Anda di halaman 1dari 39

MATERI 1

A. PENGERTIAN SEJARAH ISLAM


yang dimaksud dengan sejarah islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar
terjadi,yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama islam dalam berbagai
aspek.dalam kaitan ini ,maka muncullah berbagai istilah yang sering digunakan untuk sejarah
ini,diantaranya sejarah islam,[2] sejarah peradaban islam,[3]sejarah dan kebudayaan Islam.

B. RUANG LINGKUP SEJARAH ISLAM

Ruang lingkup sejarah islam dilihat dari segi periodesasinya,dapat dibagi menjadi periode
klasik,periode pertengahan,dan periode modern.periode klasik yang berlangsung sejak tahun 650-
1250 masehi ini dapat dibagi masa kemajuan islam1,yaitu dari sejak tahun 650-1000;dan masa
disintegrasi yaitu dari tahun 1000-1250.[5]pada masa kemajuan islam 1 itu tercatat sejarah perjuangan
nabi Muhammad Saw.dari tahun 570-632 M.,khulafaur rasyidin [6] dari tahun 632-661 M,bani
umayah dari tahun 661-750 M,bani Abbas dari tahun 750-1250M.
Selanjutnya periode pertengahan yang berlangsung dari tahun 1 250-1800 M.dapat dibagikedalam
dua masa,yaitu masa kemunduran 1 dan masa tiga kerajaaan besar.masa kemuduran 1 berlangsung
sejak tahun 1250-1500M. Dizaman ini,jeniskhan dan keturunan nya membawa penghancuran kedunia
islam.sedangkan masa tiga kerajaan besar yang berlangsung daritahun 1500-1800 dapat dibagi
menjadi fase kemajuan (1500-1700 M),dan masa kemunduran II (1700-1500).
Adapun periode modern yang berlangsung dari tahun 1800 M.sampai sekarang masih dtandai
dengan zaman kebangkitan islam [7].
Secara keseluruhan ,berbagai peristiwa yang terjadi dalam sejarah islam dapat diketahui dalam
beberapa periode tersebut. Pembagian periode sasi sejarah islam demikian pemting diketahui untuk
lebih mudah dipaham.
Selanjutnya , dilihat dari segi isinya sejarah islam dapat dibagi kedalam sejarah mengenai
kemajuan dan kemundurannya dalam berbagai bidang seperti dalam bidang
politik,pemerintahan,ekonomi,kebudayaan,ilmu pengetahuan ,dengan berbagai faham dan aliran yang
ada di dalam nya,dan lain sebagainya; sejarah mengenai penyebarannya keberbagai belahan dunia ,
tokoh-toko yang mngembangkannnya. Pembagian sejarah demikian penting diketahui untuk
menempatkan posisi studi kita,yaitu pada bidang mana yang akan kita tekuni.

MATERI II

2.1. Arab Sebelum Islam

Mekkah adalah sebuah kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri
Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. kota ini di lalui oleh jalur perdagangan
yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syria di utara. Dengan adanya Ka’bah di
tengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka
berziarah di dalamnya terdapat 360 berhala mengelilingi berhala utama Hubal. Agama dan
masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan
luas satu juta mil persegi. Sebagian besar daerah jazirah adalah padang pasir sahara yang
terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat berbeda-beda.[1]
Ka’bah pada masa sebelum Islam sudah menjadi tempat yang di sucikan dan banyak
dikunjungi oleh penganut-penganut agama asli Mekkah dan orang-orang yahudi yang
bermukim di sekitarnya. Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota itu,
didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa
yaitu Jurhum (sebagai pemegan kekuasaan politik) dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim).
Kekuasaan politik kemudia berpindah ke suku khuza’ah dan akhirnya ke suku quraisy di
bawah pimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudia mengatur urusan-urusan politik
dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Ka’bah.

Bila di lihat dari asal usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat di bagi menjadi dua
golongan besar yaitu Qahthaniyun (keturunan qahthan) dan Adnaniyun(keturunan Islam Ibn
Ibrahim). Masyarakat, baik yang nomadik maupun yang menetap hidup dalam budaya
kesukuan Badui. Beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Peperangan antar clan sering
terjadi, sikap ini telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. Dalam
masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti
ini masih terus berlangsung sampai agama Islam lahir.

Akibat peperangan yang terus menerus kebudayaan mereka tidak berkembang kerena itu
bahan-bahan sejarah Arab pra Islam sangat langkah di dapatkan di dunia Arab. Ahmad
syalabi menyebutkan, sejarah Arab hanya dapat di ketahui dari masa kira-kira 150 tahun
menjelang lahirnya agama islam.[2] Kehidupan social bangsa Arab pada masa itu hanya
terkenal dengan adanya syair-syair Arab. Syair adalah salah satu seni yang paling indah yang
sangat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa Arab. Seorang penyair mempunyai kedudukan
yang sangat tinggi dalam masyarakat bangsa Arab. Salah satu pengaruh syair pada bangsa
Arab ialah bahwa syair itu dapat meninggikan derajat seseorang yang tadinya hina atau
sebaliknya dapat menghina-hinakan orang yang tadinya mulia.[3]

Berkembangnya budaya di daerah Arab menjelang kebangkitan Islam berasal dari pengaruh
budaya bangsa-bangsa di sekitarnya yang lebih awal maju dari pada kebudayaan dan
peradaban Arab. Pengaruh tersebu masuk ke jazirah Arab melalui beberapa jalur di antaranya
ialah melalui hubungan dagang dengan bangsa lain, melalui kerajaan-kerajaan Protektorat,
Hirah dan Ghassan dan melalui masuknya misi yahudi dan Kristen.

Walaupun agama yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan
masih menganut agama asli mereka yaiu percaya kepada dewa yang diwujudkan dalam
bentuk berhala dan patung.5 Bangsa Arab memiliki karakteristik tersendiri lugas polos keras
bagaimana tercermin dari masyarakat primitive dan perawan. Akan tetapi mereka memiliki
kelebihan terutama dalam hal berperang, persaudaraan (suku), Bahkan dalam bahasa dan
kesusastraan, sehingga mereka di kenal dengan bangsa yang memiliki hafalan yang kuat.
Oleh al-qur’an mereka di sebut sebagai bangsa yang ummi.[4]

2.2. Riwayat Hidup Nabi Muhammad Saw

2.1. Sebelum Masa Kerasulan (Kelahiran Nabi Muhammad)


Secara esensial, kehadiran Nabi Muhammad pada masyarakat Arab adalah terjadinya
kristalisasi pengalaman baru pada dimensi ketuhanan yang mempengaruhi segalah aspek
kehidupan masyarakat, termaksut hukum-hukum yang digunakan pada masa itu .
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam memenagkan kepercayaan bangsa arab pada
waktu yang relative singkat kemampuannya dalam memodifikasi jalan hidup orang-orang
Arab. Sebagian dari nilai budaya Arab pra-Islam, untuk beberapa hal di ubah dan di teruskan
oleh masyarakat Muhammad dalam tantanan moral Islam.

Nabi Muhammad dilahirkan pada tahun Gajah, tahun dimana ketika pasukan Gajah Abraham
menyerang Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah. Namun pasukan Abraham mengalami
kehancuran. Peristiwa itu kira-kira terjadi pada tahun 570 M (12 Rabiul Awal). Nabi
Muhammad di percayakan oleh Halimah dari suku Banu Sa’ad untuk diasuh dan di besarkan.
Asuhan Halimah hingga sampai nabi berusia 6 tahun. Pada usia 6 tahun, Nabi Muhammad
telah kehilangan kedua orang tuanya. Setelah Aminah ibu Nabi meninggal, Abdul Muthalib
kakek Nabi mengambil tanggung jawab merawat Nabi. Namun dua tahun kemudia Abdul
Muthalib meninggal dunia karena rentan. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada paman
Nabi, Abu Thalib. Sang paman sangat di segani dan di hormati di kalangan oarng quraisy dan
penduduk Mekah secara keseluruhan, tetapi dia miskin. Dalam usia mudah, Nabi
Muhammad hidup sebagai pengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah
dan kambing penduduk Mekah. Melalui kegiatan pengembala ini Nabi menemukan tempat
untuk berpikir dan merenung. Kegiatan ini membuatnya jauh dari segalah nafsu duniawi,
sehingga dia terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya. Oleh karena
itu sejak mudah Nabi sudah dijuluki al-amin (orang yang terpercaya ).[5]

Bukan hanya di juluki sebagai al-amin nabi juga adalah seorang yang bijaksana. Peristiwa
penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Nabi Muhammad terjadi pada usianya yang ke
35 tahun. Waktu itu bangunan ka’bah rusak berat. Perbaikan ka’bah di lakukan secara gotong
royong. Para penduduk Mekkah membantu perkerjaan itu dengan suka rela. Tetapi pada saat
terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad di tempatnya
semula, timbul perselisihan. Setiap suku merasa berhak melakukan tugas terakhir dan
terhormat itu. Perselisihan semakin memuncak namun, akhirnya para pemimpin quraisy
sepakat bahwa orang yang pertama masuk Ka’bah melalui pintu Shafa akan di jadikan hakim
untuk memutuskan perkara ini, ternyata orang yang pertama masuk adalah Nabi Muhammad.
Ia pun akhirnya di percaya menjadi hakim. Ia lantas membentangkan kain dan meletakkan
hajar aswad di tengah-tegah, lalu meminta kepada seluruh kepala suku memegang tepi kain
dan mengangkatnya bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian tertentu, Nabi
Muhammad kemudian meletakan batu itu pada tempat semula. Dengan demikian perselisihan
dapat di selesaikan dengan bijaksana dan semua kepala suku merasa puas dengan cara
penyelesaian seperti itu.[6]

Pada usia baru beranjak 12 tahun Nabi Muhammad melakukan perjalanan (usaha) untuk
pertama kali dalam khalifah dagang ke siria (syam). Khafilah itu di pimpin oleh Abu Thalib.
Dalam perjalanan ini di Bushra sebelah Selatan Siria ia bertemu dengan pendeta Kristen
bernama Buhairah. Pendeta ini melihat tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad sesuai denga
pentunjuk cerita-cerita Kristen.

Ketika Nabi Muhammada berusia 25 tahun, ia berangkat ke Siria membawa barang dagangan
seorang saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah. Dalam perdagangan
ini, Nabi Muhammad memperoleh laba yang sangat besar. Khadijah kemudian melamar
Nabi, ketika itu Nabi Muhammad berusia 25 tahun dan khadijah 40 tahun . Khadijah adalah
wanita pertama yang masuk Islam dan banyak membantu Nabi dalam perjuangan menyebar
Islam. Perkawinan Nabi dengan khadijah dikaruniai enam orang anak dua putra dan empat
orang putri ialah: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kulsum dan Fatimah. Dua
putranya meninggal waktu kecil. Nabi Muhammad tidak menikah lagi sampai Khadijah
meninggal ketika Nabi Muhammad berusia 50 tahun.[7]

2..2. Masa Kerasulan

Beberapa kilometer di Utara Mekkah, pada tanggal 17 ramadhan 611 M, Di Gua Hira
malaikat Jibril muncul di hadapan Nabi Muhammad untuk menyampaikan wahyu Allah yang
pertama. Pada usia Nabi yang menjelang 40 tahun itu Allah telah memilih Muhammad
sebagai Nabi. Pada wahyu kedua Nabi di perintahkan untuk menyeru manusia kepada satu
agama.[8]

1. .Fase Mekkah

Fanatisme bangsa quraisy terhadap agama nenek moyang telah membuat Islam sulit
berkembang di Mekkah walaupun Nabi Muhammad sendiri berasal dari suku yang sama.
Secara umum pada periode Mekkah, kebijakan dakwa yang dilakukan Nabi Muhammad
adalah dengan menonjolkan kepemimpinannya bukan kenabiannya. Implikasinya, dakwa
dengan stategi politik yang memunculkan aspek-aspek keteladanannya dalam menyelesaikan
berbagai persoalan social(egalitarisme) lebih tepat di bandingkan oleh aspek kenabiannya
dengan melaksanakan tabligh.[9] Ada dua cara dakwa Rasulullah saw ialah :

1. Dakwa Secara Diam-Diam

Dengan turunnya perintah itu mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau


melakukannya secara diam- diam di lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya.
Karena itulah, orang pertama kali yang menerima dakwanya adalah keluarga dan sahabat.
Seorang demi seorang diajak agar mau meninggalkan agama berhala dan hanya mau
menyembah Allah yang Maha Esa. Usaha yang dilakukan itu berhasil. Orang-orang yang
mula-mula beriman adalah:

1. Istri beliau sendiri, Khadijah


2. Kalangan pemuda, Ali Ibn Abi Thalib dan Zaid Ibn Harits.
3. Dari kalangan budak, Bilal.
4. Orang tua/tokoh masyarakat, Abu Bakar Al-Shiddiq.[10]

Setelah Abu bakar masuk islam, banyak orang-orang yang mengikuti untuk masuk agama
islam. Orang-orang ini tekenal dengan julukan Al-Sabiqun al-Awwalun, orang yang
terdahulu masuk islam, seperti: Utsman Ibn Affan, Zubair Ibn awwam, Talhah Ibn
Ubaidillah, Fatimah binti khathab, Arqam Ibn Abd. Al-Arqam, dan lain-lain. Mereka itu
mendapat agama islam langsung dari Rasulullah sendiri. [11]

2. Dakwa Secara Terbuka

Setelah beberapa lama berdakwa secara individual turunlah perintah agar Nabi menjalankan
dakwa secara terbuka dan langkah berikutnya ialah berdakwa secara umum. Nabi mulai
menyeru segenap lapisan masyarakat kepada islam secara terang-terangan. Setelah dakwa
terang-teranggan itu, pemimpin quraisy mulai berusaha menghalangi dakwa Rasul. Semakin
bertambahnya jumlah pengingkut Nabi semakin keras tantangan yang di lancarkan kaum
quraisy. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang-orang quraisy
menentang seruan Islam ialah:

1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dengan kekuasaan.


