Anda di halaman 1dari 33

SMF/Lab.

Dermatologi dan Venereologi Journal Reading


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

Pedoman Penatalaksanaan Herpes Genital di Eropa Tahub 2017

Disusun Oleh:

Ida Farida
1710029047

Pembimbing:
dr. Nancy Nora Sitohang, M.Ked(DV), Sp.DV

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada


SMF/Lab. Dermatologi dan Venereologi
Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Universitas Mulawarman
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Pedoman Penatalaksanaan Herpes Genital di Eropa Tahub 2017


Journal Reading

Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik


pada SMF/Lab. Dermatologi dan Venereologi

Disusun oleh:
Ida Farida
NIM: 1710029047

Dipresentasikan pada Agustus 2019

Pembimbing

dr. Nancy Nora Sitohang, M.Ked(DV), Sp.DV

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Pedoman Penatalaksanaan Herpes Genital di Eropa Tahub 2017
Raju Patel1, Oliver J kneedy2, Emely Clarke3, Anna Geretti4, Arvid Neilsen5,
Stephan Lautenschlager5
, John Green6, Gilbert Donders7, Willem van der
Meijden8, Mikhail Gomberg9, Harald Moi10 and Elizabeth Foley11

Rajul Patel, Department of Genitourinary Medicine, Southampton, UK. International Journal


of STD & AIDS 0(0) 1–14


ABSTRAK
Herpes genital adalah salah satu infeksi menular seksual yang paling sering
ditemui di dunia. Menggunakan bukti terbaik yang ada, pedoman ini
merekomendasikan strategi untuk diagnosis, penatalaksanaan dan follow-up kondisi
ini dan juga untuk meminimalisir transmisi. Penemuan dan inisiasi terapi awal adalah
kunci dan dapat mengurangi durasi penyakit dan menghindari hospitalisasi dengan
komplikasi, mencankup retensi urin, meningisme, atau penyakit sistemik berat.
Pedoman ini mencankup berbagai scenario klinis yang sering ditemui, seperti herpes
genital rekuren, infeksi saat kehamilan, dan ko-infeksi dengan virus Human
Immunodeficiency Virus (HIV).

KATA KUNCI
Herpes simpleks, HSV, Herpes genital, Eropa, penatalaksanaan, antibiotik

PERUBAHAN PRINSIP DALAM PENATALAKSANAAN HERPES GENITAL


DI EROPA
a) Deteksi HSV DNA sekarang merupakan standar baku emas dibandingkan
kultur sel.
b) Terapi jangka pendek merupakan terapi rekomendasi untuk terapi episodik
pada kasus rekuren
c) Regimen lebih jelas untuk rekomendasi terapi supresi, termasuk rekomendasi
untuk penatalaksanaan tahap dua untuk pasien tidak terkontrol
d) Klarifikasi durasi jangka terapi untuk episode awal HSV pada pasien HIV
positif menjadi 10 hari
PENDAHULUAN
Infeksi pertama dengan virus herpes simpleks tipe-1 (HSV-1) atau tipe-2
(HSV-2) disebut sebagai infeksi primer dan menyebabkan infeksi dengan gejala
(simptomatik) pada tempat masuk virus (contoh: pada wajah atau daerah genital) atau
infeksi tanpa gejala (asimptomatik) sehingga tidak dikenali. Selain itu, juga bisa
terdapat gejala sistemik, seperti pada penyakit virus akut lainnya. Hanya sepertiga
pasien yang mendapatkan herpes genital menunjukkan gejala klinis yang dapat
dikenali saat waktu ditemukan. Setelah infeksi, virus menjadi laten pada ganglion
sensoris lokal, secara periodik ter-reaktivasi dan menyebabkan lesi simptomatik, atau
terjadi pelepasan virus asimptomatik, tetapi tetap infeksius. Herpes genital dapat
disebabkan baik oleh HSV-1 (penyebab tersering herpes oro-labial) atau oleh HSV02.
Infeksi oleh virus manapun menyebabkan penyakit awal yang identical; tetapi,
presentasi klinis dapat bergantung pada infeksi HSV-1 atau HSV-2 sebelumnya, dan
tempat infeksi sebelumnya. Frekuensi rekurensi selanjutnya lebih besar pada HSV-2
daripada HSV-1 ketika infeksi melibatkan daerah genital.

Risiko Transmisi
Risiko transmisi terjadi paling besar pada rekurensi lesi atau prodromal, dan
pasien harus disarankan untuk bebas dari kontak sesual selama periode ini. Transmisi
dapat terjadi walaupun tidak adanya rekurensi lesi, dikarenakan adanya pelepasan
virus subklinis. Efikasi kondom untuk mencegah transmisi seksual belum pernah
dinilai secara resmi; tetapi, bukti tidak langsung dari percobaan vaksin gagal
menunjukkan dukungan kuat terhadap penggunaan konsisten kondom untuk
mencegah transmisi baik pada laki-laki dan perempuan (IIb, B). Efikasi kondom lebih
mudah didemonstrasikan pada transmisi laki-laki ke perempuan dimana penggunaan
kondom konsisten memperlihatkan hasil angka transmisi yang lebih rendah.

DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
Walaupun herpes genital klasik dapat dikenali dengan adanya lesi papular tipikal
yang berkembang menjadi vesikel dan ulser, dihubungkan dengan adenitis lokal dan
pada kasus rekuren didahului oleh gejala prodromal, gejala pada pasien dapat sangat
bervariasi. Mayoritas pasien akan menderita karena lesi atipikal dimana tanda
tersebut dapat dibingungkan dengan dermatosis genital lainnya. Pada semua kasus,
tetapi terutama pada kasus atipikal, bergantung pada diagnosis klinis saja harus
dihindari.

Diagnosis Laboratorium
 Deteksi Virus
a) Konfirmasi laboratorium direkomendasikan pada semua pasien yang dicurigai
memiliki herpes genital, menggunakan metode yang secara langsung
memperlihatkan virus pada specimen genital; terutama hapusan harus diambil
dari dasar lesi (vesikel harus dipecahkan atapnya dengan jarum atau pisau
scalpel) (Ib, A). Deteksi virus pada awal penyakit (baik pada episode pertama
atau rekuren) akan lebih mungkin sukses. Hapusan uuntuk konfirmasi
laboratorium tidak boleh ditunda sama sekali apabila mungkin.
b) Typing HSV menjadi HSV-1 dan HSV-2 direkomendasikan untuk semua
pasien dengan herpes genital pertama kali untuk membantu dalam konseling
dan pentalaksanaan.
c) Karena pelepasan virus HSV bersifat intermiten, uji hapusan pada pasien
asimptomatik tidak direkomendasikan untuk diagnosis rutin karena sangat
rendah kemungkinannya untuk mengkonfirmasi status karier (Ib, A).
d) Deteksi HSV DNA sekarang dianggap sebagai standar baku emas diagnosis.
Dibandingkan dengan kultur sel, metode ini lebih sensitif dan spesisik (Ib, A)
dan meningkatkan angka deteksi HSV di apusan mukokutaneus sebanyak 11-
71% dan direkomendasikan sebagai metode diagnosis yang dipilih (Ib, A).
PCR real-time dapat mentoleransi kondisi penyimpanan dan transpor sampel
yang tidak ketat dibandingkan kultur virus dan memungkinkan deteksi dan
tiping cepat HSV dengan risiko kontaminasi lebih rendah dibandingkan uji
PCR tradisional. Kultur sel dapat terkadang diperlukan dalam menentukan
sensitivitas antivirus dan untuk menghasilkan cukup virus untuk studi
transmisi.
e) Metode deteksi antigen virus seperti direct immunofluorescence assay,
enzyme immunoassay, dan pengecatan Tzanck dan Papanicolaou tidak lagi
direkomendasikan kecuali pada keadaan dimana sumber daya terbatas (Ib, A).

 Serologi Spesifik-Tipe HSV


Uji serologi tidak secara rutin direkomendasikan pada pasien asimptomatik
(IV, C) tetapi dapat digunakan pada kelompok dibawah ini :
a) Riwayat rekuren atau penyakit genital atipikal dimana metode deteksi virus
langsung telah menunjukkan hasil negative (III,B). Antibodi HSV-2
mendukung diagnosis herpes genital; antibody HSV-1 tidak membedakan
antara infeksi genital dan orofaringeal. Konseling untuk pasien dengan IgG
HSV-2 negatif, IgG HSV-1 positif harus mempertimbangkan bahwa HSV-1
adalah penyebab jarang rekurensi penyakit genital.
b) Herpes genital pertama, dimana membedakan antara infeksi primer dan pasti
membantu konseling dan penatalaksanaan (II, B). Pada awitan gejala, tidak
adanya IgG HSV terhadap tipe virus yang terdeteksi pada lesi genital
konsisten dengan infeksi primer. Serokonversi harus dilihat pada saat follow-
up, tipikalnya dalam 90 hari.
c) Pasangan seksual pasien dengan herpes genital, dimana kekhawatiran muncul
mengenai transmisi. Pasangan serodiskoran dapat dikonseling mengenai
strategi untuk mengurangi risiko infeksi dan penyakit (Ib, A).
d) Wanita hamil yang asimptomatik harus direkomendasikan tes secara rutin
apabila ada riwayat herpes genital pada pasangan (IIb, B). Wanita dengan
HSV-1 dan/atau HSV-2 seronegatif harus dikonsul mengenai strategi untuk
mencegah infeksi baru dengan kedua virus selama kehamilan.

