Anda di halaman 1dari 28

3.

1 Dispepsia
3.1.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein (pencernaan). 1
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators, dispepsia didefinisikan
sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas, 2
sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru,3,4, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh
setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya
dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum
diagnosis. 5

Definisi dyspepsia fungsional menurut kriteria Roma IV 18

3.1.2 Epidemiologi

Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-
hari.5 Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan
prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003.6
Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan
atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang
mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.5
Di Asia, studi epidemiologi juga mengidentifikasi Dispepsia fungsional sebagai
kelainan yang sangat lazim. Dalam sebuah survei di Korea terhadap 5.000 subjek yang
menyelesaikan kuesioner Roma III, 7,7% mengalami dispepsia; Postprandial Distress
Syndrome (PDS) dilaporkan oleh 5,6% dan EPS sebesar 4,2%, sementara 27% memiliki PDS
dan EPS (Epigastric Pain Syndrome). 7,8,9

Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi,
yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer. 10 Bahkan, sebuah studi
tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia
ternyata telah terinfeksi H. pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.11

3.1.3 Klasifikasi

Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia
fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieksklusi. Dispepsia
fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni Postprandial Distress Syndrome dan Epigastric
Pain Syndrome. Postprandial distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan
“begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan
seperti halnya Postprandial Distress Syndrome. 5

Dalam praktik klinis, sering dijumpai kesulitan untuk membedakan antara


gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome (IBS), dan dispepsia itu
sendiri. 5

El-Serag dan Talley (2004) melaporkan bahwa sebagian besar pasien dengan
uninvestigated dyspepsia, setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata memiliki diagnosis dispepsia
fungsional.11 Talley secara khusus melaporkan sebuah sistem klasifikasi dispepsia, yaitu
Nepean Dyspepsia Index, yang hingga kini banyak divalidasi dan digunakan dalam penelitian
di berbagai negara, termasuk baru-baru ini di China.12,13

3.1.4 Faktor Risiko

Beberapa faktor diduga menyebabkan sindrom dispepsia adalah


1. Peningkatan asam lambung
2. Dismotilitas lambung
3. Gastritis dan deuodenitis kronis (peranan Helicobacter pylori)
4. Stres psikososial
5. Faktor lingkungan dan lain – lain (makanan, genetic)
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia:
kecemasan dan OAINS dikaitkan dengan PDS tetapi tidak dengan EPS. 14 Depresi tidak
diidentifikasi sebagai factor risiko penting untuk kedua subkelompok. Dalam studi endoskopi
pada populasi di Italia, merokok dikaitkan dengan PDS tetapi tidak EPS. 15 sebaliknya, dalam
populasi skrining kanker lambung dari Taiwan, kecemasan dan NSAID adalah factor risiko
untuk PDS dan EPS, sementara H. pylori dan depresi terkait dengan PDS

Beberapa obat yang menyebabkan dispepsia


NSAID
Inhibitor Cox-2
Bifosfonat
Eritromisin
Tetrasiklin
Suplemen kalium
Acarbose
Digitalis
Theophilin orlistat

3.1.5 Patofisiologi
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan
potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung,
infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. 5 Ferri et
al. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya
jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai
memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini:

1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan


lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang
rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance
yang lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori.
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.
Skema 1. Patofisiologi dyspepsia fungsional 16

3.1.6 Diagnosis

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya
nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan organik ditemukan,
dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak
ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional.
Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga
idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat
organik. Dalam salah satu sistem penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke
dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke
dalam 2 subklasifikasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik.
Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia
fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi
mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.17

Kriteria diagnostic roma III untuk dyspepsia fungsional


Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi: bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
c. Perasaan cepat kenyang
d. Nyeri ulu hati
e. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala
termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA])

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula
gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
a. Postprandial distress syndrome Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya
terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya
terjadi beberapa kali seminggu.
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya
terjadi beberapa kali seminggu

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula
gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang :
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang
berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

b. Epigastric pain syndrome


Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan
moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian
atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfingter
Oddi

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.

