Anda di halaman 1dari 54

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. U

Umur : 22 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Ds. Lamong Jaya

Suku : Tolaki

Pekerjaan : IRT

Tanggal masuk : 06 Juni 2018

No. Rekam Medik : 52 96 92

B. Anamnesis

Autoanamnesa pada 06/06/2018

1. Keluhan utama

Nyeri perut

2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien baru masuk dengan G1P0A0 datang dengan keluhan

nyeri perut sejak 2 jam sebelum masuk Rumah sakit. Nyeri perut di

rasakan tembus ke belakang dengan intensitas sering. Keluhan disertai

dengan keluar air-air (+), lendir (+), dan darah (-) dari jalan lahir sejak

1
satu hari yang lalu. Keluhan lain seperti demam (-), pusing (-), sesak

nafas (+) kadang dirsakan pasien selama kehamilan, mual (-), muntah

(-), penglihatan kabur (-), BAB dan BAK lancar kesan normal.

Riwayat penyakit Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), Alergi obat

(-). Riwayat KB (-). Riwayat obstetrik (-). Riwayat ANC di Posyandu

setiap bulan selama kehamilan di Posyandu. Riwayat USG (+) 3

selama kehamilan, terakhir pada tanggal 20/05/2018 dengan Riwayat

imunisasi TT (1x). Riwayat Operasi (-). Riwayat Kuret (-). Riwayat

pendarahan selama hamil (-). Riwayat haid : pasien haid tiap bulan

dengan interval waktu 28-30 hari dengan lama 4-5 hari. HPHT:

05/09/2017. TP: 14/06/2018

C. Pemeriksaan Fisik (29/9/2017)

Keadaan umum : Sakit sedang, Composmentis.

Tanda vital :

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 92x/menit

Pernafasan : 22 x/menit

Suhu : 36,7o c

Pemeriksaan Fisik :

Kepala : Normosefal, deformitas (-)

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : Pembesaran kelenjar (-), JVP dalam batas normal

2
Thorax :

Inspeksi : Simetris kiri = kanan, deformitas (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), vocal fremitus dalam

batas normal

Perkusi : Sonor kiri = kanan

Auskultasi : Bunyi nafas : vesikuler (+/+), bunyi tambahan :

Rhonki (-)/(-), wheezing (-)/(-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak, deformitas (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), ictus kordis tidak teraba,

thrill (-)

Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal

Auskultasi : BJ I/II murni regular, bising (-)

Abdomen :

Inspeksi :Cembung, ikut gerak nafas, deformitas (-)

Auskultasi : Peristaltik (+), bruit (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), defans (-), massa (-)

Perkusi : Pekak hepar (+), timpani

Estremitas : edema tungkai +/+

Pemeriksaan Obstetrik :

Pemeriksaan Luar :

L1 : Tinggi fundus 3 jari di bawah processus xypoideus

L2 : Punggung janin sulit dinilai

3
L3 : Bagian terendah janin sulit dinilai

L4 : Bagian terendah janin belum masuk PAP

His 3 × dalam 10 (25”30” 25”)

DJJ 142 ×/menit

Gerakan janin (+) dirasakan ibu, anak kesan tunggal,TBJ= 40 x 92

= 4.416 gram.

Pemeriksaan Dalam Vagina :

Vulva : DBN

Vagina : DBN

Porsio : Lunak, tebal

Pembukaan : Tidak ada pembukaan

Ketuban : (+) merembes

Bagian terdepan : Sulit dinilai

UUK : Sulit dinilai

Penurunan : Hodge I

Panggul : Kesan cukup

Pelepasan : Air-air (+), lemdir (+), darah (-)

4
D. Pemeriksaan Penunjang

Ultrasonografi (29/9/2017) :

Gravid tunggal hidup, usia kehamilan 32 minggu, AFI 25,23 cm, letak kepala,

TBJ 2077 gram.

Ultrasonografi (1/10/2017) :

Gravid Tunggal hidup letak kepala 32 mnggu, TBJ 2077,


polihidramnion, tampak gambaran double buble susp. Atresia
duodenum

5
E. Resume

Wanita 22 tahun datang dengan keluhan nyeri perut sejak 2 jam lalu

sebelum masuk rumah sakit, nyeri perut di rasakan tembus ke belakang

dengan intensitas sering. Keluhan disertai dengan keluar air-air (+), lendir

(+), dan darah (-) sejak satu hari yang lalu. Sesak nafas kadang dirasakan

pasien selama kehamilan. Riwayat ANC setiap bulan di Posyandu, Riwayat

USG terakhir : . Riwayat imunisasi TT 1 kali. Riwayat pendarahan selama

hamil tidak pernah. Riwayat haid : Pasien haid tiap bulan dengan interval

waktu 28-30 hari dengan lama 4-5 hari. HPHT: 05/09/2017. TP:

14/06/2018.

Keadaan umum pasien sakit sedang, composmentis dengan status

gizi normal. Tekanan darah 130/90 mmHg, Nadi 92x/menit, Pernafasan

22x/menit, Suhu 36,7 o c. Pemeriksaan Luar diperoleh L1 : Tinggi fundus 3

jari di bawah processus xypoideus, L2 : Punggung janin sulit dinilai, L3 :

Bagian terendah janin sulit dinilai, L4 : Bagian terendah janin belum masuk

PAP , his 3x10 (25”30”25”), DJJ 142x/menit, dan gerakan janin (+)

dirasakan ibu, anak kesan tunggal, TBJ= 40 x 92 = 4.416 gram.

Pemeriksaan dalam vagina diperoleh vulva/vagina : DBN, porsio:

lunak, tebal, pembukaan : tidak ada, ketuban : (+) merembes, Bagian

terdepan : Sulit dinilai, UUK : sulit dinilai, penurunan : Hodge I, panggul :

kesan cukup, pelepasan : Air-air (+), lendir (+), darah (-).

6
F. Diagnosa Kerja

G1P0A0 + Gravid aterm + Presentasi Kepala + Janin Tunggal hidupjanin +

Keadaan ibu baik + Keadaan Janin (susp.Atresia Duodenum) + panggul

kesan cukup + Polihidramnion + KPD

G. Perencanaan

1. Rencana Diagnostik

- Observasi tanda-tanda vital

- Observasi DJJ

- USG Obstetric

2. Rencana Terapi

- IVFD RL + oxytosin 12tpm

H. Follow Up

Hari / Tgl Perjalanan Penyakit Rencana Terapi

Minggu, PH0

03/06/201 S : Nyeri perut tembus belakang (+)  Observasi TTV, DJJ

8 O : TD : 130/90 mmHg  IVFD RL 20 tpm

N : 92 x/ menit  Inj. Dexamethason 2

P : 22 x / menit Ampul/12 jam/iv

S : 36,7ºC  Nifedipin 10 mg 2x1

DJJ : 142 / menit

His : 3x10 (25”30”25”)

L1 : Tinggi fundus 3 jari di bawah

7
processus xypoideus

L2 : Punggung janin sulit dinilai

L3 : Bagian terendah janin sulit dinilai

L4: Bagian terendah janin belum masuk

PAP

PDV :

V/V DBN, Porsio Lunak tebal,

Pembukaan 3 cm, ketuban (+)

merembes, bag. Terdepan sdn, UUK

sdn, Penurunan hodge I, panggul kesan

cukup, pelepasan air-air, lendir dan

darah.

