Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tafsir adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang


bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut
ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-
Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam
ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya. Tafsir Munakahat adalah bagian
dari ilmu tafsir yang mengalami perkembangan. yaitu, membahas tentang ayat-ayat yang
menyangkut pernikahan antara seorang lelaki dengan perempuan selain itu juga membahas
tentang masalah pasangan suami dan istri kedepannya nanti, salah satunya yaitu
menyangkut masalah iddah bagi perempuan.

Masa iddah adalah seorang istri yang putus pernikahannya dari suaminya, baik
putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah
tersebut hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri lain halnya
bila istri belum melakukan hubungan suami istri maka dia tidak mempunyai masa iddah.
Diadakan masa iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah selama masa iddah itu
wanita tersebut hamil atau tidak, dan jika ternyata hamil maka anak tersebut
masih sebagai anak dari suami yang pertama. Selain itu, iddah dimaksudkan sebagaimasa
untuk berpikir ulang, bagi suami istri untuk menetukan kelanjutan hubungan mereka. Jika
ternyata dalam masa iddah itu, suami istri menyesali perceraian mereka,
mereka bisa rujuk atau kembali ke ikatan pernikahan mereka yang lama.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang masa iddah?

2. Bagaimana munasabah dari ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang masa


iddah?

1
3. Bagaimana penafsiran dari ayat Al-Qur’an yang menjelasakan tentang masa
iddah?

4. Bagaimana analisis dari ayat Al-Qur’an yang menjelasakan tentang masa


iddah?

C. Tujuan

1. Untuk memberi pemahaman tentang Al-Qur’an yang menjelaskan tentang masa


iddah.

2. Untuk memberi pemahaman tentang munasabah dari ayat Al-Qur’an yang


menjelaskan tentang masa iddah.

3. Untuk memberi pemahaman tentang penafsiran dari ayat Al-Qur’an yang


menjelasakan tentang masa iddah.

4. Untuk memberi pemahaman tentang analisis dari ayat Al-Qur’an yang


menjelasakan tentang masa iddah.

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Ayat dan Terjemahannya

‫صقن بفأقنمقهففسفهلن ثققلثقةق قهقهروءء قوقل قفيلل قلهلن أقمن يقمكتهممقن قما قخلققق اللهه فف‬ ‫قوالمهمطقلققا ه‬
‫ت يققتقققربل م‬
‫ف‬ ‫ف‬ ‫ف‬
‫أقمرقحافمفهلن إفمن هكلن يقهمؤفملن فباللفه قوامليققموم املفخفر قوبقههعوقلتهقههلن أققحلق بفقردهلن فف ذقذل ق‬
‫ك إفمن أققراهدوا‬
‫ف قوفللدرقجافل قعلقميفهلن قدقرقجةم قواللهه قعفزيمز قحفكيمم‬ ‫إفصقلحا وقللن فمثمل الفذي علقيفهلن فبالممعرو ف‬
‫ق مه‬ ‫قم‬ ‫م ح قه ه‬
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
B. Terjemahan Harfiyah

Ayat Arti Ayat Arti


‫ل‬
‫قوٱلهمطقل ذق ه‬
‫ت‬ Dan wanita-wanita ‫لفخفر‬
‫ٱل ل‬ Akhirat
yang ditalak
‫صقن‬ ‫يققتققربل ل‬ Hendaklah meraka ‫قوبقههعوقلتهقههلن‬ Dan suami-suami
‫ق‬ menahan mereka
‫بفقأنهففسفهلن‬ Dengan diri ‫أققحلق‬ Lebih berhak
mereka
‫ثقق ذلقثقةق‬ Tiga kali ‫بفقردفهلن‬ Kembali/merujuki
mereka
‫قهقهروءء‬ haid ‫فف‬ Pada

‫ف‬
‫قوقل‬ ‫ك‬‫ذقذل ق‬
Dan tidak Demikian

‫قفيلل‬ Halal/boleh ‫إفلن‬ Jika

‫قلهلن‬ Bagi mereka


‫أققراهدلوام‬ Mereka(suami)
menghendaki
‫قأن‬ ‫صقلححا‬ ‫إف م‬
Bahwa Ishlah/kebaikan

‫يقلكتهلمقن‬ Mereka ‫قوقلهلن‬ Dan bagi mereka


menyembunyikan
‫قما‬ Apa ‫فملثهل‬ Seperti

‫قخلققق‬ Menjadikan ‫ٱلفذي‬ Yang

‫ٱللهه‬
Allah ‫قعلقليفهلن‬ Atas mereka

3
‫فف‬ Didalam ‫ف‬‫فبٱللقملعهرو ف‬ Dengan cara yang
baik
‫أقلرقحافمفهلن‬ Rahim mereka ‫قوفللدرقجافل‬ Dan para
lelaki/suami
‫فإن‬ Jika ‫قعلقليفهلن‬ Atas mereka

