Anda di halaman 1dari 16

PENYAKIT AKIBAT KERJA

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Disusun Oleh :

Ida Farida 1710029047

Pembimbing :
Dr. Krispinus Duma, SKM, M.Kes,

Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat
Ilmu Kedokteran Keluarga
Puskesmas Palaran/ Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman Samarinda
Agustus 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Laboratorium
Ilmu Kesehatan Masyarakat mengenai Kedokteran Keluarga di Puskesmas
Palaran Periode Agustus 2019. Saya menyadari bahwa keberhasilan penyusunan
tugas ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. Dr. Krispinus Duma, SKM, M.Kes, sebagai Kepala Laboratorium Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. Dr. Krispinus Duma, SKM, M.Kes, sebagai pembimbing selama belajar di
Laboratarium Ilmu Kesehatan Masyarakat.
5. Seluruh dokter pengajar di Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat yang
telah mengajarkan ilmunya dan memberikan masukan kepada penyusun.
6. Seluruh staf Puskesmas Palaran yang telah menerima kami di Puskesmas
Palaran dalam rangka kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat.
7. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran kepada
penulis.
Kami membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, Agustus 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................... i


Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB 1 Pendahuluan ...............................................................................................4
BAB 2 Kasus ...........................................................................................................5
2.1 Definisi ...........................................................................................................5

2.2 Etiologi ...........................................................................................................6

2.3 Patomekanisme ...............................................................................................9

2.4 Gejala Klinis .................................................................................................11

2.5 Diagnosis ......................................................................................................12

2.6 Penatalaksanaan ............................................................................................13

2.7 Pencegahan ...................................................................................................14

Daftar Pustaka ......................................................................................................16

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit akibat kerja disebabkan oleh paparan terhadap bahan kimia dan
biologis, serta bahaya fisik di tempat kerja. Meskipun angka kejadiannya tampak
lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyabab cacat lainnya,
terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang. Khususnya di
negara-negara yang sedang giat mengembangkan industri. Pada banyak kasus,
penyakit akibat kerja ini bersifat berat dan mengakibatkan kecacatan. Akan tetapi
ada dua faktor yang membuat penyakit ini mudah dicegah. Pertama, bahan
penyebab penyakit dapat diidentifikasi, diukur dan dikontrol. Kedua, populasi
yang beresiko biasanya mudah didatangi dan diawasi secara teratur serta diobati.
Bahan obat formaldehyde adalah agen kimia, bagian dari lingkungan kerja,
di luar ruangan dan dalam ruangan. Petugas kesehatan adalah yang paling sering
terkena dampak paparan formaldehyde. Formaldehyde dikenal sebagai iritan
membran mukosa dan agen sensitisasi kulit primer yang berhubungan dengan
dermatitis kontak (alergi tipe IV), dan reaksi anafilaksis (alergi tipe I). Paparan
inhalasi pada formaldehyde diidentifikasi sebagai penyebab potensial asma.
Cukup banyak investigasi yang tersedia mengenai masalah kesehatan bagi setelah
paparan formaldehida.
Formaldehyde adalah penyebab umum alergi kontak. Formaldehyde atau
formaldehyde-releasers (agen yang melepaskan formaldehyde dalam kondisi
penggunaan) dapat ditemukan di banyak kosmetik, perlengkapan mandi, produk
rumah tangga seperti bahan pembersih dan pembersih dan dalam sejumlah besar
aplikasi industri termasuk perekat, cat, dan cairan pengerjaan logam. Kontak kulit
adalah rute paparan yang paling penting untuk sensitisasi. Formaldehyde telah
ditemukan banyak dalam ilmu kedokteran dan praktek.
Oleh karena itu, deteksi dini penyakit akibat kerja sangatlah penting.
Dengan demikian, tenaga kerja yang sakit dapat segera diobati sehingga
penyakitnya tidak berkembang dan dapat disembuhkan dengan segera. selain itu
juga dapat dilakukan pencegahan agar tenaga kerja yang lain dapat terlindung dari
penyakit tersebut.
Dengan adanya tugas ini, diharapkan dapat menjelaskan sebagian kecil
masalah yang dialami pekerja. Khususnya pekerja yang terkena pajanan
formaldehyde.