Ketelitian diperlukan dalam menginterpretasi hasil negatif karena antibody


baik HSV-1 dan HSV-2 dapat tidak membentuk atau hilang seiring waktu.
Data terbatas menunjukkan peningkatan risiko transmisi HIV perinatal pada
wanita hamil terinfeksi HIV dengan HSV-2 seropositif. Karena bukti tidak konsisten,
tes rutin untuk wanita hamil terinfeksi HIV tidak dianjurkan (IV, C).
UJi serologi HSV harus digunakan untuk mendeteksi antibody terhadap
glikoprotein yang unik secara antigen, gG1 dan gG2. Uji antibodi HSV tidak-
spesifik-tipe tidak memberikan nilai apa-apa pada penatalaksanaan herpes genital.
Western blot adalah standar baku emas. Metode ini memiliki nilai sensitifitas
>97% dan spesifitas >98% tetapi sangat berat dilakukan dan tidak tersedia di pasaran.
Sensitivitas dan spesifitas uji serologis yang tersedia di pasaran dapat
bervariasi secara signifikan di populasi. Nilai prediktif positif (positive predictive
value PPV) pada daerah prevalensi rendah dapat membuat hasil ini tidak dapat
diinterpretasi. Nilai negative palsu lebih mungkin muncul pada infeksi awal dan dapat
diselesaikan dengan pengujian ulang.
Nilai seroprevalensi HSV, adanya faktor risiko herpes genital dan riwayat
klinis mempengaruhi PPV dari serologi HSV spesifik-tipe, dan harus membantu
dalam interpretasi hasil (III, B). Spesifitas uji ELISA dapat ditingkatkan dengan
menaikkan nilai indeks untuk interpretasi positive dan menguji seluruh spesimen
intermediet dengan uji konfirmatori alternatif (IIa, B).
Uj IgM tidak direkomenasikan pada praktik klinis rutin. Studi menunjukkan
bahwa 12-30% pasien kehilangan antibody IgG HSV spesifik-tipe bergantung pada
tipe HSVnya dan tes yang digunakan.

PENATALAKSANAAN
Herpes Genital Episode Pertama
 Indikasi terapi
Herpes genital episode pertama sering dihubungkan dengan jangka waktu
penyakit yang lebih lama. Apabila tidak diobati, banyak pasien menderita komplikasi
umum atau lokal. Terapi dapat sangat efektif dan harus diberikan secepat mungkin
dan pada kecurigaan klinis saja.

 Antivirus
Pasien muncul dalam 5 hari setelah awal episode penyakit, atau ketika lesi
baru masih terbentuk, harus diberikan obat antivirus oral. Asiklovir, valasiklovir dan
famsiklovir semuanya efektif dalam mengurangi berat dan durasi episode (Ib, A).
Tidak ada terapi yang mencegah perjalanan alami infeksi herpes genital.
Obat topikal tidak direkomendasikan karena mereka lebih tidak efektif
dibandingkan obat oral dan mudah menyebabkan resistensi (IV, C).
Indikasi satu-satunya untuk penggunaan terapi intravena adalah ketika pasien
tidak dapat menelan atau mentoleransi obat oral karena muntah. Rejimen yang
direkomendasikan (seluruhnya untuk selama 5-10 hari) adalah sebagai berikut :
a) Asiklovir 400 mg tiga kali sehari, atau
b) Asiklovir 200 mg lima kali sehari, atau
c) Famsiklovir 250 mg tiga kali sehari, atau
d) Valasiklovir 500 mg dua kali sehari
Pilihan harus dibuat berdasarkan dokter masing-masing, mempertimbangkan
biaya terapi dan kemungkinan komplians pasien. Sejumlah pasien akan memiliki
episode penyakit berkepanjangan melebihi 5 hari. Apabila keputusan untuk
memberikan terapi selama lima hari dibuat, pasien harus dinilai secara awal untuk
memastikan tidak ada pertumbuhan lesi, gejala sistemik dan komplikasi penyakit
lebih lanjut, atau mereka memerlukan terapi perpanjangan.

 Terapi suportif
Mandi dengan saline dan penggunaan analgesia direkomendasikan. Walaupun
potensi untuk sensitisasi muncul pada penggunaanobat anastetik topikal,
lignokain/lidokain adalah sensitier yang jarang dan dapat digunakan secara aman
pada herpes genital dalam bentuk jel atau salep. Benzokain, tetapi, adalah sensitiser
poten dan tidak boleh digunakan (IV, C). Pada wanita dengan dysuria berat, urinasi
dengan genital yang direndam dalam air atau cairan salin fisiologis dan juga
melebarkan labia dapat mengurangi gejala.

 Konseling
Sangat penting untuk jujur dan terbuka mengenai risiko transmisi termasuk
pelepasan virus subklinis dan pengaruh terbatas kondom dan antivirus. Nasihat yang
diberikan harus praktikal dan dibuat sesuai keadaan personal pasien. Morbiditas fisik
yang rendah dan prevalensi populasi yang tinggi harus ditekankan. Informasi jelas
mengenai kehamilan penting baik pada pria dan wanita. Stress tinggi saat diagnosis
sering ditemukan, terkadang bertahan karena rekurensi dan dapat dikurangi dengan
antiviral (Ib, A). Kebanyakan pasien memerlukan satu atau dua sesi tetapi
penyesuaian susah diprediksi dan follow-up teliti sangat penting untuk input yang
lebih intensif untuk pasien yang tidak dapat menyesuaikan dalam 3-6 bulan.

 Manajemen Komplikasi
Hospitalisasi dapat diperlukan untuk retensi urin, meningisme, gejala
konstipasi berat, atau linkungan sosial merugikan. Apabila pemasangan kateter
diperlukan, pertimbangan harus dilakukan apakah pendekata suprapubik memberikan
kontrol gejala yang lebih baik terhadap pasien. Superinfeksi lesi jarang terjadi tetapi
dapat terjadi pada minggu kedua. Hal ini dicirikan dengan luapan baru gejala lokal.
Kandida adalah implikasi paling sering dan gampang dikenali dan diobati.
HSV genital dapat dihubungka secara teori dengan superinfeksi dermatitis
atopi, eksim herpetikum relaps, atau dihubungkan dengan eritema multiforme.
Beberapa laporan kasus telah melaporkan dan tatalaksananya identik pada komplikasi
ini apabila berasal dari HSV-1 oral.

 Situasi khusus- Pasien HIV positif dengan herpes genital episode pertama
Tidak ada percobaan terkontrol mengenai durasi dan dosis terapi. Beberapa
klinisi menganjurkan periode pengobatan 10-hari dengan dosis standar dobel dari
obat yang biasa dipakai (IV, C).

 Informasi untuk pasien


Informasi dibawah ini harus didiskusikan ketika konseling pasien dengan
herpes genital episode pertama:
a) Perjalanan infeksi, termasuk pelepasan subklinis.
b) Pilihan terapi
c) Risiko transmisi dan intervensi yang dapat membatasi atau mengurangi risiko
transmisi.
d) Risiko transmisi ke bayi saat kelahiran. Pasien harus dikonsul untuk
menginformasikan hal ini ke dokter obgyn atau bidan.
e) Kemungkinan pemberitahuan ke pasangan dan kemungkinan asal infeksi.
f) Transmisi dapat terjadi dari pasangan asimptomatik setelah beberapa tahun
hubungan monogamy.

FOLLOW-UP
Pasien diikuti sampai episode telah sembuh dan konseling dianggap komplit.
Follow-up lebih jauh mungkin diperlukan untuk mengekslusi penyebab lain ulser
genital yang dapat muncul bersamaan. Pasien harus diberitahu untuk datang kembali
apabila rekuren menjadi masalah.

 Herpes Genital Rekuren


Indikasi terapi
Rekurensi herpes genital bersifat self-limiting dan secara umum menyebabkan
gejala minor. Level stress dan gangguan pada kehidupan seksual dan sosial individu
terkadang independen dari frekuensi gejala. Keputusan mengenai cara terbaik untuk
manajemen rekuren klinis harus dibuat bersamaan dengan pasien. Strategi
penatalaksanaan mencankup terapi suportif saja, pengobatan antiviral episodik, dan
terapi antiviral supresi. Strategi paling sesuai untuk manajemen masing-masing
individu pasien dapat bervariasi seriirng waktu berdasar pada frekuensi rekurensi,
beratnya gejala, dan status hubungan. Pada kebanyakan pasien, penatalaksanaan yang
diperlukan hanya suportif, dengan usaha sederhana lokal seperti mandi salin atau jeli
petroleum topikal dinilai cukup.

 Terapi antiviral episodic


Asiklovir, valasiklovir dan famsiklovir oral efektif dalam mengurangi durasi
dan beratnya herpes genital rekuren. Reduksi dalam durasi adalah sekitar 1-2 hari (Ib,
A). Studi efek mereka menunjukkan tidak ada keuntungan antara satu terapi dengan
yang lain ataupun keuntungan antara terapi perpanjangan 5 hari atau terapi pendek.
Prodrug menawarkan dosis dua-kali-sehari yang disimplifikasi. Pengobatan yang
diinisiasi pasien yang dimulai dalam 24 jam lebih mungkin efektif. Lesi yang
digagalkan telah ditunjukkan pada sepertiga pasien dengan inisiasi terapi awal. Untuk
memastikan terapi yang tepat, pasien harus dianjurkan untuk selalu membawa
sejumlah kecil obat kapan saja.
Terapi jangka pendek harus dicoba pada contoh pertama:
a) Asiklovir 800mg tiga kali sehari selama 2 hari, atau
b) Famsiklovir 1 gram dua kali sehari selama 1 hari, atau
c) Valasiklovir 500 mg dua kali sehari selama 3 hari.
Terapi jangka 5-hari alternatif mencankup:
a) Asiklovir 400 mg tiga kali sehari selama 3-5 hari, atau
b) Asiklovir 200 mg lima kali sehari, atau
c) Valasiklovir 500 mg dua kali sehari, atau
d) Famsiklovir 125mg dua kali sehari.