A : G1P0A0 + gravid aterm + presentasi

kepala + janin demgan kelainan

gastrointesial + panggul kesan cukup,

KU ibu baik + Polihidramnion + KPD

Sabtu, PH2

30/9//2017 S : Nyeri pern ut (+)  Observasi TTV, DJJ

O : TD : 120/80 mmHg  IVFD RL 20 tpm

N : 80 x/ menit  Inj. Dexamethason 2

8
P : 20 x / menit Ampul/12 jam/iv

S : 36,5ºC  Nifedipin 10 mg 2x1

TFU : 3 jari di bawah processus

xipoideus, HIS : 1x10 (20”), DJJ : 138

x/ menit, Pembukaan : 3 cm, Pelepasan

: lendir (+), darah (+)

A : G1P0A0 gravid preterm (32-33

minggu), janin tunggal hidup, panggul

kesan cukup, KU ibu dan Janin baik +

Polihidramnion + susp. atresia

duodenum

Minggu, PH3

1/10/ 2017 S : Nyeri perut (+)  IVFD RL 500 ml +

11.00 O : TD : 100/60 mmHg Oxytocin 5 IU, mulai

WITA N : 78 x/ menit 12 tpm sampai

P : 20 x / menit dengan 40 tpm

S : 36,5ºC

TFU : 3 jari di bawah processus

xipoideus, DJJ : 145x/m, His : 3x10

(30-35”), Pembukaan : 5 cm, Pelepasan

: lendir (+)

BAB : belum

BAK : lancar

9
A : G1P0A0 gravid preterm (32-33

minggu), janin tunggal hidup, panggul

kesan cukup, KU ibu dan Janin baik +

Polihidramnion + Susp. Atresia

duodenum

11.00- His : 2x 10 (30”,30’’) RL + Oxytocin 5 IU 12

11.30 DJJ : 140x/menit tpm

11.30- His : 2x10 (30’’,30’’) RL + oxytocin 5 IU 16

12.00 DJJ : 143x/menit tpm

12.00- His : 2x 10 (30”,30”) RL + oxytocin 5 IU 20

12.30 DJJ : 137x/menit tpm

12.30- His : 2x 10 (30”,30”) RL + oxytocin 5 IU 24

13.00 DJJ : 148 x/menit tpm

13.00- His : 3x10 (30”, 35”,35”) RL + oxytocin 5 IU 28

13.30 DJJ : 147 x/menit tpm

13.30- His : 3x10 (30”, 35”, 35”) RL + oxytocin 5 IU 32

14.00 DJJ : 152 x/menit tpm

10
14.00- His : 3x10 (30”,30”,35”) RL + oxytocin 5 IU 36

14.30 DJJ : 154 x/menit tpm

14.30- His : 3x10 (35”, 35”, 40”) RL + oxytocin 5 IU 40

15.00 DJJ : 152 x/menit tpm

16.30 DJJ : 150 x/menit Sambung botol infus II :

RL + drips oxytocin ½

ampul 40 tpm

17.00 His : 3x10 (30”, 35”,30”) - Pasang O2 3L/menit

DJJ : 160 x/menit - Pasang kateter

PDV : - Informed consent,

Porsio : lunak, tipis siapkan Cito SC

Pembukaan : 8 cm

Bagian terdepan : tidak teraba

Penurunan : Hodge I

19.30- Pada saat SC, cairan amnion yang Instruksi post sc :

20.30 keluar sebanyak ± 2000 ml. - IVFD RL + oxytocin 2

Bayi langsung menangis, dengan A/S : ampul 28 tpm

11
7/8, dengan BB : 1850 gram. - Inj. Ketorolac 1 Amp/8

jam/iv

- Inj.Ranitidin 1 Amp/8

jam/iv

Senin,  Ibu :  Sp.OG :

2/10/ 2017 S : Nyeri bekas operasi (+)  IVFD RL 20 tpm

O : TD : 110/ 70 mmHg  Inj. Ketorolac 1 A/8

N : 80 x/ menit jam/iv

P : 18 x / menit  Mobilisasi

S : 36,6ºC

TFU : Setinggi pusat

Lokia : (+) rubra, minimal

ASI :+/+, mammae : bengkak (-/-),

nyeri (-/-), Verban : kering

BAK : 100 cc/8 jam

A : Post SC H1 + Polihidramnion +

Susp. Atresia duodenum

 Bayi :  Sp. A :

S : keadaan umum lemah, bayi muntah - Pasang OGT

warna coklat banyak - Boleh sonde ASI

O : N : 140 x/menit sedikit-sedikit 2-3 cc

P : 44 x/menit - Pasang O2

S : 36,5 ºC - Inj. Ampicilin 2 x 85

12
SpO2 : 78 % mg /iv

Residu : Bening - Inj. Gentamicin 1x8

A : PH1+ Sups. Atresia duonemum ec mg/iv

polihidramnion -

Selasa,  Ibu :  Sp.OG :

3/10/2017 S : Tidak ada keluhan  AFF infus

O : TD : 100/60 mmHg  AFF kateter

N : 72 x/menit  Asam mefenamat 3x1

P : 18 x/menit  SF 2x1

S : 36,5ºC

TFU : 2 jari di bawah pusat

Lokia : (+), minimal

ASI : +/+, Mammae : bengkak -/-

Verban : kering

BAK : 500 cc/8 jam, BAB : dbn

A : Post SC H2 + Polihidramnion +

Susp. Atresia duodenum

 Bayi :  Sp. A :

S : Keadaan umum bayi lemah - Pasang OGT

O : N : 120 x/menit - Stop intake oral

P : 50 x/menit karena KU jelek

SPO2 : 60 % - Pasang O2

Residu : warna hijau, ±16 cc - Inj. Ampicilin 2 x 85

13
A : PH2 susp Atresia duodenum ec mg /iv

polihidramnion - Inj. Gentamicin 1x8

mg/iv

Rabu,  Ibu :  Sp.OG :

4/10/2017 S : Tidak ada keluhan  Boleh pulang

O : TD : 120/80 mmHg  Asam mefenamat 3x1

N : 80 x/menit  SF 2x1

P : 20 x/menit

S : 36,6ºC

TFU : 2 jari di bawah pusat

Lokia : (+), minimal

ASI : +/+, Mammae : bengkak -/-

Verban : kering

BAK/BAB : dbn

A : Post SC H3 + Polihidramnion +

Susp. Atresia duodenum

 Bayi :  Sp. A :

S : Keadaan umum bayi lemah - Pasang OGT

O : N : 138 x/ menit - Kalau residu bening,

P : 60 x/menit sonde Asi 5 cc/2 jam

SPO2 : 80 % - Pasang O2

Residu : 15 cc, warna hijau - Inj. Ampicilin 2 x 85

14
A: PH3 susp atresia duodenum ec mg /iv

polihidramnion - Inj. Gentamicin 1x8

mg/iv

- Pasien Pulang paksa

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan

Pada awal kehamilan cairan amnion merukan suatu ultrafiltrat plasma

ibupda awal trimester kedua cairan ini terutama terdiriatas cairan ektraseluler

yang berdifusi melalui kulit janin sehingga mencerminkan komposisi plasma

janin. Namun setelah usia 20 minggu kornifikasi kulit janin menghambat

difusi ini dan cairan amnion terdiri dari urin janin. Ginjal janin mulai

memproduksi urin pada usi gestasi 12 minggu dan pada usia 18 minggu

memproduksi 7-18 ml urin perhari.

Volume cairan amnion biasanya meningkat dari 50 ml pada minggu ke

12 menjadi 400 ml pda pertengahan kehailan dan 1000 ml pada kehamilan

aterm. Jumlah normal cairan amnion pada kehamilan sekita 1000-1500 ml.

jumlahyang kurang dari 1000 ml disebut oligohidramnion sedangkan jumlah

diatas 2000 ml disebut hidramnion. Polihidramnion terjadi pada 1% jumlah

kehamilan, sedangkan oligohidramnion terjadi pada sekitar 11% dari jumlah

kehamilan.. Tidak ada variabel umur yang dikenali. Pada kehamilan yang

dipengaruhi oleh polihidramnion, sekitar 20% neonatus dilahirkan dengan

anomali kongenital tipe tertentu.