4
BAB 2

KASUS

Seorang perempuan yang bekerja pada sebuah pabrik obat datang kepada
seorang dokter, dia menjelaskan kepada dokter bahwa dia memiliki keluhan,
diantaranya tangan terasa gatal, kering, telapak tangam terasa tebal dan gatal
yang dirasakan semakin memberat.

“DERMATITIS KONTAK ALERGI AKIBAT FORMALDEHYDE”

Penyakit yang disebutkan dalam kasus ini adalah dermatitis kontak alergi

2.1 Definisi

Dermatitis kontak alergi tidak berhubungan dengan atopi. DKA


merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi imunologi tipe IV,
dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang
menyebabkan peradangan dan edema pada kulit.

Dermatitis yang terjadi pada pekerja adalah dermatitis kontak akibat kerja.
Dermatitis kontak akibat kerja didefinisikkan sebagai penyakit kulit yang
didapatkan dari pekerjaan akibat interaksi yang terjadi antara kulit dengan
substansi yang digunakan di lingkungan kerja, dimana pajanan di tempat kerja
merupaka faktor penyebab yang utama satu penyebab dari dermatitis kontak
akibat kerja yaitu bahan kimia yang kontak dengan kulit saat melakukan
pekerjaan. Bahan kimia untuk dapat meyebabkan dermatitis kontak akibat kerja,
pertama harus mengenai kulit kemudian melewati lapisan permukaan kulit dan
kemudian menimbulkan reaksi yang memudahkan lapisan bawahnya terkena.
Lapisan permukaan kulit ini ketebalannya menyerupai kertas tissue, mempunyai
ketahanan luar biasa untuk dapat ditembus seingga disebut lapisan barrier.
Lapisan barrier menahan air dan mengandung air kurang dari 10% untuk dapat
berfungsi secara baik. Celah diantara lapisan barrier ada kelenjar minyak dan
akar rambut yang terbuka dan merupakan tempat yang mudah ditembus

5
2.2 Etiologi

Dermatitis kontak merupakan penyakit kulit multifaktoral yang


dipengaruhioleh faktor eksogen dan faktor endogen.
1. Faktor Eksogen
Faktor yang memperparah terjadinya dermatitis kontak sebenarnya
sulitdiprediksi. Beberapa faktor berikut dianggap memiliki pengaruh
terhadapterjadinya dermatitis kontak.
a) Karakteristik bahan kimia:
Meliputi pH bahan kimia (bahan kimia dengan pH terlalu tinggi > 12
atau terlalu rendah < 3 dapat menimbulkan gejala iritasi segera setelah
terpapar,sedangkan pH yang sedikit lebih tinggi > 7 atau sedikit lebih
rendah < 7memerlukan paparan ulang untuk mampu timbulkan gejala) ,
jumlah dankonsentrasi (semakin pekat konsentrasi bahan kimia maka
semakin banyak pulabahan kimia yang terpapar dan semakin poten untuk
merusak lapisan kulit) , beratmolekul (molekul dengan berat < 1000
dalton sering menyebabkan dermatitis kontak, biasanya jenis dermatitis
kontak alergi), kelarutan dari bahan kimia yang dipengaruhi oleh sifat
ionisasi dan polarisasinya (bahan kimia dengan sifat lipofilik akan mudah
menembus stratum korneum kulit masuk mencapai selepidermis
dibawahnya).
b) Karakteristik paparan:
Meliputi durasi yang dalam penelitian akan dinilai dari lama paparan
perhari dan lama bekerja (semakin lama durasi paparan denganbahan
kimia maka semakin banyak pula bahan yang mampu masuk ke
kulitsehingga semakin poten pula untuk timbulkan reaksi), tipe kontak
(kontak melaluiudara maupun kontak langsung dengan kulit), paparan
dengan lebih dari satu jenisbahan kimia (adanya interaksi lebih dari satu
bahan kimia dapat bersifat sinergisataupun antagonis, terkadang satu
bahan kimia saja tidak mampu memberikangejala tetapi mampu
timbulkan gejala ketika bertemu dengan bahan lain) danfrekuensi
paparan dengan agen (bahan kimia asam atau basa kuat dalam sekali
paparan bisa menimbulkan gejala, untuk basa atau asam lemah butuh
beberapakali paparan untuk mampu timbulkan gejala, sedangkan untuk
bahan kimia yangbersifat sensitizer paparan sekali saja tidak bisa
menimbulkan gejala karena harusmelalui fase sensitisasi dahulu).
c) Faktor lingkungan:
Meliputi temperatur ruangan (kelembaban udara yang rendah serta suhu
yang dingin menurunkan komposisi air pada stratum korneum yang
membuat kulit lebih permeable terhadap bahan kimia) dan faktor
mekanik yang dapat berupa tekanan, gesekan, atau lecet, juga dapat