 Terapi supresif
Mayoritas percobaan awal terapi supresif dilakukan pada pasien dengan angka
rekurensi ekuivalen >=6 kali rekurensi/tahun. Lebih baru lagi, studi telah diselesaikan
pada pasien dengan penyakit yang lebih ringan. Hal ini mengindikasikan bahwa
pasien pada seluruh spektrum penyakit akan diuntungkan dari kurangnya angka
rekurensi dengan terapi. Frekuensi rekurensi dimana pantas dimulainya terapi
supresif adalah hal subyektif dan harus dipertimbangkan frekuensi rekurensi,
pengaruh penyakit pada individu, dan kebutuhan untuk manajemen risiko transmisi
dengan biaya dan kenyamanan terapi.
Seluruh pasien sangat mungkin mengalami reduksi substansial frekuensi
rekurensi dengan terapi supresif antiviral. Tetapi, mayoritas pasien dengan rejimen ini
akan tetap mengalami rekurensi simptomatik sesekali.
Pengalaman dengan terapi antivirial supresif paling ekstensif adalah dengan
asiklovir (Ib, A). Keamanan dan data resistensi untuk pasien dalam terapi jangka
panjang sekarang telah melebihi 18 tahun pengamatan kontinyu. TIdak teradapat
toksisitas akumulatif atau kerusakan organ pada penggunaanjangka panjang.
Penyesuaian dosis hanya diperlukan untuk penyakit ginjal berat. Monitoring darah
regular pada pasien yang baik-baik saja tidak direkomendasikan. Walaupun tidak
esensial, sangat bijaksana untuk secara regular menilai kebutuhan pasien untuk
melanjutkan terapi, karena lingkungan pasien dapat berubah secara signifikan. Tetapi,
bahkan setelah periode supresi, banyak pasien tidak menemukan perubahan
signifikan pada frekuensi dan keparahan penyakit setelah pemberhentian obat dan
penilaian kembali.

 Regimen yang direkomendasikan


Dosis total optimal terapi surpresif asiklobir adalah 800 mg. Satu-satunya
studi yang diterbitkan mengenai rentang-dosis klinis menyimpulkan bahwa 200 mg
empat kali sehari lebih superior dari 400 mg dua kali sehari (p<0,02) (IIb, B). Tetapi,
kemampuan untuk komplians dengan rejimen dosis empat kali sehari harus
menentukan keputusan pemberian obat untuk pasien individual. Valasiklovir dua kali
sehari (250mg dua kali sehari) telah menunjukkan keefektifan yang sama seperti
asiklovir (400 mg dua kali sehari). Asiklovir satu kali sehari tidak menekan rekurensi
herpes genital. Terdapat beberapa perdebatan mengenai apakah terapi sehari sekali
sama efektif dengan valasiklovir dua kali sehari. Untuk pasien yang mengalami
rekurensi <10 kali per tahun, dosis valasiklovir 500mg sehari akan cukup; untuk
pasienyang mengalami rekurensi >10 kali per tahun, 250mg dua kali sehari atau 1 gr
sehari sekali diperlukan.
Tidak ada perbedaan klinis signifikan antara terapi supresif dengan
valasiklovir (500 mg setiap hari) dan famsiklovir (250mg dua kali sehari) telah
dilaporkan (IV, C). Pada pasien dengan respon klinis insufisien, dosis supresif
valasiklovir atau famsiklovir dapat perlu digandakan (IV, C). Monitoring darah rutin
dosis terapi standar tidak diperlukan. Terkadang nyeri kepala ringan ataunausea dapat
terjadi pada konsumsi valasiklovir.
Keputusan untuk melanjutkan terapi supresif harus dinilai paling tidak setiap
tahun. Diskontinuasi terapi pada saat ini, apabila pasien bersedia, akan
memungkinkan penilaian kembali frekuensi rekurensi. Sebagian kecil pasien akan
mengalami pengurangan frekuensi rekurensi dibandingkan dengan saat simptomatik
pre-supresi. Periode minimal penilaian harus mencankup dua rekurensi untuk
memberikan pandangan yang perlu diambil baik mengenai frekuensi dan keparahan.
Sangat aman dan beralasan untuk memulai kembali terapi pada pasien yang berlanjut
memiliki penyakit yang signifikan (IV, C).
Terapi supresif jangka pendek untuk mencegah gejala klinis dapat membantu
untuk beberapa pasien (contoh : liburan, ujian, dll). Klinisi perlu mengingat bahwa
efek supresi penuh biasanya hanya muncul setelah 5 hari perawatan.
Dosis yang direkomendasi :
a) Asiklovir 400 mg dua kali sehari (untuk seluruh frekuensi rekurensi penyakit)
b) Valasiklovir 500 mg per hari (apabila kurang dari 10 rekurensi/tahun)
c) Valasiklovir 1 gram per hari (apabila lebih dari 10 rekurensi/tahun)

Terapi tahap dua untuk pasien dengan penyakit susah dikontrol:


a) Asiklovir 400 mg tiga kali sehari
b) Valasiklovir 250mg dua kali sehari
c) Valasiklovir 500 mg dua kali sehari
d) Asikovir 200 mg empat kali sehari

 Pelepasan virus dan transmisi pada terapi supresif


Pelepasan virus infeksius subklinis terjadi pada kebanyakan individual dengan
HSV-1 dan/atau HSV-2 genita. Pelepasan virus lebih mungkin terjadi pada pasien
dengan HSV-2 genital, pada satu tahun setelah infeksi, atau pada individual dengan
rekurensi simptomatik yang sering. Asiklovir, valasiklovir dan famsiklovir
seluruhnya menekan pelepasan virus simptomatik dan asimptomatik.
Bahkan apabila secara biologi mungkin, supresi parsial pelepasan virus tidak
selalu equivalen dengan penurunan transmisi. Tetapi, terapi supresif dengan
valasiklovir 500 mg per hari (pada mereka dengan episode rekurensi 10 atau kurang
per tahunnya) secara signifikan mengurangi transmisi – sampai 50% - pada pasangan
serodiskordan (Ib, A). Asiklovir 400 mg dua kali sehari mencapai tahap yang mirip
dalam pengurangan pelepasan virus asimptomatik menjadi satu kali sehari VACV.
Terapi antiviral supresif dapat dipertimbangkan sebagai tambahan dalam penggunaan
kondom dan abstinen seksual selektif ketika kekhawatiran transmisi muncul.

Situasi Khusus
 Manajemen HSV pada pasien imunokompromais dan pasien HIV-positif
Terdapat sinergi epidemiological antara virus herpes simpleks (HSV) dan
infeksi HIV. Infeksi herpes simpleks mengaktivasi replikasi HIV dan dapat
memfasilitasi transmisi HIV ke pasangan seksual. Terapi supresi infeksi HSV-2
dengan valaciclovir telah menunjukkan pengurangan pelepasan HIV genital pada
wanita (yang tidak minum ARV). Ditambah lagi, baik prevalensi dan insidensi infeksi
HSV-2 dihubungkan dengan peningkatan risiko terkena HIV.
Riwayat alami herpes genital pada pasien HIV yang tidak diobati (PWHIV)
berbeda secara signifikan dari pada pasien dengan HIV-negatif. Faktor risiko paling
penting untuk reaktivasi herpes adalah derajat imunosupresi yang berhubungan
dengan HIV.
Obat antivirus sitemik standar, seperti yang digunakan untuk herpes genital
pada pasien tidak terinfeksi HIV, telah menunjukkan keberhasilan dalam
menyembuhkan herpes genital pada PWHIV. Resistensi terhadap obat anti-herpes
lebih sering pada mereka dengan ko-infeksi HIV dan dihubungkan dengan kegagalan
terapi herpes genital. Terapi antivirus supresif dengan obat yang sudah ada sekarang
telah ditunjukkan pada berbagai studi tidak memiliki pengaruh dalam akusisi HIV
atau risiko transmisi. Terapi HSV digunakan hanya untuk manajemen atau
mengurangi transmisi HIV atau risiko akusisi tidak dapat direkomendasikan (1b, A).
Banyak bukti mengenai terapi herpes pada PWHIV datang dari studi yang
dilakukan sebelum era kombinasi terapi antiretrovirus; studi prospektif yang
dilakukan di awal epidemic menunjukkan bahwa lesi klinis dapat persisten dan
progresif pada mereka dengan HIV. Herpes genital, termasuk lesi erosive kronis
dapat terjadi sebagai manifestasi sindrom inflamasi rekonstitusi imun (Immune
Reconstitution Inflammatory Syndrome/IRIS) setelah terapi antiretrovirus kombinasi.
IRIS yang berhubungan dengan HSV dapat tidak responsive terhadap anti-herpes
yang sebelumnya efektif pada keadaan tidak adanya penurunan resistensi antivirus.
Manajemen pada kasus ini sulit tetapi cidofovir topikal dapat efektif.