Kriteria diagnostic roma III untuk dyspepsia fungsional 4


Gambaran klinis

Karena bervariasi jenis keluhan/kualitasnya pada pasien, maka disarankan untuk


mengklasifikasikan fungsional menjadi beberapa subgroup berdasarkan pada keluhan yang
paling mencolok atau dominan.

 Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebgai dyspepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dyspepsia)
 Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan paling sering
dikemukanan, dikategorikan sebagai dyspepsia fungsional tipe seperti
dismotilitas (dysmotility like dyspepsia)
 Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dyspepsia
non-spesifik.

Pemeriksaan penunjang
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostic adalah untuk mengeklusi
gangguan organic atau biokimia. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi
pancreas, dan sebagainya), radiologi (barium meal, USG) dan endoskopi merupakan langkah
yang paling penting untuk ekslusi penyebab organic ataupun biokimia. Untuk menilai
patofisiologinya, dalam rangka mencari dasar terapi yang lebih kausatif, berbagai
pemeriksaan dapat dilakukan, walupun aplikasi klinisnya tidak jarang dinilai masih
kontroversial. Misalnya pemeriksaan pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung,
manometri untuk menilai adanya gangguan fase III migrating motor complex,
elektrogastrografi, skintigrafi atau penggunaan pallet radioopak untuk mengukur waktu
pengosongan lambung, Helicobacter pylori dan sebagainya.
Prosedur diagnose pada pasien dyspepsia fungsional 18,19
Keterangan:
H.p .., Helicobacter pylori
EGD.., Esophagogastroduodenoscopy
3.1.7 Penatalaksanaan

Non medikamentosa
Tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan secara bermakna.
Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan pegangan yang lebih
bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam tinggi, lemak, sebaiknya dipakai
sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan sampai menurunkan/ mempengaruhi
kualitas hidup pasien.

Diagram penatalaksanaan dyspepsia 20

Keterangan:
EGD esophagogastroduodenoscopy; NSAIDA, Non-steroid anti inflammatory drug, GERD
gastroesophageal reflux disease, PPI proton pump inhibitor, IBS irritable bowel syndrome
Regimen pengobatan umum untuk Helicobacter pylori
Regimen Keterangan
triple terapi, PPI; amoxicylin 2x1 gram; klaritromisin Pengobatan lini pertama
2x500 mg selama 10-14 hari.
Sequential Terapi PPI dan amoxicylin 1 gram Dapat menjadi lini pertama namun resistensi
2xsehari selama 5 hari diikuti oleh PPI, klaritromisin makrolida biasa terjadi
2x500 mg, tinidazole 2x500 mg selama 5 hari
Quadriple terapi PPI; bismuth 4x525 mg; Perawatan apabila gagal
metronidazole 4x500 mg; dan tetrasiklin 4x500 mg
selama 14 hari
Regimen pengobatan umum untuk Helicobacter pylori 20

Algoritma pengobatan dyspepsia 18

Indikasi merujuk

1. Jika pasien mengalami gejala dan tanda bahaya (alarming features) seperti berikut:
perdarahan saluran cerna, sulit menelan, nyeri saat menelan, anemia yang tidak bisa
dijelaskan sebabnya, perubahan nafsu makan, dan penurunan berat badan, atau ada
indikasi endoskopi. Segera rujuk pasien ke spesialis gastroenterologi atau rumah
sakit dengan fasilitas endoskopi.
2. Bila gejala dan tanda lebih mengarah pada kelainan jantung, segera rujuk ke spesialis
jantung.
3.2 Anemia

