Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SEDIAAN KRIM

Disusun Oleh :

Kelompok 6

Aditya Anugrah

Anggraeni Tanggu

Astri Nadia Wahyuni

Aprillia Priska

Laili Fuadah

AKADEMI FARMASI PUTRA INDONESIA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krim (cremores) adalah bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi yang
mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar
yang sesuai dan mengandung air tidak kurang dari 60%. Secara tradisional istilah krim
digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair di
formulasi sebagai emulsi air dalam minyak(a/m) atau minyak dalam air (m/a).Sediaan
krim ada dua tipe yaitu krimtipe minya dalam air (M/A) dan tipe air dalam minyak
(A/M). Krim yang dapat dicuci dengan air (M/A) ditujukan untuk penggunaan kosmetik
dan estetika. Krim juga dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vagina.(Anief M
2010) Kualitas dasar krim meliputi berbagai aspek seperti, kestabilan, kelunakan
bahan, mudah dalam pemakaian dan terdistribusi merata. Kestabilan yaitu selama masih
dipakai untuk pengobatan maka krim harus bebas dari inkopatibilitas dan harus tetap
stabil saat ditempatkan pada suhu dan kelembapan yang ada dalam kamar. Kelunak
bahan yaitu semua zat yang ada harus dalam keadaan halus, lunak dan homogen. Mudah
dipakai umumnya krim tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan dihilangkan
dari kulit. Terdistribusi merata, obat harus terdispersi merata melalui dasar krim padat
atau cair pada penggunaan. (Syamsuni 2006)

Dalam penggunaannya sediaan krim memiliki beberapa kelebihan seperti,


mudah menyebar rata pada bagian tubuh, praktis, mudah dibersihkan atau dicuci dengan
menggunakan air, cara kerjanya berlangsung pada jaringan setempat, tidak lengket
dikulit terutama tipe m/a (minyak dalam air), memberikan rasa dingin (cold cream) pada
kulit seperti tipe a/m (air dalam minyak), bahan untuk pemakaian topikal jumlah yang
diabsorpsi tidak cukup beracun. Namun sediaan krim juga memiliki beberapa
kekurangan seperti, susah dalam pembuatannya karena pembuatan krim harus dalam
keadaan panas, mudah pecah bila dalam pembuatanformula bahannya tidak pas, mudah
kering dan mudah rusak khususnya tipe a/m (air dalam minyak) hal ini disebabkan bila
sediaan krim terganggu sistem campurannya terutama perubahan suhu dan perubahan
komposisi karena penambahan salah satu fase secara berlebihan atau pencampuran dua
tipe krim jika zat pengemulsinya tidak tercampurkan satu sama lain. Pengenceran krim
hanya dapat dilakukan jika diketahui pengencer yang cocok. Krim yang sudah
diencerkan harus digunakan dalam waktu satu bulan.(Syamsuni 2006).

1.2 Rumusan masalah

1.Apa definisi krim?

2.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan setengah
padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk
pemakaian luar.
Krim merupakan salah satu sediaan yang berbentuk emulsi. Krim dapat
didefinisikan berbagai macam dari beberapa sumber yang berbeda. Menurut Ansel
(1989), krim adalah emulsi setengah padat baik bertipe air dalam minyak atau minyak
dalam air yang biasanya digunakan sebagai emolien (pelembab) atau pemakaian obat
pada kulit.