 Manajemen episode awal HSV


Tidak terdapat data percobaan untuk antiviral apapun pada episode awal HSV
genital pada pasien terinfeksi HIV. Mayoritas dewasa dengan HIV mempunyai bukti
serologis infeksi HSV-1 dan -2, membuat percobaan akusisi sangat susah dilakukan.
Studi kasus melaporkan bahwa akusisi HSV genital mungkin berhubungan
dengan perjalanan klinis yang berkepanjangan dan tidak pasti. Gejala sitemik dapat
mendominasi dan lesi kronik dapat menjadi jelas apabila klirens imunologis kulit
tidak terjadi. Pada tidak adanya terapi HIV, herpes genital primer dapat menjadi berat
dan berkepanjangan dengan risiko lesi mukokutaneus anogenital yang progresif,
multifocal dan bersatu (koalesens). Terlebih lagi, komplikasi serius dan berpotensi
mengancam jiwa seperti hepatitis fulminant, pneumonia, penyakit neurologis, dan
infeksi diseminata telah dilaporkan.
Dengan tidak adanya data, kebanyakan ahli menyarankan bawah berbagai
tingkat standar perawatan untuk episode pertama HSV digunakan pada mereka yang
imunokompromais. Tetapim bagi mereka dengan HIV, hal ini tidak selalu diperlukan
terutama untuk mereka dengan hitung sel CD4 normal.
Pada pasien dengan HIV tingkat lanjut, penggandaan dosis standar antiviral
harus dipertimbangkan dan apabila lesi bar uterus terbentuk pada hari 3-5, dosis lebih
tinggi harus dipertimbangkan. Inisiasi terapi cepat direkomendasikan. Apabila
lesibaru masih terbentuk setelah 3-5 hari, isolasi virus berulang harus dicoba dan tes
suseptibilitas dilakukan apabila mungkin. Dosis terapi HSV juga harus ditingkatkan.
Dosis awal yang direkomendasikan pada seluruh pasien HIV-positif :
a) Asiklovir 400 mg lima kali sehari, selama 7-10 hari (IV, C)
b) Valasiklovir 500-1000 mg dua kali sehari, selama 10 hari (IV,C)
c) Famsikloir 250-500 mg tiga kali sehari, selama 10 hari (IV, C)
Terapi harus diberikan paling tidak selama 10 hari atau sampai seluruh lesi telah
terjadi re-epitelisasi. Hal ini kadang melebihi durasi 10 hari terapi yang diberikan
pada pasien HIV-negatif.
Apabila penyakit fulminant terjadi, maka asiklovir intravena harus diberikan
pada dosis 5-10mg/kg berat badan setiap 8 jam, selama 2-7 hari atau sampai adanya
perbaikan klinis, dan diikuti dengan terapi antiviral oral untuk melengkapi minimal
10 hari pengobatan (IV, C).

 Penatalaksanaan penyakit rekuren


Baik reaktivasi klinis dan subklinis herpes genital lebih sering pada pasien
dengan HIV dan dapat menyebabkan lesi mukokutaneus anogenital yang persisten
dan progresif, terutama pada mereka dengan hitung sel CD4 <50 per mm 3. Gambaran
dapat atipikal, dan lebih besarm lebih dalam, dan lesi hipertrofil dapat muncul.
Optimiasi kontrol replikasi HIV dengan terapi antiretroviral kombinasi adalah
kepentingan fundamental untuk menajemen herpes genital rekuren. Terapi
antiretroviral yang sangat aktif (HAART) akan mengurangi frekuensi rekurensi klinis
tetapi memiliki efek lebih sedikit pada pelepasan virus asimptomatik. Karena itu, obat
antiviral spesifik dapat digunakan baik pada terapi episodic atau supresif. Beberapa
percobaan terapi antiviral pada pasien immunokompromais telah dilaporkan.

 Terapi episodic
Sangat mungkin bahwa 5 hari terapi akan cukup untuk kebanyakan pasien.
Harus diingat bahwa pada pasien HIV lanjut 13-17% pasien telah melaporkan
mempunyai lesi baru yang muncul pada akhir terapi 7 hari. Jangka waktu yang lebih
pendek dapat cukup pada mereka dengan hitung sel CD4 (>500 sel/mm3) walaupun
hanya satu percobaan dengan famsiklovir telah melaporkan efek ini.
Dosis standar antivirus harus cukup untuk mereka yang tidak ada bukti
kegagalan imun (Ib, A). Pada mereka dengan penyakit lanjut mungkin diperlukan
untuk menggandakan dosis standard dan untuk melanjutkan terapi melebihi 5 hari
(1b, B). Kehati-hatian perlu dilakukan dalam penggunaan terapi jangka sangat pendek
untuk terapi episodic karena hal ini belum dievaluasi penuh pada pasien
imunokompromais.

 Terapi supresif
Terapi antiviral supresif pada HSV muncul lebih tidak efektif pada pasien
HIV dibandingkan HIV-negatif. Ketiga obat telah dilakukan percobaan. Dosis
supresif standar asiklovir efektif. Valasiklovir lebih efektif apabila diberikan dua kali
sehari (500 mg dua kali sehari) dibandingkan dosis sekali sehari 91000mg).
Valasiclovir 500 mg sekali sehari belum dievaluasi pada pasien HIV-positif. Data
percobaan mengenai efikasi famsiklovir dosis tinggi hanya tersdia dibandingkan
durasi yang lebih pendek.
Direkomendasikan bahwa penghentian intermiten terapi antivirus supresif
untuk herpes genital dilakukan, terutama pada mereka dimana terhabat inhibisi
adekuat replikasi HIV dan kenaikan hitung sel CD4. Pada beberapa PWHIV dengan
kejadian herpes genital yang lebih jarang, terapi episodik dapat diberikan. Pada yang
lainnya, dimana pola pre-terapi rekurensi berlanjut, terapi supresif mungkin perlu
diulang kembali (IV, C).
Terdapat jumlah data yang dapat dipertinbangkan mengenai keamanan
antiviral oral pada pasien immunokompromais HIV-positif. Dua studi pada era pre-
HAART melihat dosis tinggi asiklovir (400 mg empat kali sehari) dan rejimen dosis
standar yang lebih terbaru. Untuk valasiklovir, jumlah studi yang melihat nilai
valasiklovir untuk supresi herpes genital rekuren. Dosis tinggi valasiklovir (2g empat
kali sehari) telah dipelajari dan dilaporkan pada pasien HIV-positif dan pada mereka
yang imunosupresi dan pemulihan dari transplantasi sumsum tulang. Baru-baru saja,
banyak studi melihat efikasi supresi asiklovir dan valasikloir dan pengaruhnya
terhadap transmisi HIV dari pasien ko-infeksi telah dilaporkan. Percobaan ini
mengindikasikan bahwa penggunaan asiklovir oral pada dosis standard an
valasiklovir 1gram sekali sehari dan 500 mg dua kali sehari dihubungkan dengan efek
samping atau toksisitas yang sedikit sampai tidak ada dibandingkan pada pasien non-
HIV-positif. Valasiklovir dosis tinggi (8gram sehari) telah dihubungkan dengan
Microangiopathic Haemolytic Uraemic Synrome.

 Regijem Obat yang Direkomendasikan untuk Terapi Supresif Harian


a) Asiklovir 400 mg oral dua sampai tiga kali sehari
b) Valasiklovir 500 mg oral dua kali sehari
Apabila pilihan ini tidak cukup mengontrol penyakit maka pilihan pertama
harus digandakan dosisnya. Apabila kontrol masih tidak tercapai maka famsikloir 500
mg oral dua kali sehari dapat dicoba (IIa, B).

 Supresi HSV untuk membatasi perkembangan HIV


Terapi antivirus supresi dengan asiklovir atau valasiklovir telah menunjukkan
berkurangnya tingkatan viremia HIV pada pasien dengan viral load HIV yang
terdeteksi melalui mekanisme yang masih belum jelas. Strategi seperi ini akan
mempengaruhi progresi HIV, terutama pada individual yang tidak mendapatkan
HAART. RCT pada awal HIV (individual yang tidak dalam pengobaat HAART dan
dengan hitung sel CD4 > 250 sel/mm3) telah memperlihatkan bahwa dosis standar
terapi supresif antiviral (asiklovir 400 mg dua kali sehari) akan mempertahankan
hitung sel CD4 diatas 250 sel/mm3 dan pengaruh ini mengurangi kebutuhan terhadap
HAART pada dua tahun sebanyak 16% pada kelompok terapi. Tetapi, keuntungan
antiviral supresif belum ditunjukkan pada adanya HHART efektif.

