1 Dispepsia
3.1.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein (pencernaan). 1
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators, dispepsia didefinisikan
sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas, 2
sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru,3,4, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh
setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya
dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum
diagnosis. 5
3.1.2 Epidemiologi
Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-
hari.5 Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan
prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003.6
Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan
atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang
mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.5
Di Asia, studi epidemiologi juga mengidentifikasi Dispepsia fungsional sebagai
kelainan yang sangat lazim. Dalam sebuah survei di Korea terhadap 5.000 subjek yang
menyelesaikan kuesioner Roma III, 7,7% mengalami dispepsia; Postprandial Distress
Syndrome (PDS) dilaporkan oleh 5,6% dan EPS sebesar 4,2%, sementara 27% memiliki PDS
dan EPS (Epigastric Pain Syndrome). 7,8,9
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi,
yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer. 10 Bahkan, sebuah studi
tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia
ternyata telah terinfeksi H. pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.11
3.1.3 Klasifikasi
Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia
fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieksklusi. Dispepsia
fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni Postprandial Distress Syndrome dan Epigastric
Pain Syndrome. Postprandial distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan
“begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan
seperti halnya Postprandial Distress Syndrome. 5
El-Serag dan Talley (2004) melaporkan bahwa sebagian besar pasien dengan
uninvestigated dyspepsia, setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata memiliki diagnosis dispepsia
fungsional.11 Talley secara khusus melaporkan sebuah sistem klasifikasi dispepsia, yaitu
Nepean Dyspepsia Index, yang hingga kini banyak divalidasi dan digunakan dalam penelitian
di berbagai negara, termasuk baru-baru ini di China.12,13
3.1.5 Patofisiologi
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan
potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung,
infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. 5 Ferri et
al. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya
jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai
memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini:
3.1.6 Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya
nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan organik ditemukan,
dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak
ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional.
Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga
idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat
organik. Dalam salah satu sistem penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke
dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke
dalam 2 subklasifikasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik.
Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia
fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi
mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.17
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula
gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
a. Postprandial distress syndrome Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya
terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya
terjadi beberapa kali seminggu.
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya
terjadi beberapa kali seminggu
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula
gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang :
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang
berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebgai dyspepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dyspepsia)
Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan paling sering
dikemukanan, dikategorikan sebagai dyspepsia fungsional tipe seperti
dismotilitas (dysmotility like dyspepsia)
Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dyspepsia
non-spesifik.
Pemeriksaan penunjang
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostic adalah untuk mengeklusi
gangguan organic atau biokimia. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi
pancreas, dan sebagainya), radiologi (barium meal, USG) dan endoskopi merupakan langkah
yang paling penting untuk ekslusi penyebab organic ataupun biokimia. Untuk menilai
patofisiologinya, dalam rangka mencari dasar terapi yang lebih kausatif, berbagai
pemeriksaan dapat dilakukan, walupun aplikasi klinisnya tidak jarang dinilai masih
kontroversial. Misalnya pemeriksaan pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung,
manometri untuk menilai adanya gangguan fase III migrating motor complex,
elektrogastrografi, skintigrafi atau penggunaan pallet radioopak untuk mengukur waktu
pengosongan lambung, Helicobacter pylori dan sebagainya.
Prosedur diagnose pada pasien dyspepsia fungsional 18,19
Keterangan:
H.p .., Helicobacter pylori
EGD.., Esophagogastroduodenoscopy
3.1.7 Penatalaksanaan
Non medikamentosa
Tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan secara bermakna.
Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan pegangan yang lebih
bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam tinggi, lemak, sebaiknya dipakai
sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan sampai menurunkan/ mempengaruhi
kualitas hidup pasien.
Keterangan:
EGD esophagogastroduodenoscopy; NSAIDA, Non-steroid anti inflammatory drug, GERD
gastroesophageal reflux disease, PPI proton pump inhibitor, IBS irritable bowel syndrome
Regimen pengobatan umum untuk Helicobacter pylori
Regimen Keterangan
triple terapi, PPI; amoxicylin 2x1 gram; klaritromisin Pengobatan lini pertama
2x500 mg selama 10-14 hari.