2. Nabi muhammmad menyeruh kepada hak bangsawan dengan hambah sahaya.
3. Para quraisy tidak dapat menerima ajara tentang kebangkita kembali dan pembalasan
di akhirat
4. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa arab
5. Pemhat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.

Banyak cara yang ditempuh para pemimpin quraisy untuk mencegah dakwa Nabi
Muhammad dari cara diplomatik di sertai bujuk rayu hingga tindakan kekerasan di lancarkan
untuk menghentikan dakwa Nabi. Namun Nabi Muhammad tetap pada pendirian untuk
menyiarkan agama islam.

b.Fase Madinah

Pada lain pihak situasi Madinah sangat menggembirakan madinah adalah sebuah oasis
pertanian . Sebagaimana Mekkah, Madinah juga dihuni oleh beberapa clan dan tidak oleh
sebuah kesukuaan yang tunggal, Madinah adalah perkampungan yang diributkan oleh
permusuhan yang sangat sengit dan anarkis antara kelompok kesukuaan terpandang –suku
aws dan khazraj. Permusuhan yang berkepanjangan mengancam rakyat kecil dan mendukung
timbulnya permasalahan eksistensi. Berbeda dengan masyarakat badui warga Madinah telah
hidup saling bertentangga dan tidak berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain.

Madinah juga senantiasa mengalami perubahan social yang meninggalkan bentuk


kemasyarakatan absolute model badui. Kehidupan social Madinah secarah berangsur- angsur
di warnai oleh unsur kedekatan ruang dari pada kedekatan kekerabatan. Madinah juga
memiliki sejumlah warga yahudi yang mana sebagian besar penduduknya lebih simpatik
terhadap monotheisme.[12]
Penduduk Yatsrib (Madinah) sebelum Islam terdiri dari dua suku bangsa yaitu Arab dan
yahudi yang keduanya ini saling bermusuhan. Karena kegiatan dagang di Yatsrib dikuasai
atau berada di bawah kekuasaan yahudi. Waktu permusuhan dan kebencian antara kaum
yahudi dan Arab semakin tajam, kaum yahudi melakukan siasat memecah belah dengan
melakukan intrik dan menyebarkan permusuhan dan kebencian diantara suku Aus dan
Khazraj. Siasat ini berhasil dengan baik, dan mereka merebut kembali posisi kuat terutama
dibidang ekonomi. Bahkan siasat yahudi itu mendorong suku khazraj bersekutu dengan bani
qainuqah (yahudi), sedangkan suku aus bersekutu dengan bani quraizah dan bani nadir.
Klimaks dari permusuhan dua suku tersebut adalah perang Bu’as pada tahun 618 M seusai
perang baik kaum aus maupun khazraj menyadari, akibat dari permusuhan mereka, sehingga
mereka berdamai.

Setelah kedua suku berdamai dan suku khazraj pergi ke Makkah, dan setelah di Makkah Nabi
Muhammad SAW menemui rombongan mereka pada sebuah kemah. Beliau memperkenalkan
islam dan mengajak mereka agar bertauhid kepada Allah SWT karena sebelumnya mereka
telah mendengar ajaran taurat dari kaum yahudi dan mereka tidak merasa asing lagi dengan
ajaran Nabi maka mereka menyatakan masuk islam dan berjanji akan mengajak penduduk
Yastrib masuk islam. Setibanya di Yatsrib meraka bercerita kepada penduduk tentang Nabi
Muhammad SAW, dan agama yang dibawanya serta mengajak mereka masuk islam. Sejak
itu nama Nabi dan Islam menjadi bahan pembicaraan masyarakat Arab di Yatsrib.

Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, ada suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah
islam. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yatsrib (Madinah) yang berhaji ke
Mekkah. Mereka yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khajraj. Gejala-gejala kemenangan di
Yatsrib (Madinah) telah di depan mata Nabi menyuruh para sahabatnya untuk berpindah ke
sana. Dalam waktu dua bulan hampir semua kaum muslimin kurang lebih 150 orang, telah
meninggalkan kota makkah untuk mencari perlindungan kepada kaum muslimin yang baru
masuk di Yatsrib.

Kaum Quraisy sangat terperanjat sekali setelah mereka mengetahui bahwa Nabi mengadakan
perjanjian dengan kaum Yatsrib sehingga mereka khawatir kalau-kalau Muhammad dapat
bergabung dengan pengikut-pengikutnya di Madinah dan dapat membuat markas yang kuat
di sana. Kalau demikian terjadi, maka soalnya bukan hanya mengenai soal agama semata-
mata, tetapi juga menyinggung soal ekonomi yang mungkin saja mengakibatkan kehancuran
perniagaan dan kerobohan rumah tangga mereka karena kota Yatsrib terletak pada lin
perniagaan mereka antara Mekah dengan Syam.

Bila penduduk Yatsrib bermusuhan dengan mereka maka perniagaan mereka dapat saja
mengalami keruntuhan. Oleh karena itu salah satu jalan yang harus mereka tempuh ialah
melakukan sesuatu tindakan yang menentukan agar dapat menumpas “keadaan buruk ini”
yang akan mendatangkan bencana bagi agama dan pintu-pintu rizki mereka.

Setelah melihat dampak yang sangat besar yang dapat merugikan ekonomi dan perniagaan
mereka maka mereka melakukan sidang untuk permasalahan tindakan apa yang harus mereka
lakukan. Setelah melakukan persidangan akhirnya jalan satu-satunya ialah dengan membunuh
Muhammad, tetapi bagaimana membunuhnya?. Kaum keluarga Muhammad tentu tidak akan
diam begitu saja mereka tentu saja akan membunuh pula siapa yang membunuh Muhammad.

Akhirnya Abu Jahal menemukan ide yang paling aman yaitu: masing-masing kabilah harus
memilih seorang pemuda yang akan membunuh bersama-sama. Dengan demikian seluruh
kabilah bertanggung jawab atas kematian Muhammad dan Bani Abu Manaf tidak mampu
menuntut bela terhadap seluruh kabilah. Akirnya Bani Abu Manaf akan menerima saja
pembayaran yang dibayarkan oleh seluruh kabilah kepada mereka.

Nabi memberitahukan akan hal ini kepada Abu Bakar, dan Abu Bakar meminta kepada Nabi,
supaya diizinkan menemani beliau dalam perjalanan ke Yatsrib. Nabi setuju, dan Abu Bakar
mempersiapkan untuk perjalanannya. Kemudian Nabi menyuruh Ali bin Abi Thalib
menempati tempat tidur beliau, supaya kaum musyrikin mengira bahwa beliau masih tidur.
Kepada Ali diperintahkan juga, supaya mengembalikan barang-barang yang ditumpangkan
kepada beliau, kepada pemiliknya masing-masing. Ketika Nabi dan Abu Bakar keluar dari
rumah, Nabi menserakkan pasir ke hadapan para kafir qurais dengan berkata: “Alangkah
kejinya mukamu” seketika kafir Quraisy tak sadarkan diri dan mereka tidak mengetahui
bahwa Nabi dan Abu Bakar telah keluar rumah.

Nabi Muhammad meninggalkan rumahnya pada malam 27 Shafar tahun ke-14 dari kenabian
atau 12 September 622 M. Peristiwa hijrah Rasulullah Saw dari Mekkah ke Madinah
merupakan kehendak dan perintah Allah Swt dengan tujuan agar penyebaran agama islam
yang dilakukan oleh Rasulullah Saw menjadi lebih pesat lagi. Selama 13 tahun Rasulullah
berdakwa ajaran Islam di mekkah, Nabi Muhammad telah banyak mengalami pertentangan
dan permusuhan. Namun Madinah merupakan kota yang penduduknya lebih mudah
menerima ajaran Rasulullah dari pada penduduk Mekkah. Masyarakat Madinah menyambut
kedatangan Nabi Muhammmad dengan suka cita, orang-orang Madinah berbondong-bondong
memeluk Islam.Oleh karena itu islam lebih cepat berkembang di madinah.[13]

1).Pembentukan Sistem Sosial Kemasyarakatan

Peradaban atau kebudayaan pada masa Rasulullah SAW. Yang paling dahsyat adalah
perubahan social. Suatu perubahan mendasar dari masa kebobrokan moral menuju moralitas
yang beradab. Dalam tulisan Ahmad Al-Husairy, diuraikan bahwa peradaban pada masa Nabi
dilandasi dengan asas-asas yang diciptakan sendiri oleh Muhammad di bawah bimbingan
wahyu. Diantaranya sebagai berikut.

1. Pembangunan Masjid Nabawi

Dikisahkan bahwa unta tunggangan Rasulullah berhenti disuatu tempat maka Rasulullah
memerintahkan agar di tempat itu dibangun sebuah masjid. Rasulullah ikut serta dalam
pembangunan masjid tersebut. Beliau mengangkat dan memindahkan batu-batu masjid itu
dengan tangannya sendiri. Saat itu, kiblat dihadapkan ke Baitul Maqdis. Tiang masjid terbuat
dari batang kurma, sedangkan atapnya dibuat dari pelepah daun kurma. Adapun kamar-kamar
istri beliau dibuat di samping masjid. Tatkala pembangunan selesai, Rasulullah memasuki
pernikahan dengan Aisyah pada bulan Syawal. Sejak saat itulah, Yastrib dikenal dengan
Madinatur Rasul atau Madinah Al-Munawwarah. Kaum muslimin melakukan berbagai
aktivitasnya di dalam masjid ini, baik beribadah, belajar, memutuskan perkara mereka,
berjual beli maupun perayaan-perayaan. Tempat ini menjadi factor yang mempersatukan
mereka.

1. Persaudaraan antara Kaum Muhajirin dan Anshar.

Dalam Negara islam yang baru dibangun itu, Nabi meletakan dasar-dasarnya untuk menata
kehidupan sosial dan politik. Dikukuhkannya ikatan persaudaraan (Ukhwah Islamiyah) antara
golongan Anshar dan Muhajirin, dan mempersatukan suku Aus dan Khazraj yang telah lama
bermusuhan dan bersaing.

Ikatan persaudaraan Anshar dan Muhajirin melebihi ikatan persaudaraan karena pertalian
darah, sebab ikatannya berdasar iman. Terbukti apa yang dimiliki Anshar disediakan penuh
untuk saudaranya Muhajirin. Rasulullah mempersaudarakan di antara kaum muslimin.
Mereka kemudian membagikan rumah yang mereka miliki, bahkan juga istri-istri dan harta
mereka. Persaudaraan ini terjadi lebih kuat daripada hanya persaudaraan yang berdasarkan
keturunan. Dengan persaudaraan ini, Rasulullah telah menciptakan sebuah kesatuan yang
berdasarkan agama sebagai pengganti dari persatuan yang berdasarkan kabilah.

1. Kesepakatan untuk Saling Membantu antara Kaum Muslimin dan non Muslimin

Di Madinah, ada tiga golongan manusia, yaitu kaum muslimin, orang-orang arab, serta kaum
non muslim, dan orang-orang yahudi (Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’).
Rasulullah melakukan satu kesepakatan dengan mereka untuk terjaminnya sebuah keamanan
dan kedamaian. Juga untuk melahirkan sebuah suasana saling membantu dan toleransi
diantara golongan tersebut.