 Manajemen herpes rekalsitran pada individu immunokompromais


Walaupun jarang pada individu immunokompeten, lesi refraktori klinis karean
HSV genital adalah masalah mayor pada pasien dengan imunodefisiensi, termasuk
penyakit HIV tahap akhir dan pasien dengan IRIS setelah terapi antiretroviral
kombinasi. Alrogitma untuk terapi pada keadaan serperti ini telah ditujukkan pada
Gambar 1. Terapi sistemik baik dengan foskarnet atau cidofovir biasanya secara
umum dipilih untuk terapi herpes resisten obat pada mereka dengan HIV. Terdapat
bukti untuk terapi bergantian asiklovir dan cidofovir untuk rekurensi selanjutnya
sebagai strategi yang dapat mengurangi perkembangan strain resisten cidofovir.
Efikasi, keamanan, dan durabilitas respon terapeutik obat-obat ini masih belum
ditentukan dalam prospektif percobaan terkontrol.
Pada studi prospektif, strain resisten asiklovir telah ditemukan pada sekitar 5-
7% isolate dari lesi herpes genital pada pasien terinfeksi HIV. Resistensi asiklovir
dikonfirmasi apabila isolate memerlukan konserntrasi asiklovir >1-3mg/l untuk
inhibisi. Resistensi asiklovir paling sering berhubungan pada mutas di gen yang
mengkode timidin kinase (TK) HSV, dimana bertanggung jawab untuk fosforilasi
iinisial asiklovir ke bentuk aktifnya, menghasilkan TK yang mempunyai afinitas
kurang terhadap asiklovir atau tidak disintesis. Strain defisien-TK mengurangi
patogenitas pada individu imunokompeten, tetapi dapat menyebabkan penyakit lokal
dan sistemik serius pada pasien immunokompromais berat. Mereka lebih tidak
mungkin untuk dihubungkan dengan perkembangan latensi; karenanya, reaktivasi
klinis herpes genital selanjutnya sering disebabkan oleh isolate sensitive asiklovir.
Strain yang resisten parsial dapat terkadang sukses diobati dengan asikloir intravena
dosis tinggi, dan analog nukleosid lain tetapi strain resisten penuh asiklovir resisten
terhadap valasiklovir dan gansiklovir, dan mayoritas resisten terhadap famsiklovir.
Strain defisien-TK rentan terhadap foscarnet dan cidofovir yang idak bergantung
pada TK, tetapi menghambat polymerase DNA virus.
Uji suseptibilitas antivirus untuk HSV memiliki ketersediaan terbatas dan
karenanya, respon klinis terhadap terapi antivirus terkadang digunakan untuk
membantu keputusan. Nasehat dari virologis klinis mengenai dosis obat yang sesuai
dan durasi dapat dicari apabila resistensi klinis dicurigai.
Pasien immunokompromais dengan lesi aktif
dicurigai karena HSV resisten asiklovir
karena kegagalan terapi dengan terapi
antiviral standar atau HSV resistan asiklovir
sebelumnya

Dapatkan PCR atau konfirmasi dengan kultur

Apabila lesi baru tetap terbentuk setelah 3-5 hari, tingkatkan dosis asikloir
manjadi 800 mg 5x sehari, atau berikan valasiklovir oral dosis tinggi (1 gram
dua kali sehari), atau famsiklovir dosis tinggi (750 mg dua kali sehari). Isolasi
dengan kultur dan lakukan studi suseptibilitas. Hal ini akan menghabiskan
waktu 5 hari.

Lesi tidak dapat diakses :


Forscarnet 40mg/kg BB IV setiap
8 jam (Ib, A)
Lesi dapat diakses pada herpes
resisten obat :
Atau
Krim foscarnet 1% (Ib, A)
Cidofovir 5mg/kg BB setiap
minggu infus IV (tingkat bukti IV)
Atau
diberikan dengan probenesid
oral dan prehidrasi adekuat
Gel cidofovir 1% (Ib, A0
untuk mengurangi risiko
nefrotoksisitas. Dapat efektif
Alternatif :
untuk infeksi resisten asiklovir
Trifluridin topikal 7 jam sampai
yang juga resisten foscarnet.
penyembuhan normal atau
Terapi awal 5mg/kg diberikan
kombinasi dengan interferon-alfa
setiap minggu, sebagai infus
(IIb, B)
selama 1 jam, selama dua
minggu.
Atau
Krim Imiquimod 3x/minggu
Terapi sistemik harus berlanjut
sampai resolusi klinis dicapai.
Manajemen Pasangan
Tidak terdapat bukti yang mendasari rekomendasi pemberitahuan pasangan
pasien. Pada dasar individual, mungkin perlu untuk ditawarkan untuk bertemu
pasangan untuk membantu dalam proses konseling. Pemberitahuan pada pasangan
berhubungan dengan kehamilan dibahas dibawah ini. Sangat dipertimbangkan poin-
poin dibawah ini dalam mengkonseling pasangan;
a) Penggunaan kondom dianjurkan terutama ketika kekhawatiran transmisi
muncul – walaupun ketika dalam keadaan terapi supresif antiviral.
b) Pelepasan virus asimptomatik memainkan peran besar dalam transmisi infeksi
HSV dan abstinensi selektif (abstinensi selama adanya gejala atau tanda)
bukan merupakan strategi efektif untuk menangani risiko transmisi.
c) Pemberitahuan ke pasangan adalah cara efektif dalah deteksi individu tidak
terinfeksi atau asimptomatik terutama bila dikombinasi dengan tes antibody
spesifik-tipe.
d) Sebanyak 50% wanita seropositive HSV-2 asimptomatik dapat diajarkan
untuk mengenai rekurensi herpes genital setelah konseling.
e) Transmisi virus dapat dikurangi baik dengan terapi supresif antiviral atau
dengan kondom.

Manajemen wanita hamil dengan herpes genital


Manajemen wanita hamil dengan herpes genital episode pertama
Didapatkan pada trimester pertama atau kedua
Manajemen pada wanita harus sesuai dengan kondisi klinisnya dan terkadang
mekibatkan penggunaan baik asiklovir oral atau intravena dalam dosis standar.
Kehamilan dapat ditatalaksana seperti yang diharapkan dan dapat diharapkan
persalinan pervaginam (IV, C).
Asiklovir supresif harian 400 mg tiga kali sehari dari usia gestasi 36 minggu
dapat mencegah lesi HSV saat aterm dan mencegah diperlukannya section caesaria
(Ib, B).
Didapatkan pada trimester ketiga
Sectio caesaria harus dipertimbangkan pada seluruh wanita, terutama pada
mereka yang gejalany aberkembang dalam 6 minggu menuju kelahiran, karena risiko
pelepasan virus pada saat kelahiran sangat besar (Ib, B).
Asikloir supresif harian 400 mg tiga kali sehari sampai kelahiran harus
dipertimbangkan.
Apabila melahirkan pervaginam tidak dapat dihindari, rupture membrane dan
prosedur invasive yang berkepanjangan, termasuk penggunaan elektroda kulit kepala,
harus dihindari. Asiklovir IV intrapartum diberikan pada ibu dan selanjutnya pada
bayi dapat dipertimbangkan dah dokter anak yang menangani harus diberitahu.

 Manajemen wanita hamil dengan herpes genital rekuren (III, B)


Wanita dengan herpes genital rekuren harus diberitahu mengenai risiko herpes
neonatal rendah.

 Manajemen HSV rekuren pada kehamilan lanjut


Rekurensi simptomatik herpes genital pada trimester ketiga ringan; persalinan
pervaginam dapat dilakukan bila tidak ada lesi pada saat persalinan.
Untuk wanita dengan riwayat herpes genital rekuren yang memilih section
caesaria apabila mereka memiliki lesi HSV pada saat persalinan, asiklovir supresif
harian 400 mg tiga kali sehari dari usia gestasi 36 minggu dapat mencegah lesi HSV
saat aterm dan mengurangi kebutuhan persalinan section caeasaria.
Apaila tidak ada lesi genital saat persalinan, tidak ada indikasi untuk section
caesaria untuk mencegah herpes neonatal.
Kultur sekuensial atau PCR saat saat gestasi lanjut untuk memprediksi
pelepasan virus saat aterm tidak diindikasikan.
Peralatan untuk mengambil kultur atau PCR saat persalinan, untuk
mengidentifikasi wanita yang secara asimptomatik melepas HSV, tidak terbukti.

 Manajemen HSV rekuren pada kehamilan awal


Walaupun keamanan asiklovir pada trimester pertama dan kedua kehamilan
masih belum sepenuhnya ditentukan, penggunaan bijaksana obat ini untuk episode
akusisi yang dicurigai dianjurkan secara luas. Hal yang sama tidak dapat dikatakan
untuk penyakit rekuren. Terapi kontinyu atau episodic tidak direkomendasikan pada
kehamilan awal dan harus dihindari. Klinisi pada beberape keadaan dianjurkan
menggunakan terapi untuk penyakit berat dan komplikasi dan penilaian kasus per
kasus harus dilakukan. Antiviral terbaru harus dihindari dan dosis asiklobir dititrasi
turun menjadi kadar efektif minimal

 Manajemen wanita HIV-positif dengan infeksi HSV rekuren (IV,C)


Terdapat beberapa bukti bahwa wanita dengan antibody HIV positif dengan
ulserasi HSV genital pada kehamilan lebih mungkin mentransmisikan infeksi HIV
secara independen tanpa faktor lain. Tetapi, hal ini bukan merupakan penemuan
konsisten di semua studi.
Wanita yang memiliki antibodi HIV positif dan memiliki riwayat herpes
genital harus ditawatnak asiklovir supresi harian 400 mg tiga kali sehari dari usia
gestasi 32 minggu untuk mengurangi risiko transmisi infeksi HIV-1 terutama pada
wanita dimana persalinan pervaginam direncanakan. Memulai terapi di usia gestasi
lebih awal dari biasanya harus dipertimbangkan dengan padangan adanya
peningkatan kemungkinan persalinan preterm (IV, C).
Sekarang masih tidak ada bukti untuk merekomendasi terapi supresif harian
untuk wanita dengan antivodi HIV-1 positi yang memiliki HIV 1 atau 2 seropositif
tetapi tidak ada riwayat herpes genital.

