Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Drainase
2.1.1 Pengertian Drainase dan Drainase Perkotaan
Drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan
teknis untuk menguras atau mengeringkan air, baik yang berasal dari air
hujan, rembesan dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan
tidak terganggu. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk
mengontrol kualitas air tanah. Jadi, drainase menyangkut tidak hanya air
perumukaan tapi juga air tanah (Suripin, 2004).
Drainase perkotaan/terapan merupakan sistem pengeringan dan
pengaliran air dari wilayah perkotaan yang meliputi (Hasmar, 2012) :
1. Pemukiman;
2. Kawasan industry dan perdagangan;
3. Kampus dan sekolah;
4. Rumah sakit dan fasilitas umum;
5. Lapangan olah raga;
6. Lapangan parkir;
7. Instalasi militer, listrik, telekomunikasi;
8. Pelabuhan udara.
9. Jalan raya atau jalan tol.

2.1.2 Jenis Drainase


1. Menurut Sejarah Terbentuknya
a. Drainase Alamiah (Natural Drainage)
Drainase yang terbentuk secara alami dan tidak terdapat
bangunan-bangunan penunjang seperti bangunan pelimpah,
pasangan batu/beton, gorong-gorong dan lain-lain. Saluran ini
terbentuk oleh gerusan air yang bergerak karena grafitasi yang
lambat laun membentuk jalan air yang permanen seperti sungai

4
Gambar 2.1 Drainase Alamiah (Suripin, 2004)

b. Drainase Buatan (Arficial Drainage)


Drainase yang dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu sehingga
memerlukan bangunan-bangunan khusus seperti selokan
pasangan batu/beton, gorong-gorong, pipa dan sebagainya.

Gambar 2.2 Drainase Buatan (Gunadarma, 1997)

2. Menurut Letak Bangunan


a. Drainase Permukaan Tanah (Surface Drainage)
Saluran drainase yang berada diatas permukaan tanah yang
berfungsi mengalirkan air limpasan permukaan. Analisa alirannya
merpukan analisa open channel flow.
b. Drainase Bawah Permukaan Tanah (Subsruface Drainage)
Saluran drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan
permukaan melalui media dibawah pemukaan tanah (pipa-pipa),
dikarenakan alasan-alasan tertentu. Alasan itu antara lain :
Tuntutan artistik, tuntutan fungsi permukaan tanah yang tidak
membolehkan adanya saluran di permukaan tanah yang tidak

5
membolehkan adanya saluran di permukaan tanah seperti lapangan
sepakbola, lapangan terbang, taman dan lain-lain.
3. Menurut Fungsi
a. Single Purpose, yaitu saluran yang befungsi mengalirkan satu
jenis air buangan, misalnya air hujan saja atau jenis air buangan
yang lain seperti limbah domestik, air limbah industry dan lain-
lain.
b. Multi Purpose, yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan
beberapa jenis air buangan baik secara bercampur maupun
bergantian.
4. Menurut Konstruksi
a. Saluran Terbuka, yaitu saluran yang lebih cocok untuk drainase
air hujan yang terletak di daerah yang mempunyai luasan yang
cukup, ataupun untuk drainase air non-hujan yang tidak
membahayakan kesehatan / menganggu lingkungan.

Gambar 2.3 Saluran Terbuka Berbentuk Trapesium


(Gunadarma, 1997)
b. Saluran Tertutup, yaitu saluran yang pada umumnya sering
dipakai untuk aliran air kotor (air yang menganggu
kesehatan/lingkungan) atau untuk saluran yang terletak di tengah
kota.

Gambar 2.4 Saluran Tertutup Berbentuk Trapesium dan


Lingkaran (Gunadarma, 1997)

6
2.1.3 Fungsi Drainase
Menurut Mulyanto (2013) fungsi-fungsi sistem drainase perkotaan
adalah :
1. Mengeringkan wilayah kota,
2. Mengangkut limbah cair daerah perkotaan,
3. Mengatur arah dan kecepatan aliran,
4. Mengatur elevasi muka air tanah,
5. Menjadi sumberdaya air alternatif,
6. Di daerah perbukitan sistem drainase menjadi salah satu prasarana
mencegah erosi dan gangguan stabilitas lereng.

2.1.4 Pola Jaringan Drainase


1. Siku
Dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi
dari pada sungai. Sungai sebagai saluran pembuang akhir di tengah
kota.

Gambar 2.5 Pola Jaringan Drainase Siku (Gunadarma, 1997)


2. Pararel
Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran
cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek, apabila
terjadi perkembangan kota, saluran-saluran akan dapat menyesuaikan
diri.

7
Gambar 2.6 Pola Jaringan Drainase Pararel (Gunadarma, 1997)

3. Grid Iron
Untuk daerah dimana sungainya terletak di pinggir kota, sehingga
saluran-saluran cabang dikumpulkan dulu pada saluran pengumpul.

Gambar 2.7 Pola Jaringan Drainase Grid Iron (Gunadarma, 1997)

4. Alamiah
Sama seperti pola siku, hanya beban sungai pada pola alamiah lebih
besar.

Gambar 2.8 Pola Jaringan Drainase Alamiah (Gunadarma, 1997)

8
5. Radial
Pada daerah berbukit, sehingga pola saluran memencar ke segala arah.

Gambar 2.9 Pola Jaringan Drainase Radial (Gunadarma, 1997)

6. Jaring-jaring
Mempunyai saluran-saluran pembuang yang mengikuti arah jalan raya
dan cocok untuk daerah dengan topografi datar.

Gambar 2.10 Pola Jaringan Drainase Jaring-jaring (Gunadarma,


1997)

2.2 Analisa Hidrologi


Hidrologi adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran dan
gerakan air di alam ini. Ini meliputi berbagai bentuk air, yang menyangkut
perubahan-perubahannya antara kedaan cair, padat dan gas dalam atmosfir,
di atas dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut
yang merupakan sumber dan penyimpanan air yang mengaktifkan
penghidupan di planet bumi ini (Soemarto, 1999).