Sequential Terapi PPI dan amoxicylin 1 gram Dapat menjadi lini pertama namun resistensi
2xsehari selama 5 hari diikuti oleh PPI, klaritromisin makrolida biasa terjadi
2x500 mg, tinidazole 2x500 mg selama 5 hari
Quadriple terapi PPI; bismuth 4x525 mg; Perawatan apabila gagal
metronidazole 4x500 mg; dan tetrasiklin 4x500 mg
selama 14 hari
Regimen pengobatan umum untuk Helicobacter pylori 20
Indikasi merujuk
1. Jika pasien mengalami gejala dan tanda bahaya (alarming features) seperti berikut:
perdarahan saluran cerna, sulit menelan, nyeri saat menelan, anemia yang tidak bisa
dijelaskan sebabnya, perubahan nafsu makan, dan penurunan berat badan, atau ada
indikasi endoskopi. Segera rujuk pasien ke spesialis gastroenterologi atau rumah
sakit dengan fasilitas endoskopi.
2. Bila gejala dan tanda lebih mengarah pada kelainan jantung, segera rujuk ke spesialis
jantung.
3.2 Anemia
3.2.1 Definisi
Kriteria Anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukan penurunan massa eritrosit
adalah kadar haemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada
umumnya ketiga parameter tersebut salin bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah
berapakah kadar haemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal haemoglobin
sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur , jenis kelamin, adanya
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik
pemilah (cut off point) di bawah kadar mana kita dianggap terdapat anemia. Di negara
Barat kadar haemoglobin paling rendah untuk laik – laki adakah 14g/dl dan 12 g/dl
(hematokrit 38% ) untuk perempuan dewasa , 11 g/dl (hematokrit 36%) untuk
perempuan hamil dan 13 g/dl untuk laki dewasa, WHO menetapkan cut off point
anemia untuk keperluan penelitian lapangan eperti terlihat pada table 1. 21
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atay praktek dokter) di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian
besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat dirumah sakit akan
memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa
peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memekai kriteria haemoglobin
kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai 10-11
g/dl.
Di dunia, ada 1,62 milyar orang yang terkena anemia, dimana golongan anak sekolah
ada 33%. Prevalensi anemia dunia menurut WHO masih berkisar 40-88%. Berdasarkan
Survei Kesehatan Rumah Tangga, prevalensi anemia anak usia sekolah dan remaja sekitar
26,5%. Prevalensi anemia nasional menurut publikasi Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
tahun 2008 adalah 11,3% dimana anemia pada perempuan dewasa sebesar 11,9% dan anak-
anak 12,8%. 21
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya anemia defisiensi besi antara lain
pola makan, pola haid, pengetahuan mengenai resiko terjadinya anemia defisiensi besi,
pengetahuan mengenai zat-zat yang dapat memicu terjadinya anemia karena zat tersebut
dapat menghambat absorpsi besi (vitamin C dan teh), konsumsi obatobatan tertentu seperti
antibiotik, aspirin, obat sulfonamide, obat malaria, merokok, pendarahan, luka bakar, diare,
dan gangguan fungsi ginjal.
Menurut Tarwoto, dkk penyebab anemia yang umum pada masyarakat di Indonesia
(termasuk remaja putri) adalah lebih banyaknya konsumsi makanan nabati yang kandungan
besinya kurang, dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan tubuh akan zat
besi tidak terpenuhi. Selain itu remaja putri juga biasanya ingin tampil langsing, sehingga
membatasi asupan makanannya. Remaja putri lebih beresiko menderita anemia daripada
remaja pria oleh karena setiap bulannya mengalami siklus haid (menstruasi), dimana dalam
sekali siklus haid akan kehilangan ±1,3 mg zat besi per harinya, sehingga membuat
kebutuhan zat besinya lebih banyak dari pada pria.