‫هكلن‬ Mereka adalah


‫د قدقرقجةم‬ Derajat/satu tingkat
kelebihan
‫يهلؤفملن‬ Mereka beriman
‫قوٱللهه‬
Dan allah

‫فبٱللفه‬ Kepada allah ‫قعفزيمز‬ Maha perkasa

‫قوٱلليقلوفم‬ Dan hari ‫قحفكيمم‬ Maha bijaksana

C. Terjemah Maknawiyah
( ‫صسسأن بهأ أننففهسسسههنن‬
‫“ ) يأتأأربن ن‬hendaklah menahan diri (menunggu).” Maksudnya,
hendaklah mereka menunggu dan menjalani iddah selama, ( ‫") ثألأثأةأ قففروُءء‬tiga kali
quru'.” Maksudnya, quru’ dihitung dimulai pada saat thalaq dijatuhkan, ada
perbedaan pendapat dari para ulama tentang maksud dari quru' tersebut yakni
haidh atau suci, dan yang rajih arti quru’ adalah haid. Iddah ini memiliki beberapa
hikmah, di antaranya adalah mengetahui tidak kosongnya rahim, yaitu apabila
telah berulang-ulang tiga kali haidh' padanya maka diketahui bahwa dalam
rahimnya tidak terjadi kehamilan hingga tidak akan membawa kepada
tercampurnya nasab. Karena itu Allah mewajibkan atas mereka untuk
memberitahu tentang, ( ‫ق اف هفيِ أأنرأحسساَهمههنن‬
‫" )أماَأخلأ أ‬apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya" Dan Allah mengharamkan bagi mereka menyembunyikan hal itu, baik
kehamilan maupun haidh, karena menyembunyikan hal itu akan menyebabkan
kemudharatan yang sangat banyak.
Adapun menyembunyikan haidh, apabila ia mempercepat (waktu sucinya)
lalu ia mengabarkannya, padahal ia dusta, maka itu tindakan menghilangkan hak
suami darinya dan halalnya dirinya untuk selain suaminya dan segala hal yang
disebabkan olehnya dari keburukan sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dan
jika ia berdusta dan mengabarkan bahwa ia tidak haidh untuk menambah panjang
masa iddahnya untuk dapat mengambil nafkah dari suaminya yang tidak wajib
atasnya, akan tetapi dia hanya ingin terus mendapatkannya, maka nafkah itu
haram dari dua sisi: bahwa nafkah yang diambilnya itu bukanlah haknya, dan
menisbatkan hal itu menjadi bagian hukum syariat padahal ia berdusta, dan

4
kemungkinan saja suaminya ruju' kepadanya setelah habis masa iddahnya hingga
hal itu menjadi sebuah tindakan perzinaan, karena kondisinya telah menjadi
wanita asing (ajnabiyah) baginya. Karena itu Allah Ta’ala berfirman,
( ‫" )قولق قفيقلل قلقهلن قأن يقمكتهممققن قمققاقخلققق الهق ففق أقمرقحققافمفهلن فإن هكقلن يهقمؤفملن بقفقالف قوامليق قموفم املقفخققر‬Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan Hari Akhir".
Kemudian Allah berfirman, ( ‫ك‬ ‫" ) أوُبففعسسوُلأتفهفنن أأأحسس ق‬Dan suami-
‫ق بهأرددههسسنن فهسسيِ ذلهسس أ‬
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu", artinya, untuk suami-
suami mereka selama mereka masih menunggu masa iddah agar suami mereka
‫" ) إهنن أأأرافدوُا إه ن‬jika mereka
mengembalikan mereka kepada pernikahan (awal), ( َ‫صلأححا‬
(para suami) menghendaki ishlah", yaitu keinginan, kelembutan dan cinta kasih.
Makna ayat ini adalah bahwasanya bila mereka tidak menginginkan perbaikan
maka mereka tidaklah berhak kembali kepada pernikahan dengan istri mereka.
Maka tidaklah halal bagi mereka kembali kepada istri-istri mereka dengan maksud
menimbulkan mudharat bagi mereka dan memperpanjang lagi masa iddahnya.
Kemudian Allah berfirman, ( ‫ف‬ ‫" ) أوُلأهفسسنن همنثسسفل النسسهذيِ أعلأنيههسسنن بهسساَنلأمنعفروُ ه‬Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf ", maksudnya, para wanita memiliki hak yang wajib atas suami-suami
mereka sebagaimana para suami memiliki hak yang wajib maupun yang sunnah
atas mereka, dan patokan bagi hak-hak di antara suami istri adalah pada yang
ma'ruf yaitu menurut adat yang berlaku pada negeri tersebut dan pada masa itu
dari wanita yang setara untuk laki-laki yang setara, dan hal itu berbeda sesuai
dengan perbedaan waktu, tempat, kondisi, orang dan kebiasaan. Di sini terdapat
dalil bahwa nafkah, pakaian, pergaulan dan tempat tinggal, demikian juga
berjima', semua itu kembali kepada yang ma'ruf, dan ini juga merupakan
konsekuensi dari akad yang mutlak, adapun bila dengan syarat, maka menurut
syarat tersebut kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal.
( ‫" )أوُهللدرأجاَهل أعلأنيههنن أدأرأجةة‬Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
lebih daripada istrinya", artinya, ketinggian, kepemimpinan dan hak yang lebih
atas dirinya. ( ‫اس أعهزيسةز أحهكيسةم‬
‫" ) أوُ ف‬Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana".
Maksudnya, Allah memiliki keperkasaan yang kuat dan kekuasaan yang agung di