Cairan amnion berfungsi sebagai bantalan bagi janin, yang

memungkinkan perkembangan sistim muskuloskletal dan melindungi janin

dari trauma. Cairan ini juga mempertahankan suhu dan memiliki fungsi nutrisi

yang minimal. Peredaran cairan amnion sekitar 500 cc/jam. Kegagalan

16
sirkulasi air ketuban oleh karena beberapa sebab dapat menimbulkan

hidramnion, yaitu malformasi janin terutama sisitim saraf pusat dan saluran

cerna. Hidramnion meyertai sekitar separuh kasus anesefalus, dan atresia

esophagus. Anomalijanin ditemukan pada sebagian kasus hidramnion akut

maupun kronik.

B. Cairan Ketuban

1. Definisi

Cairan ketuban adalah cairan yang memnuhi rahim. Cairan ini

ditampung di dalam kantung amnion yang disebut kantung ketuban atau

kantung janin. Cairan amnion diproduksi oleh buah kehamilan, yaitu sel-

sel trofoblas, kemudian akan bertambah dengan produksi cairan janin,

yaitu air seni janin. Sejak usia kehamilan 12 minggu, janin mulai minum

air ketuban dan mengeluarkannya kembalidalam bentuk air seni. Jadi ada

pola berbentuk lingkaran atau siklus yang berulang. Cairan amnion,

normalnya berwarna putih, agak keruh serta mempunyai bau yang khas

agak amis dan manis. Cairan ini mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring

dengan tuannya kehamilan akan menurun dari 1,025 menjadi 1,010.3,4

2. Anatomi dan Fisiologi Cairan Ketuban

Dua belas hari setelah ovum dibuahi, terbentuk suatu celah yang

dikelilingi amnion primitif yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah

tersebut melebar dan amnion disekelilingnya menyatu dengan mula-mula

17
dengan body stalk kemudian dengan korion yang akhirnya menbentuk

kantung amnion yang berisi cairan amnion.5

Secara mikroskopis, selaput ketuban merupakan suatu struktur

berlapis-lapis yang didominasi dengan jaringan penyangga dan jaringan

epitel. Jaringan-jaringan penyangga terdiri dari substrat matriks

ekstraseluler kolagen dan non kolagen, seperti fibronectin, integrin,

febrilin, laminin dan proteoglican. Dibawah ini digambarkan struktur

selaput ketuban yang membentuk kantung kehamilan, yaitu :4

a. Lapisan korion, merupakan lapisan yang terluar berhubungan langsung

dengan jaringan desidua maternal. Berfungsi sebagai kerangka dari

selaput.

b. Lapisann Trophoblas. Lapisan ini melekat dengan lapisan sel desidua

maternal, terdiri dari 2-10 trophoblas dan akan mengalami penipisan

sesuai dengan usia kehamilan.

c. Lapisan Pseudobasement membrane. Lapisan tipis jaringan retikulin

yang berada antara trophoblas dengan lapisan reticular.

d. Lapisan Reticular. Lapisan jaringan retikulin ini merupakan bagian

utama dari membran khorion yang terdiri atas sel-sel fibroblast dan sel

Hofbauer yang bertugas dalam proses transport metabolit aktif dan

sebagai makrofag.

e. Lapisan Celular. Merupakan lapisan paling dalam dari membran

korion, berbatasan dan melekat langusng dengan lapisan amnion.

18
f. Lapisan amnion, merupakan lapisan bagian dalam selaput ketuban serta

paling elastis dibandingkan lapisan khorion.

Embriologi Cairan Ketuban

Hari ke 6-7 setelah fertilisasi, embrio akan nidasi ke dalam

endometrium. Sel-sel stroma endometrium mengalami perubahan yang

disebut decidual reaction, yang ditandai dengan pembengkakan sel akibat

akumulasi glikogen dan lipid ke dalam sitoplasmanya. Tujuan perubahan

ini guna menyiapkan tempat untuk nidasi dari embrio. Sel yang mengalami

perubahan ini disebut Sel decidua. Setelah proses nidasi, bagian sel

desidua yang menutupi lapisan atas dari kantong khorionik disebut lapisan

sel desidua kapsularis, sedangkan lapisan yang membatasi antara kantong

khorionik ddengan dinding endometrium uterus disebut Lapisan sel

desidua basalis. Jaringan endometrium yang mengalami desidualisasi

selain di tempat nidasi blastokist disebut Lapisan desidua basalis disebut

Khorion frondusum. Sedangkan dinding khorion yang berbatasan dengan

lapisan desidua kapsularis yang nantinya mengalami regresi disebut

Khorion laeve. Akibat perkembangan yang progresif pada trimester

pertama, kantong khorion akan memenuhi seluruh rongga kavum uteri dan

menyebabkan lapisan sel desidua kapsularis terdorong menjauhi pasokan

darah dari dinding endometrium sehingga lapisan desidua

kapsularismengalami degenerasi menjadi lebih tipis. Berikutnya, khorion

laeve akan kontak langsung dengan desidua parietalis dan berfungsi

menjadi satu pada pertengahan trimester kedua membentuk membran

19
khorion amnion (selaput ketuban). Selaput ketuban merupakan membran

yang avaskuler tetapi secara aktif terlibat dalam pengaturan jumlah cairan

ketuban serta memproduksi zat-zat bioaktif berupa peptida vasoaktif,

faktor pertumbuhan dan sitokin.6

Volume Cairan Ketuban

Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh

karena adanya campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang

berasal dari lanugo, selepitel dan material sebasea. Volume cairan amnion

pada keadaan aterm adalah 800 ml, atau antara 400 ml-1500 ml dalam

keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30

ml, dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan

30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan janin

sendiri.6,7

Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya

memiliki peran tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan

awal, cairan amnion sebagian besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput

amnion. Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion

didominasi oleh kulit janin dengan cara difusi membran. Pada kehamilan

20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan permeabilitas, ginjal janin

mengambil alih peran tersebut dalam memproduksi cairan amnion.6,7

20
Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion

disekresikan dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada

penelitian dengan menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500

ml per jam antara plasma ibu dengan cairan amnion.6

Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti

agenesis ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat

gangguan menelan janin seperti atresia esofagus, atresia duodenum atau

anensefali, akan menyebabkan polihidramnion. Volume cairan amnion

pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara umum volume

bertambah 10 ml per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang

kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap

setelah usia kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion akan

bertambah dari 50 ml pada saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml

pada pertengahan gestasi dan 1000-1500 ml pada saat aterm. Pada

kehamilan posterm jumlah cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau

kurang.7

Brace dan Wolf menganalisa semua pengukuran yang dipublikasikan

pasa 12 penelitian dengan 705 pengukuran cairan amnion secara

individual. Variasi terbesar terdapat pada usia kehamilan 32-33 minggu.

Pada saat ini, batas normalnya adalah 400-2100 ml. Volume air ketuban

merupakan prediktor kemampuan janin menghadapi persalinan, karena

kemungkinan tali pusat terjepit antara bagan bayi dan dinding rahim

21
meningkat tatkala air ketuban sedikt.hal ini akan menimbulkan gawat janin

serta persalinan diakhiri dengan bedah cesar.7

Fungsi Cairan Ketuban

Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan

perkembangan janin selama kehamilan. Pada wal embryogenesis, amnion

merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan disana terjadi

difusi dua arah antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8

minggu, terbentuk uretra dan ginjal janin mulai memproduksi urin.