6
meningkatkan permeabilitas kulitterhadap bahan kimia akibat kerusakan
stratum korneum pada kulit.
2. Faktor Endogen
Faktor endogen yang turut berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak
meliputi
a) Faktor genetik, telah diketahui bahwa kemampuan untuk mereduksi
radikal bebas, perubahan kadar enzim antioksidan, dan kemampuan
melindungi protein dari trauma panas, semuanya diatur oleh genetik. Dan
predisposisi terjadinya suatu reaksi pada tiap individu berbeda dan
mungkin spesifik untuk bahan kimia tertentu.
b) Jenis kelamin, mayoritas dari pasien yang ada merupakan pasien
perempuan, dibandingkan laki-laki, hal ini bukan karena perempuan
memiliki kulit yang lebih rentan, tetapi karena perempuan lebih sering
terpapar dengan bahan iritan dan pekerjaan yang lembab.
c) Usia, anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap bahan
kimia, sedangkan pada orang yang lebih tua bentuk iritasi dengan gejala
kemerahansering tidak tampak pada kulit.
d) Ras, sebenarnya belum ada studi yang menjelaskan tipe kulit yang mana
yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya dermatitis. Hasil studi
yang baru, menggunakan adanya eritema pada kulit sebagai parameter
menghasilkanorang berkulit hitam lebih resisten terhadap dermatitis,
akan tetapi hal ini bisajadi salah, karena eritema pada kulit hitam sulit
terlihat.
e) Lokasi kulit, ada perbedaan yang signifikan pada fungsi barier kulit pada
lokasi yang berbeda. Wajah, leher, skrotum, dan punggung tangan lebih
rentandermatitis.
f) Riwayat atopi, dengan adanya riwayat atopi, akan meningkatkan
kerentanan terjadinya dermatitis karena adanya penurunan ambang batas
terjadinya dermatitis, akibat kerusakan fungsi barier kulit dan
perlambatan proses penyembuhan.

2.3 Patomekanisme Neurotoksisitas

Fase sensitisasi

Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel
Langerhans. Antigen akan terdegradasi atau diproses dan terikat pada Human
Leucocyte Antigen-DR (HLA- DR), dan kompleks yang diekspresikan pada
permukaan sel Langerhans. Sel Langerhans akan bergerak melalui jalur limfatik
ke kelenjar regional, dimana akan terdapat kompleks yang spesifik terhadap sel T
dengan CD4-positif. Kompleks antigen- HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor

7
T-sel tertentu (TCR) dan kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan
Interleukin-1 (IL-1). Interaksi antigen dan IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T
mensekresi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 pada permukaannya. Hal ini
menyebabkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di
seluruh tubuh dan kembali ke kulit.

Tahap elisitasi

Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer atau


memori dengan antigen-TCR spesifik meningkat dalam jumlah dan beredar
melalui pembuluh darah kemudian masuk ke kulit. Ketika antigen kontak pada
kulit, antigen akan diproses dan dipresentasikan dengan HLA-DR pada
permukaan sel Langerhans. Kompleks akan dipresentasikan kepada sel T4
spesifik dalam kulit (atau kelenjar, atau keduanya), dan elisitasi dimulai.
Kompleks HLA-DR-antigen berinteraksi dengan kompleks CD3-TCR spesifik
untuk mengaktifkan baik sel Langerhans maupun sel T. Ini akan menginduksi
sekresi IL-1 oleh sel Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R oleh
sel T. Hal ini menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan
mensekresi IL-3, IL- 4, interferon-gamma, dan granulocyte macrophage colony-
stimulating factor (GMCSF). Kemudian sitokin akan mengaktifkan sel
Langerhans dan keratinosit. Keratinosit yang teraktivasi akan mensekresi IL-1,
kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan asam arakidonik
untuk produksi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi
aktivasi sel mast dan pelebaran pembuluh darah secara langsung dan pelepasan
histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan chemoattractant, sel-
sel dan protein dilepaskan dari pembuluh darah. Keratinosit yang teraktivasi juga
mengungkapkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR, yang
memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel darah.