5
mana segala sesuatu tunduk kepadaNya. Akan tetapi bersama keperkasaanNya
Allah juga bijaksana dalam segala tindakanNya.
D. Asbabun Nuzul

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari
Asma’ binti Yazid bin as-Sakan. Bahwa Asma’ binti Yazid bin as-Sakan al-
Anshariyyah berkata mengenai turunnya ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 228)
sebagai berikut: “Pada zaman Rasulullah saw. aku ditalak oleh suamiku di saat
belum ada hukum idah bagi wanita yang ditalak. Maka Allah menetapkan hukum
idah bagi wanita, yaitu menunggu setelah bersuci dari tiga kali haid.”

Diriwayatkan oleh ats-Tsa’labi dan Hibatullah bin Salamah di dalam kitab


an-Nasikh, yang bersumber dari al-Kalbi dan Muqatil. Bahwa Isma’il bin
‘Abdillah al-Ghifari mencerai istrinya, Qathilah, di zaman Rasulullah saw., ia
sendiri tidak mengetahui bahwa istrinya itu hamil. Setelah ia mengetahuinya,
iapun rujuk kepada istrinya. Istrinya melahirkan dan meninggal, demikian juga
bayinya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 228) yang menegaskan
betapa pentingnya masa idah bagi wanita, untuk mengetahui hamil tidaknya
seorang istri.

E. Penafsiran Ayat

a. Tafsir ayat bil ayat

Tafsir bil ayat dari Al-Baqarah ayat 288 adalah surat Al-Baqarah ayat 234
yang berbunyi,

‫ص ققن ق بفقأققنم قهف قفس قفه قلنق ق أققمربق ققع قةقق أققمش قهه قءر ق قوقع قمش قحرا‬ ‫ف‬ ‫ف‬
‫قوا قل قذققي قن ق يهققتق ققوفلق قموقن ق م قمن قهك قمم ق قويقققذ قهروقن ق أققمزقوا حجققا يقققتق ققربقلق م‬
‫ف ق قوال لق قههق‬ ‫فققفإ ققذققا ب قلققمغ قن ق أققج قلققه قلنق ق فقققلق ق ج قنقققاح ق ع قلققي قهك قم ق ففققي مققا فق قع قمل قن ق ففق ق أققنم قهف قفس قفه قلنق ق بقفقا لمقم قع قرو ف‬
‫ق مه‬ ‫ه ق ق م م ق ق ق‬ ‫ق ق ق ه‬
‫فبققققا تق قمع ققم قلهققوقن ق قخ قبفقيمق ق‬

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka

6
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Tafsir dari Al-Baqarah ayat 228 menjelaskan tentang masa iddah bagi
seorang istri yang di talak suamiya dan istri yang diceraikan harus menunggu tiga
kali quru’ sebgagi masa iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 juga di jelaskan
masa iddah untuk seorang istri, akan tetapi yang di jelaskan dalam ayat 234 adalah
tentang masa iddah bagi seorang istri yang di tinggal mati suaminya. Masa iddah
bagi seorang istri yang di tinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari.
Maksudnya, apabila suami meninggal, istrinya harus tinggal dan wajib menunggu
selama empat bulan sepuluh hari. Hikmahnya adalah untuk membuktikan
kehamilan pada masa empat bulan dan awal-awal bergeraknya (janin) pada bulan
yang kelima. Ayat yang umum ini dikhususkan dengan wanita-wanita yang hamil
karena iddah mereka adalah melahirkan bayinya, demikian juga hamba wanita
sahaya karena iddahnya adalah setengah dari iddah wanita merdeka yaitu dua
bulan lima hari. FirmanNya, { ‫“ } فأإ هأذا بألأنغأن أأأجلأفهسنن‬Kemudian apabila telah habis
iddahnya”,artinya, telah selesai masa iddahnya, { ‫} فألأ فجأناَأح أعلأنيفكنم هفيأماَ فأأعنلأن هفيِ أأنففهسههنن‬
“maka tiada dosa bagimu, (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap
‫بهسساَنلأمنعفروُ ه‬
diri mereka”, artinya, untuk berhias dan memakai wangi-wangian, { ‫ف‬
}“menurut yang patut”. Maksudnya dalam bentuk yang tidak diharamkan dan
tidak pula dimakruhkan.