Selanjutnya janin mulai bisa menelan. Ekskresi dari urin, sistem

pernapasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan plasenta menjadi

sumber dari cairam amnion. Telah diketahui bahwa cairan amnion

berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang memberikan

ruang bagi janin yntuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus pada

partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal.7

Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena

memiliki peptid antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungsi

patogen tertentu. Cairan amnion adalah 98% air dan elektrolit, protein,

peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada beberapa penelitian,

komponen-komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi sebagai

biomarker potensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan.

Ada beragam fungsi cairan ketuban, antara lain sebagai bantalan atau

peredam atau pelindung yang menjaga janin terhadap benturan dari luar.

22
Cairan ketuban juga memungkinkan janin leluasa bergerak sekaligus

tumbuh bebas ke segala arah. Selain itu sebagai benteng terhadap kuman

dari luar tubuh ibu dan menjaga kestabilan suhu tubuh janin. Cairan

ketuban juga merupakan alat bantu diagnosis dokter pada pemeriksaan

amniosintesis.7

3. Distribusi Cairan Ketuban

a. Urin Janin

Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal mulai

memproduksi urin sebelum akhir trimester pertama, dan terus

bereproduksi sampai kehamilan ater. Wladimorf dan Campbell

mengukur volume produksi urin janin secara 3 dimensi setiap 15 menit

sekali, dam melaporkan bahwa produksi urin janin adalah sekitar 230

ml/hari sampai usia kehamilan 36 minggu, yang akan meningkat sampai

655 ml/hari pada kehamilan aterm.7

b. Cairan Paru

Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan

cairan amnion. Pada penelitian dengan menggunakan domba,

didapatkan bahwa paru-paru janin memproduksi cairan sampai sekitar

400 ml/hari, dimana 50% dari produksi tersebut ditelan kembali dan

50% lagi dikeluarkan melalui mulut. Meskipun pengukuran secara

langsung ke manusia tidak pernah dilakukan, namun data ini memiliki

nilai yang representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal, janin

bernafas dengan gerakan inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan masuk

23
dan keluar melalui trakea, paru-paru dan mulut. Jadi jelas bahwa paru-

paru janin juga berperan dalam pembentukan cairan amnion.7

c. Gerakan Menelan

Proses menelan pada janin dimulai dari minggu ke 10 sampai minggu

12, dengan kemampuan usus untuk melakukan peristaltik dan transpor

glukosa aktif, sebagian cairan amnion yang ditelan diabsorbsi, dan yang

tidak diabsorbsi akan dikeluarkan melalui kolon bawah. Tidak jelas apa

yang merangsang janin untuk melakukan proses menelan ini, tetapi

diduga saraf janin yang analog dengan rasa haus, lambung yang kosong

dan perubahan pada komposisi cairan amnion menjadi faktor

penyebab.4

Proses menelan pada janin ini mempunyai efek yang sedikit terhadap

volume cairan amnion pada permulaan kehamilan, karena volume

cairan amnion yang ditelan sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan

volume keseluruhan dari cairan amnion. Pada kehamilan lanjut, volume

cairan amnion secara substansial diatur oleh proses menelan oleh janin

ini, berdasarkan penelitian jika proses menelan terhenti maka

kemungkinan terjadinya hidroamnion besar.4

Pada janin yang aterm proses menelan berjumlah 200 – 760 ml per hari

sebanding dengan jumlah yang diminum oleh neonatus.Pergerakan

cairan amnion melalui traktus digestivus mefasilitasi pertumbuhan dan

perkembangan traktus tersebut.4

24
Cairan amnion yang ditelan oleh janin memberikan kontribusi kalori

pada janin, juga kebutuhan nutrisi essensial. Pada kehamilan lanjut

sekitar 0,8 g protein, setengah dari albumin dikonstribusikan pada

janin.4

d. Absorbsi Intramembran

Satu penghalang utama dalam memahami regulasi cairan amnion adalah

ketidaksesuaian antara produksi cairan amnion oleh ginjal dan paru

janin, dengan konsumsinya oleh proses menelan. Jika dihitung selisih

antara produksi dan konsumsi cairan amnion, didapatkan selisih sekitar

500-750 ml/hari, yang tentu saja akan menyebabkan polihidramnion.

Namun setellah dilakukan beberapa penelitian, akhirnya terjawab,

bahwa sekitar 200-500 ml cairan amnion diabsorpsi melalui

intramembran. Dengan ditemukan adanya absorbsi intramembran ini,

tampak jelas bahwa terdapat keseimbangan yang nyata antara produksi

dan konsumsi cairan amnion pada kehamilan normal.6

4. Pengukuran Cairan Ketuban

Terdapat 3 cara yang sering dipakai untuk mengetahui jumlah cairan

ketuban, yaitu :

a. Penilaian Subjektif, selayang pandang (eyeball)

Berdasarkan pengalaman operator dapat mengklasifikasikan volume

cairan amnion menjadi kategori besar yaitu sedikit, normal dan

berlebih. Meskipun dapat dipercaya jika dilakukan oleh operator yang

25
berpengalaman, tetapi metode ini telah terbukti tidak mungkin

distandarisasikan baik secara klinis maupun untuk penelitian.

b. Satu tempat terdalam (single pocket, verticalpocket technique)

Konsep kantong terbesar pertama kali dideskripsikan oleh Manning

dan Platt pada tahun 1981 sebagai bagian penilaian bioprofile janin.

Cut off poin batas bawah dari kantong vertikal sebesar 2 cm

mmempresentasikan dari spektrum oligohidramnion dan batas atasnya

8 cm untuk polihidramnion. Teknik pengukurannya , pool terdalam

cairan amnion yang bebas tali pusat dinilai dengan probe USG tegak

lurus dengan perut ibu kemudian ukur kedalaman vertical terbesar

pool.

c. Indeks cairan amnion (amnion fluid index,AFI)

AFI disarankan oleh phelan pada tahun 1987, cara ini didasarkan

bahwa empat kantong lebih baik daripada satu kantong. AFI adalah

teknik semikuantitatif untuk menilai volume cairan amnion. Dengan

menggunakan volume cairan ibu sebagai titik acuan. Abdomen dibagi

menjadi 4 bagian. Untuk merekam kedalam vertikal pool terbesar pada

setiap kuadran, probe USG ditahan di aksis longitudinal ibu dan tegak

lurus terhadap lantai. Penjumlahan hasil-hasil pengukuran ini

mempresentasikan indeks cairan amnion (amnion fluid index, AFI).

Meskipun AFI diketahui bervariasi sesuai usia kehamilan, AFI <5cm

26
diklasifikasikan sebagai oligohidramnion dan AFI >25 cm

diklasifikasikan sebagai polihidramnion.

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat pengukuran menggunakan sistem

AFI :

1) Pasien dalam posisi tidur telentang (supine)

2) Kuadran dibagi menjadi 4, dengan sebagai titik patokan umbilikus,

dimana di titik garis vertikal dan horizontal imaginer, sehingga

terbagi menjadi 4 bagian

3) Posisi probe sagital terhadap tubuh ibu dan tegak lurus terhadap

lantai

4) Ukur cairan amnion yang terdalam dari setiap kuadran, dimana

pengukuran area harus bebas tali pusat dan bagian organ janin.

Pengukuran caliper pengukur harus tegak lurus, tidak boleh

dimanipulasi atau dimiringkan pada saat pengukuran

5) Jumlah hasil pengukuran dari keempat kuadran, dan akan

didapatkan nilai AFI. Bila didapatkan nilai AFI kurang dari 8 cm,

maka direkomendasikan untuk mengukur kembali setidaknya 3 kali

dari setiap kuadran, dan hasilnya dirata-ratakan.