2.4 Gejala klinis

Gejala untuk toksisitas otak adalah kehilangan memori jangka pendek,


kehilangan sirkulasi, dan ketidakseimbangan. Gejala yang dirasakan untuk sistem
perifer seperti mati rasa, kesemutan, kehilangan sensasi dan gerakan perubahan
suasana hati (mood) atau perasaan (kecemasan, depresi, kebingungan, kemarahan,

8
gejala kelelahan ekstrim, kehilangan memori jangka pendek, vertigo,
ketidakseimbangan, dan kurang konsentrasi).

Neurotoksik akibat agen kimia (zat neurotoksik) ditandai oleh disfungsi


neurologis atau perubahan kimiawi dan struktur sistem saraf. Umumnya
bermanifestasi sebagai gejala yang berkelanjutan, tergantung dari dosis dan durasi
pajanan serta faktor yang bersifat individual. Gangguan dapat terjadi pada sistem
saraf baik sentral maupun perifer serta juga organ sensoris. Gerakan, pemikiran,
penglihatan, pendengaran, ucapan, fungsi jantung, respirasi, dan banyak proses
fisiologis lainnya dikendalikan oleh jaringan proses syaraf, pemancar, hormon,
reseptor, dan saluran saraf yang kompleks ini. Setiap sistem tubuh utama dapat
terpengaruh oleh zat beracun, namun sistem saraf sangat rentan terhadap zat
beracun karena sistem saraf tidak seperti sel lain yang membentuk tubuh. Sel saraf
atau neuron biasanya tidak dapat beregenerasi setelah keracunan sampai ke otak.

Oleh karena itu, biasanya bersifat permanen. Banyak zat beracun dapat
mengubah aktivitas normal sistem saraf. Beberapa menghasilkan efek yang terjadi
hampir seketika dan berlangsung selama beberapa jam. Contohnya termasuk
minuman beralkohol atau asap dari sekaleng cat. Efek dari zat neurotoksik lainnya
mungkin muncul hanya setelah paparan berulang selama berminggu-minggu atau
bahkan bertahun-tahun. Misalnya : secara teratur menghembuskan asap pelarut di
tempat kerja atau makan makanan atau air minum yang terkontaminasi timbal.
Beberapa zat secara permanen dapat merusak sistem saraf setelah terpapar tunggal
- pestisida organofosfat dan senyawa logam tertentu seperti timbel trimetil.
Banyak zat neurotoksik dapat menyebabkan kematian saat diserap, dihirup, atau
tertelan dalam jumlah yang cukup besar. Zat neurotoksik memainkan peran kausal
yang signifikan dalam perkembangan beberapa kelainan neurologis dan psikiatri.

Kebanyakan solven adalah depresan Susunan Saraf Pusat. Mereka


terakumulasi di dalam material lemak pada dinding syaraf dan menghambat
transmisi impuls. Pada permulaan seseorang terpapar, maka fikiran dan tubuhnya
akan melemah. Pada konsentrasi yang sudah cukup tinggi, akan menyebabkan
orang tidak sadarkan diri. Senyawa-senyawa yang kurang polar dan senyawa-
senyawa yang mengandung klorin, alkohol, dan ikatan rangkap memiliki sifat

9
depresan yang lebih besar. Solven adalah irritan. Di dalam paru-paru, iritasi
menyebabkan cairan terkumpul. lrritasi kulit digambarkan sebagai hasil primer
dari larutnya lemak kulit dari kulit. Sel-sel keratin dari epidermis terlepas. Diikuti
hilangnya air dari lapisan lebih bawah. Kerusakan dinding sel juga merupakan
suatu faktor. Memerahnya kulit dan timbul tanda-tanda lain seperti inflamasi.
Kulit pada akhirnya sangat mudah terinfeksi oleh bakteri, menghasilkan ruam dan
bisul pemanah. Pemaparan kronik menyebabkan retak-retak dan mengelupasnya
kulit.