9
Gambar 2.11 Drainase Alamiah (Suripin, 2004)

2.2.1 Curah Hujan Maksimum Harian Rata-rata


Perhitungan data hujan maksimum harian rata-rata DAS harus
dilakukan secara benar dan untuk analisis frekuensi data hujan. Dalam
praktek sering kita jumpai perhitungan yang kurang pas, yaitu dengan cara
mencari hujan maksimum harian setiap pos hujan dalam satu tahun,
kemudian dirata-ratakan untuk mendapat hujan DAS. Cara ini tidak logis
karena rata-rata hujan dilakukan atas hujan dari masing-masing pos hujan
yang terjadi pada hari yang berlainan. Hasilnya akan jauh menyimpang
dari yang seharusnya (Suripin, 2004)
Perhitungan data hujan maksimum harian rata-rata DAS harus
dilakukan secara benar untuk analisis frekuensi data hujan. Cara untuk
mendapatkan hujan rata rata maksimum DAS adalah sebagai berikut:
1. Tentukan hujan maksimum harian pada tahun tertentu di salah satu
pos hujan
2. Cari besarnya curah hujan pada tanggal-bulan-tahun yang sama
untuk pos hujan yang lalu
3. Hitung hujan DAS dengan salah satu cara yang dipilih
4. Tentukan hujan maksimum harian (seperti langkah 1) pada tahun
yang sama untuk pos hujan yang lain
5. Ulangi langkah 2 dan 3 untuk setiap tahun

10
2.2.2 Pengolahan Data Hujan
1 Hujan Rerata Daerah Aliran
Hujan rata-rata untuk suatu daerah dapat dihitung dengan
(Anonim,1997) :
a. Cara rata-rata aljabar
Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di
dalam dan di sekitar daerah yang bersangkutan.
1
𝑅= (R1+ R2+ R3+…+ Rn)……………………………(2-1)
𝑛

Dengan :
R = curah hujan daerah
R1, R2,…,Rn, = curah hujan di tiap titik pengamatan
n = banyaknya pos penakar hujan
b. Cara Thiessen
Jika titik di daerah pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar
merata, maka cara perhitungan curah hujan dilakukan dengan
memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan.
R = R1.A1+ R2.A2+ R3.A3+……+ Rn.An………………..(2-2)
A1+ A2+ A3+….+ An
Dengan :
R = curah hujan daerah
R1, R2,…,Rn, = curah hujan di tiap titik pengamatan
A1, A2,…,An, =bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan

11
Gambar 2.12 Poligon Thiessen (Gunadarma, 1997)

c. Cara Isohyet
Luas bagian daerah antara 2 garis isohyet yang berdekatan diukur
dengan planimeter. Demikian pula harga rata-rata dari garis-garis
isohyet yang berdekatan yang termasuk bagian-bagian itu dapat
dihitung Curah hujan daerah itu dapat dihitung menurut persamaan
sebagai berikut :

R = R1.A1+ R2.A2+ R3.A3+……+ Rn.An ……………….(2-3)


A1+ A2+ A3+….+ An
Dengan :
R = curah hujan daerah
R1, R2,…,Rn, =curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1,
A2,…,An
A1, A2,…,An, = luas bagian-bagian antara garis isohyet

12
Gambar 2.13 Isohyet (Gunadarma, 1997)

2. Penambahan Data Yang Hilang


Menurut Soemarto (1999), penambahan data curah hujan yang
hilang dapat dilakukan menggunakan metode Normal Ratio dengan
persamaan berikut :
1 𝐴 𝐴 𝐴 1 𝐴
𝑑𝑐 = 𝑛 (𝑑𝑎 𝐴𝑛𝑥 + 𝑑𝑏 𝐴𝑛𝑥 + 𝑑𝑐 𝐴𝑛𝑥 ) = 𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑑𝑖 𝐴𝑛𝑥 ………………(2-4)
𝑛𝑎 𝑛𝑏 𝑛𝑐 𝑛𝑖

Dimana n adalah banyaknya pos penakar di sekitar X, Anx adalah


tinggi hujan rata-rata tahunan di X, dan Ani adalah tinggi hujan rata-rata
tahunan di pos penakar di sekitar X.

3. Kala Ulang Hujan


Kala ulang debit / curah hujan adalah suatu kurun waktu berulang
dimana debit / curah hujan yang terjadi dilampaui tau disamai oleh
debit / curah hujan desain. Makna kala ulang bukan berarti hujan yang
terjadi setiap beberapa tahun sekali dan juga tidak berkenaan dengan
usia guna konstruksi bangunan air. Karakteristik hujan menunjukkan
bahwa hujan yang besar tertentu mempunyai periode ulang tertentu,
periode ulang untuk perencanaan saluran drainase kota dan bangunan-
bangunannya yang dianjurkan yaitu :

13
Tabel 2.1 Kala Ulang Berdasarkan Jenis Bangunan / Saluran
`No Jenis Bangunan / Saluran Kala Ulang
Saluran mikro pada daerah :
- Lahan rumah, taman, kebun, kuburan, tak
2
terbangun
- Kesibukan dan perkantoran 3
- Perindustrian : ringan 5
- Perindustrian : menengah 10
- Perindustrian : berat 25
- Perindustrian : super berat / proteksi Negara 50
Saluran tersier : resiko kecil 2
Saluran tersier : resiko besar 5
Saluran sekunder : tanpa resiko 2
Saluran sekunder : resiko kecil 5
Saluran sekunder : resiko besar 10
Saluran primer : tanpa resiko 5
Saluran primer : resiko kecil 10
Saluran primer : resiko besar 25
Luas DAS : 25-50 ha 5
Luas DAS : 50-100 ha 5-10
5 Luas DAS : 100-130 ha 10-25
Luas DAS : 130-6500 ha 25-50
Pengendalian banjir makro 100
Gorong-gorong : jalan raya biasa 10
Gorong-gorong : jalan raya by pass 25
Gorong-gorong : free ways (toll) 50
Saluran tepi : jalan raya biasa 5-10
Saluran tepi : jalan raya by pass 10-25
Saluran tepi : free ways (toll) 25-50
(Hartono, 1996)

Kala ulang yang dipakai berdasarkan luas daerah pengaliran


saluran, dan jenis kota yang akan direncanakan. Untuk bangunan
pelengkap dipakai kala ulang yang sama dengan sistem saluran di mana
bangunan pelengkap ini berada.