C. Polihidramnion

1. Definisi

Polihidramnion (hidramnion) adalah kondisi medis pada kehamilan

berupa kelebihan cairan ketuban dalam kantung ketuban. Hal ini biasanya

didiagnosis jika indeks cairan amnion (AFI) dari pemeriksaan USG lebih

27
besar dari 25 cm, atau satu kantung >8 cm atau lebih dari persentil 95%

sesuai dengan usia kehamilan. Di mana volume dari air ketuban > 2000

ml. masalah khas pada janin yang berhubungan dengan polihidramnion

adalah obstruksi saluran cerna di atas ileum, abnormalitas sistem saraf

pusat, atau suatu keadaan yang mengganggu janin menelan.1,5,8

2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, polihidramnion terjadi pada 1% kehamilan.

Sebuah studi retrospektif tentang hasil USG pasien yang datang ke klinik

antenatal secara rutin di Inggris menunjukkan prevalensi 0,15% terjadinya

polihidramnion.3,9

Evaluasi angka kematian perinatal (PMR) menggunakan

ultrasonografi Chamberlin pada 7563 pasien dengan resiko tinggi

kehamilan. PMR pada pasien dengan volume cairan normal adalah 1,97

kematian per 1000 pasien. PMR meningkat menjadi 4,12 kematian per

1000 pasien dengan polihidramnion, dan 56,5 kematian per 1000 pasien

dengan oligohidramnion.3,9

Persalinan prematur terjadi pada sekitar 26% dari ibu dengan

polihidramnion. Komplikasi lain termasuk ketubah pecah dini (KPD),

lepasnya plasenta, malpresentasi janin, SC, dan perdarahan postpartum.3,9

Penelitian menunjukkan adanya peningkatan resiko anomali janin

yang terkait dalam bentuk yang lebih parah akibat polihidramnion. Dalam

tahun 1990, 20% kasus polihidramnion mengakibatkan anomali janin,

termasuk masalah sistem Gastrointestinal (40%), SSP (26%), sistem

28
kardiovaskular (22%), atau sistem genitourinaria (13%). Pada kasus-kasus

polihidramnion tersebut, 7,5% terjadi pada kehamilan multiple, 5% karena

diabetes pada ibu, dan 8,5% sisanya karena penyebab lain. Namun,

setidaknya 50% dari pasien tidak memiliki faktor resiko yang terkait.3,9

3. Etiologi

Pada polihidramnion, penyebab yang mendasari volume cairan

amnion berlebihan bisa diketahui dalam beberapa kondisi klinis dan tidak

sepenuhnya dapat diketahui pada beberapa kondisi klinis lainnya.

Penyebabnya dapat meliputi:1,4,8,10,11

1. Idiopatik ,

2. Anomali janin, termasuk atresia esofagus (biasanya berhubungan dengan

fistula trakeoesofageal), atresia duodenum, dan atresia usus lainnya.

3. Kehamilan kembar dengan sindrom transfusi antar janin kembar

(peningkatan cairan ketuban pada janin kembar penerima dan penurunan

cairan ketuban pada janin kembar pendonor) atau kehamilan multipel.

4. Kelainan SSP dan penyakit neuromuskuler yang menyebabkan disfungsi

menelan

5. Anomali irama jantung kongenital terkait dengan hidrops, perdarahan

janin-ke-ibu, dan infeksi parvovirus

6. Diabetes mellitus tidak terkontrol pada ibu

7. Kelainan kromosom, trisomi21 yang paling umum, diikuti dengan

trisomi18 dan trisomi13.

8. Sindrom akinesia janin dengan tidak adanya proses menelan pada janin.

29
4. Patomekanisme

Integrasi dari aliran cairan yang masuk dan keluar dari kantung ketuban

menentukan volume cairan ketuban. Urine janin, produksi cairan paru-paru,

proses menelan, penyerapan intramembranous (ke dalam kompartemen

vaskuler janin) memberikan kontribusi penting terhadap pergerakan cairan

diakhir kehamilan, faktor lain (misalnya, produksi air liur) memberikan

kontribusi minimal. Kontribusi relatif dari setiap rute pertukaran cairan

bervariasi pada setiap kehamilan. Variasi dalam cairan tubuh janin atau

homeostasis endokrin juga mempengaruhi volume produksi urin janin,

menelan, dan sekresi paru-paru. Selama trimester terakhir, output urin setara

sekitar 30 persen dari berat badan janin, proses menelan sekitar 20 sampai 25

persen,sekresi paru-paru 10 persen (satu-setengah dari sekresi paru-paru

tertelan oleh dan setengah lainnya diekskresikan ke dalam cairan ketuban),

sedangkan sekresi oral-nasal dan aliran transmembranous (langsung ke dalam

kompartemen ibu) mewakili sekitar <1 persen dari berat badan janin. Janin

yang hampir cukup bulan mengeluarkan 500-1200 mLurin dan menelan 210-

760 ml cairan ketuban setiap hari. Jadi, perubahan harian yang relatif kecil

dalam produksi urin janin atau proses menelan dapat menyebabkan perubahan

volume cairan amnion. Akumulasi cairan amnion yang berlebihan biasanya

berhubungan dengan penurunan proses menelan janin atau meningkatnya

urine janin.11

30
5. Gejala klinik

Tanda-tanda dan gejala polihidramnion merupakan hasil dari tekanan

yang diberikan dalam uterus dan pada organ terdekat. Tanda-tanda yang

didapatkan dapat berupa :4,11

1. Ukuran uterus lebih besar dibanding yang seharusnya

2. Identifikasi janin dan bagian janin melalui pemeriksaan palpasi sulit

dilakukan

3. Denyut Jantung Janin (DJJ) sulit terdengar

4. Balotemen janin jelas

Polihidramnion ringan menujukkan sedikit tanda atau gejala.

Polihidramnion berat dapat menyebabkan:4,11

1. Sesak napas atau ketidakmampuan untuk bernapas, kecuali ketika berdiri

2. Pembengkakan pada ekstremitas bawah, vulva dan dinding perut

3. Penurunan produksi urin

4. Gangguan pencernaan

5. Edema

6. Bila polihidramnion terjadi antara minggu ke 24 – 30 maka keadaan ini

sering berangsung secara akut dengan gejala nyeri abdomen akut dan rasa

seperti “meledak” serta rasa mual.

7. Kulit abdomen mengkilat dan edematous disertai striae yang masih baru

31
Gambar 2.2: Abdomen ibu dengan polihidramnion

6. Diagnosis

1. Pemeriksaan Fisis4,11

a. Pada inspeksi dapat memperlihatkan rahim yang cepat membesar

pada ibu hamil.

b. Kehamilan multipel yang berhubungan dengan polihidramnion.

c. Kelainan janin yang berhubungan dengan polihidramnion meliputi

makrosomia neonatal, hidrops janin atau neonatus dengan anasarca,

asites, efusi pleura atau perikardial, dan obstruksi saluran

gastrointestinal (misalnya, atresia duodenum, fistula

trakeoesofageal).

d. Malformasi skeletal juga dapat terjadi, termasuk dislokasi pinggul

kongenital dan cacat tungkai.