1. Peletakan Asas-asas Politik, Ekonomi, dan Sosial

Islam adalah agama dan sudah sepantasnya jika di dalam Negara diletakkan dasar-dasar Islam
maka turunlah ayat-ayat Al-Quran pada periode ini untuk membangun legalitas dari sisi-sisi
tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah dengan perkataan dan tindakannya. Hidupla
kota Madinah dalam sebuah kehidupan yang mulia dan penuh dengan nilai-nilai utama.
Terjadi sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solidaritas yang erat diantara anggota
masyarakatnya. Dengan demikian berarti bahwa inilah masyarakat Islam pertama yang
dibangun Rasulullah dengan asas-asasnya yang abadi.

Secara sistematik proses peradaban yang dilakukan oleh Nabi pada masyarakat Islam di
Yatsrib menjadi Madinah (Madinat Ar-Rasul, Madinah An-Nabi, atau Madinah Al-
Munawwarah). Perubahan nama yang bukan terjadi secara kebetulan, tetapi perubahan nama
yang menggambarkan cita-cita Nabi Muhammad Saw, yaitu membentuk sebuah masyarakat
yang tertib dan maju dan berperadaban. kedua, membangun masjid. Masjid bukan hanya
dijadikan pusat kegiatan ritual shalat saja, tetapi juga menjadi sarana penting untuk
mempersatukan kaum muslimin dengan musyawarah dalam merundingkan masalah-masalah
yang dihadapi. Disamping itu, masjid juga menjadi pusat kegiatan pemerintahan; ketiga Nabi
Muhammad Saw membentuk kegiatan Mu’akhat (persaudaraan), yaitu mempersaudarakan
kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Yatsrib) dengan Anshar (orang-
orang yang menerima dan membantu kepindahan Muhajirin di Yatsrib). Persaudaraan
diharapkan dapat mengikat kaum muslimin dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan. Nabi
Muhammad Saw membentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan seagama,
disamping bentuk persaudaraan yang sudah ada sebelumnya, yaitu bentuk persaudaraan
berdasarkan darah; keempat, membentuk persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak
beragama Islam; dan kelima Nabi Muhammad Saw membentuk pasukan tentara untuk
mengantisipasi gangguna-gangguan yang dilakukan oleh musuh.[14]

2).Bidang Politik

Selanjutnya, Nabi Saw. Merumuskan piagam yang berlaku bagi seluruh pendudukan Yatsrib,
baik orang muslim maupun non muslim (Yahudi). Piagam inilah yang oleh Ibnu Hasyim
disebut sebagai Undang-undang Dasar Negara Islam (Daulah Islamiyah) yang pertama.

1. Setiap kelompok mempunyai pribadi keagamaan dan politik. Adalah hak kelompok,
menghukum orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang
patuh.
2. Kebebasan beragama terjamin buat semua warga Negara.

Adalah kewajiban penduduk madinah, baik kaum muslimin maupun bangsa Yahudi, untuk
saling membantu, baik secara moril atau materil. Semuanya dengan bahu membahu harus
menangkis setiap serangan terhadap kota Madinah.[15]

Rasulullah adalah kepala Negara bagi penduduk Madinah. Kepada Beliaulah segala perkara
dibawa dan segala perselisihan yang besar diselesaikan. Munawir Syadzali ( Mantan Menteri
Agama RI) menyebutkan bahwa dasar-dasar kenegaraan yang terdapat dalam piagam
Madinah adalah: pertama, Umat Islam merupakan satu komunitas (ummat) meskipun berasal
dari suku yang beragam; dan kedua, hubungan antara sesama anggota komunitas Islam, dan
antara anggota komunitas islam dengan komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-
prinsip: (a) bertetangga baik, (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, (c)
membela mereka yang dianiaya, (d) saling menasehati, dan (e) menghormati kebebasan
beragama.[16]

Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Selain tiga dasar di atas,
langkah awal yang ditempuh Rasullullah setelah resmi mengendalikan Madinah adalah
membangun kesatuan internal dengan mempersaudarakan orang muhajirin dan anshar.
Langkah ini dilakukan sejak awal untuk menghindari terulangnya konflik lama diantara
mereka. Dengan cara ini, akan menutup munculnya ancaman yang akan merusak persatuan
dan kesatuan dalam tubuh umat islam. Langkah politik ini sangat tepat untuk meredam efek
keratakan sosial yang ditimbulkan oleh berbagai manuver orang-orang yahudi dan orang-
orang munafik (hipokrif) yang berupaya menyulut api permusuhan antara Aus dan Khazraj,
antara Muhajirin dan Ansar.

Setelah itu Rasulullah juga berupaya menyatukan visi para pengikut Nabi dalam rangka
pembentukan sistem politik baru dan mempersekutukan seluruh masyarakat Madinah,
sementara itu agar bangunan kerukunan menjadi lebih kuat, Rasulullah membuat konvensi
dengan orang-orang yahudi. Dalam konteks ini tampak kepiawaian Nabi dalam membangun
sebuah sisem yang mengantisipasi masa depan. Di Madinah, Nabi bersama semua elemen
pendudukk Madinah berhasil membentuk structur religio politics atau ”Negara Madinah”.

Untuk mengatur roda pemerintahan, semua elemen masyarakat Madinah secara bersama
menandatangani sebuah dokumen yang menggariskan ketentuan hidup bersama yang
kemudian lebih dikenal sebagai konstitusi atau Piagam Madinah. Piagam Madinah
merupakan bentuk piagam pertama yang tertulis secara resmi dalam sejarah dunia. Sebagai
gambaran awal, Piagam Madinah adalah undang-undang untuk mengatur sistem politik dan
sosial masyarakat pada waktu itu. Rasulullah yang memperkenalkan konsep itu.

Sejarah mencatat, Islam telah mengenal sistem kehidupan masyarakat majemuk.


Kebhinnekaan,Yakni melalui Piagam ini. Ketika itu, umat Islam memulai hidup bernegara
setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib, yang berubah nama menjadi Madinah. Di
Madinah, Nabi SAW meletakkan dasar kehidupan yang kuat bagi pembentukan masyarakat
baru di bawah kepemimpinan beliau. Masyarakat baru ini adalah masyarakat majemuk,
asalnya dari 3 golongan penduduk.

1. Kaum Muslim; Muhajirin&Anshar. Mereka adalah kelompok mayoritas.


2. Kaum Musyrik, orang2 yang berasal dari suku Aus & Khazraj yang belum masuk
Islam. Kelompok ini golongan minoritas.
3. Ketiga adalah kaum Yahudi.

Setelah 2 tahun hijrah, Rasulullah mengumumkan aturan dan hubungan antara kelompok
masyarakat yang hidup di Madinah. Melalui Piagam Madinah, Rasulullah SAW ingin
memperkenalkan konsep negara ideal yang diwarnai dengan wawasan
transparansi,partisipasi. Melalui Piagam Madinah ini, Rasulullah SAW juga berupaya
menjelaskan konsep kebebasan. Dan tanggung jawab sosial-politik secara bersama. Karena
itu, istilah civil society yang dikenal sekarang itu erat kaitanny dengan sejarah kehidupan
Rasulullah di Madinah. Dari istilah itu, juga punya makna ideal dalam proses berbangsa &
bernegara. Tercipta masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis.[17]

3.1. Tujuan Dakwa Rasulullah Saw

3.1. Membentuk Kepribadian Islam


Terbentuknya pribadi-pribadi islam yang kompeten, kredibel, terpercaya dan berakhlak mulia
merupakan pondasi awal dari tugas beliau sebagai Nabi utusan Allah. Keperibadian islam ini
di sebut juga syakhiyyah Rabbaniyyah atau qur’an yang berjalan. Karena ayat-ayat Al-
Qur’an tersebut menjelma dalam kehidupan nyata. Bukan hanya dalam bentuk doktrin dan
nilai-nilai yang tertulis, di hafalkan dan kemudian dijadikan sebagai dzikir harian semata.

Manusia Rabbani tersebut paling tidak memiliki 10 ciri utama ialah : saliimul akidah
(akidahnya selamat), shahiihul ‘ibadah(ibadahnya benar), matiinul khuluq(mulia akhlaknya),
qawiyyul jism (kuat dan sehat fisiknya), mutsaqqaful fikri(memiliki wawasan yang luas),
jihadun lii nafsi(berjihat terhadap dirinya dari kejahatan hawa nafsu), harisun ‘alaa
waqtihaa(mampu menjagah dan mengelolah waktu), qadirum ‘alal kasbi (mampu berdiri di
atas kaki sendiri),husnu lii syu’unihi (bagus urusannya), dan anfa’u linnaas (bermanfaat bagi
orang lain).

3.2. Membentuk Keluarga Islam

Keluarga islam adalah keluarga yang anggotanya terdiri dari manusia-manusia Rabbani.
Keluarga ini dapat di bentuk dari hasil perkawinan antara pemudah dan pemudi Rabbani atau
dari keluarga yang sudah ada untuk dibina secara terus menerus dan berkesinambungan untuk
terbentuknya keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah. Keluarga sakinah adalah
keluarga yang senang dan bahagia di tengah-tengah anggota keluarga.

3.3. Membentuk Masyarakat Islam

Masyarakat islam adalah masyarakat yang mencintai nilai-nilai Al-Qur’an dan sunnah
sehingga tegak di mungka bumi. Mereka menjauhi kemusyrikan, menegakkan shalat,
membayar zakat, puasa di bulan ramadhan, berhaji bagi yang mampu dan masyarakat yang
sibuk dengan kebajikan dan perbuatan baik yang diridhai Allah.

3.4. Membentuk Khilafah Islamiyyah

Khilafah memiliki dua makna yaitu sebagai pemakmur bumi dan sebagai penguasa di muka
bumi berdasarkan syari’at islam. Islam sebagai sistem akidah, syariah dan akhlak , tak akan
tegak tanpa adanya kekuasaan atau seorang khalifah. Karena itulah agar islam tegak
Rasulullah perlu memiliki basis keuasaan dan kenegaraan. Maka beliau berhijrah ke
Madinah untuk menyelamatkan agama dan umatnya sekaligus merealisasikan huku Islam.

3.5. Menjadi Guru Dunia

Islam adalah agama untuk seluruh semesta alam dalam arti selua-luasnya. Bukan hanya
dalam masalah akidah dan ibadah tetapi juga dalam mengurus dan memakmurkan bumi.
Islam memimpin dan menjadi guru dunia, guru peradaban yang penuh keindahan, dan
kegelimangan kasih saying. Sebagaimana sejarah islam telah membuktikannya pada dunia
hingga berabad- abad lamanya. Eropa dan Barat menjadi maju dan gemilang dalam ilmu
penegetahuan dan teknologi hari ini, tiada lain karena pengaruh peradaban dan kebudayaan
islam melalui pintu eropa yaitu Andalusia (Spanyol). Dari sinilah kemudian peradaban islam
mempengaruhi dunia Barat.[18]