14
Tabel 2.2 Kala Ulang Berdasarkan Tipologi Kota
Luas DAS (ha)
Tipologi Kota
<10 10-100 100-500 >500
Metropolitan 2 2-5 5-10 10-25
Kota Besar 2 2-5 2-5 5-20
Kota Sedang 2 2-5 2-5 4-10
Kota Kecil 2 2 2 2
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum,2014

2.2.3 Uji Konsistensi


Uji konsistensi adalah suatu pengujian yang dilakukan untuk
mengecek konsistensi data hujan yang akan digunakan dalam suatu
perencanaan. Uji konsistensi berarti menguji kebenaran data lapangan
yang tidak dipengaruhi oleh kesalahan pada saat pengukuran. Jika data
hujan tidak konsisten yang diakibatkan oleh berubahnya atau
terganggunya lingkungan disekitar tempat penakar hujan dipasang, maka
seolah-olah terjadi penyimpang terhadap trend (perubahan naik dan turun)
semula (Soemarto, 1999).
Pengecekan data dikerjakan dengan membuat kurva masa ganda.
Dalam pembuatan kurva masa ganda, data yang dibuat mendekati linier
sehingga data yang digunakan adalah data kumulatif dengan langkah
perhitungan sebagai berikut :
1. Menentukan satu stasiun utama sebagai stasiun dasar pengamatan.
2. Menentukan stasiun lainnya sebagai stasiun pembanding.
3. Menghitung kumulatif data curah hujan pada stasiun utama (d y).
4. Menghitung rata-rata data curah hujan dan kumulatif stasiun-stasiun
pembandingnya (dx).
5. Membuat grafik lengkung massa ganda dengan (dx) sebagai absis dan
(dy) sebagai ordinat.

15
6. Menentukan trend baru dan trend lama. Trend baru (M1) merupakan
data yang diasumsikan dalam garis lurus, sedangkan trend lama (M 2)
yaitu data yang diasumsikan tidak dalam garis lurus.
7. Menghitung nilai gradien dari trend baru dan trend lama
menggunakan rumus :
[(𝑛.𝑋𝑖.𝑌𝑖) −(𝑋𝑖.𝑌𝑖 )]
𝑚= [(𝑛.𝑋𝑖 2 )−(𝑋𝑖 )2 ]
……………….……...(2-5)

8. Menghitung faktor koreksi menggunakan rumus :


𝑚
𝑓 = 𝑚1 …………………………………………….(2-6)
2

9. Mengkoreksi data dengan cara mengalikan data yang diasumsikan


tidak dalam garis lurus dengan faktor koreksi lalu membuat grafik
datanya.
Keterangan :
m : Gradien
f : Faktor Koreksi

2.2.4 Uji Homogenitas


Satu proses penyiapan data hujan adalah menguji homogenitas data
dan mengkoreksi data yang tidak homogen agar memenuhi syarat
homogenitas.
Uji homogenitas dilakukan dengan meninjau apakah plot (N,T R’) pada
grafik homogenitas berada pada batas yang homogen.
N = jumlah data
𝑑10
TR’ = × ̅̅̅
𝑇𝑅 ...................................................................................(2-7)
𝑑̅

𝑑̅ = rata-rata curah hujan


̅̅̅
𝑇𝑅 = kala ulang untuk 𝑑̅
d10 = curah hujan rancangan dengan kala ulang 10 tahun
Perhitungan ̅̅̅
𝑇𝑅 dilakukan dengan menyusun persamaan curah hujan
rancangan dengan Distribusi Gumbel tipe I. Langkah-langkah pelaksanaan
uji homogenitas :

16
1. Hitung rata-rata data hujan (𝑥̅ )
2. Hitung standart deviasi data hujan (Sd)
∑(𝑋𝑖−𝑥̅ )2
𝑆𝑑 = √ ...................................................................................(2-8)
𝑛−1

3. Berdasarkan jumlah data (n) cari nilai Yn dan Sn (Tabel 2.3 dan Tabel
2.4)
4. Buat persamaan curah hujan rancangan
𝑆𝑑
drancangan = 𝑑̅ + (𝑌𝑡 − 𝑌𝑛 ). 𝑆𝑛 .........................................................(2-9)

dimana :
drancangan = curah hujan rancangan (mm/jam)
𝑑̅ = rata-rata data curah hujan (mm/jam)
𝑇𝑅 −1
𝑌𝑡 = −ln (−𝑙𝑛 ).........................................................(2-10)
𝑇𝑅

TR = kala ulang
Sd = standar deviasi
Sn = reduced standard deviation (besarnya berdasarkan n)
N = jumlah data
5. Dari persamaan tersebut hitung curah hujan rancangan dengan kala ulang
misal 10 tahun (d10)
TR = 10 → Yt = ? → d10 = ?
1
TR = −𝑌𝑡 .................................................................................(2-11)
1−𝑒 −𝑒

6. Dari persamaan tersebut hitung kala ulang curah hujan rata-rata (TR untuk
d).
7. Hitung TR’

17
Tabel 2.3 Reduce Mean (Yn)
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220

20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5309 0,5320 0,5332 0,5343 0,5353

30 0,5362 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5403 0,5410 0,5418 0,5424 0,5436

40 0,5436 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5463 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481

50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518

60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545

70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567

80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585

90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599

100 0,5600 0,5602 0,5603 0,5604 0,5606 0,5607 0,5608 0,5609 0,5610 0,5611

Sumber : Suripin, 2004

Tabel 2.4 Reduce Standard Deviation (Sn)


n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,9496 0,9676 0,9833 1,0095 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565

20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0864 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080

30 1,1112 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388

40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590

50 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734

60 1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844

70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930

80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001

90 1,2007 1,2013 1,2020 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2049 1,2055 1,2060

100 1,2065 1,2069 1,2073 1,2077 1,2081 1,2084 1,2087 1,2090 1,2093 1,2096

Sumber : Suripin, 2004

18
Gambar 2.14 Grafik Tes Homogenitas (Suripin, 2004)

2.2.5 Analisis Frekuensi Hujan


Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan
yang dilampui. Untuk menentukan jenis distribusi maka harus dihitung
terlebih dahulu koefisien kepencengan (Cs) dan koefisien kepuncakan
(Ck) apakah memenuhi atau tidak. Syarat nilai koefisien adalah seperti
tabel dibawah ini.
Tabel 2.5 Menunjukkan Syarat Pemilihan Distribusi atau Sebaran
No. Jenis Distribusi Syarat
Cs ≤ 1.1396
Ck ≤ 5.4002
2 Metode Log Pearson III Cs ≠ 0
Sumber : CD. Soemarto, 1999
𝑛.∑(𝑋𝑖−𝑋̅ )ᵌ
Cs = (𝑛−1)(𝑛−2).𝑆ᵌ …………………………………………(2-12)
𝑛².∑(𝑋𝑖−𝑋̅ )⁴
Ck = (𝑛−1)(𝑛−2)(𝑛−3).𝑆⁴ …………………………………..(2-13)