 Manajemen wanita dengan lesi genital saat awitan persalinan


Sectio caesaria dapat dipertimbangkan pada wanita dengan lesi herpes genital
rekuren pada awita persalinan tetapi risiko herpes neonatal setelah persalinan
pervaginam kecil dan harus dipertimbangkan dengan risiko section caesarian ibu.
Bukti dari Belanda menunjukkan bahwa pendekatan konservatif, memperbolehkan
persalina pervaginam saat adalnya lesi anogenital rekuren tidak dihubungkan dengan
peningkatan angka kasus HSV neonatal (III, B). Tetapi, pendekatan ini hanya dapat
dilakukan bila ada dokter obgyn, spesialis anak-neonatologi, dan konsisten dengan
prinsip medico-legal.
Diagnosis klinis herpes genital pada saat persalinan berkorelasi relative buruk
terhadap deteksi HSV dari lokasi genital baik secara kultur atau PCR, dan gagal
untuk mengidentifikasi wanita dengan pelepasan HSV asimptomatik.

Catatan : Tidak ada obat antiviral yang terdaftar penggunaannya untuk kehamilan,
tetapi penggunaan asiklovir pada kehamilan belum dihubungkan dengan efek
samping kehamilan atau fetal/neonatal yang konsisten selain neutropenia konsisten.
Data keamanan asiklovir daoat ekstrapolasi dengan valasiklovir di kehamilan lanjut,
tetapi terdapat pengalaman yang lebih sedikit pada penggunaan valasiklovir.
Famsiklovir harus dihindari.

 Pencegahan akusisi infeksi (IV, C)


Risiko maternal akusisi HSV pada kehamilan bervariasi secara geografis dan
surveilans epidemiologis lokal harus membantu strategi untuk pencegahan. Strategi
untuk pencegahan herpes neonatal perlu melibatkan kedua orang tua.
Seluruh wanita harus ditanyakan pada saat permeriksaan antenatal pertamanya
apakah ia atau partnernya memiliki herpes oral atau genital.
Pasangan perempuan dari pria dengan herpes genital, tetapi tanpa riwayat
personal herpes genital harus dianjurkan untuk mengurangi risiko mendapat herpes
pada kehamilan dan transmisi selanjutnya ke bayi mereka. Strategi mencankup
abstinen selektif dan komplit (terutama trimester tiga) dan penggunaan kondom.
Terapi supresif harian telah menunjukkan mengurangi risiko transmisi HSV
secara signifikan ke pasangan seronegatif; tetapi, efektivitas terapi supresif pasanga
pria untuk mengurangi transmisinya ke wanita hamil masih belum dievaluasi
sehingga sekarang hanya direkomendasikan dengan peringatan.
Mengidentifikasi wanita yang rentan dengan uji antibody spesifik-tipe tidak
menunjukkan efektivitas biaya dan tidak diindikasikan di Eropa kecuali riwayat
menunjukkan mereka dalam hubungan yang tidak menetap.
Seluruh wanita, tidak hanya mereka dengan riwayat herpes genital, harus
menjalani inspeksi vulva yang teliti pada awitan persalina n untuk mencari anda
klinis infeksi herpes.
Ibu, staff, dan seluruh keluarga/teman dengan lesi HSV oral atau lesi herpetic
harus disarankan untuk menghindari kontak langsung antara lesi dan neonatus.

Manajemen neonatus
 Bayi yang lahir dari ibu dengan herpes genital episode pertama pada awitan
persalinan
Dokter anak yang menangani harus diinformasikan. PCR HSV urine dan
feses, dari orofaring, mata, dan permukaan daerah tubuh, harus diambil sejak awal
untuk memudahkan identifikasi cepat bayi terinfeksi.
Keuntungan dan risiko potensial untuk memulai asiklovir intravena tanpa
menunggu hasil dari kultur harus didiskusikan.
Apabila asiklovir tidak dimulai secepatnya, neonatus harus dimonitor secara
ketat untuk tanda letargi, demam, kesusahan makan, atau lesi.

 Bayi yang lahir dari bu dengan herpes genital rekuren pada awitan persalinan
Walaupun beberapa klinisi merasa bahwa mengambil spesimen untuk PCR
virus 24-58 jam setelah persalinan dapat membantu dalam identifikasi awal infeksi,
tidak ada bukti untuk mendukung praktik ini. Tetapi, tenaga medis dan orang tua
harus disarankan untuk HSV di diagnosis banding apabila bayi menunjukkan tanda
infeksi apapun atau muncul lesi di kulit, mata atau membrane mukosa, terutama pada
dua minggu pertama kehidupan.
Daftar Pustaka
1. Casper C and Wald A. Condom use and the prevention of genital herpes
acquisition. Herpes 2002; 9: 10–14.
2.
2. Wald A, Langenberg AG, Krantz E, et al. The relationship between condom
use and herpes simplex virus ac- quisition. Ann Intern Med 2005; 143: 707–
713.
3.
3. Gupta R, Warren T and Wald A. Genital herpes. Lancet 2007; 370: 2127–
2137.
4.
4. Koutsky LA, Stevens CE, Holmes KK, et al. Underdiagnosis of genital herpes
by current clinical and viral-isolation procedures. N Engl J Med 1992; 326:
1533–1539.
5. Wald A, Huang ML, Carrell D, et al. Polymerase chain reaction for detection
of herpes simplex virus (HSV) DNA on mucosal surfaces: comparison with
HSV iso- lation in cell culture. J Infect Dis 2003; 188: 1345–1351.
6. Ramaswamy M, McDonald C, Smith M, et al. Diagnosis of genital herpes by
real time PCR in routine clinical practice. Sex Transm Infect 2004; 80: 406–
410.
7. van Doornum GJ, Guldemeester J, Osterhaus AD, et al. Diagnosing
herpesvirus infections by real-time amplifi- cation and rapid culture. J Clin
Microbiol 2003; 41: 576–580.
8. Geretti AM. Genital herpes. Sex Transm Infect 2006; 82: iv31–iv34. Patel et
al. 11
9. Verano L and Michalski FJ. Herpes simplex virus anti- gen direct detection in
standard virus transport medium by Du Pont Herpchek enzyme-linked
immunosorbent assay. J Clin Microbiol 1990; 28: 2555–2558.
10. Slomka MJ, Emery L, Munday PE, et al. A comparison of PCR with virus
isolation and direct antigen detection for diagnosis and typing of genital
herpes. J Med Virol 1998; 55: 177–183. 

11. Cone RW, Swenson PD, Hobson AC, et al. Herpes sim- plex virus detection
from genital lesions: a comparative study using antigen detection (HerpChek)
and culture. J Clin Microbiol 1993; 31: 1774–1776. 

12. Munday PE, Vuddamalay J, Slomka MJ, et al. Role of type specific herpes
simplex virus serology in the diag- nosis and management of genital herpes.
Sex Transm Infect 1998; 74: 175–178. 

13. Ashley RL and Wald A. Genital herpes: review of the epidemic and potential
use of type-specific serology. Clin Microbiol Rev 1999; 12: 1–8. 

14. Malkin JE. Herpes simplex virus: who should be tested? Herpes 2002; 9: 31.

15. Copas AJ, Cowan FM, Cunningham AL, et al. An ev- idence based approach
to testing for antibody to herpes simplex virus type 2. Sex Transm Infect
2002; 78: 430–434. 

16. Corey L, Wald A, Patel R, et al. Once-daily valacyclovir to reduce the risk of
transmission of genital herpes. N Engl J Med 2004; 350: 11–20. 

17. Ramaswamy M, McDonald C, Sabin C, et al. The ep- idemiology of genital
infection with herpes simplex virus types 1 and 2 in genitourinary medicine
attendees in inner London. Sex Transm Infect 2005; 81: 306–308. 

18. Brown ZA, Selke S, Zeh J, et al. The acquisition of herpes simplex virus
during pregnancy. N Engl J Med 1997; 337: 509–515.
19. Rouse DJ and Stringer JS. An appraisal of screening for maternal type-
specific herpes simplex virus antibodies to prevent neonatal herpes. Am J
Obstet Gynecol 2000; 183: 400–406. 

20. Tita AT, Grobman WA and Rouse DJ. Antenatal herpes serologic screening:
an appraisal of the evidence. Obstet Gynecol 2006; 108: 1247–1253. 

21. Drake AL, John-Stewart GC, Wald A, et al. Herpes simplex virus type 2 and
risk of intrapartum human immunodeficiency virus transmission. Obstet
Gynecol 2007; 109: 403–409. 

22. Bollen LJ, Whitehead SJ, Mock PA, et al. Maternal herpes simplex virus type
2 coinfection increases the risk of perinatal HIV transmission: possibility to
further decrease transmission? AIDS 2008; 22: 1169–1176. 

23. Chen KT, Tuomala RE, Chu C, et al. No association between antepartum
serologic and genital tract evidence of herpes simplex virus-2 coinfection and
perinatal HIV-1 transmission. Am J Obstet Gynecol 2008; 198: 399 e1–e5. 

24. Ashley RL. Performance and use of HSV type-specific serology test kits.
Herpes 2002; 9: 38–45.
25. Ashley R, Benedetti J and Corey L. Humoral immune response to HSV-1 and
HSV-2 viral proteins in patients with primary genital herpes. J Med Virol
1985; 17: 153–166. 