MATERI III

“Khilafah” atau ”khalifah” adalah berasal dari kata kerja “khalf” yang artinya
menggantikan atau berada dibelakang sesuatu. Khilafah adalah pemimipin yang di angkat
sesudah nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas bliau sebagai
pemimpin agama dan tugas pemerintahan.[ii] Seperti yang kita telah ketahui bahwa nabi
Muhammad saw tidak pernah menunjuk seorang khalifah sebagai pengganti beliau. Yang ada
hanyalah perintah nabi kepada Abu Bakar untuk menjadi imam dalam sholat sewaktu nabi
sakit menjelang wafat.
Peristiwa ini, sebagian besar umat muslim mengartikan bahwa perintah nabi itu sebagai
ibrah, karena hal ini otomatis akan memecah umat Islam menjadi golongan-golongan namun
betapapun alotnya pertemuan asgifah telah berhasil mengangkat Abu Bakar sebagai khilafah.
Hal ini jelas menyatakan bahwasannya Abu Bakar diangkat menjadi khalifah berdasarkan
musyawarah. Sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah ini di sebut sebagai sistem
khilafah yang adil dan benar “atau” al-khiulafah ar-rasydah dan khalifahnya disebut
kahulafa-ur rasyidin diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Abu Bakar
Abu Bakar As-Sidiq adalah orang yang paling awal memeluk agama Islam
(assabiqunal awwalun), sahabat Rasullullah Saw., dan juga khalifah pertama yang dibaiat
(ditunjuk) oleh umat Islam. Beliau lahir bersamaan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad
Saw. pada 572 Masehi di Mekah, berasal dari keturunan Bani Taim, suku Quraisy. Nama
aslinya adalah Abdullah ibni Abi Quhaafah.[iii]
Berdasarkan beberapa sejarawan Islam, ia adalah seorang pedagang, hakim dengan
kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang bisa
menafsirkan mimpi. Abu Bakar termasuk dalam golongan orang yang memeluk Islam dalam
periode awal dan juga berhasil mengajak penduduk mekkah dan kaum Quraish lainnya
mengikutinya (memeluk Islam).
Abu Bakar berarti ‘ayah si gadis’, yaitu ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW.
Gelar As-Sidiq (yang dipercaya) diberikan Nabi Muhammad SAW sehingga ia lebih dikenal
dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq. Sebagaimana orang-orang yang pertama masuk Islam,
cobaan yang diderita Abu Bakar As-Sidiq cukup banyak. Namun ia senantiasa tetap setia
menemani Nabi dan bersama beliau menjadi satu-satunya teman hijrah ke Madinah.
Beliau menjadi khalifah dalam jangka waktu 2 tahun. Abu Bakar meninggal pada
tanggal 23 Agustus 634 di Madinah. Beliau dimakamkan di samping makam Rasullullah
Saw. Selanjutnya posisi khalifah digantikan oleh Umar bin Khatab.
2. Umar bin Khattab
Umar bin Khtttab adalah salah seorang sahabat nabi dan khalifah kedua setelah
wafatnya Abu Bakar As-Sidiq. Jasa dan pengaruhnya terhadap penyebaran Islam sangat besar
hingga Michael H. Heart menempatkannya sebagai orang paling berpengaruh nomor 51
sedunia sepanjang masa.[iv] Beliau lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu rumpun suku
Quraisy dengan nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza. Keluarga Umar
tergolong keluarga kelas menengah, Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia
menjadi juara gulat di Mekkah.[v]
Wataknya yang keras membuatnya mendapat julukan “Singa Padang Pasir”. Ia juga
amat keras dalam membela agama tradisional bangsa Arab. Bahkan putrinya dikubur hidup-
hidup demi menjaga kehormatan Umar. Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan
untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim
(Nu’aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga
telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya.
Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an
(surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat
saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan
tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur’an tersebut
dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan
penampilan para penguasa di jaman itu, ia tetap hidup sebagaimana saat para pemeluk Islam
masih miskin dan dianiaya Umar syahid setelah ditikam oleh Abu Lukluk, seorang budak asal
Persia yang dendam atas kekalahan Persia terhadap Islam pada suatu subuh saat Umar sedang
mengerjakan shalat. Umar meninggal pada 25 Dzulhijjah 23 H dan selanjutnya digantikan
oleh Utsman bin Affan.
3. Usman bin Affan
Utsman bin Affan adalah sahabat nabi dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur
Rasyidin. Beliau dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal namun sangat
dermawan. Ia mendapat julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan
ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasullah Saw yaitu
Ruqayah dan Ummu Kaltsum.[vi]
Usman bin Affan lahir pada 574 Masehi dari golongan Bani Umayyah. Nama ibu
beliau adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. Beliau masuk Islam atas ajakan Abu Bakar dan
termasuk golongan Assabiqunal Awwalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam).[vii]
Rasulullah Saw sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur
dan rendah hati diantara kaum muslimin.
Beliau mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya; membuat bangunan khusus
untuk mahkamah dan mengadili perkara yang sebelumnya dilakukan di masjid; membangun
pertanian, menaklukan Syiria, Afrika Utara, Persia, Khurasan, Palestina, Siprus, Rodhes, dan
juga membentuk angkatan laut yang kuat. Jasanya yang paling besar adalah saat
mengeluarkan kebijakan untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf.
Utsman akhirnya wafat sebagai syahid pada hari Jumat tanggal 17 Dzulhijah 35 H
ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman saat sedang
membaca Al-Quran.[viii] Persis seperti apa yang disampaikan Rasullullah Saw perihal
kematian Utsman yang syahid nantinya. Beliau dimakamkan di kuburan Baqi di Madinah.
4. Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah Saw. Di kisahkan bahwa pada saat
ibunya, Fatimah hinti Asad, dalam keadaan hamil, beliau masih ikut bertawaf disekitar
Ka'bah. Karena keletihan yang dialaminya lalu si ibu tadi duduk di depan pintu Ka'bah seraya
memohon kepada Tuhannya agar memberinya kekuatan. Tiba-tiba tembok Ka'bah tersebut
bergetar dan terbukalah dindingnya.[ix]
Seketika itu pula Fatimah bin Asad masuk ke dalamnya dan terlahirlah di sana seorang
bayi mungil yang kelak kemudian menjadi manusia besar, Ali bin Abi Thalib Sejak masa
kecilnya beliau telah menolong Rasulullah Saw dan terpaksa harus menggunakan kepalan
tangannya dalam mengusir anak-anak kecil serta para gelandangan yang diperintah kaum
kafir Qurays untuk mengganggu dan melempari batu kepada diri Rasulullah Saw.
Dalam merealisasikan usahanya, beliau menghadapi banyak tantangan dan peperangan.
Salah satunya, perang Jamal dekat Bashrah antara beliau dengan Talhah dan Zubair yang
didukung oleh Mua'wiyah, yang mana di dalamnya Aisyah "Ummul Mukminin" ikut keluar
untuk memerangi Ali bin Abi Thalib. Akhirnya pasukan Ali berhasil memenangkan
peperangan itu sementara Aisyah "Ummul Mu'rninin" dipulangkan secara terhormat
kerumahnya.
Kemudian terjadi "perang Siffin" yaitu peperangan antara beliau melawan kelompok
Mu'awiyah, sebagai kelompok oposisi untuk kepentingan pribadi. Peperangan itu terjadi di
perbatasan Iraq dan Syiria dan berlangsung selama setengah tahun. Beliau juga memerangi
Khawarij (orang yang keluar dan lingkup Islam) di Nahrawan, yang dikenal dengan nama
"perang Nahrawan".
Akhirnya, menjelang subuh, 19 Ramadhan 40 H, ketika sedang salat di masjid Kufah,
kepala beliau ditebas dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam. Menjelang
wafatnya, pria sejati ini masih sempat memberi makan kepada pembunuhnya. Singa Allah,
yang dilahirkan di rumah Allah "Ka'bah" dan dibunuh di rumah Allah "Mesjid Kufah".
Masa Transisi
Khalifah yang pertama adalah Abu Bakar. Yang di angkat melalui pertemuan sagifah
yang berlangsung dengan begitu alot. Karena sifat orang arab yang individual, atau nasionalis
kesukuan. Begitu Abu Bakar naik sebagai khalifah,terjadilah pembelotan dari suku-suku arab
tersebut terhadap Islam kecuali yang tidak menyatakan pembelotan pada saat itu adalah
Mekkah dan Madinah.
Secara umum memang al-qur’an sudah menetapkan tiga dasar pemerintahan Islam
yaitu: “ keadilan, musyawarah, dan kepatuhan terhadap ulil amri. Baik disukai ataupun tidak
disukai oleh orang mukmin, kecuali ulil amri tersebut memerintahkan kedurhakaan terhadap
allah. Maka ia tidak boleh didengarkan dan dipatuhi. Berdasarkan tiga dasar pemerintahan
Islam yang terdapat dalam al-qur’an tersebut. Maka diadakan pertemuan sagifah, yaitu
musyawarah tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah pengganti rasulullah, sebagai
mana yang di ajukan oleh Umar.
Karena sifat orang arab yang memiliki solidaritas internal yang kokoh di satu sisi, dan
disisi lain ganas terhadap suku atau khalifah lain sehingga pertemuan sagifah berlangsung
begitu alotnya. Masing-masing suku menginginkan khalifah dari kaumnya sendiri. Hingga
timbul argumen,”dari kaummu ada khalifah dari kaumku juga ada khalifah”.[x] Namun
argumen ini langsung dipatahkan oleh masing-masing kelompok.
Tantangan dan Konstelasi Politik
Problem besar yang dihadapi Abu Bakar adalah munculnya nabi-nabi palsu, munculnya
kelompok ingkar zakat, serta munculnya kaum-kaum murtad. Namun karena keiklasan dan
kejujuranya Abu Bakar mampu memimpin masa transisi ini selama 2 tahun. Kekuasan yang
dijalankan pada masa ini sebagaimana pemerintahan pada masa Rasulullah yakni bersifat
sentral. Kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan khafilah. Selain
menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian,
seperti juga halnya nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya
bermusyawarah.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya telah dekat, ia bermusyawarah dengan para
pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk
mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan Islam. Abu
Bakar meninggal, sementara pasukan barisan depan Islam sedang mengancam Palestina, Irak
dan kerajaan Hirani. Ia digantikan oleh tangan kanannya sendiri yaitu Umar.
Pada masa Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi di
ibu kota Syria Damaskus.[xi] Jatuh tahun 635 m. Pada masa pemerintahan Umar, wilayah
kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria sebagian wilayah Persia dan
Mesir karena begitu cepatnya perluasan Islam .untuk memudahkan dalam mengatur
administrasi, maka Umar membagi daerah kekuasan Islam menjadi 8 propinsi yaitu: Makkah,
Madinah, Syria, Basrah, Kafah, Palestina dan Mesir.
Pada massa Umar mulai diatur sistem pembayaran gaji dan pajak tanah pengadilan
didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dan eksekutif untuk menjaga
keamanan dan ketertiban jabatan kepolisian dibentuk demikian pula jabatan pekerjaan umum
pada massa Umar sistem pemerintahan sudah di bagi menurut bidangnya masing masing,
tidak seperti pada massa Abu Bakar dan Rasulullah sendiri semua bidang sudah ada pengurus
masing masing
Pada masa Umar juga dikenal dengan adanya pajak orang yaitu: orang pendatang yang
bukan dari daerah Islam dan bukan orang Islam dikenakan pajak. Untuk memperkuat pasukan
pedang Islam. Umar mendatangkan ahli pedang yang di kenal dengan Abu-Lu’luah, yaitu
seorang budak dari Persia. Oleh karena itu Abu Lu’luah tidak menganut agama Islam maka
Abu Lu’luah ini di kenai pajak orang yakni di harus menbayar pajak kepada negara.
Umar juga mendirikan bait al-maal sebagian tempat menyimpan harta negara selain itu
Umar juga menempa mata uang dan menciptakan tahun hijriyah. Umar memerintah selama
sepuluh tahun (13-23 h / 643 / 644 m) sebelum Umar meninggal dia membentuk panitia yang
beranggotakan 6 orang sahabat dan meminta salah seorang diantara mereka untuk menjadi
khalifah.[xii]
Ketika Umar wafat, tim bermusyawarah dan berhasil mengangkat Ustman sebagai
khalifah, melalui persaingan yang amat ketat dengan Ali. Di massa pemerintahan ustman (
644-655 ) Armania Tunisia Cypous Rhodes dan bagian yang tersisa dari Persia dan
Tranoxania dan Tabanistan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berakhir disini. Pada
masa ustman terjadi diskriminasi kesukuan dimana seluruh jabatan di bagikan pada kaumnya
sendiri yakni Bani Umayyah dan mengkhususkan mereka gaji yang besar, yang diambilkan
dari bait al maal.
Ustman dibunuh di rumahnya sendiri dan setelah Ustman meninggal terjadilah
kekosongan kepemimpinan dalam sejarah Islam, untuk mencegah kemungkinan-
kemungkinan yang bisa terjadi, akhirnya umat Islam beramai-ramai mengangkat Ali sebagai
khalifah menggantikan Ustman, pada saat itu tidak ada seorang pun selain dia, baik dikota
madinah maupun diseluruh dunia Islam .
Seorang yang dapat dipercaya oleh kaum muslimin seluruhnya. Suatu yang pertama
kali dilakukan Ali adalah memecat Mu’awiyah dari jabatannya di Syam dan mengangkat
sumbol hunauf sebagai penggantinya.[xiii] Kaum umayah menuntut agar Ali menghukum
pembunuh Ustman. akan tetapi Ali tidak melakukan itu, sehingga Mu’awiyah melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah Ali.
Diujung pemerintahan Ali, Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu
mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali) dan khawarij (orang yang keluar dari kelompok Ali). Ali
meninggal dan digantikan anaknya Hasan, sementara kaum Mu’awiyah semakin kuat dan
Hasan tidak sekuat Ali. Hingga akhirnya Hasan mengadakan perundingan damai, dan umat
Islam dikuasai oleh mu’awiyah. Dengan begitu berakhirlah sistem pemerintahan
khulafaurrasyidin berganti dengan sustem kerajaan yang dipimpin oleh Mu’awiyah.
Ikhtitam
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah dipilih berdasarkan
musyawarah. Problem besar yang dihadapi Abu Bakar ialah munculnya nabi palsu dan
kelompok ingkar zakat serta munculnya kamum murtad Musailimah bin kazzab yang
mengakibatkan terjadinya perang Yamamah. Pasukan Islam dipimpin Khalid bin Walid
berusaha menumpas kaum ingkar zakat tersebut hingga mengakibatkan banyak sahabat yang
gugur termasuk 70 penghafal Al-Qur’an. Perang tersebut terjadi pada tahun 12 H.
Umar membagi daerah kekuasaan Islam menjadi 8 propinsi yaitu: Makkah, Madinah,
Syiria, Basrah, Kofah, Palestina, dan Mesir. Umar membentuk panitia yang beranggotakan 6
orang sahabat dan meminta salah satu diantaranya menjadi khalifah setelah Umar wafat.
Panitia berhasil mengangkat Utsman menjadi khalifah. Pada masa pemerintahan utsman
wilayah Islam meluas sampai ke Tripoli barat, Armenia dan Azar Baijan hingga banyak
penghafal Al-Qur’an yang tersebar dan tarjadi perbedaan dialek, yang menyebabkan masalah
serius.
Utsman membentuk tim untuk menyalin Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa
Abu Bakar, tim ini menghasilkan 4 mushaf Al-Qur’an dan Utsman memerintahkan untuk
membakar seluruh mushaf selain 4 mushaf induk tersebut. Utsman dibunuh oleh kaum yang
tidak puas akan kebijakannya yagn mengangkat pejabat dari kaumnya sendiri (Bani
Umayah).
Setelah Utsman wafat umat Islam membaiat Ali menjadi khalifah pengganti utsman,
kaum Bani Umayah menuntut Ali untuk menghukum pembunuh Utsman, karena merasa
tuntutannya tidak dilaksanakan, Bani Umayah di bawah pimpinan Mu’awiyah memberontak
terhadap pemerintahan Ali. Sehingga terjadilah Perang Sifin yang mengakibatkan perpecahan
pada kelompok Ali.
Dipenghujung pemerintahan Ali umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu,
Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali), dan Khawarij (orang yang keluar dari barisan Ali).
Setelah Ali meninggal, ia diganti oleh anaknya, Hasan. Hasan mengadakan perundingan
damai dengan Mu’awiyah dan umat Islam dikuasai oleh Mu’awiyah. Dengan begitu
berakhirlah pemerintahan yang berdasarkan pemilihan (khulafaur rasyidin) berganti dengan
sistem kerajaan.