Ayat ini menunjukkan kewajiban ihdad, (meninggalkan bersolek) dalam


masa iddah atas wanita yang ditinggal mati suaminya dan tidak selainnya dari
wanita-wanita yang diceraikan dan ditinggalkan (suaminya), dan ini merupakan
kesepakatan para ulama. { ‫“ } أوُاف بهأماَ تأنعأمفلوُأن أخهبيةر‬Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat”,maksudnya, mengetahui perbuatan-perbuatan kalian secara lahiriyahnya
maupun batiniyahnya, yang tampak maupun yang tersembunyi, maka pasti Allah
akan membalasnya. Dan tentang mengarahkan firmanNya kepada para wali
dengan firmanNya, {‫“ } فألأ فجأناَأح أعلأنيفكنم هفيأماَ فأأعنلسأن هفسيِ أأنففهسسههنن‬maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka”, merupakan
dalil bahwa wali itu memperhatikan wanita tersebut dan melarangnya dari hal-hal
yang tidak boleh dilakukan, dan memaksanya untuk melakukan yang wajib dan
bahwasanya ayat ini dihadapkan untuk wali dan menjadi tanggung jawabnya.

7
Ayat 228 dan ayat 234 dalam surat Al-Baqarah menjelaskan masa iddah
bagi para wanita, baik yang karena dicerai ataupun di tinggal mati suaminya.
Untuk masa iddah bagi wanita yang dicerai suaminya adalah tiga kali quru’
sedangkan untuk wanita yang diinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh
hari. Masa iddah untuk wanita yang ditinggal mati suaminya sedikit lebih lama
karena ada masa berkabung. Dalam hadits riwayat imam Muslim disebutkan

‫ث إفلل قعقلىَ قزموفجقها‬


‫ت فققوقق ثققل ء‬
‫ء‬ ‫ف‬ ‫ف ف ء ف ف ف ف ف‬
‫قل قيلل لممقرأقة تهقمؤمهن بالله قوامليققموم املخفر أقمن هتلد قعقلىَ قميد م‬

“Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk
berkabung atas kematian melebihi tiga hari”, kecuali atas kematian suaminya.
Dan dalam riwayat imam Bukhari terdapat tambahan lafadz ‫فأإ هننأهاَ تفهحقد أعلأنيهه أأنربأأعةأ أأنشهفءر‬
‫“ أوُأعنشر‬Maka ia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari”.
Dari sini dapat disimpulkan bahwasannya masa iddah bagi wanita yang ditinggal
mati suaminya lebih lama karena ada masa berkabung bagi wanita tersebut.

b. Tafsir bil Sunnah

‫ت قزموفجقها‬ ‫ت قمت ق‬
‫ف‬ ‫ف‬
‫صللىَ اللهه قعلقميه قوقسلقم أقلن اممقرأقةح ممن أقمسلققم يقهققاهل ققلا هسبق مقيققعةه قكانق م‬
‫ب ق‬‫قعمن أهدم قسلققمةق قزموفج النلف د‬
‫ف‬ ‫ف‬ ‫تهقودف قعمنقها وفهي حبققلىَ فقخقطبقها أقبو اللسقنابففل بن بقعقك ء‬
‫صلههح أقمن‬‫ت أقمن تققمنكقحهه فققققاقل قوالله قما يق م‬ ‫ك فقأقبق م‬ ‫م ه قم‬ ‫ه ق ق ق ق هم ق ق ق ه‬
‫ي فقمهكثقت قفريبا فمن عمشفر لقياءل هثل جاءت النلفب صللىَ الله علقيهف‬ ‫ف‬ ‫فف ف‬
‫ه قم‬ ‫ققم ل ق‬ ‫تققمنكحيه قحلت تققمعتقددي آخقر املققجلق م ف ق م ح م ق ق‬
‫قوقسلقم فققققاقل انمفكفحي‬

“Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh
suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya,
namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak
boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang
dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menikahlah!”.
[HR al-Bukhâri no. 4906].

‫صقلةق أقلياقم أققمققرائفقها‬


‫ع ال ل‬ ‫ف‬
‫صللىَ اللهه قعلقميه قوقسلقم فقأققمقرقها أقمن تققد ق‬ ‫ت النلف ل‬
‫ب ق‬ ‫ض فققسأقلق م‬ ‫أقلن أهلم قحفبيبقةق قكانق م‬
‫ت تهمستققحا ه‬

“Sesungguhnya ummu Habibah pernah mengalami pendarahan


(istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi

8
wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-
hari quru’nya (haidhnya).” [HR Abu Dâud no. 252 dan dishahihkan syaikh al-
Albani dalam Shahih Abi Dâud]
c. Tafsir bil Ijtihad
Ayat ini mengandung perintah Allah bagi wanita yang diceraikan dan telah
dicampuri oleh suaminya, serta masih memiliki quru’(masa suci atau haidh).
Mereka diperintahkan menahan atau berdiam selama tiga kali quru’ dan jika masa
itu telah selesai merekea boleh menikah lagi jika menghendakinya. 1 Pendapat dari
empat imam madzhab mengatakan bahwa telah mengecualikan hamba sahaya dari
keumuman ayat tersebut dikarenakan hamba sahaya berkedudukan setengah dari
wanita merdeka.

