami mual muntah, berkeringat, dan diare. Gawat napas dapat terjadi:
a. Gagal nafas
b. Disfagia
c. Krisis miastenik
d. Krisis cholinergic
e. Komplikasi sekunder dari terapi obat
Penggunaan steroid yang lama:
a. Osteoporosis, katarak, hiperglikemi
b. Gastritis, penyakit peptic ulcer
c. Pneumocystis carinii

7. Pemeriksaaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosa miastenia gravis
(Abdullah, 2016), antara lain;
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Antibodi reseptor anti-asetilkolin. Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, di mana terdapat hasil yang postitif
pada 74% pasien. Sekitar 80% penderita miastenia gravis generalisata dan 50%
penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia
gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan
untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.
2) Antibodi anti striated muscle (anti-SM). Merupakan salah satu tes yang penting
pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar
84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada
pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, antibodi anti-SM dapat
menunjukkan hasil positif.
3) Antibodi anti-muscle-specific kinase (MuSK). Hampir 50% penderita miastenia
gravis yang menunjukkan hasil antibodi anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis
seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antibodi anti-MuSK.
4) Antibodi antistriational. Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada
otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada
reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan pada
pasien thymoma usia muda dengan miastenia gravis. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada
pasien muda dengan miastenia gravis.
b. Elektrodiagnostik
1) Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
2) Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Metode ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas
pada interval interpotensial di antara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang
dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi
pada fiber neuromuskular berupa peningkatan jitter dan densitas fiber yang normal.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan myasthenia gravis ditentukan dengan meningkatkan fungsi
pengobatan pada obat antikolinesterase dan menurunkan serta mengeluarkan sirkulasi
antibodi. Terapi mencakup agen-agen antikolinesterase dan terapi imunosupresif,
yang terdiri dari plasmeferesis dan timektomi.
a. Agen-agen antikolinesterase
Obat ini beraksi dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin yang relative
tersedia pada persimpangan neuromuscular. Mereka diberikan untuk meningkatkan
respon otot-otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot. Kadang-
kadang mereka diberikan hanya mengurangi simtomatik.
b. Obat-obatan
Dalam pengobatan digunakan piridostigmin bromide (Mestinon), ambenonium
khlorida (Mytelase), dan neostigmin (Prostigmine). Banyak pasien lebih suka pada
piridostigmin karena obat ini menghasilkan efrk samping yang sedikit. Dosis
ditingkatkan berangsur-angsur sampai tercapai hasil maksimal yang diinginkan
(bertambahnya kekuatan, berkurangnya kelelahan), walaupun kekuatan otot normal
tidak tercapai dan pasien akan mempunyai kekuatan beradaptasi terhadap beberapa
ketidakmampuan.
c. Obat-obat antikolenesterase diberikan dengan susu, krekers, atau substansi
penyangga makanan lainnya. Efek samping mencakup kram abdominal, mual, muntah
dan diare. Dosis kecil atrofin, diberikan satu atau dua kali sehari, dapat menurunkan
atau mencegah efek samping. Efek samping lain dari terapi antikolenesterase
mencakup efek samping pada otot-otot skelet, seperti adanya fasikulasi (kedutan
halus), spasme otot dan kelemahan. Oengaruh terhadap system saraf terdiri dari
pasien cepat marah, cemas, insomnia (tidak dapat tidur), sakit kepala, disartria
(gangguan pengucapan), sinkope, atau pusing, kejang dan koma. Peningkatan eksresi
saliva dan keringat, meningkatnya sekresi bronchial dan kulit lembab, dan gejala-
gejala ini sebaiknya juga dicatat.
d. Perawat (dan pasien) memprioritaskan untuk member obat-obat yang ditentukan
menururt jadwal waktu pemberian, hal ini untuk mengontrol gejala-gejala pasien.
Penundaan pemberian obat-obatan dapat menyebabkan pasien tidak mampu untuk
menelan obat-obat oral dan ini menjadi masalah. Meningkatnya kekuatan otot dalam
satu jam setelah pemberian obat antikolinesterase merupakan hasil yang diharapkan.
e. Setelah dosis medikasi telah ditetapkan, pasien mempelajari untuk mengambil obat
sesuai dengan kebutuhan individu dan rencana waktu yang ditetapkan. Penyesuaian
lebih lanjut diperlukan dalam stress fisik atau emosionla dan terhadap infeksi baru
yang muncul sepanjang perjalanan penyakit.
Terapi imunosupresif
-Ditentukan untuk tujuan menurunkan produksi antibodi anti reseptor atau
mengeluarkan langsung melalui perubahan plasma (digambarkan di bawah ini).
Terapi imunosupresif mencakup kortikosteroid, plasmaferesis dan timektomi. Terapi
kortikosteroid dapat menguntungkan pasien dengan myasthenia yang pada umumnya
berat. Kortikosteroid digunakan dengan efek terjadinya penekanan respon imun
pasien, sehingga menurunkan jumlah penghambatan antibodi. Dosis antikolinesterase
diturunkan sambil kemampuam pasien untuk mempertahankan respirasi efektif dan
kemampuan menelan dipantau. Dosis steroid berangsur-angsur ditingkatkan dan obat
antikolinesterasae diturunkan dengan lambat.
- Prednisone. Digunakan dalam beberapa hari untuk menurnkan insiden efek samping,
dan terlihat dengan sukses adanya penekanan penyakit. Kadang-kadang pasien
memperlihatkan adanya penurunan kekuatan otot setelah terapi dimulai, tetapi ini
biasanya hanya sementara.
- Obat Sitotoksik. Obat sitotoksikjuga diberikan. Walaupun mekanisme aksi yang
sepenuhnya muncul tidak dimengerti, namun obat-obat seperti azatioprin (imuran)
dan siklofosfamid (Cytoxan) menurunkan titer sirkulasi asetilkolin pada reseptor
antibodi. Efek samping yang muncul kadang-kadang terjadi dan hanya pasien dengan
penyakit berat saja yang diobati dengan obat-obatan ini.
- Pertukaran plasma (plasmaferesis). Plasmaferesis adalah teknik yang
memungkinkan pembuangan selektif plasma dan komponen plasma pasien. Sel-sel
yang sisa kembali dimasukkan. Penukaran plasma menghasilkan reduksi sementara
dalam titer sirkulasi antibodi. Proses ini mempunyai pengaruh yang hebat pada pasien
tetapi tidak mengobati keadaan abnormal (meghasilkan antireseptor antibodi) sampai
waktu yang panjang.
- Penatalaksanaan pembedahan.
Pada pasien myasthenia gravis timus tampak terlibat dalam proses produksi antibodi
AChR. Timektomi (pembedahan mengangkat timus) menyebabkan pengurangan
penyakit substansial, terutama pada pasien dengan tumor atau hyperplasia kelenjar
timus. Timektomi yaitu membuka sternum karena seluruh timus harus dibuang. Hal
ini dianggap bahwa timektomi pada awal perjalanan penyakit adalah terapi spesifik,
sehingga tindakan ini mencegah pembentukan antireseptor antibodi. Setelah
pembedahan, pasien dipantau di ruang perawatan intensif untuk memberikan
perhatian khusus dalam fungsi pernapasan.

Anda mungkin juga menyukai