Di mana :
Cs = koefisien kepencengan
Ck = koefisien kepuncakan

19
Xi = data hujan ke-I (mm)
X = rerata data hujan (mm)
n = jumlah data
S = standar deviasi
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan
jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi yaitu
seperti distribusi Gumber Tipe I dan Log Person III (Suripin, 2004:34).
Berikut ini merupakan macam distribusi sebagai berikut :
1. Distribusi Gumber Tipe I
Langkah – langkah dari persamaan distribusi Gumber Tipe I
sebagai berikut :
(1) Kumpulkan data hujan minimal 10 tahun terakhir yang telah
melalui proses penyiapan dan urutkan data dari terbesar ke
terkecil.
(2) Hitung peluang dan kala ulang masing-masing data tiap tahun :
𝑚
𝑃 = 𝑛+1…..........................................................................(2-14)
1
𝑇𝑅 =
𝑃
(3) Hitung rata-rata dari data hujan :
 𝑋𝑖
𝑑̅ = 𝑛 …………….………………………………….(2-15)
(4) Hitung Standart Deviasi :

∑(𝑋𝑖−𝑋̅ )2
Sd =√
𝑛−1

(5) Berdasarkan jumlah data cari nilai Yn dan Sn (tabel 2.3 dan
tabel 2.4)
(6) Buat persamaan curah hujan rancangan :
𝑆𝑑
drancangan = 𝑑̅ + (𝑌𝑡 − 𝑌𝑛 ). 𝑆𝑛

(7) Tentukan kala ulang (TR) yang dikehendaki.

20
(8) Hitung Yt (Reduce variate) :
𝑇𝑅 − 1
𝑌𝑡 = −𝑙𝑛 (−𝑙𝑛. )
𝑇𝑅
(9) Masukkan nilai Yt ke persamaan pada langkah 6.
(10) Hitung drancangan
Keterangan :
P = Peluang
TR = Kala Ulang (tahun)
m = Data urutan ke-…
n = Jumlah selurah data
Xi = Besarnya nilai curah hujan maksimum per tahun (mm)
Yt = Reduce variate
Yn = Reduce mean deviasi berdasarkan sampel n (tabel 2.4)
Sn = Reduce standar deviasi berdasarkan sampel n (tabel 2.5)
Sd = Standar deviasi (mm)
𝑑̅ = Curah hujan rata – rata (mm)

2. Distribusi Log Pearson III


Persamaan distribusi ini hamper sama dengan persamaan Log
Normal, yaitu sama-sama mengkonversi ke dalam bentuk logaritma.
Berikut ini langkah-langkah penggunaan distribusi Log Pearson
tipe III (Suripin, 2004) :
(1) Ubah data ke dalam bentuk logaritma, X = log X
 log 𝑋𝑖
(2) Hitung rata-rata Log 𝑑̅ = 𝑛
.......................................(2-16)

(3) Hitung Standart Deviasi :

∑(𝑙𝑜𝑔𝑋𝑖−𝑙𝑜𝑔𝑋̅ )2
S log(d) =√ …………………………(2-17)
𝑛−1

(4) Buat persamaan log d :


Log drancangan = log d + G.S ……………………………..(2-18)
(5) Cari nilai G berdasarkan Cs dan TR.

21
Tabel 2.6 Nilai G untuk Distribusi Log Pearson Tipe III

Sumber : Soewarno, 1995

(6) Hitung nilai log d dan drancangan untuk TR yang dikehendaki.

2.2.6 Uji Kesesuaian Distribusi


Pengujian kesesuaian distribusi hujan terdapat 2 macam metode yang
digunakan, yaitu :
1. Uji Chi-Kuadrat
Uji Chi-Kuadrat bertujuan untuk menentukan apakah persamaan
distribusi peluang dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data
yang dianalisis. Pengambilan keputusan ini menggunakan parameter
X2 sehingga disebut dengan uji Chi- Kuadrat. Metode ini dapat
dihitung menggunakan persamaan (Agus dan Hanwar, 2011). Adapun
prosedur pengujian Chi-Kuadrat adalah sebagai berikut :
a. Tabelkan nilai dempiris, Ytempiris

22
b. Hitung nilai dteoritis dari nilai Ytempiris dengan persamaan Gumbel
yang telah dibuat (Yt = ..…. + ..... d)
c. Hitung nilai Chi-Square (x2)
x2hit=S(dempiris–dteoritis)2 / dteoritis
x2hit=S(Xempiris–Xteoritis)2 / Xteoritis…………………………….(2-19)
d. Tentukan nilai Chi-Square tabel (x2tab)
e. df=n-jumlah variabel-1 (jumlah variabel=2)
f. a tergantung keyakinan
g. Jika x2hit<x2tab  sesuai

Tabel 2.7 Nilai Kritis Untuk Distribusi Chi-Kuadrat


α Derajat kepercayaan
Dk
0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005
1 0,0000393 0,000157 0,000982 0,00393 3,841 5,024 6,635 7,879
2 0,0100 0,0201 0,0506 0,103 5,991 7,378 9,210 10,597
3 0,0717 0,115 0,216 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860
5 0,412 0,554 0,831 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750
6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548
7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16,013 18,475 20,278
8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20,090 21,955
9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19,023 21,666 23,589
10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,307 20,483 23,209 25,188
11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757
12 3,074 3,571 4,404 5,226 21,026 23,337 26,217 28,300
13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24,736 27,688 29,819
14 4,075 4,660 5,629 6,571 23,685 26,119 29,141 31,319
15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 27,488 30,578 32,801
16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28,845 32,000 34,267
17 5,697 6,408 7,564 8,672 27,587 30,191 33,409 35,718
18 6,265 7,015 8,231 9,390 28,869 31,526 34,805 37,156
19 6,844 7,633 8,907 10,117 30,144 32,852 36,191 38,582
20 7,343 8,260 9,591 10,851 31,410 34,170 37,566 39,997
21 8,034 8,897 10,283 11,591 32,671 35,479 38,932 41,401
22 8,643 9,542 10,982 12,338 33,924 36,781 40,289 42,796
23 9,260 10,196 11,689 13,091 36,172 38,076 41,683 44,181
24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39,364 42,980 45,558
25 10,52 11,524 13,120 14,611 37,652 40,646 44,314 46,928
26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41,923 45,642 48,290
27 11,808 12,879 14,573 16,151 40,113 43,194 46,963 49,645
28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44,337 48,278 50,993
29 13,121 14,256 16,047 17,708 42,557 45,722 49,588 52,336
30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,773 46,979 50,892 53,672
Sumber : Soewarno, 1995