26. Ashley R. Type-specific antibodies to HSV-1 and-2: review of methodology.
Herpes 1998; 5: 33–38.
27. Smith JS, Bailey RC, Westreich DJ, et al. Herpes sim- plex virus type 2
antibody detection performance in Kisumu, Kenya, using the Herpeselect
ELISA, Kalon ELISA, Western blot and inhibition testing. Sex Transm Infect
2009; 85: 92–96.
28. Gopal R, Gibbs T, Slomka MJ, et al. A monoclonal blocking EIA for herpes
simplex virus type 2 antibody: validation for seroepidemiological studies in
Africa. J Virol Methods 2000; 87: 71–80.
29. Morrow RA, Friedrich D and Krantz E. Performance of the focus and Kalon
enzyme-linked im- munosorbent assays for antibodies to herpes simplex virus
type 2 glycoprotein G in culture-documented cases of genital herpes. J Clin
Microbiol 2003; 41: 5212–5214.
30. van Dyck E, Buve A, Weiss HA, et al. Performance of commercially available
enzyme immunoassays for detec- tion of antibodies against herpes simplex
virus type 2 in African populations. J Clin Microbiol 2004; 42: 2961–2965.
31. Golden MR, Ashley-Morrow R, Swenson P, et al. Herpes simplex virus type 2
(HSV-2) Western blot con- firmatory testing among men testing positive for
HSV-2 using the focus enzyme-linked immunosorbent assay in a sexually
transmitted disease clinic. Sex Transm Dis 2005; 32: 771–777.
32. Morrow RA, Friedrich D, Meier A, et al. Use of “biokit HSV-2 rapid assay”
to improve the positive predictive value of Focus HerpeSelect HSV-2 ELISA.
BMC Infect Dis 2005; 5: 84.
33. Ashley Morrow R, Krantz E, Friedrich D, et al. Clinical correlates of index
values in the focus HerpeSelect ELISA for antibodies to herpes simplex virus
type 2 (HSV-2). J Clin Virol 2006; 36: 141–145.
34. Nascimento MC, Ferreira S, Sabino E, et al. Performance of the HerpeSelect
(Focus) and Kalon enzyme-linked immunosorbent assays for detection of
antibodies against herpes simplex virus type 2 by use of monoclonal antibody-
blocking enzyme immunoassay and clinicovirological reference standards in
Brazil. J Clin Microbiol 2007; 45: 2309–2311.
35. LeGoff J, Mayaud P, Gresenguet G, et al. Performance of HerpeSelect and
Kalon assays in detection of anti- bodies to herpes simplex virus type 2. J Clin
Microbiol 2008; 46: 1914–1918.
36. Gamiel JL, Tobian AA, Laeyendecker OB, et al. Improved performance of
enzyme-linked immunosor- bent assays and the effect of human
immunodeficiency virus coinfection on the serologic detection of herpes
simplex virus type 2 in Rakai, Uganda. Clin Vaccine Immunol 2008; 15: 888–
890.
37. van Rooijen MS, Roest W, Hansen G, et al. False-neg- ative type-specific
glycoprotein G antibody responses in STI clinic patients with recurrent HSV-
1 or HSV-2 DNA positive genital herpes, The Netherlands. Sex Transm Infect
2016; 92: 257–260.
38. Corey L, Benedetti J, Critchlow C, et al. Treatment of primary first-episode
genital herpes simplex virus infections with acyclovir: results of topical,
intravenous and oral therapy. J Antimicrob Chemother 1983; 12: 79–88.
39. Fife KH, Barbarash RA, Rudolph T, et al. Valaciclovir versus acyclovir in the
treatment of first-episode genital herpes infection. Results of an international,
multicen- ter, double-blind, randomized clinical trial. The Valaciclovir
International Herpes Simplex Virus Study 
Group. Sex Transm Dis 1997;
24: 481–486. 

40. Reyes M, Shaik NS, Graber JM, et al. Acyclovir-resis- tant genital herpes
among persons attending sexually transmitted disease and human
immunodeficiency 
virus clinics. Arch Intern Med 2003; 163: 76–80. 

41. Weightman W and Turner T. Allergic contact dermatitis from lignocaine:
report of 29 cases and review of the 
literature. Contact Dermatitis 1998; 39:
265–266. 

42. Carney O, Ross E, Bunker C, et al. A prospective study of the psychological
impact on patients with a first ep- isode of genital herpes. Genitourin Med
1994; 70: 40–45. 

43. Patel R, Tyring S, Strand A, et al. Impact of suppressive antiviral therapy on
the health related quality of life of patients with recurrent genital herpes
infection. Sex 
Transm Infect 1999; 75: 398–402. 

44. Green J and Kocsis A. Psychological factors in recur- 
rent genital herpes.
Genitourin Med 1997; 73: 253–258. 

45. Nilsen AE, Aasen T, Halsos AM, et al. Efficacy of oral acyclovir in the
treatment of initial and recurrent genital 
herpes. Lancet 1982; 2: 571–573.

46. Spruance SL, Tyring SK, DeGregorio B, et al. A large- 
scale, placebo-
controlled, dose-ranging trial of peroral valaciclovir for episodic treatment of
recurrent herpes genitalis. Valaciclovir HSV Study Group. Arch Intern Med
1996; 156: 1729–1735. 

47. Sacks SL, Aoki FY, Diaz-Mitoma F, et al. Patient-ini- tiated, twice-daily oral
famciclovir for early recurrent genital herpes. A randomized, double-blind
multicenter trial. Canadian Famciclovir Study Group. JAMA 1996; 276: 44–
49. 

48. Spruance SL, Overall JC Jr, Kern ER, et al. The natural history of recurrent
herpes simplex labialis: implications for antiviral therapy. N Engl J Med
1977; 297: 69–75. 

49. Wald A, Carrell D, Remington M, et al. Two-day reg- imen of acyclovir for
treatment of recurrent genital herpes simplex virus type 2 infection. Clin
Infect Dis 2002; 34: 944–948. 

50. Bodsworth N, Bloch M, McNulty A, et al. 2-day versus 5-day famciclovir as
treatment of recurrences of genital herpes: results of the FaST study. Sex
Health 2008; 5: 219–225. 

51. Aoki FY, Tyring S, Diaz-Mitoma F, et al. Single-day, patient-initiated
famciclovir therapy for recurrent geni- tal herpes: a randomized, double-blind,
placebo-con- trolled trial. Clin Infect Dis 2006; 42: 8–13. 

52. Abudalu M, Tyring S, Koltun W, et al. Single-day, patient-initiated
famciclovir therapy versus 3-day vala- cyclovir regimen for recurrent genital
herpes: a random- ized, double-blind, comparative trial. Clin Infect Dis 2008;
47: 651–658. 

53. Leone PA, Trottier S and Miller JM. Valacyclovir for episodic treatment of
genital herpes: a shorter 3-day 
treatment course compared with 5-day
treatment. Clin Infect Dis 2002; 34: 958–962.
54. Strand A, Patel R, Wulf
HC, et al. Aborted genital herpes simplex virus lesions: findings from a
randomised controlled trial with valaciclovir. Sex Transm Infect 2002; 78:
435–439.
54. Mertz GJ, Jones CC, Mills J, et al. Long-term acyclovir suppression of
frequently recurring genital herpes sim- plex virus infection. A multicenter
double-blind trial. JAMA 1988; 260: 201–206.
55. Mindel A, Faherty A, Carney O, et al. Dosage and safety of long-term
suppressive acyclovir therapy for re- current genital herpes. Lancet 1988; 1:
926–928.
56. Lebrun-Vignes B, Bouzamondo A, Dupuy A, et al. A meta-analysis to assess
the efficacy of oral antiviral treatment to prevent genital herpes outbreaks. J
Am Acad Dermatol 2007; 57: 238–246.
57. Wasserheit JN. Epidemiological synergy. Interrelationships between human
immunodeficiency virus infection and other sexually transmitted diseases. Sex
Transm Dis 1992; 19: 61–77.
58. Hook EW 3rd, Cannon RO, Nahmias AJ, et al. Herpes simplex virus
infection as a risk factor for human im- munodeficiency virus infection in
heterosexuals. J Infect Dis 1992; 165: 251–255.
59. Mosca JD, Bednarik DP, Raj NB, et al. Activation of human
immunodeficiency virus by herpesvirus infection: identification of a region
within the long terminal repeat that responds to a trans-acting factor encoded
by herpes simplex virus 1. Proc Natl Acad Sci USA 1987; 84: 7408–7412.
60. Ostrove JM, Leonard J, Weck KE, et al. Activation of the human
immunodeficiency virus by herpes simplex virus type 1. J Virol 1987; 61:
3726–3732.
61. Golden MP, Kim S, Hammer SM, et al. Activation of human
immunodeficiency virus by herpes simplex virus. J Infect Dis 1992; 166: 494–
499.
62. Margolis DM, Rabson AB, Straus SE, et al. Transactivation of the HIV-1
LTR by HSV-1 immedi- ate-early genes. Virology 1992; 186: 788–791.
63. Koelle DM, Abbo H, Peck A, et al. Direct recovery of herpes simplex virus
(HSV)-specific T lymphocyte clones from recurrent genital HSV-2 lesions. J
Infect Dis 1994; 169: 956–961.
64. Kreiss J, Carael M and Meheus A. Role of sexually transmitted diseases in
transmitting human immunode- ficiency virus. Genitourin Med 1988; 64: 1–2.
65. Kreiss JK, Coombs R, Plummer F, et al. Isolation of human
immunodeficiency virus from genital ulcers in Nairobi prostitutes. J Infect Dis
1989; 160: 380–384.
66. Schacker T, Ryncarz AJ, Goddard J, et al. Frequent recovery of HIV-1 from
genital herpes simplex virus lesions in HIV-1-infected men. JAMA 1998; 280:
61–66.
67. Nagot N, Ouedraogo A, Foulongne V, et al. Reduction of HIV-1 RNA levels
with therapy to sup- press herpes simplex virus. N Engl J Med 2007; 356:
790–799.
68. Todd J, Grosskurth H, Changalucha J, et al. Risk fac- tors influencing HIV
infection incidence in a rural African population: a nested case-control study.
J Infect Dis 2006; 193: 458–466.
69. Freeman EE, Weiss HA, Glynn JR, et al. Herpes sim- 
plex virus 2 infection
increases HIV acquisition in men and women: systematic review and meta-
analysis of lon- gitudinal studies. AIDS 2006; 20: 73–83. 