e. Kelainan pada gerakan janin menandakan kelainan neurologis primer

atau dalam hubungannya dengan sindrom genetic

32
2. Laboratorium4,11

a. Tes toleransi glukosa untuk ibu yang dengan diabetes mellitus tipe 2

b. Tes hidrops janin: Jika adanya hidrops janin, imunologi dan infeksi

janin harus diselidiki. Termasuk skrining untuk antibodi antigen D,

C, Kell, Duffy, dan Kidd untuk menentukan produksi antibodi ibu

terhadap sel darah merah janin. Infeksi janin dapat meliputi

cytomegalovirus (CMV), toksoplasmosis, sifilis, dan Parvovirus

B19. Pemeriksaan harus mencakup sebagai berikut:

1) Tes Venereal Disease Research Laboratories (VDRL) untuk tes

sifilis

2) Titer Imunoglobulin G(IgG) dan imunoglobulin M (IgM) untuk

mengevaluasi paparan terhadap rubella, CMV, toksoplasmosis

dan parvovirus

3) Tes untuk virus bawaan dalam cairan ketuban dengan

menggunakan polymerase chain reaction (PCR)

c. Tes Kleihauer-Betke untuk mengevaluasi perdarahan janin-ibu

d. Hemoglobin Bart pada pasien keturunan Asia (yang mungkin

didapatkan heterozigot pada alfa-thalassemia)

e. Karyotyping Janin untuk trisomi21, 13dan 18

3. Ultrasonografi4,11

Operator berpengalaman dapat mendeteksi polihidramnion secara

subyektif. Suatu pendekatan kuantitatif dapat dilakukan dengan membagi

rongga rahim menjadi empat kuadran atau kantong. Kantong vertikal

33
terbesar diukur dalam sentimeter dan volume total dihitung dengan

mengalikan tingkat ini dengan 4. Hal ini dikenal sebagai Amnion Fluid

Index (AFI). Polihidramnion didefinisikan sebagai AFI lebih dari 20cm atau

kabtong tunggal cairan minimal 8 cm yang menghasilkan volume cairan

total lebih dari 2.000 mL.

AFI adalah salah satu dari lima cara untuk menilai komponen dari

profil biofisik (tes non-invasif yang dapat mendeteksi ada atau tidak adanya

asfiksia janin). Komponen lainnya adalah gerakan pernapasan janin, gerakan

tubuh,nada janin dan monitoring jantung janin.

Prenatal ultrasonografi pada polihidramnion dapat berupa:

a. Evaluasi proses menelan janin. Penurunan tingkat menelan janin terjadi

pada anencephaly, trisomi 18, trisomi 21, distrofi otot, dan displasia

tulang.

b. Evaluasi anatomi janin; menilai hernia diafragma, massa paru-paru, dan

tidak adanya gelembung perut (yang berhubungan dengan atresia

esofagus). Tanda gelembung ganda atau duodenum melebar

menunjukkan kemungkinan atresia duodenum.

c. Test untuk aritmia dan malformasi janin yang menyebabkan kegagalan

jantung dan hidrops.

d. Lingkar perut besar yang abnormal dapat diamati dengan ascites dan

hidrop janin.

e. Janin makrosomia diamati dalam kaitannya dengan diabetes ibu yang

tidak terkontrol.

34
f. Menilai kecepatan aliran darah pada arteri serebral anterior janin untuk

melihat adanya anemia janin.

Gambar 2.3: Scan USG pada hamil gemelli


Tampak pada gambar pertama janin kembar resipien memiliki cairanamnion
dalam jumlah besar (bayi bahkan tidak tampak pada gambar). Sedangkan pada
gambar kedua, tampak cairanhanya tersisa pada sekitar janin pendonordalam
jumlah kecildi antara kedua kakinya(ditunjukkan oleh tanda silang).

7. Penatalaksanaan

Langkah pertama adalah untuk mengidentifikasi apakah penyebab

yang mendasari. Polihidramnion ringan dapat cukup dipantau dan diobati

secara konservatif.Persalinan prematur biasa dilakukan karena overdistensi

dari rahim, dan langkah-langkah harus diambil untuk meminimalkan

komplikasi ini. Termasuk pemeriksaan antenatal yang teratur dan

pemeriksaan rahim dan bedrest sampai cukup bulan. Scan ultrasound serial

harus dilakukan untuk memantau AFI dan monitor pertumbuhan janin.

Jika didiagnosis adanya diabetes kehamilan, kontrol glikemik yang ketat

35
harus dipertahankan. Hal ini biasanya dilakukan dengan manipulasi diet

dan insulin jarang dibutuhkan.5,12

a. Terapi Medikamentosa

1) Steroid intramuskular harus diberikan kepada ibu pada antenatal jika

dipertimbangkan untuk dilakukannya persalinan prematur. Hal ini

membantu untuk meningkatkan kematangan paru-paru. .

2) Indometacin adalah obat pilihan untuk pengobatan medis

polihidramnion. Hal ini sangat efektif, terutama dalam kasus dimana

kondisi ini terkait dengan peningkatan produksi urin janin.

Mekanisme aksi menjadi efek pada produksi urin oleh ginjal janin,

mungkin dengan meningkatkan efek dari vasopresin. Hal ini tidak

efektif dalam kasus di mana penyebab yang mendasari adalah

penyakit neuromuskuler yang mempengaruhi proses menelan janin,

atau hidrosefalus. Tapi hal ini merupakan kontraindikasi pada

sindrom kembar-ke-kembar atau setelah 35 minggu, karena efek

samping yang ditimbulkan lebih besar daripada manfaat dalam kasus

ini.

3) Penggunaan tokolitik juga dapat diberikan untuk mengurangi resiko

terjadinya persalinan prematur

4) Induksi persalinan harus dipertimbangkan jika gawat janin

berkembang. Di atas 35 minggu mungkin lebih aman untuk

dilahirkan. Induksi dengan ruptur buatan pada membran (ARM)

36
harus dikontrol, dilakukan oleh dokter kandungan dan dengan

persetujuan untuk melanjutkan dengan sectio caesar jika diperlukan.

b. Terapi Non Medikamentosa

Amnioreduksi (pengeluaran cairan amnion dengan pengawasan

ultrasonografi), terapi dengan amnioreduksi telah terbukti bermanfaat

digunakan pada pasien polihidramnion simptomatik dalam hal

megurangi keluhan terhadap sistem respirasi. Amnio reduksi

direkomendasikan dalam kasus di mana indometacin menjadi suatu

kontraindikasi, pada polihidramnion berat, atau pada pasien yang

simptomatik. Dan menjadi kontraindikasi pada ketuban pecah dini atau

pelepasan plasenta, atau korioamnionitis (peradangan selaput

chorioamniotic dan cairan - biasanya infektif).

8. Komplikasi

Polihidramnion dikaitkan dengan :9

a. Persalinan prematur

b. Ketuban pecah dini

c. Pertumbuhan janin berlebih

d. Placental abruption – ketika plasenta terlepas dari dinding bagian

dalam rahim sebelum persalinan

e. Prolaps tali pusat

f. Perdarahan post partum karena kurangnya kontraksi otot rahim setelah

melahirkan

37
Semakin besar jumlah cairan ketuban yang berlebihan, semakin

tinggi risiko komplikasi

9. Prognosis

Pada kasus idiopatik atau fisiologis, prognosis biasanya sangat baik

dengan satu-satunya komplikasi berupa persalinan prematur akibat

overdistensi uterus. Menurut Desmedt dkk, angkakematian perinatal pada

polihidramnion yang berhubungan dengan malformasi janin atau plasenta

adalah sekitar 61 %. Seperti disebutkan sebelumnya, 20 % dari bayi dengan

polihidramnion memiliki beberapa anomali. Dalam hal ini, prognosis

bergantung pada beratnya anomali.9

D. Atresia Duodenum

1. Definisi

Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak

berkembang baik. Pada kondisi ini deodenum bisa mengalami

penyempitan secara komplit sehingga menghalangi jalannya makanan

dari lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila

penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan

doudenal stenosis.13

2. Etiologi

Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat

ini belum diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan

malformasi pada neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa

38
anomali ini disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan.

Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena karena gangguan

pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena

volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada

atresia duodenum, juga diduga disebabkan karena kegagalan proses

rekanalisasi. Faktor risiko maternal sampai saat ini tidak ditemukan

sebagai penyebab signifikan terjadinya anomali ini.13,14

Pada sepertiga pasien dengan atresia duodenal menderita pula trisomi

21 (sindrom down), akan tetapi ini bukanlah faktor risiko yang

signifikan menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Beberapa penelitian

menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal disebabkan karena

polihidramnion. Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa

annular pankreas berhubungan dengan terjadinya atresia duodenal.13,14

3. Epidemiologi

Atresia duodenum merupakan salah satu penyebab tersering obstruksi

saluran cerna, dengan frekuensi 1 dari 5000-10.000 kelahiran hidup bayi.

Lebih dari 50 persen kasus disertai dengan kelainan bawaan lain, dan 30

persen diantaranya disertai dengan kelainan trisomi 21 atau down syndrome.

Kondisi atresia duodenum dapat didiagnosa pada saat janin, dengan

menggunakan USG. Pada 30persen-65persen ibu hamil dengan kondisi

janin menderita atresia duodenum, akan didapatkan air ketuban yang

jumlahnya lebih dari normal, atau disebut juga polihidramnion. Dari USG,

pada 44persen kasus dapat ditemukan adanya gambaran “double bubble”,

39
yaitu suatu gambaran yang memperlihatkan kondisi lambung dan duodenum

yang membesar karena adanya sumbatan di satu bagian duodenum janin.

4. Patofisiologi

Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan

terjadinya atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan

terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus.

Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik midgut.

Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan

segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8-10. Kegagalan rekanalisasi

ini disebut dengan atresia duodenum.14,15

Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi

endoderm yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi

ploriferasinya atau disebabkan kegagalan rekanalisasi epitelial (kegagalan

proses vakuolisasi). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa epitel

duodenum berploriferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari ataupada

kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan menyumbat

lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi proses

vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis yang

timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan terjadinya

degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11

kehamilan. Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen

duodenum. Apabila proses ini mengalami kegagalan, maka lumen

duodenum akan mengalami penyempitan.14,15

40
Keadaan ini yang mempengaruhi proses menelan janin. Proses

menelan pada janin dimulai dari minggu ke 10 sampai minggu 12, dengan

kemampuan usus untuk melakukan peristaltik dan transpor glukosa aktif,

sebagian cairan amnion yang ditelan diabsorbsi, dan yang tidak diabsorbsi

akan dikeluarkan melalui kolon bawah. Tidak jelas apa yang merangsang

janin untuk melakukan proses menelan ini, tetapi diduga saraf janin yang

analog dengan rasa haus, lambung yang kosong dan perubahan pada

komposisi cairan amnion menjadi faktor penyebab.4

5. Gejala Klinis

Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus.

Gejala akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa

pasien dapat timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari

setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang

paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah

yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien.. Muntah akan

berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu

(biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-

biliosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri.13,14,15

Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah

neonatus mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada

lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila

obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna

41
kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang

lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampak adanya fekal.

Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran ketika

diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi

dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai

mengalami obstruksi usus.14

Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk

menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan

memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih

kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal.

Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti

normal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak

terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan.

Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan

mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan

elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik

hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan

mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah

bermakna.13,14

Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi

gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya

aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat

mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada

42
beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien

mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F, maka kemungkinan

pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis.13,14

Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi

distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien

tidak dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada

epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus

muntah. Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus berusia

24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan

muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentari menjadi kosong.

Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga

sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus

sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia

duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid.14

Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati

epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada

kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun

kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian

dinding perut.14

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun saat

postnatal.

43
Prenatal

Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan menggunakan prenatal

ultrasonografi. Sonografi dapat meng-evaluasi adanya polihidramnion

dengan melihat adanya struktur yang terisi dua cairan dengan gambaran

double bubble pada 44% kasus. Sebagian besar kasus atresia duodenum

dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan, akan tetapi pada beberapa

penelitian bisa terdeteksi pada minggu ke 20.16

Postnatal

Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan

kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni

pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien

bisanya muntah yang semakin progresive sehingga pasien akan

mengalami gangguan elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan

menyebabkan terjadinya metabolik alkalosis dengan hipokalemia atau

hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena itu, gangguan

elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi. Disamping

itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah

pasien mengalami demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara

umum.13

Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain

abdominal x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign

tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak

44
gambaran gambaran lambung yang terisi cairan dan udara dan terdapat

dilatasi dari duodenum proksimal pada garis tengah agak kekanan.

Apabila pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut tidak

mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus yang mengalami

dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-

angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan gambaran

double-bubble.15,16

7. Terapi

Tata laksana yang dilakukan meliputi tata laksana preoperatif,

intraoperatif serta postoperatif.

Tata Laksana Preoperatif

Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat

diperlukan dengan melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan

abnormalitas elektrolit serta melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan

pemasangan orogastrik tube dan menjaga hidrasi IV. Managemen

preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian besar pasien

dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan kecil, sehingga

perawatan khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan

mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus berat badan

lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi. Sebaiknya

pesien dirawat dalam inkubator.13,15,16

45
Tata Laksana Intraoperatif

Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang

dipilih untuk mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis

maupun atresia. Kemudian, berdasarkan perkembangannya, ditemukan

berbagai teknik yang bervariasi, meliputi side-to-side

duodenoduodenostomi, diamnond shape duodenoduodenostomi, partial

web resection with heineke mikulick type duodenoplasty, dan tapering

duodenoplasty. Side-to-side duodenoplasty yang panjang, walaupun

dianggap efektif, akan tetapi pada beberapa penelitian teknik ini

memyebabkan terjadinya disfungsi anatomi dan obstruksi yang lama.

Pada pasien dengan duodenoduodenostomi sering mengalami blind-loop

syndrome.13,15,16

Saat ini, prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi

maupun open duodenoduodenostomi. Teknik untuk anastomosisnya

dilakukan pada bagian proksimal secara melintang ke bagian distal

secara longitudinal atau diamond shape.15

Dilakukan anastomosis diamond-shape pada bagian proksimal

secara tranversal dan distal secara longitudinal. Melalui teknik ini akan

didapatkan diamater anatomosis yang lebih besar, dimana kondisi ini

lebih baik untuk mengosongkan duodenum bagian atas. Pada beberapa

kasus, duodenoduodenostomi dapat sebagai alternatif dan menyebabkan

proses, perbaikan yang lebih mudah dengan pembedahan minimal.15

46
Untuk open duodenoduodenostomi, dapat dilakukan insisi secara

tranversal pada kuadran kanan atas pada suprambilikal.13 Untuk

membuka abdomen maka diperlukan insisi pada kulit secara tranversal,

dimulai kurang lebih 2 cm diatas umbilikus dari garis tengah dan meluas

kurang lebih 5 cm ke kuadran kanan atas. Setelah kita menggeser kolon

ascending dan tranversum ke kiri, kemudian kita akan melihat duodenal

yang mengalami obstruksi. Disamping mengevaluasi duodenal stresia,

dapat dievaluasi adanya malrotasi karena 30% obstruksi duodenal

kongenital dihubungkan dengan adanya malrotasi. Kemudian dilakukan

duodenotomi secara tranversal pada dinding anterior bagian distal dari

duodenum proksimal yang terdilatasi serta duodenostomi yang sama

panjangnya dibuat secara vertikal pada batas antimesenterik pada duodenum

distal. Kemudian akan dilakukan anstomosis dengan menyatukan akhir

dari tiap insisi dengan bagian insisi yang lain.14

Disamping melakukan open duodenoduodenostomi, pada negara

maju dapat dilakukan teknik operasi menggunakan laparoscopic. Teknik

dimulai dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi, kemudian akan

diinsersikan dua instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada

mid-epigastik kanan. Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio

yang mengalami obstruksi. Kemudian dilakukan diamond shape

anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan laparoscopik anatomosis

dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi teknik ini memerlukan banyak

jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan, kondisi ini dapat diselesaikan

