Anda di halaman 1dari 2

RANGKUMAN PRO KONTRA UCAPAN NATAL

PENDAPAT BOLEH

1. Pendapat Quraish Shihab


Sebenarnya, dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga)
dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidu kembali
(QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang
diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak
semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan
pelaku.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam Al-
Quran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih
berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat
menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita pada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami
sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan
akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”,
sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau
membantu terlaksanannya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika
mengabadikan ucapan selamat itu, al-Quran mengaitkannya dengan ucapan Isa, “Sesungguhnya aku ini,
hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkan bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Quran
telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga
Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan
utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as, sebagaimana kita
mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkan kita merayakan hari lahir (natal) Isa as? Bukankah
Nabi saw juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa Asyura, sambil
bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar
menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka
Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud),
melalui Ibnu Abbas—lihat Majma; al-Fawaid, hadits ke-2.981).
Itulah, antara lain, alasan membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri
upacara Natal yang bukan ritual. Oleh karena itu, agaknya larangan berucap selamat natal lebih banyak
ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika
mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal”
yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak
menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah
larangan itu.

2. Pendapat jumhur ulama kontemporer termasuk Syeikh Yusuf al Qardhawi


Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau
non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila
ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga
rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak
dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt:
Artinya :

ْ َ
‫َال ُم ْقسِطِ ينَ يُحِ بُّ ه‬
‫َّللاَ إِن‬

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah swt :
Artinya : “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86)

PENDAPAT TIDAK BOLEH (HARAM)


1. Pendapat ulama Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh
Ibnu Utsaimin.
Memberi ucapan Selamat Natal atau mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam agama)
yang lainnya pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca
: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya
‘Ahkamu Ahlidz Dzimmah’. Beliau rahimahullah mengatakan,“Adapun memberi ucapan selamat pada
syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen)
adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah
memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah
hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau
memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari
perkara yang diharamkan.

Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas
sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah.
Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada
orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini
tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi
ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas
mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

2. Fatwa MUI tahun 1981

Ketua Komisi Fatwa MUI, KH M Syukri Ghozali dan Sekretaris H Masudi pada 7 Maret 1981 lalu,
memfatwakan:
Pertama, Perayaan Natal Bersama pada akhir-akhir ini disalahartikan oleh sebagian ummat Islam dan
disangka sama dengan ummat Islam merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad Saw.
Kedua, karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan
bahkan duduk dalam kepanitiaan Natal.
Ketiga, Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan Ibadah.

Untuk itu MUI menghimbau ummat Islam Indonesia agar tidak mencampur-adukkan Aqidah dan Ibadahnya
dengan Aqidah dan Ibadah agama lain. Ummat Islam harus berusaha untuk menambah Iman dan Taqwanya
kepada Allah Swt. Tanpa mengurangi usaha ummat Islam dalam Kerukunan Antar Ummat Beragama di
Indonesia.

Untuk itu Majelis Ulama Indonesia menfatwakan:


Pertama, Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa As, akan
tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
Kedua, mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
Ketiga, agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Swt dianjurkan untuk tidak
mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Anda mungkin juga menyukai