Anda di halaman 1dari 26

CASE REPORT

RHINOSINUSITIS MAKSILARIS KRONIK SINISTRA ET CAUSA


ODONTOGENIK

Pembimbing :
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA.,
MARS., M.Si, Audiologist
Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT – KL
dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT-KL

Diajukan Oleh :
Risya Nur Fadillah Sapitri, S. Ked
J510170071

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017

1
CASE REPORT
RINOSINUSITIS MAKSILARIS KRONIK SINISTRA ET CAUSA
ODONTOGENIK
Yang diajukan oleh :
Risya Nur Fadillah Sapitri, S. Ked
J510170071
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal.................................................

Pembimbing I
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA.,
MARS., M.Si, Audiologist

(.............................................)
Pembimbing II
Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT – KL

(.............................................)
Pembimbing III
dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT – KL

(………………………………………)

Ka. Program profesi


dr. D. Dewi Nirlawati

(.............................................)

2
BAB I
PRESENTASI KASUS
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. L
b. Umur : 28 tahun
c. Alamat : Jumantono
d. Pekerjaan : Swasta
e. Status Perkawinan : Menikah
f. Tgl masuk :14 Juli 2017
g. No RM : 00408495

II. Riwayat Penyakit


1. Keluhan Utama
Hidung sebelah kiri terasa tersumbat.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat sebelah kiri.
Keluhan tersebut telah dirasakan sejak ± 1 tahun yang lalu. Keluhan
tersumbat awalnya muncul perlahan dan semakin lama dirasakan
bertambah berat. Keluhan tersebut bersifat hilang timbul. Keluhan hidung
tersumbat, disertai lendir yang pada awalnya bening dan semakin lama
berwarna putih serta berbau. Pasien merasa terdapat lendir mengalir di
tenggorokan. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada bagian wajahnya.
Keluhan disertai dengan fungsi penghidu yang menurun, nyeri kepala,
bersin-bersin terutama pagi hari. Pasien merasa keluhan memberat jika
berada di lingkungan dingin. Keluhan gatal, mimisan, deman, batuk
disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa sebelumnya : disangkal
b. Hipertensi : disangkal
c. Diabetes Melitus : disangkal
d. Asma : disangkal
e. Alergi : diakui, alergi debu
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Hipertensi : disangkal
c. Diabetes Melitus : disangkal
d. Asma : diakui, ibu pasien
e. Alergi : disangkal
III.Pemeriksaan Fisik

3
A. Status Generalis
1. Keadaan umum : Cukup
2. Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
3. Tekanan darah : 110/80 mmHg
4. Nadi : 80 x/ menit
5. Respirasi : 20 x/ menit
6. Suhu badan : 36,7 oC

B. Keluhan THT
Telinga : Telinga sakit (-/-), berdenging (-/-), terasa penuh (-/-),
pendengaran berkurang (-/-), benda asing (-/-), terasa
panas (-/-), keluar cairan (-/-)
Hidung : Hidung tersumbat (-/+), sekret (-/+), berbau (-/+),
hiposmia (+), epistaksis (-/-)
Tenggorok : Lendir mengalir ditenggorokan, Tonsil T1/T1, karies (+)
pada molar 1 kiri bawah, nyeri tenggorokan (-)
Kepala :Bentuk normocephal, konjungtiva anemis (-), sclera
ikterik(-)
Leher :Retraksi supra sterna (-), deviasi trachea (-), JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorax : setinggi abdomen, suara dasar vesikuler (+/+), wheezing
(-/-), bunyi jantung I dan II murni reguler, bising (-)
Abdomen : Distended (-), nyeri tekan (-), peristaltik normal 10x/mnt
Extremitas : clubbing finger < 2 detik, edema tungkai (-), sianosis (-),
akral hangat (+)
C. Status Lokalis
1. Hidung
a.Pemeriksaan
Hidung Kanan Hidung Kiri
Hidung
Hidung luar Bentuk normal, hiperemi Bentuk normal, hiperemi
(-), deformitas (-), nyeri (-), deformitas (-), nyeri
tekan (-), krepitasi (-) tekan (-), krepitasi (-)

4
b. Rinoskopi Anterior

Vestibulum nasi Normal, uklus (-) Normal, ulkus (-)


Cavum nasi Bentuk (normal), Bentuk(normal), hiperemia
hiperemia (-) (-)
Meatus nasi Mukosa hiperemis (-), Mukosa hiperemis (+),
media sekret (-), massa berwarna sekret (+), massa berwarna
putih mengkilat (-). putih mengkilat (-).