23
2. Uji Smirnov-Kolmogorov
Pengujian Smirnov Kolmogorov dilakukan dengan membandingkan
nilai Δmaksimum yang merupakan selisih antara plot data dengan garis
teoritis pada kertas probabilitas. Nilai Δkritis tergantung dari jumlah
data(n) dan derajat kegagalan(α) (Fauziyah, 2013).
Prosedur pelaksanaan uji Smirnov-Kolmogorv adalah sebagai
berikut:
a. Tabelkan nilai dempiris (pengamatan hujan)
b. Hitung Pempiris, TRempiris, Ytempiris
c. Hitung Ytteoritis dari persamaan Gumbel yang telah dibuat untuk tiap
nilai dempiris (Yt = ..…. + ..... d)
d. Hitung nilai TRteoritis dari nilai Ytteoritis
e. Hitung nilai Pteoritis dari nilai TRteoritis
f. Hitung |∆P| = (100 - P empiris) – (100%-P teoritis) cari yang maksimal
g. Cari nilai Do (tabel) untuk n tertentu dan α tertentu (tergantung
nilai keyakinan, umunya α=0.05)
h. Jika DP<Do  sesuai

Tabel 2.8 Nilai Kritis Do Untuk Uji Smirnov-Kolmogorov


Derajat Kepercayaan (α)
N
0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
1,07 1,22 1,36 1,63
N>50
𝑁 0,5 𝑁 0,5 𝑁 0,5 𝑁 0,5
Sumber : Suripin, 2004

24
2.2.7 Waktu Konsentrasi (tc)
Waktu konsentrasi (tc) suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh
air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat
keluaran DAS (titik kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-
depresi kecil terpenuhi. Waktu konsetrasi dapat juga disebut sebagai lama
waktu pengaliran air di permukaan atau waktu drainase (Suripin,2004).
Berikut merupakan rumus yang digunakan untuk menentukan waktu
konsentrasi :
tc = t0 + td……………………………………………………….(2-20)
Nilai t0 dan td dirumuska sebagai berikut :
2 𝑛𝑑 0.167
t0 = ( 3 x 3.28 x L0 x ) ……………………………………(2-21)
√𝑠
𝐿𝑠
td = 60 . 𝑣………………………………………………………...(2-22)

Dimana :
tc = waktu konsentrasi (jam).
t0 = waktu terlama yang diperlukan oleh air hujan untuk mengalir di
atas permukaan tanah kesaluran terdekat (menit).
td = waktu yang diperlukan air hujan mengalir di dalam saluran
(menit).
L0 = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m).
nd = angka kekasaran manning.
s = kemiringan permukaan daerah pengaliran lahan.
Ls = panjang lintasan aliran di saluran (m).
V = kecepatan aliran pada saluran (m/detik).

25
Tabel 2.9 Koefisien hambatan (nd)
No Kondisi Lapis Permukaan Nd
1 Lapisan semen dan aspal beton 0,013
2 Permukaan licin dan kedap air 0,020
3 Permukaan licin dan kokoh 0,100
4 Tanah dengan rumput tipis 0,200
5 Padang rumput dan rerumputan 0,400
6 Hutan gundul 0,600
7 Hutan rimbun 0,800
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 2006

Tabel 2.10 Kecepatan Aliran Di Dalam Saluran


Jenis Bahan Saluran V (m/dt)
Tanpa Pasangan
Pasir halus 0,45
Lempung pasiran 0,50
Lanau alluvial 0,60
Kerikil halus 0,75
Lempung kokoh 0,75
Lempung padat 1,10
Kerikil kasar 1,20
Batu - batu besar 1,50
Dengan Pasangan
Pasangan batu 1,50
Beton 1,50
Beton bertulang 1,50
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 2006

2.2.8 Intensitas Curah Hujan


Intensitas curah hujan adalah laju curah hujan atau tinggi air persatuan
waktu pada saat terjadi hujan di suatu area dengan satuan mm/menit,
mm/jam, atau mm/hari.
Soemarto (1999) menjelaskan apabila tidak ada waktu untuk
mengamati besarnya intensitas curah hujan atau karena tidak adanya alat

26
untuk mengamati, maka dapat ditempuh dengan cara empiris rumus
sebagai berikut :
2
𝑅24 24 3
𝐼= ( ) ………………………………………………….(2-23)
24 𝑡
Dimana :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam)
R24 = curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)

2.2.9 Debit Banjir Rancangan


Debit banjir rancangan adalah besarnya debit banjir kala ulang tertentu
yang ditetapkan sebagai dasar penentuan kapasitas dan dimensi bangunan
hidraulik, hal ini bertujuan agar kerusakan yang dapat ditimbulkan baik
langsung maupun tidak langsung oleh banjir tidak terjadi selama besaran
banjir belum terlampaui.
Rumus Rasional adalah metode yang paling sederhana dalam
memperhitungkan debit banjir rancangan. Perhitungan ini menggunakan
rumus sebagai berikut (Suripin, 2004) :
𝑄 = 0,002778. 𝐶. 𝐼. 𝐴 .........................................................................(2-24)
Dimana :
Q = debit puncak banjir (m3/detik)
C = Koefisien limpasan/pengaliran
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Luas daerah (ha)