2.5 Diagnosis

WHO menyebutkan gejala-gejala mendukung gangguan saraf akibat zat toksik


adalah sebagai berikut :

1. Rasa lelah yang berlebihan setelah bekerja dan ketika bangun.


2. Sering mengantuk saat siang hari.
3. Sering terbangun pada malam hari (diluar kebiasaan).
4. Mimpi buruk.
5. Dimensia atau sulit mengingat.
6. Kehilangan ide.
7. Sulit berkonsentrasi.
8. Merasa tertekan atau stress.
9. State mudah berubah.
10. Sakit kepala dan vertigo.
11. Jantung berdebar-debar.
12. Berkeringat berlebihan.
13. Tremor dan mati rasa pada jemari.

2.6 Penatalaksanaan

 Penanggulangan Dini Neurotoksis :

Penanggulangan keracunan perlu dilakukan untuk kasus akut maupun


kronis. Kasus akut lebih mudah dikenal sedangkan kasus kronis lebih sulit

10
dikenal. Pada kasus kecacunan akut, diagnosis klinis perlu segera dibuat. Ini
berarti mengelompokkan gejala-gejala yang diobservasi dan menghubungkan
dengan golongan xenobiotik yang memberi tanda-tanda keracunan tersebut. Hal
ini tentu membutuhkan pengetahuan luas tentang suatu toksis semua zat kimia.
Tindakan dini dapat dilakukan sebelum penyebab pasti dari kasus diketahui,
karena sebagian besar keracunan dapat diobati secara simtomatis menurut
kelompok kimianya.

Beberapa contoh tindakan yang perlu dilakukan pada kasus keracunan akut
adalah sebagai berikut:

 Penurunan kesadaran :

Penderita hilang kesadarannya. Periksalah apakah penderita masih bernafas


teratur sekitar 20 kali semenit. Bila tidak bernafas maka perlu dilakukan
pernafasan buatan. Dalam keadaan koma penderita harus segera dibawa ke rumah
sakit yang besar yang biasa merawat kasus keracunan. Jangan diberi minum apa-
apa, dan hanya boleh dirangsang secara fisik untuk membangunkan seperti
mencubit ringan atau menggosok kepalan tangan di atas tulang dada (sternum).
Obat perangsang seperti kafein tidak boleh diberikan persuntikan. Bila muntah,
tidurkanlah telungkup supaya muntahan tidak terhirup dalam paru-paru.

 Kejang :

Bila terdapat kejang maka penderita perlu diletakkan dalam sikap yang enak
dan semua pakaian dilepas. Menahan otot lengan dan tungkai tidak boleh terlalu
keras, dan di antara gigi perlu diletakkan benda yang tidak keras supaya lidah
tidak tergigit. Penderita keracunan dengan kejang harus diberi diazepam intravena
dengan segera, namun perlu dititrasi, karena bila berlebihan dapat
membahayakan. Penderita juga harus segera dirawat di rumah sakit.

Gejala-gejala keracunan perlu dikelompokkan. Misalnya bila terdapat koma


dengan gejala banyak keringat dan mulut penuh dengan air liur berbusa, muntah,
denyut nadi cepat, maka dapat dipastikan bahwa hal ini merupakan keracunan

11
insektisida organofosfat atau karbamat. Pemeriksaan laboratorium mungkin tidak
diperlukan.

Antidotumnya sangat ampuh. yaitu atropin dosis besar yang diulang-ulang


pemberiannya. Bila terdapat kelompok gejala: kulit kering (tidak lembab), mulut
kering, pupil membesar dan tidak bereaksi terhadap cahaya lampu, serta denyut
jantung cepat, maka dapat dipastikan bahwa racun penyebabnya sejenis atropin.
Bila hal ini disertai dengan denyut jantung yang tidak teratur, maka kemungkinan
besar zat ini merupakan obat antidepresan (yang menyerupai atropin).

Pengenalan penyebab keracunan harus didasarkan pada pengetahuan sifat-


sifat obat dan zat kimia dalam kelompok-kelompok gejala seperti di atas.
Walaupun secara pasti belum dapat ditentukan zat kimianya, namun pengenalan
kelompoknya sudah cukup untuk dapat melakukan upaya pengobatannya. Bila
diinginkan identifikasi zat yang lebih pasti maka diperlukan bantuan laboratorium
toksikologi. Namun perlu disadari bahwa tanpa pedoman diagnosis kelompok
penyebab, laboratorium sulit sekali melakukan testing. Selain itu perlu juga
diwaspadai bahwa setiap keracunan dapat mirip dengan gejala penyakit.

 Manajemen Penderita Neurotoksis :

Tindakan pada kasus keracunan bila tidak ada tenaga dokter di tempat adalah
sebagai berikut:

o Tentukan secara global apakah kasus merupakan neurotoksis


o Bawa penderita segera ke rumah sakit, terutama bila tidak sadar

Sebelum penderita dibawa kerumah sakit, mungkin ada beberapa hal yang perlu
dilakukan bila terjadi keadaan sebagai berikut:

 Bila zat kimia terkena kulit, cucilah segera (sebelum dibawa kerumah
sakit) dengan sabun dan air yang banyak. Begitu pula bila kena mata (air
saja). Jangan menggunakan zat pembersih lain selain air.
 Bila penderita tidak benafas dan badan masih hangat, lakukan pernafasan
buatan sampai dapat bernafas sendiri, sambil dibawa ke rumah sakit
terdekat. Bila tanda tanda bahwa insektisida merupakan penyebab, tidak
dibenarkan meniup ke dalam mulut penderita.

12
 Bila racun tertelan dalam batas 4 jam, cobalah memuntahkan penderita
bila sadar.Memuntahkan dapat dengan merogoh tenggorokan (jangan
sampai melukai)
 Bila sadar, penderita dapat diberi norit yang digerus sebanyak 40 tablet,
diaduk dengan air secukupnya.
 Semua keracunan harus dianggap berbahaya sampai terbukti bahwa
kasusnya tidak berbahaya.
 Simpanlah muntahan dan urin (bila dapat ditampung) untuk diserahkan
kepada rumah sakit yang merawatnya.
 Bila kejang, diperlakukan seperti dibahas di atas.

2.7 Pencegahan

Dalam lingkungan industri, pencegahan merupakan tindakan yang lebih baik


dari pada membiarkan terjadi keracunan. Antisipasi dan tindakan keamanan harus
merupakan upaya pertama. Prinsip kerja secara aman adalah penting, namun
sering dianggap berlebihan karena mengeluarkan biaya lebih banyak dan tidak
menghasilkan nilai tambah yang nyata pada produk.

Pencegahan terjadinya keracunan dalam proses produksi di industri dapat


dilakukan dengan menggunakan zat kimia alternatif yang kurang toksik, dan
mengurangi bahaya dan resiko yang mungkin dapat ditimbulkan pada pekerja dan
lingkungan. Selain itu perlu diusahakan upaya pengamanan seperti menyediakan
tempat penyimpanan yang aman, tersedianya sarana air pembilas di tempat-tempat
strategis, menyediakan dokter perusahaan, melengkapi pekerja dengan masker dan
sarung tangan, dan sebagainya.

Penggunaan bahan kimia di dalam industri makin hari makin meningkat.


Walaupun zat kimia yang sangat toksis sudah dilarang dan dibatasi pemakaiannya,
pemaparan terhadap zat kimia yang dapat membahayakan tidak dapat dielakkan
dalam lingkungan kerja. Karena itu proteksi dan sikap hati-hati terhadap
xenobiotik, yaitu semua zat kimia yang dipakai manusia dan potensial dapat
masuk ke dalam tubuh, perlu ditingkatkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Cahyana, G., Sukrisna, A., Mulyani, T. (2013). Hubungan Paparan Xylene dan
Methil Hippuric Acid pada Pekerja Informal Pengecatan Mobil di
Karasak, Bandung. Tehnik Lingkungan Universitas Kebangsaan.

14
Dick, F D. (2006). Solvent Neurotoxicity Occupational Environmental (1st ed).
London: Cambridg

Kusnoputranto, H. (2015), Toksikologi Lingkungan, Universitas Indonesia,


Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia
dan Lingkungan, Jakarta.

Manahan, Stanley E. (1994), Environmental Chemistry, sixth edition, Lewis


Publishers,Boca Raton, Ann Arbor, London, Tokyo.

Scott, Ronald McLean. (1989), Chemical Hazard in the Workplace, Lewis


Publishers, Inc., 121 South Main Street, Chelsea, Michigan 48118

Thetkathuek, A., Jaide, W., Saowakhonta, S. (2015). Neuropsychological


Symptoms among Workers Exposed to Toluene and Xylene in Two Paint
Manufacturing Factories in Eastern Tailand. Advances in Preventive
Medicine. 4(9), 521-524.

15
16

Anda mungkin juga menyukai