Ats-tsururi pernah meriwayatkan dari ‘Alqamah, ia menceritakan kami


pernah berada di sisi Umar ibnu Al-Khathtab, lalu ada seseorang wanita
mendatanginya seraya berkata”Suamiku telah meninggalkanku satu kali atau dua
kali, kemudian ia datang kepadaku sedang aku telah meletakkan airku, mengemasi
pakaianku dan menutup rapat rumahku.(sudah datang masa haidh tiga kali, lalu
suaminya merujuknya). Maka Umar bin Khathtab berkata kepada ibnu Mas’ud “
bagaiman menurut pendapatmu?” ibnu Mas’ud menjawab “Aku berpendapat, dia
tetap menjadi isterinya selama dia belum boleh mengerjakan shalat”. Umar
berkata “Aku berpendapat begitu”. Diriwayatkan juga dari empat kulafaur
rasyidin, Abud Darda’, ‘Ubadah bin ash Shamit, Anas bin Malik, Ibnu Mas’ud,
Muadz, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa al-Asyari, Ibnu ‘Abbas, Said bin al-
Musayyab,’Alqamah,al-Aswad,Ibrahim,Mujahid,’Atha’, Thawus, Said bin Jubair,
‘Ikrimah, Muhammad bin Sirrin, al-Hasan,Qatadah, asy-Sya’bi, ar-Rabi’ bin Anas,
Muqattil bin Hayyan, as-Suddi, Makhul. Mefreka semua mengatakan bahwa quru’
berarti masa haidh2

Ibnu Jarir mengatakan quru’ dalam percakapan orang arab berarti sesuatu
yang akan datang, yang sudah diktahui waktunya atau rutin, dan waktu berlalunya
sesutau yang rutin.

1 Abu Ahsan Sirojjudin Hasan Bashri,Shahih Tafsir Ibnu Katsir,(Bogor;2007,Pustaka Ibnu Katsir)
hlm 744
2 Tafsir ibnu katsir,…hlm745

9
D. Gambaran Umum

a. Pengertian ‘Iddah

Iddah berasal dari kata dalam Bahasa Arab yaitu ‫ ;عدة‬yang berarti "waktu
menunggu". Dalam agama Islam adalah sebuah masa di mana seorang perempuan
yang telah diceraikan oleh suaminya, baik karena suaminya mati atau dicerai
ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki
lain.3 Dalam al-Mu’jam al-Wasith, kata iddah berasal dari kata al-add dan al-
ihsha’ yang berarti bilangan. Artinya, jumlah bulan yang harus dilewati seorang
yang telah diceraikan (talak) atau ditinggal mati suaminya.4

Adapun makna ‘iddah secara secara istilah adalah masa seorang


perempuan setelah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Akhir masa
iddah itu adakalanya ditentukan dengan proses melahirkan, masa haid atau masa
suci, atau dengan bilangan bulan.5 Seorang perempuan yang sedang dalam masa
iddah disebut mu’taddah. Iddah sendiri menjadi dua, yaitu perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya (mutawaffa ‘anha) dan perempuan yang tidak
ditinggal mati oleh suaminya (ghair mutawaffa ‘anha).

Dan ‘iddah itu diwajibkan, untuk memastikan apakah rahim perempuan


tersebut sedang mengandung atau tidak, dan hal tersebut merupakan penyebab
kenapa seorang perempuan harus menunggu dalam masa yang telah
ditentukan. Apabila ia menikah dalam masa ‘iddah, sedangkan tidak diketahui
apakah perempuan tersebut sedang hamil atau tidak, dan ternyata setelah diperiksa
dia hamil, maka akan timbul sebuah pertanyaan “Siapa bapak dari anak ini?”,
sehingga ketika anak tersebut lahir maka ia akan dinamakan “anak syubhat”, yang
berarti anak yang tidak jelas siapa bapaknya dan jika anak tersebut adalah
perempuan maka tidak boleh bagi walinya untuk menikahkannya.

3 http://albayyinatulilmiyyah.files.wordpress.com/2013/12/80-ensiklopedi-fiqih-islam_6-kitab-
munakahat.pdf "Kitab Munakahat" (pdf).
4 Abdul Qadir Mansur, Buku Pintar Fiqih Wanita, (Jakarta: Penerbit Zaman, 2012), hlm. 124
5 Abdul Qadir Mansur, Fiqih Wanita, hlm. 124

10
b. Macam-Macam ‘Iddah

Ada dua macam iddah, yaitu iddah karena perceraian dan iddah karena
suaminya meninggal.