27
Tabel 2.11 Harga Koefisien Pengaliran
Deskripsi Lahan/ karakter permukaan Koefisien Limpasan C
Business
perkotaan 0,70 – 0,95
pinggiran 0,50 – 0,70
Perumahan
Rumah tinggal 0,30 – 0,50
Multiunit, terpisah 0,40 – 0,60
Multiunit, tergabung 0,60 – 0,75
Perkampungan 0,25 – 0,40
Apartemen 0,50 – 0,70
Industri
Ringan 0,50 – 0,80
Berat 0,60 – 0,90
Perkerasan
Aspal dan beton 0,70 – 0,65
Batu Batu bata, paving 0,50 – 0,70
Atap 0,75 – 0,95
Halaman, tanah berpasir
Datar 2% 0,05 – 0,10
Rata-rata 2-7% 0,10 – 0,15
Curam, 7% 0,15 – 0,20
Halaman, tanah berat
Datar 2% 0,13 – 0,17
Rata-rata 2-7% 0,18 – 0,22
Curam, 7% 0,25 – 0,35
Halaman kereta api 0,10 – 0,35
Taman tempat bermain 0,20 – 0,35
Taman, perkuburan 0,10 – 0,25
Hutan
Datar, 0-5% 0,10 – 0,40
Bergelombang 5-10% 0,25 – 0,50
Berbukit, 10-30% 0,30 – 0,60
Sumber : Suripin, 2004

2.2.10 Debit Air Limbah


Debit air limbah adalah debit yang berasal dari buangan penduduk
seperti mandi, urinoir, dan lain-lain, baik dari lingkungan rumah tinggal,
bangunan umum atau instansi, bangunan komersil dan sebagainya.

28
Kuantitasnya air limbah dapat diasumsikan adalah 50%-70% dari rata-
rata pemakaian air bersih (120-140 liter/orang/hari). Secara detail
karakteristik limbah cair dapat dilihat di table 2.13 dibawah ini:
Dengan demikian debit air limbah yang dibuang tiap saluran :
Q = Pn.W……………………………………………………………..(2-25)
Dimana :
Pn = jumlah penduduk
W = debit buangan perorang (lt/org/dt)
Tabel 2.12 Pembuangan Limbah Cair Rata-Rata Per Orang Setiap Hari
Volume
Jenis Bangunan Limbah Cair
(liter/orang/hari)
Daerah Perumahan
- Rumah besar untuk keluarga tunggal 400
- Rumah tipe tertentu untuk keluarga tunggal 300
- Rumah untuk keluarga ganda (rumah susun) 240 – 300
- Rumah kecil (cottage) 200
Perkemahan dan motel
- Tempat peristirahatan mewah 400 – 600
- Tempat parkir rumah berjalan (mobile home) 200
- Kemah wisata dan tempat parkir trailer 140
- Hotel dan motel 200
Sekolah
- Sekolah dengan asrama 300
- Sekolah siang hari dengan kafetaria 80
- Sekolah siang hari tanpa kafetaria 60
Restoran
- Tiap pegawai 120
- Tiap langganan 25 – 40
- Tiap makanan yang disajikan 15
Terminal transportasi:
- Tiap pegawai 60
- Tiap penumpang 20
Rumah sakit 600 – 1200
Kantor 60
Teater mobil(drive in theatre), per tempat duduk 20
Bioskop, per tempat duduk 10 – 20
Pabrik, tidak termasuk limbah cair industry dan 60 – 120
cafeteria
Sumber : Soeparman dan Suparmin, 2001

29
2.3 Analisa Hidrolika
Bentuk-bentuk saluran untuk drainase tidak terlampau jauh berbeda
dengan saluran irigasi pada umumnya. Dalam perencanaan dimensi saluran
harus diusahakan dapat memperoleh dimensi yang ekonomis. Dari segi
pandang hidrolika maka penampang saluran yang memiliki keliling basah
terkecil akan memiliki hantaran maksimum, penampang ini disebut
penampang hidrolis terbaik (Chow, 1985).
2.3.1 Dimensi saluran
Dalam perencanaan dimensi saluran harus di usahakan dapat membentuk
dimensi yang ekonomis. Dimensi saluran yang terlalu besar berarti tidak
ekonomis, sebaliknya dimensi yang terlalu kecil akan menimbulkan
permasalahan karena daya tamping yang tidak memadai. Inilah bentuk-
bentuk saluran drainase yang dapat digunakan dalam perencanaan.
1. Persegi Panjang

Gambar 2.15 Saluran Bentuk Persegi Panjang (Ven Te Chow, 1989)

Luas penampang : A = b . h…………………………………….(2-26)


Keliling basah : P = b + 2h………………………………….(2-27)
𝐴
P = + 2h

𝐴
Radius Hidrolis : 𝑅 = ……………………………………….(2-28)
𝑃

30
2. Lingkaran

Gambar 2.16 Saluran Bentuk Lingkaran

Luas (A) = ……...(2-29)

Keliling Basah ( P ) = ……………………………(2-30)

R = A / P……………………………….,(2-31)
2.3.2 Kecepatan Aliran Seragam
Untuk merencanakan dimensi penampang pada saluran drainase
digunakan rumus aliran seragam. Bentuk penampang saluran drainase
dapat berupa saluran terbuka atau tertutup tergantung pada kondisi
daerahnya. Rumus kecepatan rata-rata pada perhitungan dimensi
penampang saluran menggunakan rumus Manning, karena rumus ini
mempunyai bentuk yang sederhana. Oleh karena itu, rumus ini luas
penggunaannya sebagai rumus aliran seragam dalam kapasitas saluran.
Untuk menghitung saluran dapat dihitung dengan menggunakan
rumus Manning, sebagai berikut :
2 1
1
𝑉 = 𝑛 𝑥𝑅3 𝑥𝑆 2 ………………………………………………………...(2-32)

Dengan :
R= jari – jari hidraulik (m)
n= koefisien Manning (Tabel 2.13)
s = kemiringan dasar satu saluran arah memanjang
Untuk mendapat dimensi saluran dapat menggunakan rumus sebagai
berikut:
Q = A x V…………………………………………………………….(2-33)

