Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator yang sensitif

untuk mengetahui derajat kesehatan suatu negara bahkan untuk mengukur tingkat

kemajuan suatu bangsa. Dalam pelayanan kebidanan (obstetrik), selain Angka

Kematian Maternal / Ibu (AKM) terdapat Angka Kematian Perinatal (AKP) yang

dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan pelayanan. Namun, keberhasilan

menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) di negara-negara maju saat ini menganggap

Angka Kematian Perinatal (AKP) merupakan parameter yang lebih baik dan lebih

peka untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan. Hal ini mengingat kesehatan dan

keselamatan janin dalam rahim sangat tergantung pada keadaan serta kesempurnaan

bekerjanya sistem dalam tubuh ibu yang mempunyai fungsi untuk menumbuhkan

hasil konsepsi dari mudigah menjadi janin cukup bulan (Anonim, 2008).

Kematian perinatal (perinatal mortality) adalah jumlah bayi lahir mati dan

kematian bayi dalam tujuh hari pertama sesudah lahir (early neonatal) yang terjadi

dari masa kehamilan ibu 28 minggu atau lebih. Adapun angka kematian perinatal

adalah jumlah lahir mati (umur kehamilan ibu 28 minggu) ditambah jumlah kematian

neonatal dini (umur bayi 0 – 7 hari) per jumlah kelahiran hidup pada tahun yang

sama dikali 1000 (Wiknjosastro, 2006).

WHO melaporkan bahwa setiap hari lebih dari 7.200 kasus bayi lahir mati.

Sebagian besar di antaranya 98 % terjadi di negara - negara berpendapatan rendah

1
hingga sedang. World Health Organisation (WHO) mencatat negara kaya tidak

luput dari kasus ini, dengan catatan satu bayi mati dari 320 kelahiran. Angka lahir

mati terendah dua per seribu kelahiran hidup, ditemukan di Finlandia, diikuti

Singapura, Denmark dan Norwegia. Angka tertinggi, 47 per seribu, tercatat di

Pakistan, diikuti oleh Nigeria, Bangladesh, Djibouti dan Senegal (Anonim, 2009).

Saat ini Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi.

Pada tahun 2010 jumlah Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 31 per 1.000 kelahiran

hidup (Human Development Report, 2010). Berdasarkan hasil survei lainnya, yaitu

Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi baru lahir (neonatus) merupakan

penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian bayi (AKB). Setiap

tahun sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup terenggut nyawanya dalam rentang

waktu 0-12 hari pasca kelahirannya (Depkes RI, 2007). Selaras dengan target

pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), Depkes telah mematok target

penurunan AKB di Indonesia dari rata-rata 36 meninggal per 1.000 kelahiran hidup

menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada 2015 (Depkes RI, 2007).

Menurut laporan kesehatan propinsi Sulawesi tenggara Angka Kematian Bayi

(Infant Mortality Rate) menurun dari 39 per 1.000 kelahiran pada tahun 2001

menjadi 36 per 1.000 kelahiran pada tahun 2003 atau mengalami penurunan sebesar

7,6 %. Angka Kematian Bayi tersebut masih diatas rata-rata nasional yaitu sebanyak

31 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2005 jumlah bayi lahir mati sebanyak 365

kasus, kematian bayi sebanyak 721 kasus dan jumlah kelahiran hidup sebesar 60.329

jiwa.

2
Jumlah kematian bayi yang dilaporkan di Kabupaten Muna tahun 2007

sebesar 84 dari 6.035 kelahiran hidup atau AKB sebesar 13,9 per seribu kelahiran

hidup (Profil Kesehatan Kabupaten Muna 2007). Pada tahun 2009 jumlah kematian

bayi sebesar 82 dari 5232 kelahiran hidup, sedangkan jumlah bayi lahir mati pada

tahun 2009 berjumlah 85 kasus. Pada tahun 2010 jumlah bayi lahir mati yang

dilaporkan berjumlah 79 kasus dari 4887 kelahiran hidup (Profil Kesehatan

Kabupaten Muna 2010).

Berdasarkan data yang diambil dari buku register pasien diruang bersalin

RSUD Kabupaten Muna pada periode 2010 - 2011 didapatkan 47 ibu hamil yang

mengalami kasus bayi lahir mati atau juga dikenal dengan istilah Kematian Janin

Dalam Rahim. Dari 47 kasus tersebut didapatkan sebagian besar dialami oleh ibu

yang melahirkan anak pertama dan anak yang lebih dari 3. Selain itu, berdasarkan

catatan didalam register pasien didapatkan ibu yang mengalami kematian janin

dalam rahim sebagian besar pula tercatat mempunyai komplikasi kehamilan.

Oleh karena masalah kematian janin merupakan masalah penting yang

menyangkut kualitas hidup suatu generasi, dan sangat dibutuhkan pengawasan

antenatal, maka demikian kompleks dan pentingnya upaya pemecahan masalah yang

perlu mendapat perhatian dari berbagai institusi terkait bekerjasama dengan petugas

kesehatan khususnya bidan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan

(Wiknjosastro,2008).

3
Berdasarkan uraian dan data-data di atas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Analisis Faktor Risiko Kematian Janin Dalam Rahim di Ruang

Kebidanan RSUD Kabupaten Muna Periode 2010 – 2011.

B. Rumusan Masalah

1. Adakah risiko paritas ibu terhadap kejadian Kematian Janin Dalam Rahim di

Ruang Kebidanan RSUD Kabupaten Muna periode 2010 - 2011?

2. Adakah risiko komplikasi kehamilan terhadap kejadian Kematian Janin Dalam

Rahim di Ruang Kebidanan RSUD Kabupaten Muna periode 2010 - 2011?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor risiko Kematian Janin Dalam Rahim di Ruang

Kebidanan RSUD Kabupaten Muna periode 2010 – 2011.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui risiko paritas ibu terhadap kejadian Kematian Janin Dalam

Rahim di Ruang Kebidanan RSUD Kabupaten Muna periode 2010 – 2011.

b. Untuk mengetahui risiko komplikasi kehamilan terhadap kejadian Kematian

Janin Dalam Rahim di Ruang Kebidanan RSUD Kabupaten Muna periode

2010 – 2011.

4
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan, serta bahan dalam

penerapan ilmu metode penelitian, khususnya mengenai faktor risiko kematian

janin dalam rahim.serta dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat bagi Rumah Sakit

Memberikan masukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terutama dalam

pengembangan program penyuluhan pada kasus kematian janin dalam rahim

pada ibu hamil.

Anda mungkin juga menyukai