MATERI IV

A. SEJARAH BERDIRINYA SEJARAH BANI UMAYYAH


Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf.
Ia adalah salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan
pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan
kedudukan.
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan bin Harb. Muawiyyah
sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia
memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kuffah ke Damaskus.
Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan
awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam
perang saudara di Siffin dicapai melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga
dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah
yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi
kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity).
Diatas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan,
sesungguhnya Muawiyyah adalah seorang pribadiyang sempurna dan pemimpin besar yang
berbakat. Didalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang penguasa Politikus, dan
Administrator.
Muawiyyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya
dirinya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah
seorang pemimpin pasukan di bawah komando Paglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang
berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium Romawi yang
telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Kemudian Muawiyyah menjabat kepala
wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus
selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah
menobatkannya sebagai “Amr Al-Bahr” (prince of the sea) yang memimpin armada besar
dalam penyerbuan ke kota Konstantinopel walaupun belum berhasil.
Muawiyyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan
kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali. Melainkan sejak semula
gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan
politiknya di masa depan.
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari masyarakat Suriah dan dari keluarga
Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyyah mempunyai
pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam melawan peperangan
melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari
keturunan Umayyah berada sepenuhnya di belakang Muawiyyah dan memasoknya dengan
sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun
kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang
berlimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber
kemakmuran dan suplai bertambah bagi Muawiyyah.
Kedua,sebagai seorang Administrator, Muawiyyah sangat bijaksana dalam menempatkan
para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian
khusus, yaitu Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu
Muawiyyah merupakan empat politikus yang sangat menggunakan di kalangan Muslim Arab.
Akses mereka sangat kuat dalam perpolitikan Muawiyyah.
Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab, karena kecakapannya
sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika terdapat perselisihan.
Setelah menjadi Muslim hanya beberapa bulan menjelang penaklukan Mekkah, nabi segera
memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini
terutama dikenang sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama
diwilayah itu. Sejak wafatnyaKhalifah Utsman, ‘Amr bin Ash mendukung Muawiyyah dan
ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia
mendampingi Muawiyyah. Orang kedua adalah Mughirah bin Syu’bah, seorang politukus
independen. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyyah mengangkatnya
manjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah bagian utara, suatu jabatan yang pernah
dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintah Umar. Keberhasilan Mughirah
yang utama adalah kesuksesan menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak
penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Sedangkan orang yang ketiga bernama
Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Mu’awiyah
untuk memangku jabatan gubernur di Bashrah dengan tugas khusus si Persia selatan. Sikap
politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyyah kokoh di wilayah
provinsi paling timur itu dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.
Ketiga, Muawiyyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan
mencapai tingkat “hilm”, sifat yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu.
Seorang manusia hilm seperti Muawiyyah dapat menguasai diri secara mutlak dan
mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulai tersebut dalam diri Muawiyyah setidak-tidaknya tampak
dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun-temurun.
Situasi ketika Muawiyyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan.
Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah
persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak
Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas diri
Khalifah Utsman dan perang saudara sesama Muslim di masa pemerintahan Ali.
Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin intergrasi kekuasaan di
masa-masa yang akan datang, Muawiyyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang
damai, dengan pembantaian putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal
dunia.
Ketika Yazid bin Muawiyyah naik takhta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak
mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyyah kemudian mengirim surat kepada
Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia
kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali bin Abi
Thalib dan Abdullah bin Zubair bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (pengikut
Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali
dan menghasut Husain melakukan perlawanan. Husain dibaiat sebagai khalifah di Madinah.
Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyyah mengirim pasukan untuk kembali memaksanya
setia pada pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang
yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Karbala.[1]

B. KHALIFAH-KHALIFAH BANI UMAYYAH


Para sejarawan umumnya sependapat bahwa khalifah terbesar dari daulah Umayyah ialah
Muawiyyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul aziz.
Masa Kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan
14 orang khalifah. Adapun urutan khalifah umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyyah I bin Abi Sufyan (41-60 H/661-679M)
Muawiyyah bin Abi sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Bani Umayyah dialah tokoh
pembangunan yang besar. Muawiyyah mendapat kursi kekuasaan setelah Hasan bin Ali bin
Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 4 H, karena Hasan menyadari kelemahannya
sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Muawiyyah sehingga
tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah, tahun persatuan. Muawiyyah dibaiat oleh umat Islam di
kufah. Diantara jasa-jasa Muawiyyah ialah mengadakan dinas pos dengan menggunakan
kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. Ia juga berjasa mendirikan kantor cap (percetakan
mata uang), dan lain-lain. Muawiyyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan
digantikan oleh anaknya Yazid.
2. Yazid I bin Muawiyyah (60-64H/679-683M)
Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya,
antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husein
sepeninggal Muawiyyah. Terjadi perang di karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain.
Yazid menghadapi para pemberontak di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding ka’bah
runtuh dikarenakan terkena lemparan manjaniq, peristiwa tersebut merupakan aib besar
terhadap masanya. Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan
oleh anaknya, Muawiyyah II
3. Muawiyyah II bin Yazid (64 H/683M)
Ia hanya memerintahkan kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai
khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup
memikul tanggung jawab jabatan khalifah yang sangat besar tersebut. Dengan wafatnya,
maka habislah keturunan Muawiyyah dalam melenggangkan kekuasaan dan berganti ke Bani
Marwan.
4. Marwan I bin Hakam (64-65 H/683-684M)
Ia adalah gubernur Madinah di masa Muawiyyah dan penasihat Yazid di Damaskus di
masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah itu. Ia di angkat menjadi khalifah karena
dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya. Ia dapat
menghadapi kesulitan satu demi satu dan dapat mengalahkan kabilah Ad-Dahak bin Qais,
kemudian menduduki mesir. Marwan menundukan palestina, hijaz, dan irak. Namun ia cepat
pergi hanya memerintah 1 tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya Abdul
Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalannya secara berurutan.
5. Khalifah Abdul Malik (65-86H/684-705M)
Dia adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah
yang disebut-sebut sebagai ‘pendiri kedua’ bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai
seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqh. Ia telah berhasil
mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah
dari segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari
gerakan sparatis Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij,
sampai kepada aksi teror yang dilakuakn oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah
kufah, dan pemberontakan yang di pimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak.
Ia juga menundukan tentara Romawi yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi
pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
Administrasi di wilayah Umayyah, ia juga memerintahkan untuk mencetak uang secara
teratur, membangun beberapa gedung, dan masjid serta slauran-saluran air, memajukan
perdagangan, memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan dan
menyempurnakan tulisan huruf Al-Qur’an dengan titik pada huruf-huruf tertentu.
Khalifah abdul Malik memerintah selam 21 tahun dan wafat 86 H dan di ganti oleh
putranya Al-Walid
6. Al Walid I bin Abdul Malik (86-96H/705-714M)
Memerintah 10 tahun lamanya. Pada masa pemerintahannya, kekayaan dan
kemakmuran merintah ruah. Kekuasaan Islam melangkah ke Spanyol di bawah pimpinan
pasukan Thariq bin Ziyad ketika afrika utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair.
Karena kekayaan melimpah maka ia sempurnakan pembanguna gedung-gedung, pabrik-
pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para khalifah yang berlalu lalang
di jalan tersebut. Ia membangun masjid Al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di
Damaskus. Di samping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para
yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta, dan sakit kusta.
Khalifah Walid bin Absul Malik wafat tahun 96 H dan digantikan oleh adiknya, Sulaiman.
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/714-117M)
Dia tidak sebijak kakaknya, ia kurang bijaksana, suka harta sebagaimana yang
diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan perang (ghanimah) dari Spanyol yang
dibawa oleh Musa bin Nushair.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang
kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-
orang yang berjasa di masa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf
dan Muhammad bin Qasim yang menundukan India. Ia meninggal pada tahun 99 H dan
menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
8. Umar bin Abdul Aziz. (99-101H/717-719M)
Adapun khalifah yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa
pemerintahannya sangat singkat, nama Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah
dan sebuah periode yang berdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh
berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan
personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali
ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Khalifah yang adil ini adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan
dekat Kairo, atau Madinah menurut sumber lain. Rupanya keadilannya menurun dari
Khalifah Umar bin Khatab yang menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan
waktunya di Madinah untuk mendalami ilmu Agama Islam, khususnya ilmu hadis dan ketika
ia menjadi khalifah ia memerintahkan kaum Muslimin untuk menuliskan hadis, dan inilah
perintah resmi pertama dari penguasa Islam. Umar adalah orang yang rapi dalam berpakaian,
memakai wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan yang tersendiri, sehingga
mode Umar itu ditiru orang pada masanya.
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, khalifah Umayyah yang sekaligus
sebagi pamannya. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid bin Abdul
Malik, salah seorang sepupunya. Tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra
mahkota. Berbekal pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta, serta sebagi
bangsawan Arab yang mulia, ia diangkat sebagai Khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-
Walid. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid,
sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya memerintah kurang
lebih dua tahun.
Khalifah yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaj, Syiria, Mesir,
Yaman dan Bahrain yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun. Namun setelah
menduduki jabatan barunya Khalifah Umar bin Abdul Azizi mengembalikan tanah-tanah
yang dihibahkan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual
barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Di samping itu
ia mengadakan perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah serta Khawarij, menghentikan
peperangan serta caci maki terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib dalam khutbah Jum’at dan
diganti dengan bacaan ayat berikut :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengerjakan keadilan dan bijaksana, serta
memberi kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, munkar dan aniaya. (QS An-Nahl :
90)
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada di masa
kekhalifahannya seperti menaikan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan
memberi santunan kepada fakir miskin, dan memperbarui dinas pos. Ia juga menyamakan
kedudukan orang-orang non-Arab sebagai warga negara kelas dua, dengan orang-orang Arab.
Ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru.
Khalifah Umar meninggal tahun 101 H dan di ganti Oleh Yazid II bin Abdul Malik.
9. Yazid II bin Abdul Malik (101-105H/719-723M)
Pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan antara kaum Mudariyah dan
Yamaniyah. Pemerintahan yang singkat itu mempercepat proses kemunduran Bani Umayyah.
Kemudian diganti oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/723-745M)
Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyur sebagimana tersebut di atas.
Ia memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20 Tahun. Ia dapat dikategorikan sebagai
khalifah Umayyah yang terbaik karena kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada
keindahan, berakhlak mulia dan tergolong teliti terutama soal keuangan, disamping bertaqwa
dan berbuat adil. Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum
Syi’ah serta bersekutu dengan kaum Abbasiyyah. Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan
yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut terhadap
semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah sendiri terjadi perselisihan tentang putra
mahkota yang melemahkan posisi Umayyah.
Masih ada empat khalifah lagi yang setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam
waktu tujuh tahun, yakni :
11. Al-Walid II bin Yazid (125-126H/742-743M)
12. Yazid III bin Al-Walid (126H/743M)
13. Ibrahim bin Al-Walid (126-127H/743-744M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132H/744-750M)
Dia adalah penguasa terakhir yang terkenal dengan julukan marwan al-himar
(manusia keledai). Karena kebesarannya yang luar biasa dan kesanggupannya menahan
perasaan. Sebenarnya ia adalah penguasa yang besar tapi sayang, ia muncul ketika daulat
Bani Umayyah sedang merosot.
Dia wafat pada tahun 132 H/750 M terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyyah.