31
1 2 1
𝑄 = 𝐴𝑥 𝑥𝑅3 𝑥𝑆 2
𝑛
Dengan :
Q= debit saluran (m3/dtk)
A= luas penampang saluran yang dipakai (m2)
V= rumus kecepatan aliran menurut Manning (m/s)
Tabel 2.13 Nilai Koefisien Kekasaran Manning untuk Saluran
No Tipe Saluran Min. Normal Maks.
Gorong-gorong tertutup terisi
A
sebagian
Gorong-gorong, lurus dan bebas
1 0.010 0.011 0.013
kikisan
Gorong-gorong dengan
2 lengkungan, sambungan dan 0.011 0.013 0.014
sedikit kikisan
3 Beton dipoles 0.011 0.012 0.014
Saluran pembuang dengan bak
4 control, mulut pemasukan dan 0.013 0.015 0.017
lain lain, lurus
B Saluran, dilapisi atau dipoles
A Semen
1 Acian 0.010 0.011 0.013
2 Adukan 0.011 0.013 0.015
B Beton
1 Dipoles dengan sendok kayu 0.011 0.013 0.015
2 Dipoles sedikit 0.013 0.015 0.016
3 Dipoles 0.015 0.017 0.020
4 Tidak dipoles 0.014 0.017 0.020
Adukan semprot, penampang
5 0.016 0.019 0.023
rata
Adukan semprot, penampang
6 0.018 0.022 0.025
bergelombang
7 Pada galian batu yang teratur 0.017 0.020
8 Pada galian batu yang tak teratur 0.022 0.027
C Bata
1 Diglasir 0.011 0.013 0.015
2 Dalam adukan semen 0.012 0.015 0.018
D Pasangan batu
1 Batu pecah disemen 0.017 0.025 0.030
2 Batu kosong 0.023 0.032 0.035
Sumber : Chow, 1985

32
2.3.3 Kecepatan Maksimum dan Minimum Yang Diizinkan
Kecepatan maksimum adalah kecepatan rata- rata terbesar yang tidak
akan menimbulkan erosi pada tubuh saluran. Kecepatan ini sangat tidak
menentukan dan hanya dapat ditetapkan berdasarkan pngalaman dan
penyimpulan. Nilai kecepatan izin tergantung dari jenis bahan pembentuk
saluran :
1. Kecepatan maksimum
Pasangan batu : 2 m/dtk
Pasangan beton : 3 m/dtk
2. Kecepatan minimum : 0,2 – 0,6 m/dtk

2.3.4 Jenis Aliran


Aliran dikatakan kritis apabila kecepatan aliran sama dengan
kecepatan gelombang gravitasi dengan amplitude kecil. Gelombang
gravitasi dapat dibangkitkan dengan merubah kedalaman. Jika kecepatan
aliran lebih kecil dari pada kecepatan kritis (Fr = 1), maka aliran disebut
subkritis (Fr < 1), sedangkan jika kecepatan alirannya lebih besar dari
kecepatan kritis, maka alirannya disebut superkritis (Fr > 1).
Parameter yang menentukan jenis aliran tersebut adalah bilangan
Froude (Fr). Bilangan Froude untuk saluran deidefinisikan sebagai
(Suripin, 2004) :
𝑣
𝐹𝑟 = ……………………………..……………………………(2-34)
√𝑔𝑥ℎ

Keterangan:
v = kecepatan aliran (m/dtk)
h = kedalaman aliran (m)
g = percepatan gravitasi (9.8 m/dtk3)

2.3.5 Tinggi Jagaan (Fb)


Tinggi jagaan suatu saluran adalah jarak vertical dari puncak saluran
ke permukaan air pada kondisi rencana. Jarak ini harus cukup untuk

33
mencegah gelombang atau kenaikan muka air yang melimpah ke tepi.
Jagaan sangat penting terutama dalam perencanaan talang air yang
dipertinggi, sebab bagian bawah talang dapat terancam oleh limpasan
(Chow, 1985)
Tinggi jagaan untuk saluran drainase jalan bentuk trapesium dan segi
empat ditentukan berdasarkan rumus :
Fb = 1/ 3 x h……………………………………………………..(2-35)
Dimana :
Fb = tinggi jagaan (m)
h = kedalaman air yang tergenang dalam saluran (m)

Gambar 2.17 Tinggi Jagaan Saluran (Ven Te Chow, 1989)

Tabel 2.14 Tinggi Jagaan (fb)


Debit (m3/detik) Tanah (m) Pasangan (m)

< 0,5 0,40 0,20

0,5 – 1,5 0,50 0,20

1,5 – 5,0 0,60 0,25

5,0 – 10,0 0,75 0,30

10,0 – 15,0 0,85 0,40

> 15,0 1,00 0,50

Sumber : Anggrahimi, 1997

34
2.3.6 Bangunan Pelengkap
Jenis bangunan pelengkap drainase antara lain :
1. Gorong-gorong
Gorong-gorong adalah saluran tertutup yang biasanya pendek
untuk mengalirkan air melewati jalan raya, kereta api, atau timbunan
lainnya. Bentuk penampang melintangnya adalah bulat, persegi, oval,
tapak kuda dan segitiga.

Gambar 2.18 Gorong-gorong


2. Bangunan terjun
Bangunan terjun dibangun untuk mengatasi kemiringan medan
yang terlalu curam, sementara kemiringa yang dibutuhkan oleh
saluran tergolong landai.

Gambar 2.19 Tinggi Jagaan Saluran


3. Inlet
Bukaan/lubang di sisi-sisi jalan yang berfungsi untuk menampung
dan menyalurkan limpasan air hujan yang berada sepanjang jalan
menuju ke saluran.

35
Gambar 2.20 Inlet

4. Man hole
Merupakan salah satu bangunan pelengkap sistem penyaluran air
buagan yang berfungsi sebagai tempat memeriksa, memprebaiki, dan
membersihkan saluran dari kotoran yang mengendap dan benda-benda
yang tersangkut selama pengaliran, serta memperteukan beberapa
lubang salran, baik dengaan ketinggian sama maupun berbeda.

Gambar 2.21 Man hole

2.4 Operasional dan Pemeliharaan Drainase Perkotaan


Untuk dapat memperoleh hasil yang optimal sebelum pelaksanaan
kegiatan operasi dan pemeliharaan diperlukan kegiatan perencanaan
pemrogram dan analisis biaya.

2.4.1 Operasional Saluran


Prinsip utama operasional saluran adalah untuk mengalirkan air
permukaan dari suatu kawasan ke titik pelepasan (out-fall) sedapat

36
mungkin ditahan dulu dalam saluran.Klasifikasi sistim saluran yang terdiri
dari:
a. Saluran terbuka, dengan jenis penampang trapesium, bujur sangkar,
segitiga, setengah lingkaran.
b. Saluran tertutup berbentuk bulat (pipa) atau bujur sangkar (box culvert)
Sistem atau tata saluran direncanakan sebagai satu kesatuan pola
penanganan drainase perkotaan yang dimulai dari inlet saluran (drain inlet)
hingga ke titik pelepasan (out-fall). Saluran direncanakan dengan dimensi
tertentu untuk dapat menampung beban drainase permukaan atau kawasan,
hingga luas penampang bawah yang diperlukan harus tetap dipertahankan.