3.2.3 Klasifikasi
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27pg.
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg.
3. Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar haemoglobin
telah turun dibawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a). derajat
penurunan haemoglobin; b). kecepatan penurunan haemoglobin; c). usia; d). adanya kelainan
jantung atau paru sebelumnya. 21
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia bervariasi
tergantung pada penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang:
sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu
sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit
kronik oleh karena artritis rheumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis pada pemeriksaan
fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada
umumnua diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.21
Pemeriksaan laboratorium 21
1. Pemeriksaan penyaring: pengukuran kadar Hb, indeks eritrosit dan hapusan darah
tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologi anemia tersebut,
yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
2. Pemeriksaan darah semi anemia: hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan
LED. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyser yang dapat
memberikan presis hasil yang lebih baik.
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitive pada
beberapa jenis anemia aplastik, anemia megaloblastic, serta pada kelainan
hematologic yang dapat mensupresi system eritroid.
4. Pemeriksaan khusus 21
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada
Anemia defisiensi besi: Serum Iron, TIBC (Total Iron Binding Capacity), saturasi
transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseptor transferrin dan
pencegahan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).
Anemia megaloblastic: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin
dan tes Schiling.
3.2.5 Prognosis
Prognosis untuk anemia umumnya sangat baik. Terapi dengan penggantian substrat
(zat besi, B12, folat) harus segera dimulai dan dilanjutkan setidaknya 6 bulan setelah kadar
zat besi pasien kembali normal. Pasien yang membutuhkan transfusi harus diberikan zat besi,
B12, dan folat; meskipun, kadar zat besi perlu pemantauan cermat jika mereka menjalani
transfusi berikutnya, karena beresiko keracunan zat besi.
Pada banyak pasien, terutama wanita yang sedang menstruasi, kadar anemia ringan
mungkin tidak dapat diperbaiki, dan selama ini asimptomatik maka ini harus ditoleransi.
Anemia berat sejak usia muda dapat menyebabkan masalah kronis terkait dengan
gangguan perkembangan neurologis. dan dalam kasus ini, hal terbaik pada pencegahan. 21
3.2.6 Komplikasi
Anemia jika tidak terdiagnosis atau tidak diobati untuk waktu yang lama dapat
menyebabkan kegagalan multiorgan dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada wanita
hamil dengan anemia dapat menyebabkan prematur dan berat badan lahir rendah. Komplikasi
lebih dominan pada populasi yang lebih tua karena komorbiditas multiple.
3.3.1 Definisi
Anemia hemolitik merupakan penghancuran sel eritrosit prematur dan dapat dan dapat
terjadi kronik serta mengancam jiwa, yang mana dapat terjadi secara intravascular maupun
ekstravaskular dalam system retikuloendotelial atau keduanya.26
3.3.3 Patofisiologi
Ada 2 mekanisme hemolisis yaitu hemolisis intravascular dan ekstravaskular. Hemolisis intravascular
adalah penghancuran eritrosit dalam sirkulasi dengan melepaskan kandungan sel ke dalam plasma. Yang mana
disebabkan adanya trauma mekanis dari kerusakan endotel, fiksasi komplemen dan aktivasi pada permukaan sel,
dan infeksi yang merupakan penyebab dari degradasi dan destruksi sel.
Hemolisis ekstravaskuler yang lebih umum, pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit
dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak
dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofog.
3.3.4 Diagnosis Banding
G6PD = glukosa-6-fosfat dehidrogenase; HELLP = hemolisis, peningkatan enzim hati, dan jumlah trombosit
yang rendah.
Pemeriksaan laboratorium awal untuk hemolisis 26
AIHA disebabkan oleh kerusakan yang dimediasi autoantibodi. Ciri khas AIHA
adalah hasil DAT positif. AIHA disusun menjadi 2 sub kelompok utama berdasarkan suhu
pengikatan, yang disebut agglutinin dingin dan hangat. Banyak penyebab AIHA diantaranya
idiopatik; namun infeksi virus dan bakteri, kondisi autoimun, gangguan jaringan ikat,
keganasan, limfoproliferatif, transfuse darah dan transplantasi menjadi factor penyebab
terjadinya AIHA.28
Karakteristik AIHA28
Pada pemeriksaan antiglobulin langsung, menunjukkan adanya autoantibodi pada permukaan eritrosit.