C. MASA KEMAJUAN BANI UMAYYAH


Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai era agresif, dimana perhatihan
tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua
Khulafa’ Arrasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat
penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah
Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah
Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan
Turkmenistan, Usbekistan, dan Kirgististan yang termasuk Soviet dan Rusia.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup
front tiga penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama
pengepungan ke Ibukota Konstantinopel, dan peneyrangan ke pulau-pulau di laut tengah.
Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan derah hitam Arfika, pasukan Muslim
juga menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur
ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai
Jihun (Amudarya). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Syin, wilayah India
bagian Barat.
Saat-saat yang paling mengesankan dalam ekspansi ini ialah terjadi pada paruh
pertama dari seluruh masa Kekhalifahan Bani Umayyah, yaitu ketika kedaulatan dipegang
oleh Muawiyyah bin Sofyan dan tahun-tahun terkahir dari zaman kekuasaan Abdul Malik.
Diluar masa-masa tersebut, usaha-usaha penaklukan mengalami degradasi atau hanya
mencapai kemenangan-kemenangan yang sangat tipis.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan besar dalam perluasan
wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mencolok
ialah keberaniannya mengepung kota Konstantinopel melalui suatu ekspedisi yang di
pusatkan di kota pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau pulau di
Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama Award,
tidak jauh dari ibukota RomawiTimur itu. Di belahan timur, Muawiyyah berhasil
menaklukkan Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan.
Ekspansi ke Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah, lalu disempurkan oleh
Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, tentara kaum
Muslimin menyeberangi sungai Amudaria dan mmenundukan Balk, Bukhoro, Khawarizm,
Fargana, Samarkhand, pasukan Islam juga melalui Makron masuk ke Balukhistan, Syin dan
Punjab sampai ke Multan, Islam menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumu India.
Kumudian tiba masa kekuasaan Al Walid I yang disebut-sebut sebagai masa
kemenangan yang luas. Pengepungan yang gagal atas kota Knstantinopel di zaman
Muawiyyah, dihidupkan kembali denagn memberikan pukulan-pukulan yang cukup kuat.
Walaupun cita-cita untuk menundukkan ibukota Romawi tetap saja belum berhasil, tetapi
tindakan itu sedikit banyak berhasil menggeser kapal batas pertahanan Islam lebih jauh ke
depan, dengan menguasai basis-basis militer kerajaan Romawi di Mar’asy dan ‘Amuriah.
Prestasi yang lebih besar dicapai oleh Al-Walid I ialah di front Afrika Utara
sekitarnya. Setelah segenap tanah Afrika bagian Utara diduduki, pasukan Muslim di bawah
pimpinan Thariq bin Ziyad menyebrangi selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Lalu ibukotanya,
Cordova segera dapat di rebut, menyusul kemudian kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira dan
Toledo. Gubernur Musa bin Nushair kemudian menyempurnakan penaklukan atas Tanah
Eropa ini dengan menyisir kaki Pegunungan Pyrenia dan menyerang Carolingian Prancis.
Berikut kemajuan-kemajuan semasa Dinasti Umayyah berdasarkan bidangnya
masing-masing:
1. Bidang Kemiliteran
Kemajuan masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang paling menomjol adalah di
bidang kemiliteran. Selama peperangan dengan militer Romawi pasukan Arab mengambil
tekhnik kemiliteran mereka dan memadukannya dengan sistem pertahanan yang telah di
miliki sebelumnya. Pasukan Islam mendirikan tenda-tenda yang terdiri dari 2-4 pintu dengan
perlindungan benteng dan parit. Kuffah dan Basroh merupakan basis militer untuk wilayah
timur, formasi kekuatan pasukan Muslim terbagi dua barisan. Barisan depan dan barisan
belakang. Seluruhnya terdiri lima lapisan, yakni satu lapisan pusat, dua lapisan pasukan
sayap, lapisan penyerbu , dan lapisan prtahanan. Kekuatan pasukan-pasukan Dinasti
Umayyah ini telah mencatat sukses-sukses besar dalam tugas-tugas ekspansi. Kemajuan
kekuatan militer pada masa ini juga di tandai dengan terbentuknya angkatan laut Islam oleh
Muawiyyah. Ia mengarahkan para pakar kelautan untuk merancang pembuatan galangan
perkapalan di pantai Syiria.
2. Sistem Sosial
Terdapat empat kelompok masyarakat, yakni Arab Muslim. Mawalli, non Muslim, dan
kelompokm Arab-Muslim menduduki kelas sosial tertinggi di sebabkan karena mereka
sebagai kelompok pendatang yang berkuasa, juga di karenakan sistem aristokrasi. Namun
pada prinsipnya mereka semua mendapat perlindungan hak-hak secara penuh sehingga
mereka dapat hidup dengan tenang dan damai. Perbedaan yang menonjol adalah dalam hal
beban kewajiban pajak. Hampir di katakan tidak ada perselisihan antaragama. Yang muncul
perselisihan antarsuku. Contohnya kelompok Mudariyah dengan kelompok Arab Himyariyah.
3. Kemajuan Arsitektur
Penguasa Dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur, mereka
mencurahkan perhatiaanya demi kemajuan bidang ini hasilnya adalah ssejumlah bangunan
megah, Masjid Baitul Maqdis di Yerussalem, yangn terkenal dengan kubah batunya (qubah
al-sakhra) didirikan pada masa Abdul Malik pada tahun 691 M. Ia adalah masjid pertama
yang di tutup kubah di atasnya. Dan juga masjid al Aqsa yang tidak kalah tinggi arsiteknya
sebuah masjid terindah yang terdapat di Damaskus yang didirikan oleh Walid bin Abdul
Aziz. Ia juga merehap masjid Madinah antara beberapa monument peninggalan Umayyah
yang terkenal adalah istana Qusayr Amrah. Istana ini terbuat dari batu kapur yang berwarna
kuning kemerah-merahan.
4. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Bani Muawiyyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali
baru. Guna untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan
yang semakin kompleks. Selain mengangkat majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah
Bani Umayyah dibantu oleh beberapa orang ‘ Al Kuttab “ (sekretaris) untuk membantu dalam
pelaksanaan tugas , yang meliputi:
a. Kartib ar-Rasail, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat
menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b. Kattib al Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan pemasukan dan
penerimaan negara.
c. Katib al Jundi, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan
dengan ketentaraan.
d. Katib as-Syurtah, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan
dan ketertiban.
e. Katib al Qudat, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui
badan-badan peradilan dan hakim setempat.
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu
telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase
ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 - 750 M).
Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa
Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik,
keagamaan, intelektual dan peradaban.
1. Dinamika Politik
Dalam awal perkembangannya, Dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya
yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan
itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi Dinasti yang telah mendapat legitimasi
politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri
yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
a. Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga
dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi
dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah
menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis).
b. Sistem Sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan
masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga
masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non Muslim, dan dalam memperlakukan
orang Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus
kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua
berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai
tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus
berasal dari orang Arab, sedangkan orang non-Arab setelah menjadi Muslim harus mau
menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakat Muslim pada masa
Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.
Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama
Asy-Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin
yang sebetulnya mereka bersaudara, dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka
serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan
Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.
c. Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayyah ini
memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini, seperti:
1) Pemisahan Kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual power) di
tunjuklah qadhi/ hakim dan kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa
Mu’awiyah bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada para
Ulama.
2) Pembagian wilayah. Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani
Umayyah menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:
a) Syiria dan Palestina;
b) Kuffah dan Irak;
c) Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan
Yamamah;
d) Arenia;
e) Hijaz;
f) Karman dan India;
g) Egypt (Mesir);
h) Ifriqiyah (Afrika Utara);
i) Yaman dan Arab selatan, dan
j) Andalusia.
3) Bidang Administrasi Pemerintahan. Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk semacam
Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu :
Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.[2]
Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara
(Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat
departemen pokok (dewan) yaitu :
a) Dewan Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk
mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat
dari mereka. Ada dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang
menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi yang
menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya kemudian
menjadi bahasa Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa Arab menjadi bahasa resmi
di seluruh negara Islam.
b) Dewan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-
Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada khalifah.
c) Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-
berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik
berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan pemerintah.
d) Dewan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah
harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat
yang dituju.
4) Politik Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi
penguasa Dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,yaitu
membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum Muslimin. Usaha-usaha ke
arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-
anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk
daerah Islam dan bahkan adat-istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.
Pada masa Bani Umayyah (sejak Khalifah Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah
Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayyah di wilayah-wilayah yang
dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayyah antara lain dalam pengangkatan kepala-
kepala wilayah dari bangsa Arab untuk ditempatkan pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Di
samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di seluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku
berbahasa asing ke dalam bahasa Arab.
5) Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah
kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang
kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di
sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah
barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain
di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap
Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai
penaduduk yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir,
ekspansi ke barat dan mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin
Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin
Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan
dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol
jatuh ke tangan pasukan Muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang
kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan
ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica di sebelah
barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis,
namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan
memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk
mangakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.[3]
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan,
menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan
Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina
diurungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar-
menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan
pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota
Khurasan.[4]
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada tahun 89
H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian
tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah
selatan Punjab dan Brahmanabat.