2.4.2 Pemeliharaan
Pemeliharaan sistim drainase perkotaan mencakup bentuk
pemeliharaan dan perbaikan yang dilakukan untuk menjaga tetap
berfungsinya sistim drainase yang ada. Untuk itu diperlukankegiatan atau
langkah tindak yang bertujuan untuk mengatasi masalah yang terjadi pada
prasarana dan sarana drainase. Langkah-langkah yang harus dilakukan :
1. Pengenalan setiap bagian prasarana dan sarana sistim drainase.
2. Inspeksi dan dokumentasi terhadap prasarana dan sarana sebagai
masukan dalam pelaksanaan kegiatan perbaikan dan pemeliharaan
yang terdiri informasi atas:
a. Panjang dan dimensi saluran
b. Potongan melintang saluran
c. Kondisi gorong-gorong
d. Kondisi drain inlet, pintu air out-fall
e. Debit dan kondisi pompa
f. Dan lain-lain.
3. Berdasarkan dokumentasi yang dibuat lebih lanjut disusun program
pemeliharaan dan perbaikan

37
4. Untuk mengontrol dan mengendalikan program yang disusun
dilakukan supervisi pelaksanaan program sekaligus sebagai wadah
memperbaiki dokumentasi prasarana dan sarana yang ada.
Adapun kategori pemilihan pemeliharaan sistem drainase :
1. Pemeliharaan rutin
Pemeliharaan rutin yaitu bentuk kegiatan pemeliharaan yang
dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun dibawah koordinasi
penanggung jawab sistim drainase.
2. Pemeliharaan berkala
Pemeliharaan berkala, mencakup urutan:
a. Penaganan pengerukan lumpur/sedimen di saluran,
b. Normalisasi penampang saluran,
c. Pemeliharaan berkala pintu air dan bangunan
d. Perbaikan kantor dan perumahan
e. Pergantian peralatan dan suku cadang alat mekanis
f. Pekerjaan tertunda tahun sebelumnya
3. Pemeliharaan darurat terbatas
Pemeliharaan darurat terbatas pada perbaikan sementara saluran
maupun bangunan pelengkap yang mendesak untuk ditangani karena
secara fisik dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan
berkaitan dengan:
a. Tidak berfungsinya sistim secara optimal
b. Membahayakan bagi jiwa manusia, harta benda serta prasarana-
sarana perkotaan lainnya

2.5 Rencana Anggara Biaya (RAB)


Yang dimaksud dengan Rencana Anggaran Biaya suatu bangunan atau
proyek adalah perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan
dan upah, serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan
Bangunan atau Proyek tersebut.

38
Anggaran Biaya merupakan harga dari bangunan yang dihitung dengan
teliti, cermat dan memenuhi syarat. Anggaran Biaya pada bangunan yang
sama akan berbeda-beda di masing-masing daerah, disebabkan karena
perbedaan harga bahan dan upah tenaga kerja.
Dalam menyusun Anggaran Biaya dapat dilakukan dengan menggunakan
rumus umum sebagai berikut:
RAB =∑ (Volume x Harga satuan pekerjaan)………………………...(2-36)

2.5.1 Volume Pekerjaan


Menurut Bachtiar (2012) yang dimaksud dengan volume suatu
pekerjaan, ialah menghitung jumlah banyaknya volume pekerjaan dalam
satu satuan. Volume dihitung berdasarkan pada gambar bestek. Volume
juga disebut sebagai kubikasi pekerjaan. Jadi volume (kubikasi) suatu
pekerjaan, bukanlah merupakan volume (isi sesungguhnya), melainkan
jumlah volume bagian pekerjaan dalam satu kesatuan.

2.5.2 Harga Satuan Pekerjaan


Menurut Bachtiar (1993) Harga Satuan Pekerjaan adalah jumlah harga
bahan dan upah tenaga kerja berdasarkan perhitungan analis. Harga satuan
juga dapat diartikan biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu
satuan pekerjaan yang meliputi harga material, upah tenaga kerja, dan
sewa alat. Harga satuan bahan, upah tenaga kerja, dan sewa alat di setiap
daerah berbeda-beda. Jadi dalam menghitung dan menyusun anggaran
biaya suatu proyek bangunan, harus berpedoman pada harga bahan dan
tenaga kerja di pasaran dan lokasi pekerjaan. Dibawah ini diberikan skema
Harga Satuan Pekerjaan.

39
Gambar 2.22 Skema Harga Satuan Pekerjaan (Bachtiar Ibrahim,
2012)
Dalam skema diatas dijelaskan bahwa untuk mendapatkan harga
satuan pekerjaan maka harga satuan bahan, harga satuan tenaga, dan harga
satuan alat harus diketahui terlebih dahulu yang kemudian dikalikan
dengan koefisien yang telah ditentukan sehingga akan didapatkan
perumusan sebagai berikut :
Upah : harga satuan upah x koefisien (analisa upah)…………….....(2-37)
Bahan : harga satuan bahan x koefisien (analisa bahan) ……………(2-38)
Alat : harga satuan alat x koefisien (analisa alat) …………………(2-39)
maka didapat :
Harga Satuan Pekerjaan = Upah + Bahan + Peralatan…………….(2-40)
2.5.3 Analisa Bahan dan Upah
1. Analisa Bahan
Yang dimaksud dengan analisa bahan suatu pekerjaan, ialah
menghitung banyaknya/volume masing-masing bahan, serta besarnya
biaya yang dibutuhkan.
2. Analisa Upah
Yang dimaksud dengan analisa upah suatu pekerjaan ialah,
menghitung banyaknya tenaga yang diperlukan, serta besarnya biaya
yang dibutuhkan untuk pekerejaan tersebut.

40
2.5.4 Rekapitulasi Analisa Biaya
Setelah mendapat nilai harga satuan pekerjaan dan volume masing-
masing pekerjaan, kita dapat menghitung biaya setiap item pekerjaan.
Setelah mendapatkan biaya semua pekerjaan, maka hasilnya akan direkap
dalam suatu tabel dan dijumlah seluruhnya, maka akan didapatkan nilai
real bangunan atau Real of Cost (Bachtiar, 2012).

41

Anda mungkin juga menyukai