70. Chen CY, Ballard RC, Beck-Sague CM, et al. Human immunodeficiency
virus infection and genital ulcer dis- ease in South Africa: the herpetic
connection. Sex Transm Dis 2000; 27: 21–29. 

71. Bagdades EK, Pillay D, Squire SB, et al. Relationship between herpes simplex
virus ulceration and CD4þ cell counts in patients with HIV infection. AIDS
1992; 6: 1317–1320. 

72. Wright PW, Hoesley CJ, Squires KE, et al. A prospec- tive study of genital
herpes simplex virus type 2 infection in human immunodeficiency virus type
1 (HIV-1)-sero- positive women: correlations with CD4 cell count and plasma
HIV-1 RNA level. Clin Infect Dis 2003; 36: 207–211. 

73. Quinnan GV Jr, Masur H, Rook AH, et al. Herpesvirus infections in the
acquired immune deficiency syndrome. JAMA 1984; 252: 72–77. 

74. Maier JA, Bergman A and Ross MG. Acquired immu- nodeficiency syndrome
manifested by chronic primary genital herpes. Am J Obstet Gynecol 1986;
155: 756–758. 

75. Leung DT and Sacks SL. Current recommendations for the treatment of
genital herpes. Drugs 2000; 60: 1329–1352. 

76. Drew WL, Buhles W and Erlich KS. Management of herpes virus infection
(cytomegalovirus, herpes simplex virus and varicella zoster virus). In: P
Volberding, W Greene and L Joep (eds) The medical management of AIDS.
9th ed. London: Saunders, 2012, pp.433–454. 

77. Aoki FY. Management of genital herpes in HIV- infected patients. Herpes
2001; 8: 41–45. 

78. Foley E and Patel R. Treatment of genital herpes infec- tions in HIV-infected
patients. J HIV Ther 2004; 9: 14–18. 

79. Marks GL, Nolan PE, Erlich KS, et al. Mucocutaneous dissemination of
acyclovir-resistant herpes simplex virus in a patient with AIDS. Rev Infect
Dis 1989; 11: 474–476. 

80. Celum C, Wald A, Hughes J, et al. Effect of aciclovir on HIV-1 acquisition in
herpes simplex virus 2 seropositive women and men who have sex with men:
a randomised, double-blind, placebo-controlled trial. Lancet 2008; 371: 2109–
2119. 

81. Celum C, Wald A, Lingappa JR, et al. Acyclovir and transmission of HIV-1
from persons infected with HIV- 1 and HSV-2. N Engl J Med 2010; 362:
427–439. 

82. Sacks SL, Wanklin RJ, Reece DE, et al. Progressive esophagitis from
acyclovir-resistant herpes simplex. Clinical roles for DNA polymerase
mutants and viral heterogeneity? Ann Intern Med 1989; 111: 893–899. 

83. Gateley A, Gander RM, Johnson PC, et al. Herpes sim- plex virus type 2
meningoencephalitis resistant to acyclo- vir in a patient with AIDS. J Infect
Dis 1990; 161: 711–715. 

84. Englund JA, Zimmerman ME, Swierkosz EM, et al. Herpes simplex virus
resistant to acyclovir. A study in 
a tertiary care center. Ann Intern Med
1990; 112: 416–422.
86.
85. Ratnam I, Chiu C, Kandala NB, et al. Incidence and risk factors for immune
reconstitution inflammatory syndrome in an ethnically diverse HIV type 1-
infected cohort. Clin Infect Dis 2006; 42: 418–427.
86. Fox PA, Barton SE, Francis N, et al. Chronic erosive herpes simplex virus
infection of the penis, a possible immune reconstitution disease. HIV Med
1999; 1: 10–18.
87. Lalezari J, Schacker T, Feinberg J, et al. A randomized, double-blind,
placebo-controlled trial of cidofovir gel for the treatment of acyclovir-
unresponsive mucocuta- neous herpes simplex virus infection in patients with
AIDS. J Infect Dis 1997; 176: 892–898.
88. CDC – 2015 Sexually transmitted diseases treatment guidelines – genital hsv
infections. http://www.cdc.gov/ std/tg2015/herpes.htm (accessed 2 September
2016).
89. DeJesus E, Wald A, Warren T, et al. Valacyclovir for the suppression of
recurrent genital herpes in human immunodeficiency virus-infected subjects. J
Infect Dis 2003; 188: 1009–1016.
90. Warren T, Harris J and Brennan CA. Efficacy and safety of valacyclovir for
the suppression and episodic treatment of herpes simplex virus in patients
with HIV. Clin Infect Dis 2004; 39: S258–S266.
91. Delany S, Mlaba N, Clayton T, et al. Impact of aciclovir on genital and
plasma HIV-1 RNA in HSV-2/HIV-1 co- infected women: a randomized
placebo-controlled trial in South Africa. AIDS 2009; 23: 461–469.
92. Stranska R, Schuurman R, Nienhuis E, et al. Survey of acyclovir-resistant
herpes simplex virus in the Netherlands: prevalence and characterization. J
Clin Virol 2005; 32: 7–18.
93. Hill EL, Hunter GA and Ellis MN. In vitro and in vivo characterization of
herpes simplex virus clinical isolates recovered from patients infected with
human immuno- deficiency virus. Antimicrob Agents Chemother 1991; 35:
2322–2328.
94. Safrin S. Treatment of acyclovir-resistant herpes sim- plex virus infections in
patients with AIDS. J Acquir Immune Defic Syndr 1992; 5: S29–S32.
95. Gnann J, Davis M, Harden E, et al. Resistance T force on H. acyclovir-
resistant HSV from HIV-infected indi- viduals. Population surveillance and in
vitro character- ization of isolates (abstract). New Orleans, USA. In: Thirty-
eighth Annual International Disease Society of America (IDSA) Meeting,
2000.
96. Engel JP, Englund JA, Fletcher CV, et al. Treatment of resistant herpes
simplex virus with continuous-infusion acyclovir. JAMA 1990; 263: 1662–
1664.
97. Langenberg A, Benedetti J, Jenkins J, et al. Development of clinically
recognizable genital lesions among women previously identified as having
“asymptomatic” herpes simplex virus type 2 infection. Ann Intern Med 1989;
110: 882–887.
98. Sheffield JS, Hollier LM, Hill JB, et al. Acyclovir pro- phylaxis to prevent
herpes simplex virus recurrence at delivery: a systematic review. Obstet
Gynecol 2003; 102: 1396–1403. 14
99. Watts DH, Brown ZA, Money D, et al. A double-blind, randomized, placebo-
controlled trial of acyclovir in late pregnancy for the reduction of herpes
simplex virus shedding and cesarean delivery. Am J Obstet Gynecol 2003;
188: 836–843. 

100. Scott LL, Hollier LM, McIntire D, et al. Acyclovir sup- pression to
prevent recurrent genital herpes at delivery. Infect Dis Obstet Gynecol 2002;
10: 71–77. 

101. Brocklehurst P, Kinghorn G, Carney O, et al. A rand- omised placebo
controlled trial of suppressive acyclovir in late pregnancy in women with
recurrent genital herpes infection. Br J Obstet Gynaecol 1998; 105: 275–280.

102. Scott LL, Sanchez PJ, Jackson GL, et al. Acyclovir sup- pression to
prevent cesarean delivery after first-episode genital herpes. Obstet Gynecol
1996; 87: 69–73. 

103. Braig S, Luton D, Sibony O, et al. Acyclovir prophy- laxis in late
pregnancy prevents recurrent genital herpes and viral shedding. Eur J Obstet
Gynecol Reprod Biol 2001; 96: 55–58. 

104. Hollier LM and Wendel GD. Third trimester antiviral prophylaxis for
preventing maternal genital herpes sim- plex virus (HSV) recurrences and
neonatal infection. Cochrane Database Syst Rev 2008; CD004946. 

105. Gardella C, Brown ZA, Wald A, et al. Poor correlation between
genital lesions and detection of herpes simplex virus in women in labor. Obstet
Gynecol 2005; 106: 268–274. 

106. Chen KT, Segu M, Lumey LH, et al. Genital herpes simplex virus
infection and perinatal transmission of human immunodeficiency virus. Obstet
Gynecol 2005; 106: 1341–1348.
107. Poeran J, Wildschut H, Gaytant M, et al. The incidence of neonatal
herpes in The Netherlands. J Clin Virol 2008; 42: 321–325. 

108. Acyclovir and valacyclovir in pregnancy registry final report,
http://pregnancyregistry.gsk.com/acyclovir.html (April 1999, accessed 2
September 2016).
109. Hemelaar SJ, Poeran J, Steegers EA, et al. Neonatal herpes infections
in The Netherlands in the period 2006–2011. J Matern Fetal Neonatal Med
2015; 28: 905–909.
110. Andrews WW, Kimberlin DF, Whitley R, et al. Valacyclovir therapy
to reduce recurrent genital herpes in pregnant women. Am J Obstet Gynecol
2006; 194: 774–781. 

111. Sheffield JS, Hill JB, Hollier LM, et al. Valacyclovir prophylaxis to
prevent recurrent herpes at delivery: a randomized clinical trial. Obstet Gynecol
2006; 108: 141–147. 


Anda mungkin juga menyukai