1. Iddah karena perceraian

Iddah karena peceraian memiliki dua kategori yang masing-masing


memiliki hukum sendiri. Penjelasannya sebagai berikut:

a) Perempuan yang diceraikan dan belum disetubuhi

Seorang wanita yang ditalak dalam keadaan qabla dukhul, atau belum
pernah “dicampuri” oleh suaminya, maka tidak ada iddah yang harus
dijalaninya. Artinya, ia boleh menikah lagi dengan laki-laki lain segera
setelah ditalak oleh suami pertamanya. Sebagaimana firman Allah SWT,
”hai orang-orang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
‘menyentuhnya’ (yakni mencampurinya) maka sekali-kali tidak ada atas
mereka ‘iddah bagimu yang dapat kamu hitung. Maka berilah mereka
mut’ah (pemberian tertentu) dan lepaskanlah mereka dengan cara
sebaik-baiknya” (QS Al-Ahzab (33) : 49).

b) Perempuan yang diceraikan dan sudah disetubuhi

Bagi perempuan yang dalam kategori seperti ini, dia memiliki dua
keadaan:

1) Perempuan tersebut dalam keadaan hamil.


Bagi perempuan yang dalam keadaan hamil, masa iddah untuknya
adalah sampai ia melahirkan kandungannya. Sebagaimana dalam
firman Allah SWT yang berbunyi, “dan perempuan-perempuan
yang hamil maka iddah mereka adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya” (QS. At-Talaq (65) : 4).

11
Ketentuan tersebut didasarkan pada sebuah riwayat Zubair ibn
Awwam yang memiliki istri yang bernama Ummu Kultsum binti
Uqbah. Saat hamil, istrinya berkata, “senangkanlah hatiku dengan
menceraikanku.” Zubair pun menjatuhkan talaq satu. Zubair
kemudian keluar rumah untuk shalat di masjid. Selesai shalat, dia
mendengar kabar bahwa istrinya telah melahirkan. Dia berkata,
“mengapa dia tega menipuku?” Semoga Allah balas menipunya.”
Zubair lantas bergegas menemui dan mengadukan hal itu kepada
Nabi. Kemudian Rosulullah SAW bersabda, “sesungguhnya
ketentuan Allah telah berlalu.oleh karena itu, pinanglah kembali
dirinya.” (HR. Ibnu Majah).6
2) Perempuan tersebut dalam keadaan tidak hamil

Dalam keadaan seperti ini, dia tidak luput dari dua kemungkinan.
Pertama, dia masih menstruasi. Dalam keadaan ini, iddahnya
adalah tiga kali menstruasi. Allah berfirman, “wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Al-
Baqarah (2) : 228).
Namun demikian, ada satu permasalahan, yaitu para ulama berbeda
pendapat dalam menyoroti masalah quru’.Para ulama Kufah (ahl
ar-ra’yi) berpendapat bahwa yang dimaksuddengan quru’ adalah
masa haid. Pendapat tersebut merupakan pendapat Umar, Ali, Ibn
Mas’ud, Abu Musa, Mujahid, Qatadah, Dhahhak, Ikrimah, dan
Sadiy. Sedangkan para ulama Hijaz (ahl an-nash) berpendapat
bahwa yang dimaksud quru’ adalah masa suci. Pendapat tersebut
merupakan pendapat Aisyah, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, Zuhri,
Abban bin Utsman, dan Imam Syafi’i.7 Makna ini dikuatkan sebuah
hadits dari Aisyah ra. Aisyah menceritakan, Ummu Habibah tengah
mengalami menstruasi. Dia lalu bertanya kepada Rosulullah SAW,
dan beliau menyuruhnya meninggalkan shalat pada hari-hari
menstruasinya. Kedua, dia tidak mengalami masa-masa menstruasi,

6 Abdul Qadir Mansur, Fiqih Wanita, h. 130-131


7 Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim lin Nisa’, (Jakarta Pusat: Ikrar Mandiriabadi),
h.131