2. Dinamika Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan orang-
orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah.
Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah,
namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non Muslim sehingga mengakibatkan
banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara
berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium
Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi
Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara. Kebijakan Dinasti di bidang
ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas
darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik,
obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan untuk
mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan.
Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas
perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah
lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus.
Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti
Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz
(semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar
pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar
produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan
setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan
penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
3. Dinamika Sosial
Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab
mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan
tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun
Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-
orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada
perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan cepat.
Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah
adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem
sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada
keturunan raja.
4. Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam
administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur
Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa
administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya
penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu
Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani
Iskandariyah. Antiokia, Harran, dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh imuwan-
ilmuwan Yahudi, Nasrani, dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang
seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi,
kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan, yaitu rumah
sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran yang berada di
Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi
untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar,
seorang dokter dan Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[5]
Pengaruh lain dan ilmuwan Kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara
sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan
menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan
ilmu adalah golongan non-Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi
ilmu menjadi ilmu pengetahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang
filsafat. Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu
Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Muslim (ahli Hadits) dan Mujahid bin
Jabbar (ahli tafsir).
5. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke tujuh sampai permulaan abad
ke delapan, salah satu hasilnya ialah terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu
dalam suatu kesatuan sosial politik yang disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu
merupakan suatu kawasan ekonomi yang terpadu dalam suatu jaringan pasaran bersama.
Wilayah inti meliputi daerah-dearah bekas kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria dan
Mesir serta daerah-daerah Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol) itu, merupakan
salah satu jaringan penting dari rute utama perdagangan Internasional yang terbentang antara
China dan Spanyol, dan antara Afrika Hitam dengan Asia Tengah.
6. Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada masa ini Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal
sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda dengan Khulafa al-Rasydun
yang menguasai keduanya. Pada masa ini khalifah diangkat secara turun-temurun dari
keluarga Umayyah.
7. Sistem Fiskal
Sumber uang masuk pada Dinasti Bani Umayyah, pada umumnya seperti di zaman
permulaan Islam. Walaupun demikian ada beberapa tambahan seperti al-Dharaaib yaitu
kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara dan terdapat pajak-pajak istimewa. Adapun
saluran uang keluarnya sama seperti permulaan Islam, seperti gaji para pegawai dan tentara,
serta biaya tata usaha negara, pembangunan pertanian termasuk irigasi dan penggalian
terusan-terusan, ongkos bagi orang-orang hukuman dan tawanan perang, perlengkapan
perang, serta hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para Ulama.
Pada masa Umayyah dicetak mata uang Muslimin secara teratur dan pembayaran dengan
mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah dicetak mata uang kaum
Muslimin namun belum begitu teratur seperti pada khalifah Abdul Malik bin Marwan.
8. Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan) Umar bin Abdul Aziz
Interregnum ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mana pada
perintahan yang dulunya kejam, menekan rakyat dan sebagainya, menjadi kepada masa yang
damai, lemah, lembut dan makmur. Dengan kebijaksanaannya ini banyak orang yang masuk
Islam, dan mengadakan dialog dengan orang Syi’ah dan Khawarij sehingga mereka puas dan
tidak mengganggu lagi. Namun, kedamaian dan kemakmuran ini dimanfaatkan oleh Bani
Hasyim untuk membentuk gerakan bawah tanah. Gerakan ini terdiri dari orang-orang Syi’ah
dan keluarga Abbas. Gerakan inilah yang berhasil menumbangkan Bani Umayyah nantinya.
9. Sistem Peradilan
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama, qadhi memutuskan
perkara dengan ijtihadnya berdasarkan Nas. Kedua, kehakiman belum terpengaruh dengan
politik.
10. Pembangunan Peradaban, Intelektual, bahasa dan sastera Arab
Masa Bani Umayyah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang
nanti pada masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu
Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang saling menonjol adalah ilmu tafsir dan
ilmu hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) sehingga
Sibawaihi menyusun al-kitab untuk memperlajari tata bahasa Arab.
Khalifah Mu’awiyah memerinthkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung
berbagai macam Ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal ilmu
kedokteran, ilmu Kalam, seni bangunan (architecture) dan sebagainya. Diantara peninggalan
seni bangunan yang terkenal sampai sekarang adalah Qubbah al-Sakhr (Dome of the Rock)
yang didirikan di Yerussalem pada 91 H pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik.
11. Sistem Militer
Pada masa Dinasti Bani Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan dipaksa atau
setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan semacam undang-undang
wajib militer yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbary.
Politik ketentaraan dari Bani Umayyah, yaitu politik Arab, di mana anggota tentara haruslah
terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari itu mereka terpaksa meminta
bantuan kepada bangsa Barbari untuk menjadi tentara karena wilayah mereka yang luas
meliputi Afrika Utara, Andalusia, dan lain-lain.

a. Perluasan ke Asia Kecil


Dengan armada laut yang terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan perbekalan dan
persenjataannya. Lalu Mu’awiyah menyerang pulau-pulau dilaut tengah sehingga berhasil
menduduki pulau Rhodes tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H. Kemudian diserang kota
Konstatinopel. Pulau-pulau ini dekat Cyprus yang telah ditaklukkan pada zaman Usman.
Penyerangan ini dipimpin oleh Janadah bin Abi Umayyah. Kemudian mengepung kota
Konstatinopel di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyah dan didampingi oleh pahlawan Islam
yang berani seperti Abu Ayyub al-Anshar, Abdullah ibnu Zuber, Abdullah ibnu Umar dan
Ibnu Abbas. Pengepungan ini selama 7 tahun (54-61 H). Abu Ayyub al-Anshar gugur pada
peperangan ini. Penyerangan pertama ini gagal karena ada pengkhianatan Loen Mar’asy.
b. Perluasan ke Timur
Ke arah Timur dapat menaklukkan daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan dari
Afghanistan sampai ke Kabul. Kemudian diteruskan pada zaman Abd. Malik di bawah
pimpinan Al- Hajjaj ibn Yusuf. Kemudian dapat menundukkan daerah Balkh, Bukhara,
Khawarizan, Fergnana, dan Samarkand. Selanjutnya pasukan Muslim juga samapi ke India
serta dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H).
c. Perluasan ke Afrika Utara
Uqbah ibn Nafi’ al-Fahri telah menetap di Barqah setelah wilayah itu dikuasai. Oleh
karena kemahiran dan keberaniannya, ia mengalahkan armada Bizantium di daerah pantai,
barbar dipedalaman, serta Tripoli dan Fazzan.
Kekuatan Maritim Islam menjadi lebih berkembang pada masa Umayyah timur. Pada
masa Khalifah al-Walid. Jenderal Thariq bin Ziyad dapat menyeberangkan ajaran Islam ke
Spanyol. Pada tahun 95 H/ 713 M dapat membebaskan rakyat Spanyol dan Eropa dari
penindasan bangsa Visigoth (Gothik) Barat yang telah berkuasa selama 300 tahun.[6]
12. Pemberontakan: al-Mukhtar ibn Ubaid dan Abdullah ibn Zubair
Ketika Yazid ibn Mu’awiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka Madinah tidak
mau menyatkan setia kepadanya. Yazid kemudian mendirim surat kepada Gubernur Madinah
meminta untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini
semua orang terpaksa tunduk kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Pada tahun
680 M, Husein pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah di Irak. Umat
Islam di daerah ini mengakui khaifahnya adalah Husein. Sehingga terjadi pertempuran dan
tentara Husein kalah sedangkan Husein mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke
Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Gerakan Syi’ah semakin keras, gigih dan tersebar luas. Pemberontakan yang paling
terkenal diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M.
Walaupun dibantu oleh kalangan kaum Mawali di Persia, Armenia dan lain-lain, Mukhtar
terbunuh oleh pasukan oposisi lainnya yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair.
Abdullah ibn Zubair baru secara terbuka menyatakan khalifah setelah Husein bin Ali
terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Mekkah dan akhirnya terjadi pertempuran,
pada pertempuran ini Abdullah bin Zubair dikabarkan wafat, maka tentara Yazid kembali ke
Damaskus. Gerakan Abdullah ini baru dapat dihancurkan pada masa khalifah Abdul Malik
pada tahun 693 M.
Adapun prestasi Dinasti Umayyah
1. Bidang Fisik
Dalam pembangunan fisik, pada Diansti Umayyah telah didirikan pos-pos yang pada
pemerintahan sebelumnya tidak ditemukan. Lebih lengkapnya, dapat dikatakan bahwa
beberapa prestasi Dinasti Umayyah dalam pembangunan fisik adalah sebagai berikut:
a. Membangun pos-pos serta menyediakan kelengkapan peralatannya,
b. Membangun jalan raya,
c. Mencetak mata uang,
d. Membangun panti asuhan,
e. Membangun gedung pemerintahan,
f. Memblingun masjid,
g. Membangun rumah sakit, dan
h. Membangun sekolah studi kedokteran.[7]

2. Perluasan Wilayah Kekuasaan.


Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah menjalankan ekspansi sebagai
berikut:
a. Menguasai Tunis pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi',
b. Menguasai Khurasan hingga Lahore di sebelah Timur,
c. Menguasai Bizantium,
d. Menguasai Rhodes dan pulau-pulau kecil lainnya di Yunani,
e. Di sebelah Barat, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan
Maroko,
f. Selanjutnya, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Andalusia yakni
Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova,
g. Penaklukkan yang sama berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica,
h. Menaklukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarqand,
dan
i. Menaklukkan India, hingga ke Brahmanabat.[8]

D. MASA KEMUNDURAN BANI UMAYYAH


Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama,
dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dri pihak luar.
Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah
lemah dan membawanya pada kehancuran, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab
yang lebuh menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem
pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan
anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik
politik yang terjadi di masa Ali bin Abi Thalib. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan
Khawarij terus terjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir
maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Dinasti Umayyah.
Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara (Bani
Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin
runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Dinasti Umayyah mendapat kesulitan
untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Timur
lainnya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas,
ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintah daulah Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di
lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, sebagian besar golongan
awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat
dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali yang merasa
dikelasduakan oleh pemerintah Dinasti Umayyah.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya
mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan orang-
orang Bani Abbasiyyah yang mengejar-ngejar dan membunuh setiap orang dari Dinasti
Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-
angsur melemah. Kekhalifan sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang
melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani
Abbasiyyah pada masa khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II) pada tahun 127 H/744
M.[9]

MATERI V

1. Masa Pembentukan Pemerintahan Bani Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah mewarisi imperium dari Dinasti Umayyah. Hasil besar yang telah dicapai
oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannya telah di persiapkan oleh Umayyah
dan Abbasiyah memanfaatkannya.[1]Dinasti Abbasiyah berkedudukan di Bagdad. Secara
turun temurun kurang lebih tiga puluh tujuh khalifah pernah berkuasa di negeri ini. Pada
dinasti ini Islam mencapai puncak kejayaannya dalam segala bidang.

Pemerintahan Abbasiyyah adalah keturunan daripada al-Abbas, paman Nabi SAW. Pendiri
kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-
Abbas, dan pendiriannya dianggap suatu kemenangan bagi ide yang dianjurkan oleh kalangan
Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah SAW, agar jabatan khalifah diserahkan kepada
keluarga Rasul dan sanak-saudaranya.[2]

Kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti


Bani Umayyah. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun
132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:

1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaandinasti Bani
Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyyah; biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad[3]

Dinasti Abbasiyah berkedudukan mencapai keberhasilannya disebabkan dasar-dasarnya telah


berakar semenjak Umayyah berkuasa. Ditinjau dari proses pembentukkanya, Dinasti
Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain:

1. Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul di dinasti sebelumnya


2. Dasar universal (bersifat universal), tidak terlandaskan atas kesukuan
3. Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan
4. Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam
5. Pemerintahan bersifat Muslim moderat, ras Arab hanyalah dipandang sebagai salah
satu bagian saja di antara ras-ras lain
6. Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka[4]

Di antara situasi-situasi yang mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan menjadi lemah
dinasti sebelumnya adalah:

1. Timbulnya pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bin Abi Thalib
2. Munculnya golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyah dengan
Syiah, dan kebijakan-kebijakan land reform yang kurang adil
3. Timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai
4. Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada Alquran dan
oleh golongan Khawarij orang Islam non-Arab
5. Adanya konsep hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan golongan
Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada pada dar al-
harb, dan hanya golongan khawarijlah yang berada pada dar al-Islam
6. Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah
terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala
7. Munculnya paham mawali, yaitu paham tentang perbedaan antara orang Islam Arab
dengan non-Arab.[5]
Secara kronologis, nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang dari Al-Abbas, Ali bin Abi
Thalib dan Nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan kedekatan pertalian keluarga antara Bani
Abbas dengan nabi. Itulah sebabnya kedua keturunan ini sama-sama mengklaim bahwa
jabatan Khalifah harus berada di tangan mereka. Keluarga Abbas mengklaim bahwa setelah
wafatnya Rasulullah merekalah yang merupakan penerus dan penyambung keluarga Rasul.[6]

Perjuangan Bani Abbas secara intensif baru dimulai berkisar antara lima tahun menjelang
Revolusi Abbasiyah. Pelopor utamanya adalah Muhammad bin Ali Al-Abbas di Hamimah. Ia
telah banyak belajar dari kegagalan yang telah dialami oleh pengikut Ali (kaum Syiah)dalam
melawan Dinasti Umayyah. Kegagalan ini terjadi karena kurang terorganisasi dan kurangnya
perencanaan. Dari itulah Muhammad bin Ali Al-Abbas mengatur pergerakannya secara rapid
an terencana. Ia mulai melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang penting.
Kemudian propaganda atau langkah itu berhasil membakar semangat api kebencian umat
Islam kepada Dinasti Umayyah.

Setelah Muhammad bin Ali meninggal tahun 734 M, perjuangan dilanjutkan oleh saudaranya
Ibrahim sampai tahun 749 M. Kemudian, sejak 749 M Ibrahim menyerahkan pucuk pimpinan
kepada keponakannya, Abdullah bin Muhammad. Pada masa inilah revolusi Abbasiyah
berlangsung.

Abdullah bin Muhammad alias Abul Al-Abbas diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti
Abbasiyah tahun 750 M. Dalam khutbah pelantikan yang disampaikan di Masjid Kufah, ia
menyebut dirinya dengan Al-Saffah (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya.
Hal ini sebenarnya menjadi permulaan yang kurang baik diawal berdirinya dinasti ini, dimana
kekuatannya tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai kebijaksanaan
politiknya.

Al-Saffah berusaha dengan berbagai cara untuk membasmi keluarga Umayyah. Antara lain
dengan kekuatan senjata. Ia mengumpulkan tentaranya dan melantik pamannya sendiri
Abdullaah bin Ali sebagai pimpinannya. Target utama mereka adalah menyerang pusat
kekuatan Dinasti Umayyah di Damaskus, sekaligus untuk melenyapkan Khalifah Marwan
(khalifah terakhir Bani Umayyah). Pertempuran terjadi di lembah Sungai Az-zab (Tigris).
Pada pertempuran itu Marwan mengalami kekalahan dan mengundurkan diri ke Utara Syria,
Him, Damsyik, Palestina dan akhiirnya sampai ke Mesir. Pasukan Abdullah bin Ali terus
menyerangnya hingga terjadi lagi pertempuran di Mesir dan Marwan pun tewas.

Usaha lain yang dilakukan Al-Saffah untuk memusnahkan keluarga Umayyah adalah dengan
cara mengundang lebih kurang 90 orang anggota keluarga Umayyah untuk menghadiri suatu
upacara perjamuan kemudian membunuh mereka dengan cara yang kejam. Disamping itu
agen-agen dan mata-mata disebarkan ke seluruh imperium untuk memburu para pelarian
seluruh anggota keluarga Umayyah. Hanya satu orang saja yang berhasil melarikan diri
kemudian kelak mendirikan Dinasti Umayyah di Andalusia. Ia dikenal dengan sebutan
Abdurahman Ad-Dakhil.
Perlakuan kejam itu tidak hanya pada anggota keluarga yang masih hidup, tetapi juga yang
sudah meninggal. Kuburan-kuburan mereka dibongkar dan jenazahnya dibakar. Ada dua
kuburan saja yang selamat dari kekejamannya yaitu kuburan Muawiyah bin Abu Sufyan dan
Umar bin Abdul Aziz . perlakuan-perlakuan kejam itu tentu saja tentu saja telah
menimbulkan kemarahan para pendukung Dinasti Umayyah di Damaskus, tetapi mereka
berhasil ditumpas oleh Abbasiyah.

Abu Al-Abbas hanya memerintah dalam kurun waktu singkat, yakni empat tahun. Oleh
karena itu, ia kehilangan jati dirinya. Kehidupannya yang dikenal dalam sejarah pertama-
tama hanyalah sebagai pembasmi Dinasti Umayyah.

Abu Abbas Al-Saffah meninggal tahun 754 M. dan digantikan oleh saudaranya, Abu Jafar
Al-Mansur dari tahun 754-774 M. Dialah sebenarnya yang dianggap sebagai pendiri Dinasti
Abbasiyah. Dia tetap melanjutkan kebijaksanaan Al-Saffah yakni menindak tegas setiap
orang yang menentang kekuasaannya, termasuk juga dari kalangan keluarganya sendiri.

Sifat dan watak Al-Mansur dikenal oleh para penulis sejarah sebagai seorang politikus yang
demoktratis, peemberani, cerdas, teliti, disiplin, kuat beribadah, sederhana, fasih dalam
berbicara, sangat dekat dan memperhatikan kepentingaan rakyat. Oleh karena itu, tidaklah
mengerankan bahwa selama lebih kurang 20 tahun kekuasaannya, ia telah berhasil
meletakkan landasan yang kuat dan kokoh bagi kehidupan dan kelanjutan kekuasaan Dinasti
Abbasiyah itu.[7]

1. Masa Perkembangan Politik Bani Abbasyiah

Sejarah telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam benar-benar berada
di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu. Masa pemerintahan ini
merupakan golden age dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, terutama pada masa
Khalifah Al-Makmun.

Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-1258 M). pemerintahan yang
panjang tersebut dapat dibagi dalam dua periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945
M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas sampai Al-Mustakfi. Periode II adalah masa antara
tahun 945-1258 M, yaitu masa Al-Mu’ti sampai Al-Mu’tasim. Pembagian periodisasi ini
diasumsikan bahwa pada periode pertama, perkembangan di berbagai bidang masih
menunjukkan grafik vertikal, stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II, kejayaan terus
merosot sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil menghancurkan Dinasti Abbasiyah.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang


dikembangkan antara lain:

 Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad


 Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
 Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah
memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali
 Menumpas pemberontakan-pemberontakan
 Menghapus politik kasta

Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program


politiknya adalah:

 Para Khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan
pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali
 Kota Bagdad ditetapkan sebagai ibukota Negara dan menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi dan kebudayaan
 Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi[8]

1. Bidang Perekonomian Bani Abbasyiah

Sektor ekonomi menjadi penopang penting tegaknya pemerintahan, maka Kholifah Bani
Abbasyiah memberikan perhatian serius. Pengembangan sector ekonomi ini dilakukan
terutama pada periode pertama pada pemerintahan Abbasyiah. Hal ini menjadikan Negara
dapat menghasilkan devisa yang banyak untuk kesejahteraan umat. Pendapatan negara yang
cukup besar pada masa pemerintahan daulat Abbasyiah tidak terlepas dari peran pemerintah
dalam mengembangkan berbagai sector ekonomi rakyat. Permulaan masa kepemimpinan
Bani Abbassiyah, perbendaharaan Negara penuh dan
berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Disini dijelaskan pada
masa perkembangan ekonomi ini adalah masa kepemimpinan Kholifah Mansyur. Beliau
betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia
mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam di bidang ekonomi.

Khalifah Al-Mansyur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu meletakkan
dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi, adapun unsure-unsur ekonomi yang
dikembangkan zaman dinasti Abbasyiah adalah sebagai berikut:

1. Pertanian

Pada masa dinasti Abbasyiah berlangsung, para petani dibina dan diarahkan, serta pajak bumi
mereka diringankan. Para petani diperlakukan dengan baik, hak-hak mereka dijaga dan
dilindungi dari praktek-praktek ekonomi yang merugikan. Selain itu kholifah juga
memperluas areal pertanian, membangun sarana dan pra-sarana tranportasi baik darat
maupun laut ke daerah pertanian- pertanian serta membangun irigasi dan mengairi kanal
untuk menyalurkan air ke areal pertanian.[9]

2. Perindustrian

Bidang industry yang menjadi perhatian pemerintah Abbasyiah. Ada beberapa factor
yang mendukung kemajuan sector industry ini, antara lain adalah adanya potensi alam berupa
barang tambang, seperti perak, tembaga, biji besi, dan lain-lain, serta hasil pertanian sebagai
bahan baku industry, potensi alam wilayah Abbasyiah cukup menjanjikan untuk mendukung
ekonomi bani Abbasyiah.

Selain factor potensi alam adalah adanya usaha alih teknologi industry, yang dilakukan oleh
tawanan serdadu Cina yang dikalahkan dalam pertempuran di Asia tengah pada tahun 751H.
Mereka ini ahli dalam perindustrian, kholifah mengadakan proyek alih teknologi dari mereka
khususnya industry kertas. Dari sini kemudian muncullah diberbagai kota misalnya Baghdad
yang menghasilkan industry dengan beraneka ragam hasilnya, seperti textile, sutra, wol,
gelas, dan keramik.[10]

3. Perdagangan

Di sector perdagangan juga menunjukkan kemajuan yang pesat. Ini tentu mengimbangi dua
sektoryang disebut diatas, Ibukota pemerintahan Abbasyiah, Baghdad menjadi kota pusat
perniagaan/ perdagangan, serta kota yang menghubungkan lalu lintas perdagangan antara
barat dan timur, dan dibuka perwakilan dagang India dan Cina.[11] Segala usaha ditempuh
untuk memajukan perdagangan diantaranya yaitu:

 Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah


dagang.
 Membangun armada-armada dagang.
 Membangun armada : untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.

Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan


dalam dan luar negeri.[12]

Pada waktu itu bahwa kapal-kapal dagang Arab pada waktu itu tidak hanya menjangkau di
daerah-daerah sekitar kawasan Abbasyiah , tetapi juga menjangkau sampai ke Sailan,
Bombay, Aceh bahkan ke kota pelabuhan Indo Cina dan Tiongkok. Sedangkan kota
Damaskus merupakan kota kedua Sungai Tigris dan Efrat menjadi pelabuhan transmisi bagi
kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia sehingga terjadinya kontrak perdagangan
tingkat Internasional. Ini tentu artinya bahwa kemajuan sector perdagangan pada masa
pemerintahan Abbasyiah telah mengalami perkembangan yang pesat. Selain itu demi
kelancaran perdagangan pada masa itu telah tumbuh system semacam perbankan. Sistem ini
dimaksudkan untuk tempat penukaran uang , karena daerah bagian timur dan bagian barat
tidak menggunakan mata uang yang sama.

Perkembangan perekonomian bani Abbasyiah yang meliputi beberapa bidang itu menjadikan
pendapatan Negara dari dinasti ini terbilang bagus, kesemuannya itu dipergunakan untuk
kepentingan Negara. Adapun pendapatan Negara pada saat pemerintahan bani Abbas secara
umum adalah:

 Pajak hasil bumi (kharaj)


 Pajak jiwa ( jizyah)
 Berbagai macam bentuk zakat
 Pajak perniagaan dan cukai ( syur)
 Pembayaran pihak musuh karena kalah perang (fai’)
 Rampasan perang (ghanimah)

Adapun untuk pengeluaran dinasti ini secara umum meliputi:

 Untuk pembayaran gaji pada hakim (qadhi) gubernur, buruh dan pegawai lainnya
 Untuk perbaikan aliran sungai dan membangun irigasi guna untuk mengairi daerah
yang jauh dari sumber air
 Untuk biaya para narapidana dan tawanan musyrik
 Untuk biaya perang
 Untuk hadiah para ulama’ dan sastrawan.

1. Bidang Administrasi Bani Abbasyiah

Selain pemerintahan dinasti Abbasyiah member perhatian yang tinggi pada bidang
politik, dan ekonomi. Wilayah administrasi Negara juga dilakukan penataan. Sehingga upaya
pengembangan dan penyempurnaan administrasi Negara bisa berjalan dengan baik.
Pembaharuan yang paling tampak pada dinasti ini adalah berpindahnya ibukota Negara
sebagai pusat kegiatan administrasi ke Baghdad. Disamping itu didalam penyelenggaraan
administrasi Negara pada masa ini telah pula dikenal dengan adanya wazir ( menteri) yang
membawahi kepala-kepala departemen. Sementara itu, dalam operasionalnya, yang
menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan kepada wazir (menteri), masalah hukum
diserahkan kepada qadi (hakim) dan masalah militer dipegang oleh amir.[13] Jabatan ini ada
yang menyebut sudah ada zaman bani Umayyah, tetapi juga ada yang menyebut belum
ada.[14] Wazir terbagi dalam dua bagian, pertama wazir yang bertugas sebagai pembantu
kholifah dan bekerja atas nama khalifah, dan yang kedua adalah diberi kuasa penuh untuk
memimpin pemerintahan.

Selain itu dibentuk pula apa yang diebut dengan diwan al-kitabah, semacam secretariat
Negara, yang dipimpin oleh seorang Rais, Rais ini dibantu oleh beberapa orang sekretaris,
diantaranya yang paling masyhur: Katib al-Rasail, Katib al- Karni, Katib al-Jundi, Katib al-
Syurthat, dan Katib al-Qadha. Kekuasaan pemerintahan dinasti Abbasyiah dibagi kedalam
bebrapa propinsi atau juga disebut juga dengan imarah, dan setiap imarah dipimpin oleh
seorang gubernur hal ini digunakan untuk mempermudah jalannya pemerintahan daerah-
daerah. Diantara propinsi-propinsi pda zaman dinasti Bani Abbasyiah adalah:

 Kufah dan Sawwad


 Bashrah dan daerah-daerah Dajlah, Bahrein, Uman
 Hijaz dan Yamamah
 Yaman
 Ahwaz yang meliputi Khuziztan dan Cattan
 Parsi
 Khurasan
 Mosul
 Jazirah, Armania, dan Azerbaijan
 Suriah
 Mesir dan Afrika,
 Sind

Sebenarnya penataan administrasi pada masa pemerintahan Abbasyiah mengalami


perkembangan yang tinggi adalah merupakan salah satu pengaruh Persi yang masuk di dalam
pemerintahan. Sebab Persi merupakan kota yang terkenal dalam kemajuannya di dalam
bidang administrasi yang dianggap bagus. Ditambah lagi dengan bahwa pusat pemerintahan
Islam zaman bani Abbasyiah memang berada di jantung kekuasaan Persi, setelah Persi
dikuasai umat islam.[15]

Anda mungkin juga menyukai