3.2.1 Definisi

Anemia adalah didefinisikan sebagai penurunan jumlah haemoglobin atau


hematokrit atau sel darah merah, anemia bukan merupakan diagnosis tetapi presentasi
dari keadaan yang mendasarinya.
Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah sel darah merah (eritrosit)
yang bersirkulasi, yang merupakan sumber utama morbiditas dan mortalitas diseluruh
dunia. 22
massa eritrosit (red ell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen
carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukan oleh penurunan kadar
haemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling
lazim dipakai adalah kadar haemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa
terdapat keadaan – keadaan tertenu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, pendarahan akut dan
kehamilan.permasalahan yang timbul adalah berapa kadar haemoglobin,hematokrit
atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar haemoglobin dan
eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat
tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan. 23
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (diase entity), tetapi
merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena
itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi
harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. 23
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang
pathogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih,
menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk
membahas pendekatan praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering
dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit dalam. 21

Kriteria Anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukan penurunan massa eritrosit
adalah kadar haemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada
umumnya ketiga parameter tersebut salin bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah
berapakah kadar haemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal haemoglobin
sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur , jenis kelamin, adanya
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik
pemilah (cut off point) di bawah kadar mana kita dianggap terdapat anemia. Di negara
Barat kadar haemoglobin paling rendah untuk laik – laki adakah 14g/dl dan 12 g/dl
(hematokrit 38% ) untuk perempuan dewasa , 11 g/dl (hematokrit 36%) untuk
perempuan hamil dan 13 g/dl untuk laki dewasa, WHO menetapkan cut off point
anemia untuk keperluan penelitian lapangan eperti terlihat pada table 1. 21

Tabel 1. Kriteria Anemia Menurut WHO


Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dan dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
Tabel 1. Kriteria Anemia Menurut WHO 21

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atay praktek dokter) di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian
besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat dirumah sakit akan
memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa
peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memekai kriteria haemoglobin
kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai 10-11
g/dl.

3.2.2 Epidemiologi Anemia

Di dunia, ada 1,62 milyar orang yang terkena anemia, dimana golongan anak sekolah
ada 33%. Prevalensi anemia dunia menurut WHO masih berkisar 40-88%. Berdasarkan
Survei Kesehatan Rumah Tangga, prevalensi anemia anak usia sekolah dan remaja sekitar
26,5%. Prevalensi anemia nasional menurut publikasi Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
tahun 2008 adalah 11,3% dimana anemia pada perempuan dewasa sebesar 11,9% dan anak-
anak 12,8%. 21

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya anemia defisiensi besi antara lain
pola makan, pola haid, pengetahuan mengenai resiko terjadinya anemia defisiensi besi,
pengetahuan mengenai zat-zat yang dapat memicu terjadinya anemia karena zat tersebut
dapat menghambat absorpsi besi (vitamin C dan teh), konsumsi obatobatan tertentu seperti
antibiotik, aspirin, obat sulfonamide, obat malaria, merokok, pendarahan, luka bakar, diare,
dan gangguan fungsi ginjal.

Menurut Tarwoto, dkk penyebab anemia yang umum pada masyarakat di Indonesia
(termasuk remaja putri) adalah lebih banyaknya konsumsi makanan nabati yang kandungan
besinya kurang, dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan tubuh akan zat
besi tidak terpenuhi. Selain itu remaja putri juga biasanya ingin tampil langsing, sehingga
membatasi asupan makanannya. Remaja putri lebih beresiko menderita anemia daripada
remaja pria oleh karena setiap bulannya mengalami siklus haid (menstruasi), dimana dalam
sekali siklus haid akan kehilangan ±1,3 mg zat besi per harinya, sehingga membuat
kebutuhan zat besinya lebih banyak dari pada pria.

Persentase anemia berdasarkan usia dan jenis kelamin 25

3.2.3 Klasifikasi

Klasifikasi anemia dapat digolongkan berdasarkan gambaran morfologi dengan melihat


indeks eritorsit, antara lain: 21

1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27pg.
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg.
3. Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.