Konka nasi Edema (-), mukosa Edema (+), mukosa


inferior hiperemi (-) hiperemi (+)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-) ulkus (-)
rhinoskopi posterior Muara tuba eustachii tampak
tidak ada oklusi
Tidak tampak pemebesaran
kelenjar adenoid
Concha superior dalam batas
normal
Tidak tampak ada masa

2. Rongga mulut dan tenggorokan


Bibir & Mukosa mulut basah, berwarna
mulut merah muda
Warna mukosa gusi merah muda,
Geligi hiperemi (-), karies (+) pada
molar 1 kiri bawah
Lidah Pseudomembrane (-)

5
Uvula Berada ditengah, hiperemi (-),
edema (-), pseudomembran (-)
Mukosa Mukosa hiperemi (-), lendir
mengalir ditenggorokan
Tonsila Kanan: T1, Hiperemi (-), detritus
palatina (-), kripte melebar (-)
Kiri: T1, Hiperemi (-), detritus
(-), kripte melebar (-)

Laring (laringoskopi indirek)


Epiglotis : dbn
Aritenoid : dbn
Plika vokalis : dbn
Gerak plika vokalis : dbn
Subglotis : dbn
Tumor :-
3. Telinga
No. Area Telinga Kanan Telinga Kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Pre dan Fistula (-), hiperemis (-), Fistula (-), hiperemis (-),
Retro edema (-), nyeri tekan (-) edema (-), nyeri tekan (-)
auricula
3. Daun Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam
telinga batas normal, hematoma batas normal, hematoma
(-), edema (-), hiperemis (-),edema (-), hiperemis (-),
(-), sekret (-) sekret (-)
4. Liang Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
telinga furunkel (-), edema (-), furunkel (-), edema (-),
sekret (-) sekret(-)

6
5. Membran Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
timpani hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), kolesteatom perforasi (-), kolesteatom
(-), cone of light (+) (-), cone of light (+)

MT intak MT intak
Cone of light Cone of
(+) light (+)

Test Garpu Tala Test Rinne : positif Test Rinne : positif


Test Weber: tidak ada Test Weber: tidak ada
laterisasi ke kanan/ ke kiri laterisasi ke kanan/ ke kiri
Test Swabach : sama Test Swabach : sama
dengan pemeriksa dengan pemeriksa
Kesimpulan : Normal Kesimpulan : Normal

4. Kepala dan Leher


Kepala: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping
hidung (-)
Leher: retraksi (-), deviasi trachea (-), pembesaran kelenjar limfe
(-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Darah Rutin
13-07-2017 Harga normal
HB 13,9 12-16
Hematokrit 42,3 37-47
Leukosit 10,42 5-10
Trombosit 248 150-300
Eritrosit 4,63 4.00-5.00
MCV 91,4 82.0-92.0
MCH 30,0 27.0-31.0
MCHC 32,8 32.0-37.0
Limfosit 18,2 25.0-40.0
Monosit 2,3 3.0-9.0
Eosinofil 0,7 0.5-5.0
Basofil 0,1 0.0-1.0

7
CT 04.30 2-8
BT 01.30 1-3
GDS 108 70-150

B. Foto polos SPN

V. Diagnosis Banding
Rhinosinusitis Maksilaris Kronik ec dentogen/odontogenik
Rhinosinusitis Maksilaris Kronik ec rinogenik
Rinitis Alergi

VI. Diagnosis
Rhinosinusitis Maksilaris Kronik Sinistra e.c odontogenik

VII. Terapi
Medikamentosa :
Inf. RL 20/tpm
Inj. Cefriaxon 2x1gr
Inj. Santagesik 3x1 gr
Inj. As. Traneksamat 3x500mg

8
Inj. Dexametason 3x5mg

Operatif :
Caldwell-Luc

VIII. Edukasi
Menjaga kebersihan gigi dan mulut
Menghindari faktor pencetus

IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL

Terdapat empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.

Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior

10
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum
etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-
kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum
yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitus.

Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan
kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh
sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal
adalah bagian dari sinus etmoid anterior.

11
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-
sel etmoid. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya
di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior
biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior
dari perlekatan konka media.

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.

Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.

12
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan mengenail fungsi sinus paranasal
yakni :
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi suara
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mucus

B. RHINOSINUSITIS
1. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada
kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini
adalah rinosinusitis.
2. Etiologi
Saat ini, studi etiologi sinusitis semakin berfokus pada obstruksi
ostiomeatal, alergi, polip, kondisi immunodefisiensi, dan penyakit gigi.
Mikroorganisme yang lebih sering dikenal sebagai penyebab sekunder.
 Bakteri

13
Bakteri yang menjadi penyebab sinusitis kronis berbeda dengan
sinusitis akut. Berikut ini adalah bakteri-bakteri yang pernah dilaporkan
dalam sampel yang didapatkan melalui endoskopi atau pungsi sinus pada
pasien dengan sinusitis kronis:
a. Staphylococcus aureus, baik strain yang merespon methicillin dan
yang resisten terhadao methicillin.
b. Staphylococci koagulasi-negatif
c. H. influenza
d. M. catarrhalis
e. S. pneumoniae
f. Streptococcus intermedius
g. Pseudomonas aeuginosa
h. Nocardia sp
i. Bakteri anaerob (Peptostreptococcus, Prevotella, Porphyromonas,
Bacteroides, Fusobacterium sp).
 Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain.
Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan
infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan,
dan siklus seterusnya berulang.
 Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan
sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar).
Bakteri penyebab adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
influenza, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella
catarhalis dan lain-lain.
Sinusitis dentogen merupakan penyebab paling sering terjadinya
sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosessus alveolaris tempat
akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi
rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan
periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui
pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada

14
sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang
purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut dan dirawat, pemberian antibiotik yang mencakup
bakteria anaerob. Seringkali juga diperlukan irigasi sinus maksila.
 Jamur.
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu
keadaan yang jarang ditemukan. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat
imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara lain diabetes mellitus,
neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis
jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesis
Aspergillus dan Candida.
Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur paranasal pada kasus
seperti berikut: Sinusitis unilateral yang sukar sembuh dengan terapi
antibiotik. Adanya gambaran kerusakkan tulang dinding sinus atau adanya
membran berwarna putih keabu-abu pada irigasi antrum. Para ahli
membagikan sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang invasif dan non-
invasif.
Jamur-jamur berikut ini telah dilaporkan dalam sampel yang
didapatkan dengan endoskopi atau pungsi sinus pada pasien dengan
sinusitis kronis:
a. Aspergillus sp
b. Cryptococcus neoformans
c. Candida sp
d. Sporothrix schenckii
e. Alternaria sp.
3. Klasifikasi
Klasifikasi rinosinusitis berdasarkan onset waktunya, yaitu :
a. Akut
1) Keluhan dirasakan < 12 minggu
2) Resolusi komplit gejala
b. Kronik
1) > 12 minggu
2) Tanpa resolusi gejala komplit
3) Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut

15
Rinosinusitis kronik tanpa bedah sinus sebelumnya terbagi
menjadi subgrup yang didasarkan atas temuan endoskopi10, yaitu :
1) Rinosinusitis kronik dengan polip nasal
Polip bilateral, terlihat secara endopskopi di meatus media
2) Rinosinusitis kronik tanpa polip nasal
Tidak ada polip yang terlihat di meatus media, jika perlu
setelah penggunaan dekongestan
4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal
(KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial
dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi
gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi
kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih
kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen.
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi
lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista.
Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis.
Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila
proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar
dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai,
sehingga terjadilah polip.