2.2 Penggolongan Krim

Krim terdiri dari emulsi minyak dalam air atau disperse mikrokristal asam-asam
lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air dan lebih
ditujukan untuk pemakain kosmetika dan estetika. Krim dapat juga digunakan untuk
pemberian obat melalui vaginal.
Ada 2 tipe krim yaitu krim tipe minyak dalam air (M/A) dan krim tipe air dalam
minyak (A/M). Pemilihan zat pengemulsi harus disesuaikan dengan jenis dan sifat krim
yang dikehendaki. Untuk krim tipe A/M digunakan sabun polivalen, span, adeps lanae,
kolsterol dan cera.
Sedangkan untuk krim tipe M/A digunakan sabun monovalen, seperti
trietanolamin, natrium stearat, kalium stearat dan ammonium stearat. Selain itu juga
dipakai tween, natrium lauryl sulfat, kuning telur, gelatinum, caseinum, cmc dan
emulygidum.
Kestabilan krim akan terganggu/rusak jika sistem campurannya terganggu,
terutama disebabkan oleh perubahan suhu dan perubahan komposisi yang disebabkan
perubahan salah satu fase secara berlebihan atau zat pengemulsinya tidak tercampurkan
satu sama lain.
Pengenceran krim hanya dapat dilakukan jika diketahui pengencernya yang
cocok dan dilakukan dengan teknik aseptic. Krim yang sudah diencerkan harus
digunakan dalam jangka waktu 1 bulan. Sebagai pengawet pada krim umumnya
digunakan metil paraben (nipagin) dengan kadar 0,12% hingga 0,18% atau propil
paraben (nipasol) dengan kadar 0,02% hingga 0,05%.
Penyimpanan krim dilakukan dalam wadah tertutup baik atau tube ditempat
sejuk, penandaan pada etiket harus juga tertera “obat luar”. Ada 2 tipe krim, yaitu :
1. Tipe M/A atau O/W
Vanishing cream adalah kosmetika yang digunakan untuk maksud
membersihkan, melembabkan, dan sebagai alas bedak. Vanishing cream. Krim m/a
(vanishing cream) yang digunakan melalui kulit akan hilang tanpa bekas.
Pembuatan krim m/a sering menggunakan zat pengemulsi campuran dari
surfaktan (jenis lemak yang ampifil) yang umumnya merupakan rantai panjang alcohol
walaupun untuk beberapa sediaan kosmetik pemakaian asam lemak lebih popular.
Contoh: vanishing cream. Sebagai pelembab (moisturizing)meninggalkan lapisan
berminyak/film pada kulit.

2. Tipe A/M atau W/O


Krim berminyak mengandung zat pengemulsi A/M yang spesifik seperti adeps
lane, wool alcohol atau ester asam lemak dengan atau garam dari asam lemak dengan
logam bervalensi 2, misal Ca.
Krim A/M dan M/A membutuhkan emulgator yang berbeda beda. Jika
emulgator tidak tepat, dapat terjadi pembalikan fasa. Contoh: Cold cream. Cold
cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud memberikan rasa dingin
dan nyaman pada kulit, sebagai krim pembersih berwarna putih dan bebas dari
butiran. Cold cream mengandung mineral oildalam jumlah besar.

2.3 Bahan Penyusun Krim

1. Formula dasar
Fase minyak, yaitu bahan obat yang larut dalam minyak, bersifat asam.
Contoh: asam stearat, adepslanae, paraffin liquidum, paraffin solidum, minyak
lemak, cera, cetaceum, vaselin, setil alkohol, stearil alkohol, dan sebagainya.
Fase air, yaitu bahan obat yang larut dalam air, bersifat basa.
Contoh: Na tetraborat (borax, Na biboras), Trietanolamin/TEA, NaOH, KOH, Na2C03,
Gliserin, Polietilenglikol/PEG, Propilenglikol, Surfaktan (Na lauril sulfat, Na setostearil
alkohol, polisorbatum/Tween, Span dan sebagainya).