Tabel 3. Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis 21


A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentukan eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologic
d. Anemia diseritropoetik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan haemoglobin
- Thalassemia
- Hemoglobinopati structural: HbS, HbE, dll.
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang kompleks

Tabel 4. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi 21


I. Anemia Hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia mayor
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastic
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematoogik
III. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastic
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Tabel 4. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi 21
3.2.4 Diagnosis

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar haemoglobin
telah turun dibawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a). derajat
penurunan haemoglobin; b). kecepatan penurunan haemoglobin; c). usia; d). adanya kelainan
jantung atau paru sebelumnya. 21

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Gejala umum anemia


Disebut jufa sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar haemoglobin. Gejala ini
muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan haemoglobin sampai kadar
tertentu (Hb < 7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari lemah, lesu, cepat Lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan
dyspepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku. Sindrom
anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia
dan tidak sensitive karena timbul setelah penurunan haemoglobin yang berat (Hb < 7
g/dl). 21
2. Gejala khas masing-masing anemia 21
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychia)
 Anemia megaloblastic: glossitis, gangguan neurologic pada defisiensi vit B12
 Anemia hemolitik: Ikterus, splenomegaly dan hepatomegaly
 Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
3. Gejala penyakit dasar

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia bervariasi
tergantung pada penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang:
sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu
sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit
kronik oleh karena artritis rheumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis pada pemeriksaan
fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada
umumnua diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.21

Pemeriksaan laboratorium 21
1. Pemeriksaan penyaring: pengukuran kadar Hb, indeks eritrosit dan hapusan darah
tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologi anemia tersebut,
yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
2. Pemeriksaan darah semi anemia: hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan
LED. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyser yang dapat
memberikan presis hasil yang lebih baik.
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitive pada
beberapa jenis anemia aplastik, anemia megaloblastic, serta pada kelainan
hematologic yang dapat mensupresi system eritroid.
4. Pemeriksaan khusus 21
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada

 Anemia defisiensi besi: Serum Iron, TIBC (Total Iron Binding Capacity), saturasi
transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseptor transferrin dan
pencegahan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).

 Anemia megaloblastic: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin
dan tes Schiling.

 Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, Elektroforesis haemoglobin dan


lain-lain.

 Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.

3.2.5 Prognosis

Prognosis untuk anemia umumnya sangat baik. Terapi dengan penggantian substrat
(zat besi, B12, folat) harus segera dimulai dan dilanjutkan setidaknya 6 bulan setelah kadar
zat besi pasien kembali normal. Pasien yang membutuhkan transfusi harus diberikan zat besi,
B12, dan folat; meskipun, kadar zat besi perlu pemantauan cermat jika mereka menjalani
transfusi berikutnya, karena beresiko keracunan zat besi.

Pada banyak pasien, terutama wanita yang sedang menstruasi, kadar anemia ringan
mungkin tidak dapat diperbaiki, dan selama ini asimptomatik maka ini harus ditoleransi.
Anemia berat sejak usia muda dapat menyebabkan masalah kronis terkait dengan
gangguan perkembangan neurologis. dan dalam kasus ini, hal terbaik pada pencegahan. 21

3.2.6 Komplikasi

Anemia jika tidak terdiagnosis atau tidak diobati untuk waktu yang lama dapat
menyebabkan kegagalan multiorgan dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada wanita
hamil dengan anemia dapat menyebabkan prematur dan berat badan lahir rendah. Komplikasi
lebih dominan pada populasi yang lebih tua karena komorbiditas multiple.