16
Patogenesis Sinusitis
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti
dibawah ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya
secara berurutan:
a. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya
kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
b. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema
dan pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak
ada kelainan epitel.
c. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar
melalui epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan
bakteri, debris, epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan
kapiler terjadi dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-
mula encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena
terjadi koagulasi fibrin dan serum.
d. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan
berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.
e. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti
ke tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali.
Resolusi masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena
perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berhenti.
Perubahan jaringan akan menjadi permanen, maka terjadi perubahan
kronis, tulang di bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis dan
akan diganti dengan nekrosis tulang

17
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1)
Melalui suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) Perluasan
langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3)
Dengan terjadinya defek; dan (4) melalui jalur vaskuler dalam bentuk
bakterimia. Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari
sinus secara limfatik.
5. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul karena sinusitis kronis dapat berupa:
a. Obstruksi nasal
b. Pilek, dengan sekret berwarna kehijauan atau kuning.
c. Bekrurangnya penghidu.
d. Nyeri pada sinus yang terkena. Namun, rasa sakit pada sinusitis kronis
tidak selalu menjadi hal utama (berbeda dengan sinusitis akut). Dalam
banyak kasus, keluhan lebih kepada rasa penuh pada wajah atau rasa
sedikit tidak nyaman pada wajah dibandingkan rasa nyeri.
Gejala-gejala lain yang terkadang dijumpai:
a. Sakit kepala
b. Nafas yang bau
c. Sakit gigi
d. Batuk
e. Rasa adanya tekanan atau rasa penuh di telinga
f. Kelelahan.
Gejala-gejala pada anak-anak yang dapat dijumpai:
a. Iritabilitas
b. Mendengkur
c. Bernafas dengan mulut
d. Sulit makan
e. Suara hidung.
6. Diagnosis

a. Anamnesis
Berikut ini adalah hal-hal yang sering dikeluhkan pasien ketika sesi
anamnesa.
-
Hidung pilek
-
Adanya ingus
-
Beagian belakang hidung dan tenggorokan terasa ada lendir
-
Rasa penuh, tidak nyaman, dan nyeri pada wajah
-
Sakit kepala
-
Batuk kronis yang tidak produktif (sering pada anak-anak)

18
-
Penghiduan berkurang atau tidak ada sama sekali
-
Sakit tenggorokan
-
Nafas berbau busuk
-
Rasa lelah
-
Mudah lelah
-
Tidak selera makan
-
Asma
-
Sakit gigi (gigi bagian atas)
-
Gangguan penglihatan
-
Bersin-bersin
-
Telinga tersumbat
-
Demam tanpa sebab yang diketahui.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan dijumpai hal-hal berikut ini.
- Pada palpasi sinus akan dijumpai adanya pembengkakan dan rasa
nyeri, khususnya pada bagian sinus frontal dan maksila
- Pada pemeriksaan orofaring akan dijumpai post-nasal drip atau
lendir yang mengalir dari bagian belakang hidung ke tenggorokan.
Eritema dan sekresi purulen akan terlihat pada bagian orofaring.
- Biasanya dijumpai karies pada gigi.
- Rhinoskopi anterior dilakukan dengan speculum hidung untuk
melihat adanya drainase purulen atau polip maupun massa lain pada
hidung. Faktor-faktor pencetus sinusitis kronis lainnya dapat
dijumpai seperti adanya deviasi septum ataupun hipertrofi konka.
- Pemeriksaan hidung juga dapat dilakukan dengan endoskopi hidung
(jika tersedia). Hasil pemeriksaan yang akan dijumpai adalah sebagai
berikut:
 Eritema mukosa nasal ataupun edema
 Sekresi purulen
 Obstruksi hidung yang disebabkan oleh septum hidung atau
hipertrofi konka
 Polip nasal.
c. Pencitraan (Imaging)
Foto polos menunjukkan adanya penebalan mukosa atau opasitas
sinus. Tetapi, sinusitis kronis tidak bisa didiagnosa dengan adekuat
karena abnormalitas yang terdeteksi pada foto polos tidak sensitive
atau spesifik. Sinus etmoid dan kompleks ostiomeatal tidak
tervisualisasikan dengan baik pada foto polos sinus.

19
CT Scan multiplanar sinus lebih dipilih pada teknik pencitraan
untuk mengevaluasi sinusitis kronis. Sinusitis dikarakteristikkan
dengan adanya penebalan mukosa sinus, obstruksi ostial sinus, dan
opasifikasi sinus. Temuan lainnya seperti polip, mukokel, dan
perubahan struktur tulang yang disebabkan oleh sinusitis kronis.
CT Scan dengan kontras adalah kriteria standar radiologi saat ini
untuk mengevaluasi penyakit sinus. CT Scan yang dikombinasikan
dengan pemeriksan endoskopi dapat membantu ahli bedah untuk
membuat keputusan operatif.
MRI umumnya dilakukan pada kasus-kasus yang kompleks.
Kontras jaringan-jaringan lunak terlihat lebih baik dengan MRI.
Komplikasi neoplasma, orbital, intracranial, dan sinusitis fungal dapat
dievaluasi dengan baik dengan MRI.
7. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis sinusitis berdasarkan American Academy of
Otolaryngilogy-Head & Neck Surgery membutuhkan 2 atau lebih
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minur dalam
mendiagnosis sinusitis.
Kriteria mayor:
a. Nyeri atau rasa tekanan pada wajah
b. Obstruksi atau sumbatan hidung
c. Sekret hidung purulen atau sekret postnasal yang kotor
d. Hiposmia atau anosmia
e. Sekret purulen pada cavum nasal
f. Demam (untuk sinusitis akut).
Kriteria minor:
a. Sakit kepala
b. Demam
c. Halitosis
d. Kelelahan
e. Nyeri gigi
f. Batuk
g. Nyeri, rasa tekanan dan penuh pada telinga
8. Penatalaksanaan

20
Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan,
mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis.
Prinsipnya adalah dengan membuka sumbatan di KOM atau
melubangi di fossa canina sehingga drainase dan ventilasi sinus-
sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada
sinusitis akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan
pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoksisilin, dan jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin –
asam klavulanat atau jenis sefalosporin generasi kedua. Pada
sinusitis, antibiotik diberikan selama 10 – 14 hari meskipun gejala
klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronis diberikan antibiotik yang
sesuai untuk kuman gram negative dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topical terapi lain dapat
diberikan jika diperlukan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral
atau topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan karena
sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi lebih
kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin
generasi kedua. Irigasi sinus maksila juga merupakan terapi
tambahan yang bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan
pada kelainan alergi yang berat.
Tindakan bedah dilakukan bila terdapat indikasi berupa:
sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat;
sinusitis kronik disertai kista atau kelainan ireversibel; polip
ekstentensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
Tindakan bedah pada kasus sinusitis ada dua yaitu operasi
Caldwell Luc dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.
9. Komplikasi

21
Komplikasi sinusitis telah banyak menurun sejak
ditemukannya antibiotik. Komplikasi biasana terjadi pada sinusitis
akut atau sinusitis kronis eksaserbasi akut, antara lain :
a. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinusitis yang lokasinya berdekatan dengan
mata, yang paling sering adalah sinusitis etmoid, dan selanjutnya
oleh sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui trombflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat
timbul adalah edema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi
thrombosis sinus kavernosus.
b. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural,
abses otak dan thrombosis sinus kavernosus.
c. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
ditemukan pada anak-anak. Pada oseteomielitis sinus maksila
dapat timbul fistula oroantral atau fistula di pipi.
d. Kelainan Paru
Kelainan para yang terjadi antara lain bronchitis kronis dan
bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan
kelainan paru ini disebut sebagai sino-bronkhial. Selain itu
sinusitis dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang
sulit dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

22
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN
Seorang perempuan usia 28 tahun dengan keluhan hidung tersumbat
sebelah kiri, lender berwarna putih serta berbau. Terdapat lendir mengalir di
tenggorokan, lendir berwarna putih dan berbau, nyeri pada bagian wajahnya,
fungsi penghidu yang menurun, nyeri kepala, bersin-bersin terutama pagi
hari. Untuk menegakkan diagnosis sinusitis dapat digunakan kriteria dari
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)
berdasarkan gejala dan tanda sinonasal yang dibagi menjadi kriteria mayor
dan minor.
Kriteria mayor:
a. Nyeri atau rasa tekanan pada wajah
b. Obstruksi atau sumbatan hidung
c. Sekret hidung purulen atau sekret postnasal yang kotor
d. Hiposmia atau anosmia
e. Sekret purulen pada cavum nasal
f. Demam (untuk sinusitis akut).
Kriteria minor:
a. Sakit kepala
b. Demam
c. Halitosis
d. Kelelahan
e. Nyeri gigi
f. Batuk
g. Nyeri, rasa tekanan dan penuh pada telinga.
Berdasarkan kriteria diagnosis menurut AAOA dan ARS, pasien ini
memiliki lebih dari 2 gejala mayor dan 2 gejala minor, sehingga memenuhi
kriteria sinusitis.
Pada pemeriksaan status lokalis THT, didapatkan temuan pada
pemeriksaan rinoskopi anterior berupa adanya edema dan hiperemi pada
konka, ditemukan sekret. Pada pemeriksaan gigi, didapatkan karies pada
gigi molar 1 kiri bawah. Sehingga merujuk pada temuan klinis yang
didukung oleh adanya pemeriksaan penunjang, maka diagnosis sinusitis
sinistra pada pasien sudah dapat ditegakkan. Karena gejala pada pasien

23
sudah berlangsung selama ± 1 tahun, maka sinusitis pada pasien dapat
dikategorikan sebagai sinusitis maksilaris kronik sinistra e.c odontogenik.
Penanganan yang dilakukan pada pasien ini bertujuan untuk
mempercepat penyembuhan dan mencegah komplikasi. Penanganan yang
diberikan yaitu antibiotik spektrum luas, dekongestan, dan analgetik.
Selain itu dilakukan upaya untuk mengeluarkan sekret dari sinus
maksilaris sinistra dengan cara irigasi sinus. Apabila terapi tersebut tidak
berhasil maka dilakukan tindakan operatif yaitu operasi Caldwell Luc.
Pasien juga direncanakan untuk dikonsulkan ke bagian Gigi dan
Bedah Mulut untuk penanganan kemungkinan infeksi gigi yang dialami
pasien, sehingga penyebab primer dari sinusitis maksilaris dapat
ditanggulangi untuk mencegah rekurensi.
B. KESIMPULAN
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada
kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah
rinosinusitis.
Sinusitis dentogen merupakan penyebab paling sering terjadinya
sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosessus alveolaris tempat
akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi
rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan
periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui
pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada
sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang
purulen dan napas berbau busuk.
Prinsip penatalaksanaan sinusitis adalah mempercepat
penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi
kronis. Prinsipnya adalah dengan membuka sumbatan di KOM atau
melubangi di fossa canina sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus
pulih secara alami.

24
Komplikasi yang dapat terjadi pada sinusitis yaitu, kelainan orbita,
kelainan intrakranial, Osteomielitis dan Abses Subperiosteal, serta
kelainan paru.

DAFTAR PUSTAKA

Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar
penyakit tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 1994.h.173-240

25
Bhattacharyya, A. and Patel, N. (2011) Otolaryngology Pocket Tutor,
India: JP Medical Publisher.
FK UI (2012) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Tenggorokan, Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
Kern R.C, Liddy W., 2015. Patogenesis of Chronic
Rhinosinusitis :Cumming Otolaryngology - Head and Neck
Surgery. 16 edition. 2015. Mosby. Chapter : 45. Page : 714-723
Snell, S.R. 2011., Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th Ed.
Jakarta : EGC
Sherwood, L., 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2 nd Ed. Jakarta:
EGC

26

Anda mungkin juga menyukai

  • Referat Esbl
    Referat Esbl
    Dokumen25 halaman
    Referat Esbl
    Esha Putriningtyas Setiawan
    100% (1)
  • Jadwal Jaga
    Jadwal Jaga
    Dokumen4 halaman
    Jadwal Jaga
    Esha Putriningtyas Setiawan
    Belum ada peringkat
  • Referat VSD
    Referat VSD
    Dokumen19 halaman
    Referat VSD
    Esha Putriningtyas Setiawan
    50% (2)
  • Hipotiroid Adam
    Hipotiroid Adam
    Dokumen15 halaman
    Hipotiroid Adam
    Esha Putriningtyas Setiawan
    Belum ada peringkat
  • Morning Report Yudhistira
    Morning Report Yudhistira
    Dokumen9 halaman
    Morning Report Yudhistira
    Esha Putriningtyas Setiawan
    Belum ada peringkat
  • 1113 5139 1 PB
    1113 5139 1 PB
    Dokumen7 halaman
    1113 5139 1 PB
    Esha Putriningtyas Setiawan
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Hordeolum
    Lapsus Hordeolum
    Dokumen21 halaman
    Lapsus Hordeolum
    Esha Putriningtyas Setiawan
    Belum ada peringkat