2. Bahan tambahan
a. Zat untuk memperbaiki konsistensi
Konsistensi sediaan topical diatur untuk mendapatkan bioavabilitas yang
maksimal, selain itu juga dimaksudkan untuk mendapatkan formula yang
“estetis” dan “acceptable”. Konsistensi yang disukai umumnya adalah sediaan
yang dioleskan, tidak meninggalkan bekas, tidak terlalu melekat dan berlemak.
b. Zat pengawet
Pengawet yang dimaksudkan adalah zat yang ditambahkan dan
dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas sediaan dengan mencegah
terjadinya kontaminasi mikroorganisme. Karena pada sediaan krim mengandung
fase air dan lemak maka pada sediaan ini mudah ditumbuhi bakteri dan jamur.
c. Pendapar
Pendapar dimaksudkan untuk mempertahankan pH sediaan untuk
menjaga stabilitas sediaan. pH dipilih berdasarkan stabilitas bahan aktif.
Pemilihan pendapar harus diperhitungkan ketercampurannya dengan bahan
lainnya yang terdapat dalam sediaan, terutama pH efektif untuk
pengawet.Perubahan pH sediaan dapat terjadi karena: perubahan kimia zat aktif
atau zat tambahan dalam sediaan pada penyimpanan karena mungkin pengaruh
pembawa atau lingkungan. Kontaminasi logam pada proses produksi atau wadah
(tube) seringkali merupakan katalisator bagi pertumbuhan kimia dari bahan
sediaan.
d. Pelembab
Pelembab atau humectan ditambahkan dalam sediaan topical
dimaksudkan untuk meningkatkan hidrasi kulit. Hidrasi pada kulit menyebabkan
jaringan menjadi lunak, mengembang dan tidak berkeriput sehingga penetrasi
zat akan lebih efektif. Contoh zat tambahan ini adalah: gliserol, PEG, sorbitol.
e. Pengompleks (sequestering)
Pengompleks adalah zat yang ditambahkan dengan tujuan zat ini dapat
membentuk kompleks dengan logam yang mungkin terdapat dalam sediaan,
timbul pada proses pembuatan atau pada penyimpanan karena wadah yang
kurang baik. Contoh : Sitrat, EDTA, dsb.
f. Anti Oksidan
Antioksidan dimaksudkan untuk mencegah tejadinya ketengikan akibat
oksidasi oleh cahaya pada minyak tidak jenuh yang sifatnya autooksidasi,
antioksidan terbagi atas :
 Anti oksidan sejati (anti oksigen) Kerjanya: mencegah oksidasi dengan
cara bereaksi dengan radikal bebas dan mencegah reaksi cincin. Contoh:
tokoferol, alkil gallat, BHA, BHT.
 Anti oksidan sebagai agen produksi. Zat zat ini mempunyai potensial
reduksi lebih tinggi sehingga lebih mudah teroksidasi dibandingkan zat
yang lain kadang-kadang bekerja dengan cara bereaksi dengan radikal
bebas. Contoh; garam Na dan K dari asam sulfit.
 Anti oksidan sinergis. Yaitu senyawa yang bersifat membentuk kompleks
dengan logam, karena adanya sedikit logam dapat merupakan katalisator
reaksi oksidasi. Contoh: sitrat, tamat, EDTA.

2.4. Basis Krim

a. Persyaratan
 Stabil selama masih dipakai untuk mengobati. Oleh karena itu, krim harus
bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar.
 Lunak. Semua zat harus dalam keadaan halus dan seluruh produk yang
dihasilkan menjadi lunak serta homogen.
 Mudah dipakai. Umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit.
 Terdistribusi secara merata. Obat harus terdispersi merata melalui dasar
krim padat atau cair pada penggunaan. (Widodo, 2013).
b. Mutu krim
 Aman
 Efektif
 Stabil

2.5 Kelebihan dan Kekurangan


a. Kelebihan sediaan krim
 Mudah menyebar rata.
 Praktis.
 Lebih mudah dibersihkan atau dicuci dengan air terutama tipe M/A
(minyak dalam air).
 Cara kerja langsung pada jaringan setempat.
 Tidak lengket, terutama pada tipe M/A (minyak dalam air).
 Bahan untuk pemakaian topikal jumlah yang diabsorpsi tidak cukup
beracun, sehingga pengaruh absorpsi biasanya tidak diketahui pasien.
 Aman digunakan dewasa maupun anak-anak.
 Memberikan rasa dingin, terutama pada tipe A/M (air dalam minyak).
 Bisa digunakan untuk mencegah lecet pada lipatan kulit terutama pada
bayi, pada fase A/M (air dalam minyak) karena kadar lemaknya cukup
tinggi.
 Bisa digunakan untuk kosmetik, misalnya mascara, krim mata, krim kuku,
dan deodorant.
 Bisa meningkatkan rasa lembut dan lentur pada kulit, tetapi tidak
menyebabkan kulit berminyak.

b. Kekurangan sediaan krim


 Mudah kering dan mudah rusak khususnya tipe A/M (air dalam minyak)
karena terganggu sistem campuran terutama disebabkan karena perubahan
suhu dan perubahan komposisi disebabkan penambahan salah satu fase
secara berlebihan atau pencampuran dua tipe krim jika zat pengemulsinya
tidak tersatukan.
 Susah dalam pembuatannya, karena pembuatan kirim harus dalam keadaan
panas.
 Mudah lengket, terutama tipe A/M (air dalam minyak).
 Mudah pecah, disebabkan dalam pembuatan formulanya tidak pas.
 Pembuatannya harus secara aseptis

2.6 Metode pembuatan krim

Pembuatan sediaan krim meliputi proses peleburan dan proses emulsifikasi.