12
seperti anak kecil yang belum menstruasi atau perempuan dewasa
yang sudah menopause. Masa iddah bagi perempuan seperti ini
masanya tiga bulan. Allah SWT berfirman, “perempuan-
perempuan yang tidak haid lagi diantara istri-istrimu (menopause)
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddahnya
adalah tiga bulan. Dan begitu (pula) perempuan yang tidak haid.”
(QS. At-Talaq (65) : 4).8
Dengan demikian, bagi kalangan ulama yang berpendapat bahwa
quru’ sebagai nama lain dari haid, mereka menyebut haid dengan
quru’. Mereka memberi alasan bahwa darah yang berkumpul di
dalam rahim. Sebaliknya, bagi kalangan ulama yang yang
menjadikan quru’ sebagai nama lain dari suci, memberikan alasan
bahwa darah berkumpul di seluruh tubuh manusia.
Dalam satu pendapatnya, Imam Syafi’i berkata, “Quru’ adalah
proses berpindahnya masa suci ke masa haid.” Akan tetapi, Imam
Syafi’i tidak menganggap bahwa proses perpindahan dari masa
haidke masa suci disebut quru’.sehingga menurut pendapat ini,
makna dari firman Allah, “dan wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”, adalah tiga
kali putaran atau tiga kali proses perpindahan. Jadi, dalam hal ini
perempuan yang di talak hanya akan berada dalam dua kondisi;
terkadang berpindah berpindah dari masa suci ke masa haid dan
terkadang berpindah dari masa haid ke masa suci.9
Menurut Imam Thabari, ini merupakan pendapat madzhab Syafi’i
yang sangat teliti dan tepat sasaran. Karena, dengan pendapat
tersebut kita dapat menyelami rahasia di balik itu; mengapa
mengapa hukum Islam diciptakan dengan begitu teliti dan detail,
yaitu adanya proses perpindahan dari masa haidke masa suci
mengindikasikan sebaliknya. Tepatnya, perempuan yang haid bisa
saja hamil. Proses kehamilan itu bisa terjadi setelah masa haid
selesai.apabila si perempuan mulai memasuki masa kehamilan dan

8 Abdul Qadir Mansur, Fiqih Wanita, h. 131


9 Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim lin Nisa’, (Jakarta Pusat: Ikrar Mandiriabadi),
h.131

13
keberadaan janin di dalam rahimnya semakin kuat, maka darah di
rahim akan berhenti.10

2. Iddah karena kematian

Adapun jenis iddah yang kedua adalah iddah karena kematian


suami. Dalam kasus ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.

a. Perempuan yang ditinggal mati suaminya dan dia dalam keadaan


tidak hamil

Masa iddah bagi perempuan tersebut adalah empat bulan sepuluh


hari, baik dia telah elakukan hubungan badan dengan suaminya yang
telah meninggal tersebut atau belum. Hal tersebut terdapat dalam
firman Allah SWT, “dan orang-orang yang meninggal dunia
diantara kamu yang meninggalkan istri-istri hendaklah mereka
(istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah
(2) : 234)

b. Perempuan yang ditinggal suaminya dan ia dalam keadaan tidak


hamil

Masa iddah bagi perempuan tersebut adalah sampai dia melahirkan


kandungannya. Sebagaimana firman Allah SWT, “perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai
mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Talaq (65) : 4).
Ketentuan hukum ini didasarkan pada riwayat dari Al-Miswar ibn
Makhramah tentang Subai’ah al-Aslamiyyah yang tengah dalam
kedaan nifas setelah ditinggal mati suaminya. Subai’ah lalu menemui
Rosulullah SAW dan meminta izin pada beliau untuk menikah lagi.
Beliau lantas mengizinkannya, dan kemudian dia pun menikah.11
E. Analisis

Mengenai masalah iddah yang merupakan suatu syari’at yang telah ada
sejak zaman jahiliyah yang mana mereka tidak pernah meinggalkan kebiasaan ini

10 Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim lin Nisa’, (Jakarta Pusat: Ikrar Mandiriabadi),
h.131
11 Abdul Qadir Mansur, Fiqih Wanita, h. 132

14
dan tatkala Islam datang kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus karena banyak
terdapat kebaikan dan faedah di dalamnya. Para ulama telah mencoba
menganalisa hikmah disyariatkannya iddah secara global dapat disebutkan sebagai
berikut :

1. Sebagai Pembersih Rahim Ketegasan


penisaban keturunan dalam Islam merupakan hal yang amat penting.
Oleh karena itu segala ketentuan untuk menghindari terjadinya ke
kacauan nisab keturunan manusia ditetapkan di dalam al-Qur'an dan
as-Sunnah dengan tegas. Diantara ketentuan tersebut adalah larangan
bagi wanita untuk menikah dengan beberapa orang laki-laki dalam
waktu yang bersamaan. Dan disamping itu untuk menghilangkan
keragu-raguan tentang kesucian rahim perempuan tersebut, sehingga
pada nantinya tidak ada lagi keragu-raguan tentang anak yang
dikandung oleh perempuan itu apabila ia telah kawin lagi dengan laki-
laki yang lain.
2. Kesempatan untuk berfikir ulang
Iddah khususnya dalam talak raji merupakan suatu tenggang waktu
yang memungkinkan tentang hubungan mereka. Dalam masa ini kedua
belah pihak dapat mengintropeksi diri masing-masing guna mengambil
langkah-langkah yang lebih baik. Terutama bila mereka telah
mempunyai putra-putri yang membutuhkan kasih sayang dan
pendidikan yang baik dari orang tuanya. Disamping itu memberikan
kesempatan berfikir kembali dengan pikiran yang jernih setelah
mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang
demikian keruh sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus.
Kalau pikiran mereka telah jernih dan dingin diharapkan pada nantinya
suami akan merujuk istri kembali dan begitu pula si istri tidak menolak
untuk rujuk dengan suaminya kembali. Sehingga perkawinan mereka
dapat diteruskan kembali.
3. Kesempatan untuk berduka cita
Iddah khususnya dalam kasus cerai mati, adalah masa duka atau bela
sungkawa atas kematian suaminya. Cerai karena mati ini merupakan
musibah yang berada di luar kekuasaan manusia untuk
membendungnya. Justru itu mereka telah berpisah secara lahiriyah

15
akan tetapi dalam hubungan batin mereka begitu akrab. Jadi apabila
perceraian tersebut karena salah seorang suami istri meninggal dunia,
maka masa Iddah itu adalah untuk menjaga agar nantinya jangan
timbul rasa tidak senang dari pihak keluarga suami yang ditinggal, bila
pada waktu ini si istri menerima lamaran ataupun ia melangsungkan
perkawinan baru dengan laki-laki lain.
4. Kesempatan untuk rujuk
Apabila seorang istri dicerai karena talak yang mana bekas suami
tersebut masih berhak untuk rujuk kepada bekas istrinya, maka masa
Iddah itu adalah untuk berpikir kembali bagi suami untuk apakah ia
akan kembali sebagai suami istri. Apabila bekas suami berpendapat
bahwa ia sanggup mendayung kehidupan rumah tangganya kembali,
maka ia boleh untuk merujuk kembali istrinya dalam masa Iddah.
Sebaliknya apabila suami berpendapat bahwa tidak mungkin
melanjutkan kehidupan rumah tangga kembali, ia harus melepas bekas
istrinya secara baik-baik dan jangan menghalang-halangi bekas istrinya
itu untuk kawin dengan laki-laki lain. Dengan demikian tampak
dengan jelas bahwa iddah itu memiliki berbagai keutamaan di berbagai
aspek, yang mana masing-masing mempunyai hubungan yang tidak
dapat dipisahkan. Sehubungan dengan itu maka dapatlah ditarik suatu
kesimpulan bahwa :
a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidaklah
dapat mengubah ketentuan dalam kasus-kasus yang sudah jelas
dikemukakan dan ditetapkan oleh al-Qur'an dan as-sunnah. Namun
hanya dalam kasus wathsyubhat dan zina perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan, sebab hukum antara
laki-laki dan wanita dalam kasus ini hanya terkait pada masalah dhuhul
yang menggunakan kesucian rahim.
b. Meskipun terdapat keyakinan bahwa rahim perempuan (istri) bersih
dan diantara mereka (suami istri) tidak mungkin rujuk kembali, namun
tidaklah dapat dibenarkan bagi perempuan tersebut (bekas istri)
melanggar ketentuan Iddah yang sudah dibentukan.
c. Begitu pula sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan untuk
memperpanjang Iddah bagi istri yang dapat mengakibatkan

16
penganiayaan maupun yang mendatangkan keuntungan baik bagi
bekas suami ataupun bagi bekas istri.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun makna ‘iddah secara secara istilah adalah masa seorang


perempuan setelah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Akhir masa
iddah itu adakalanya ditentukan dengan proses melahirkan, masa haid atau masa
suci, atau dengan bilangan bulan.12 Seorang perempuan yang sedang dalam masa
iddah disebut mu’taddah. Iddah sendiri menjadi dua, yaitu perempuan yang

12 Abdul Qadir Mansur, Fiqih Wanita, hlm. 124

17
ditinggal mati oleh suaminya (mutawaffa ‘anha) dan perempuan yang tidak
ditinggal mati oleh suaminya (ghair mutawaffa ‘anha).

Dan ‘iddah itu diwajibkan, untuk memastikan apakah rahim perempuan


tersebut sedang mengandung atau tidak, dan hal tersebut merupakan penyebab
kenapa seorang perempuan harus menunggu dalam masa yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Mansur, Abdul Qadir. Buku Pintar Fiqih Wanita. Jakarta: Penerbit Zaman. 2012.
Al-Barudi, Imad Zaki. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim lin Nisa’. Jakarta Pusat: Ikrar
Mandiriabadi.
Abu Abbas, Adil Abdul Mu’im, Ketika Menikah Jadi Pilhan Cet. I Jakarta:
alMahira. 2001.
Abu Syuqqah, Abdul Halim Muhammad. Tahrir Al-Mar’ah fi ‘Ashr Al-Risalah,
terj. Mujiyo, Jati Diri Wanita Menurut al-Qur’an dan Hadis. Cet. II:
Bandung: AlBayan, 1994.

18
19

Anda mungkin juga menyukai