47
dengan menggunakan nitinol U-clips untuk membuat

duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan bayi akan lebih untuk

dapat segera menyusui dibandingkan open duodenoduodenostomi secara

konvensional.14,15

Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular pankreas,

maka dilakukan duodenoduodenostomi antara segmen duodenum diatas

dan dibawah area cincin pankreas. Operator tidak boleh melakukan

pembedahan pada pankreas karena akan menyebabkan pankreatik fistula,

kondisi demikian menyebabkan stenosis atau atresia duodenum akan

menetap.15

Tata Laksana Postoperatif

Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan.

Pasien menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien

dapat mulai menyusui setelah 48 jam pasca operasi. Untuk mendukung

nutrisi jangka panjang, maka dapat dipasang kateter intravena baik

sentral maupun perifer apabila transanastomotic enteral tidak adekuat

untuk memberi suplai nutrisi serta tidak ditoleransi oleh pasien. Semua

pasien memiliki periode aspirasi asam lambung yang berwarna empedu.

Kondisi ini terjadi karena peristaltik yang tidak efektif atau distensi

pada duodenum bagian atas. Permulaan awal memberi makanan oral

tergantung pada penurunan volume gastrik yang diaspirasi.13,14,15

48
8. Prognosis

Angka harapan hidup untuk bayi dengan duodenal atresia yakni

90-95%. Mortalitas yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta

abnormalitas kongenital yang multiple. Komplikasi post operatif

dilaporkan pada 14-18% pasien, dan beberapa pasien memerlukan operasi

kembali. Beberapa kondisi yang sering terjadi dan menyebabkan pasien

perlu dioperasi kembali, yakni kebocoran anstomosis, obstruksi fungsional

duodenal, serta adanya adhesi.15

49
BAB III

PEMBAHASAN

Anamnesis didapatkan perempuan 17 tahun dengan keluhan nyeri perut

bagian bawah sejak 4 hari SMR, di rasakan tembus ke belakang dengan intensitas

sering. Keluhan disertai dengan keluar air-air (+), lendir (+), dan darah (+) sejak

pukul 02.00 subuh. Sesak nafas kadang dirasakan pasien selama kehamilan.. Hal

ini sesuai dengan manifestasi klinis pasien hidramnion dimana gejala diakibatkan

oleh tekanan yangdikeluarkan dalam uterus yang overdistensi dan pada organ di

dekatnya sehingga pasienmengeluh perut terasa penuh dan merasa keulitan untk

bernafas, dan nyeri perut tembus belakang.

Pemeriksaan obstetric, pada pemeriksaan luar ditemukan TFU 3 jari di

bawah procesus xyphoideus dan sangat tegang, punggung janin, bagian terbawah

janin dan apakah bagian terbawah telah memasuki pintu atas panggul sulit dinilai.

Hal ini sesuai dengan pemeriksaan yang ditemukan pada pasien dengan

polihidramnion, yaiitu ukuran uterus lebih besar dibanding yang seharusnya,

identifikasi janin dan bagian janin melalui pemeriksaan palpasi sulit dilakukan,

namun ballotement bayi sangat terasa.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini berupa USG

diperoleh Gravid Tunggal hidup 3 Gravid tunggal hidup, usia kehamilan 32

minggu, AFI 25,23 cm, letak kepala, TBJ 2077 gram, polihidramnion , tampak

gambaran double bubble susp. Ateria duodenum. Hal ini sesuai dengan penegakan

diagnosis pada polihidramnion yaitu dengan mengukur Amnion Fluid Index (AFI)

50
yang lebih dari 20 cm. Selain itu pada pemeriksaan USG yang kedua didapatkan

adanya kesan atresia duodenum pada janin yang dapat mendukung penyebab

terjadinya polihidramnion pada kasus tersebut disebabkan oleh adanya kelainan

kongenital pada bayi yakni atresia duodenum.

Pada kasus ini dilakukan tindakan induksi persalinan tapi tidak ada

kemajuan persalinan sehingga dilakukan tindakan sectio secarea. Pada saat sectio

secarea diperoleh kelebihan cairan amnion pada pasien dengan jumlah cairan yang

dikeluarkan sebanyak 2000 cc. Selain tu pasien juga mendapat injeksi steroid

yang berfungsi sebagai pematangan paru pada janin, dan diberikan agen tokolitik.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Fawad A, Shamshad, Danish Nargis. Frequency, causes, and outcome of

polyhidramnios. Gomal Journal Of Medical Sciences. Vol 6 No.2 Juli-

December 2008

2. Taskin S, Pabuccu EG, Kanmaz AG, et al. Perinatal outcomes of idiopathic

polyhydramnios. Interventional medicine And APPlied Science Vol. 5. 2013

3. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygrad I, editors. Danforth’s obstetrics and

gynecology. 10th ed. Baltimore : Lippincott Williams & Wilkins; 2008

4. Karkhanis P, Patni S. Polyhydramnios in singleton pregnancies : perinatal

outcomes and management. Royal College of Obstetrician and Gynecologists.

Vol. 16 Hal.207-13. 2014

5. Shresta A, Chawla CD. Role of Indomethacine in Polyhidramnios. Sri Lanka

Journal of Obstetric and Gynecology. June 2013

6. Prawirohardjo,S. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pusaka Sarwono

Prawirohardjo. 2010

7. Cunningham FG, MacDonald PC, Leveno KJ, Gillstrap LC. Williams

Obstetrics. Volume I edisi 23. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC. 2013

8. Kollman M, Voetsch J, Koidl C, et al. Etiology and perinatal outcome of

polyhidramnios. Georg Thieme Verlag KG Publisher. Stuttgart, 2014

9. Brian S Carter, MD FAAP. Polyhydramnions and Oligohydramnions Clinical.

Available at URL : http://emedicine.medscape.com/article/975821

52
10. Samyukta G, Uma N, Rani S. Polyhydramnios – Ultrasnographically detected

incidence and neonatal outcome. Journal of Dental and Medical Sciences Vol

16. Janary 2017

11. Knott L, Harding M, Cox J. Plyhydramnios.

patient.info/doctor/polyhydramnios

12. Hernandez JS, Twickler DM, McIntire DD, et al. Hydramnios in twin

Gestations. American College of Obstetrician and Gynecologists. Vol. 120

N0. 4. October 2012

13. Hayden CK, Marshall ZS, Michael D, Leonard ES. Combine Esophageal and

Duodenal Atresia: Sonograpic Findings. Arch Surg.2003;140:225-230

14. Kessel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis Of

Duodenal Atresia Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The

British Journal of Radiology.2011;66: 86-88

15. Richard FL, Benneth AL, Norman GB, Anthony JB, Brian RJ.

Sonographic Appearance of Duodenal Atresia in Utero. Am J

oentgenol.2001;131:701-702

16. Felicitas EW, Afu AJ, Sanjay K. Duidenal Atresia and Stenosis. 2009;p

936-938

53
54

Anda mungkin juga menyukai