Biasanya komponen yang tidak bercampur dengan air seperti minyak dan lilin dicairkan
bersama sama di penangas air pada suhu 70-75°C, sementara itu semua larutan berair
yang tahan panas, komponen yang larut dalam air dipanaskan pada suhu yang sama
dengan komponen lemak.
Pembuatan sediaan krim meliputi proses peleburan dan proses emulsifikasi.
Biasanya komponen yang tidak bercampur dengan air seperti minyak dan lilin dicairkan
bersama sama di penangas air pada suhu 70-75°C, sementara itu semua larutan berair
yang tahan panas, komponen yang larut dalam air dipanaskan pada suhu yang sama
dengan komponen lemak.
Kemudian larutan berair secara perlahan lahan ditambahkan ke dalam campuran
lemak yang cair dan diaduk secara konstan, temperatur dipertahankan selama 5-10
menit untuk mencegah kristalisasi dari lilin/lemak.
Selanjutnya campuran perlahan lahan didinginkan dengan pengadukan yang
terus menerus sampai campuran mengental. Bila larutan berair tidak sama
temperaturnya dengan leburan lemak, maka beberapa lilin akan menjadi padat, sehingga
terjadi pemisahan antara fase lemak dengan fase cair (Munson, 1991).
Dasar-dasar proses pembuatan sediaan semi solid (termasuk krim) dapat dibagi:
 Reduksi ukuran partikel, skrining partikel dan penyaringan. Bahan padat
dalam suatu sediaan diusahakan mempunyai ukuran yang homogen. Skrining
partikel dimaksudkan untuk menghilangkan partikel asing yang dapat terjadi
akibatadanya panikel yang terflokulasi dan aglomerisasi selama proses.
 Pemanasan dan pendinginan Proses pemanasan diperlukan pada saat
melarutkan bahan berkhasiat, pencampuran bahan bahan semisolid pada
proses pembuatan emulsi. Pembuatan sediaan semi solid dibutuhkan
pemanasan, sehingga pada proses homogenisasi bahan bahan yang digunakan
tidak membutuhkan penanganan yang sulit, kecuali apabila didalam sediaan
tersebut ada bahan bahan yang termolabil.
 Pencampuran terdiri dari tiga macam :
1. Pencampuran bahan padat. Pada prinsipnya pencampuran bahan padat
adalah menghancurkan aglomerat yang terjadi menjadi partikel dengan
ukuran yang serba sama.
2. Pencampuran untuk larutan. Tujuan pencampuran larutan didasarkan
pada dua tujuan yaitu: adanya transfer panas dan homogenitas komponen
sediaan.
3. Pencampuran semi solida. Untuk pencampuran sediaan semi solid dapat
digunakan alat pencampuran dengan bentuk mixer planetary dan bentuk
sigma blade. Alat dengan sigma blade dapat membersihkan salep/krim
yang menempel pada dinding wadah dan menjamin homogenitas produk
serta proses transfer panas lebih baik.
 Penghalusan dan Homogenisasi. Proses terakhir dari seluruh rangkaian
pembuatan adalah penghalusan dan homogenisasi produk semi solid yang
telah tercampur dengan baik.

2.7 Pengujian evaluasi sediaan


1. Organoleptik
Uji organoleptik lakukan dengan menggunakan panca indra atau secara visual.
Komponen yang dievaluasi meliputi bau, warna, tekstur sediaan, dan konsistensi.
Adapun pelaksanaannya dengan menggunakan subjek responden atau dengan
menggunakan kriteria tertentu dengan menetapkan kriteria pengujiannya (Widodo,
2003).

2. Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah pada saat proses
pembuatan krim bahan aktif obat dengan bahan dasarnya dan bahan tambahan lain
yang diperlukan tercampur secara homogen.
Persyaratannya harus homogen sehingga krim yang dihasilkan mudah digunakan
dan terdistribusi merata saat penggunaan pada kulit. Krim harus tahan terhadap
gaya gesek yang timbul akibat pemindahan produk, maupun akibat aksi mekanis
dari alat pengisi. (Anief, 1994).