AIHA hangat lebih sering terjadi dibandingkan AIHA dingin dan melibatkan antibody
IgG, biasanya pada kompleks Rh, yang bereaksi dengan membrane eritrosit pada suhu tubuh
normal. Eritrosit yang dilapisi IgG diangkat oleh makrofag retikuloendotelial dan
dihancurkan di limpa sehingga menyebabkan splenomegaly. Pengobatan AIHA hangat
biasanya mencakuo penggunaan glukokortikoid, pengelolaan kondisi yang mendasar,
transfuse darah jika diperlukan dan perawatan suportif.28
AIHA dingin melibatkan antibody IgM (titrasi aglutinin dingin) yang bereaksi dengan
antigen polisakarida pada permukaan eritrosit pada suhu tubuh rendah dan kemudian
menyebabkan lisis pada penghangatan dengan fiksasi komplemen dan hemolisis
intravaskuler. Pengembangan antibodi ini terkait dengan proses infeksi atau
ganas. Pneumonia mikoplasmal dan mononukleosis adalah dua proses yang paling
umum. Perawatan pasien yang menderita AIHA dingin biasanya melibatkan tindakan
suportif, penghindaran pemicu, dan manajemen penyakit yang mendasarinya.28
Tabel karakteristik AIHA
Karakteristik AIHA tipe hangat AIHA tipe dingin
Isotipe antibody Ig G, jarang Ig A, Ig M Ig M
Antigen spesifitas Multiple, Rh primer i/L, P
Hemolisis Terutama ekstravaskuler Terutama intravaskuler
Direct antiglobulin test Ig G C3
Tabel karakteristik AIHA
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada
patologi yang mendasari suatupenyakit. Pada hemolisis intravaskular , destruksi eritrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik , fiksasi komplemen dan
aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi
membrane sel eritrosit.Hemolisis intravaskular jarang terjadi. 28,29
3.3.8 Diagnosis
Pendekatan diagnosis untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan anemia hemolitik 27
3.3.9 Penatalaksanaan
Tidak ada bukti untuk pengobatan sekunder untuk penyakit ganas atau infeksi. AIHA
dingin. Secara umum, pengobatan penyakit yang mendasari disertai resolusi hemolisis,
terutama pada penyakit limfoproliferatif dan mycoplasma pneumonia. Hubungan
kortikosteroid masih dalam pembahasan, terutama dalam CAD sekunder untuk infeksi.
Penggunaannya disarankan dalam kasus berat atau dalam kasus dimana ada peningkatan
spontan dalam beberapa hari.
Algoritma penatalaksanaan untuk AIHA tipe hangat pada dewasa.
Treatment algorithm for warm AIHA in adults. SR: sustained response defined as maintenance of Hb
values >10 g/dL over time; NR: no response; d: day; w: week; AZA: azathioprine; CyA: cyclosporine
A; CTX: cyclophosphamide; MMF: mycophenolate mofetil; PEX: plasma exchange; IVIG:
intravenous immunoglobulin.
Terapi supportif
Pasien pasien dengan AIHA mungkin memerlukan transfuse eritrosit untuk
mempertahankan nilai haemoglobin yang dapat diterima secara klinis, setidaknya sampai
perawatan-perawatan spesifik menjeadi efektif. Transfuse harus tergantung tidak hanya pada
tingkat haemoglobin, akan tetapi lebih pada status klinis dan komorbiditas pasien (khususnya
pada penyakit jantung iskemik atau penyakit paru yang berat), ketajaman onset suatu
penyakit, perkembangan anemia, dan adanya hemoglobinuria atau hemoglobinemia dan
manifestasi lain dari hemolisis berat.