3.3 Anemia Hemolitik

3.3.1 Definisi

Anemia hemolitik merupakan penghancuran sel eritrosit prematur dan dapat dan dapat
terjadi kronik serta mengancam jiwa, yang mana dapat terjadi secara intravascular maupun
ekstravaskular dalam system retikuloendotelial atau keduanya.26

3.3.2 Etiologi, klasifikasi


Etiologi dari pengelompokan jenis hemolitik. 27

G6PD: glucose-6-phosphate dehydrogenase; CLL: chronic lymphocytic leukemia; NHL: non-Hodgkin


lymphoma; SLE: systemic lupus erythematous; TIPS: transjugular intrahepatic portosystemic shunt; TTP:
thrombotic thrombocytopenic purpura; HUS: hemolytic uremic syndrome; HELLP: hemolysis, elevated liver
enzyme levels, and low platelet levels; DIC: disseminated intravascular coagulation; EV: extravascular: IV:
intravascular.
Berbagai jenis agen penginduksi hemolis 26

3.3.3 Patofisiologi

Ada 2 mekanisme hemolisis yaitu hemolisis intravascular dan ekstravaskular. Hemolisis intravascular
adalah penghancuran eritrosit dalam sirkulasi dengan melepaskan kandungan sel ke dalam plasma. Yang mana
disebabkan adanya trauma mekanis dari kerusakan endotel, fiksasi komplemen dan aktivasi pada permukaan sel,
dan infeksi yang merupakan penyebab dari degradasi dan destruksi sel.

Hemolisis ekstravaskuler yang lebih umum, pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit
dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak
dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofog.
3.3.4 Diagnosis Banding

Diagnosis banding anemia hemolitik. 26


3.3.5 Diagnosis

Evaluasi dugaan hemolisis.

G6PD = glukosa-6-fosfat dehidrogenase; HELLP = hemolisis, peningkatan enzim hati, dan jumlah trombosit
yang rendah.
Pemeriksaan laboratorium awal untuk hemolisis 26

3.3.6 Anemia hemolitik autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia / AIHA)


Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA) ialah suatu
anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self antigen pada membran
eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit (hemolisis). ). Reaksi autoantibodi ini
akan menimbulkan anemia, akibat masa edar eritrosit dalam sirkulasi menjadi lebih pendek.
Anemia disebabkan karena kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum tulang untuk
menghasilkan sel eritrosit, sehingga terjadi peningkatan persentase retikulosit dalam darah .28

AIHA disebabkan oleh kerusakan yang dimediasi autoantibodi. Ciri khas AIHA
adalah hasil DAT positif. AIHA disusun menjadi 2 sub kelompok utama berdasarkan suhu
pengikatan, yang disebut agglutinin dingin dan hangat. Banyak penyebab AIHA diantaranya
idiopatik; namun infeksi virus dan bakteri, kondisi autoimun, gangguan jaringan ikat,
keganasan, limfoproliferatif, transfuse darah dan transplantasi menjadi factor penyebab
terjadinya AIHA.28

Karakteristik AIHA28

Pada pemeriksaan antiglobulin langsung, menunjukkan adanya autoantibodi pada permukaan eritrosit.

AIHA hangat lebih sering terjadi dibandingkan AIHA dingin dan melibatkan antibody
IgG, biasanya pada kompleks Rh, yang bereaksi dengan membrane eritrosit pada suhu tubuh
normal. Eritrosit yang dilapisi IgG diangkat oleh makrofag retikuloendotelial dan
dihancurkan di limpa sehingga menyebabkan splenomegaly. Pengobatan AIHA hangat
biasanya mencakuo penggunaan glukokortikoid, pengelolaan kondisi yang mendasar,
transfuse darah jika diperlukan dan perawatan suportif.28

AIHA dingin melibatkan antibody IgM (titrasi aglutinin dingin) yang bereaksi dengan
antigen polisakarida pada permukaan eritrosit pada suhu tubuh rendah dan kemudian
menyebabkan lisis pada penghangatan dengan fiksasi komplemen dan hemolisis
intravaskuler. Pengembangan antibodi ini terkait dengan proses infeksi atau
ganas. Pneumonia mikoplasmal dan mononukleosis adalah dua proses yang paling
umum. Perawatan pasien yang menderita AIHA dingin biasanya melibatkan tindakan
suportif, penghindaran pemicu, dan manajemen penyakit yang mendasarinya.28
Tabel karakteristik AIHA
Karakteristik AIHA tipe hangat AIHA tipe dingin
Isotipe antibody Ig G, jarang Ig A, Ig M Ig M
Antigen spesifitas Multiple, Rh primer i/L, P
Hemolisis Terutama ekstravaskuler Terutama intravaskuler
Direct antiglobulin test Ig G C3
Tabel karakteristik AIHA

Mekanisme penghancuran eritrosit pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat.29


Penghancuran eritrosit dimediasi system komplemen pada Cold Agglutinin Disease
(CAD) dan Cold Agglutinin Syndrome (CAS). Garis hitam merupakan jalur mayor, garis putus-
putus merupakan jalur minor; CA cold agglutinin; C complemen protein. 29

3.3.7 Anemia Hemolitik non imun

Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan immunoglobulin tetapi karena faktor defek


molekuler ,abnormalitas struktur membran , factor lingkungan yang bukan autoantibodi
seperti hipersplenisme, ,kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang
mengakibatkan kerusakan eritrosittanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti
malaria , babesiosis , dan klostridium.28,29

Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada
patologi yang mendasari suatupenyakit. Pada hemolisis intravaskular , destruksi eritrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik , fiksasi komplemen dan
aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi
membrane sel eritrosit.Hemolisis intravaskular jarang terjadi. 28,29

Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisisi


ektravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel
eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofog. 28,29

3.3.8 Diagnosis
Pendekatan diagnosis untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan anemia hemolitik 27

3.3.9 Penatalaksanaan

Pengobatan AIHA hangat

Pengobatan AIHA termasuk kosrtikosteroid, splenektomi dan obat immunosupresif


konvensional. Beberapa terapi baru telah tersedia dan telah ada bukti keberhasilan. Terapi ini
terutama digunakan pada pasien yang gagal merespons splenektomi, kasus yan kambuh
setelah splenektomi dan yang tidak dapat mempertahankan kadar haemoglobin yang stabil
tanpa kortikosteroid dosis tinggi.

Pengobatan AIHA dingin

Tidak ada bukti untuk pengobatan sekunder untuk penyakit ganas atau infeksi. AIHA
dingin. Secara umum, pengobatan penyakit yang mendasari disertai resolusi hemolisis,
terutama pada penyakit limfoproliferatif dan mycoplasma pneumonia. Hubungan
kortikosteroid masih dalam pembahasan, terutama dalam CAD sekunder untuk infeksi.
Penggunaannya disarankan dalam kasus berat atau dalam kasus dimana ada peningkatan
spontan dalam beberapa hari.
Algoritma penatalaksanaan untuk AIHA tipe hangat pada dewasa.

Treatment algorithm for warm AIHA in adults. SR: sustained response defined as maintenance of Hb
values >10 g/dL over time; NR: no response; d: day; w: week; AZA: azathioprine; CyA: cyclosporine
A; CTX: cyclophosphamide; MMF: mycophenolate mofetil; PEX: plasma exchange; IVIG:
intravenous immunoglobulin.

Terapi supportif
Pasien pasien dengan AIHA mungkin memerlukan transfuse eritrosit untuk
mempertahankan nilai haemoglobin yang dapat diterima secara klinis, setidaknya sampai
perawatan-perawatan spesifik menjeadi efektif. Transfuse harus tergantung tidak hanya pada
tingkat haemoglobin, akan tetapi lebih pada status klinis dan komorbiditas pasien (khususnya
pada penyakit jantung iskemik atau penyakit paru yang berat), ketajaman onset suatu
penyakit, perkembangan anemia, dan adanya hemoglobinuria atau hemoglobinemia dan
manifestasi lain dari hemolisis berat.

Anda mungkin juga menyukai