3. Stabilitas
Salah satu aktivitas yang paling penting dalam kerja preformulasi adalah
evaluasi kestabilan fisika dan kimia dari zat obat murni. Adalah perlu bahwa
pengkajian awal ini dihubungkan dengan menggunakan sampel obat dengan
kemurnian yang diketahui.
Adanya pengotoran dapat mengakibatkan kesimpulan yang salah dalam evaluasi
tersebut. Ketidakstabilan kimia dari zat obat dapat mengambil banyak bentuk,
karena obat obat yang digunakan sekarang adalah konstituen kimia yang beraneka
ragam. Secara kimia proses kerusakan yang sering meliputi hidrolisis dan oksidasi
(Ansel, 1989).
Untuk mengevaluasi kestabilan emulsi dengan cara sentrifugasi. Umumnya
diterima bahwa shelf life pada kondisi penyimpanan normal dapat diramalkan
dengan cepat dengan mengamati pemisahan dari fase terdispersi karena
pembetukan krim atau penggumpalan bila emulsi bila dipaparkan pada sentrifugasi.
Sentrifugasi jika digunakan dengan bijaksana, merupakan alat yang sangat berguna
untuk mengevaluasi emulsi (Lachman, dkk., 1994).
Tujuan pengujian stabilitas obat adalah untuk memberikan bukti tentang mutu
suatu bahan obat atau produk obat yang berubah seiring waktu dibawah pengaruh
faktor faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan dan cahaya.
Tujuan pengujian tersebut adalah untuk menetapkan suatu periode uji ulang
untuk obat tersebut atau masa edar untuk produk obat dan kondisi penyimpanan
yang direkomendasikan uji stabilitas untuk menetapkan masa edar suatu produk
harus dilakukan sesuai dengan kondisi iklim ditempat produk obat tersebut akan
dipasarkan (Watson, 2009).
4. Uji pH
Harga pH adalah harga yang ditunjukkan oleh pH meter yang telah dibakukan
dan mampu mengukur harga pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektroda
indikator yang peka terhadap aktivitas ion hidrogen, elektroda kaca, dan elektroda
pembanding yang sesuai seperti elektroda kalomel dan elektroda perakperak
klorida.
Pengukuran dilakukan pada suhu ±250° C, kecuali dinyatakan lain dalam
masing masing monografi (Ditjen POM, 1995 ). Penetapan pH dilakukan dengan
menggunakan alat bernama pH meter. Karena pH meter hanya bekerja pada zat
yang berbentuk larutan, maka krim harus dibuat dalam bentuk larutan terlebih
dahulu.
Krim dan air dicampur dengan perbandingan 60g : 200 ml air, kemudian diaduk
hingga homogen dan dibiarkan agar mengendap. Setelah itu, pH airnya diukur
dengan pH meter. Nilai pH akan tertera pada layar pH meter (Widodo, 2003).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan setengah
padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk
pemakaian luar.Tipe M/A atau O/W ( Vanishing cream) adalah kosmetika yang
digunakan untuk maksud membersihkan, melembabkan, dan sebagai alas bedak.
Vanishing cream. Krim m/a (vanishing cream) yang digunakan melalui kulit akan
hilang tanpa bekas. Tipe A/M atau W/O Krim berminyak mengandung zat pengemulsi
A/M yang spesifik seperti adeps lane, wool alcohol atau ester asam lemak dengan atau
garam dari asam lemak dengan logam bervalensi 2, misal Ca.Krim A/M dan M/A
membutuhkan emulgator yang berbeda beda. Jika emulgator tidak tepat, dapat terjadi
pembalikan fasa.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di
atas.
DAFTAR PUSTAKA

Anief Moh. 2010. Ilmu meracik obat; teori dan praktik. Yogyakarta (ID): Gadjah

Mada University Press

Elmitra. 2017. Buku Dasar-dasar Farmasetika dan Sediaan Semi Solid. Yogyakarta:
Penerbit Deepublish. (Bab X, Krim, Hal. 116 – 136)

Gandjar Indrawati, Sjamsuridzal W. 2006. Mikologi: dasar dan terapan. Jakarta

(ID): Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai