Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun

akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat

menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang

mengatur keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan

kosentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia).1

2. Klasifikasi

Klasifikasi diabetes menurut American Diabetes Association (ADA) tahun

20172, antara lain:

1. Diabetes tipe 1 (DMT1)

Terjadi kerusakan sel beta pankreas akibat autoimun, sehingga dapat

menyebabkan defisiensi insulin yang absolut.

2. Diabetes tipe 2 (DMT2)

Terjadi hilangnya sekresi insulin dari sel beta pankreas secara progresif,

dilatar belakangi insulin yang resisten

3. Gestational diabetes melitus (GDM)

Diabetes didiagnosa pada kehamilan trisemester kedua atau ketiga.

4. Diabetes tipe spesifik akibat penyebab lain

a. Sindrom diabetes monogenik, seperti neonatal diabetes, dan

Universitas Lambung Mangkurat


7

maturity-onset diabetes of the young (MODY)

b. Penyakit eksokrin pankreas, seperti fibrosis kistik

c. Karena pengaruh obat atau zat kimia, seperti dalam pengobatan

HIV/AIDS atau paska transplantasi organ

3. Etiologi

4. Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO) secara global, diperkirakan

422 juta orang dewasa hidup dengan diabetes pada tahun 2014, dibandingkan

dengan 108 juta pada tahun 1980. Prevalensi global (usia-standar) diabetes telah

hampir dua kali lipat sejak tahun 1980, meningkat dari 4,7% menjadi 8,5% pada

populasi orang dewasa. Hal ini mencerminkan peningkatan faktor risiko terkait

seperti kelebihan berat badan atau gendut. Selama dekade terakhir, prevalensi

diabetes telah meningkat lebih cepat di negara berpenghasilan rendah dan

menengah daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi. Diabetes

menyebabkan 1,5 juta kematian pada tahun 2012. Glukosa darah yang lebih tinggi

dari pada optimal menyebabkan tambahan 2,2 juta kematian, dengan

meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan lainnya. Empat puluh tiga

persen dari 3,7 juta kematian ini terjadi sebelum usia 70 tahun. Persentase

kematian akibat tingginya glukosa darah atau diabetes yang terjadi sebelum usia

Universitas Lambung Mangkurat


8

70 tahun lebih tinggi di negara berpenghasilan rendah dan menengah daripada di

Indonesia negara berpenghasilan tinggi.3

Data dari Dinas Kesehatan Kota Bnjarmasintahun 2014 jumlah penderita

diabetes melitus sebanyak 18.870 orang sedangkan tahun 2015 pada bulan Januari

sampai Oktober sebanyak 13.863 orang. Data dari Rumah Sakit Umum Daerah

Dr.H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013 jumlah pasien rawat jalan

diabetes melitus sebanyak 3.740 orang, tahun 2014 sebanyak 5.980 orang

sedangkan bulan Januari sampai Oktober 2015 sebanyak 5.373 orang.4

5. Patogenesis

Secara garis besar DM terbagi menjadi DMT1 dan DMT2. DMT1 merupakan

manifestasi dari defisiensi insulin total. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya

destruksi sel beta pankreas yang bertugas menghasilkan insulin. Proses destruksi
12
ini dapat terjadi karena proses imunologik maupun idiopatik. Gejala DMT1

meliputi ekskresi berlebihan urin (poli uria), haus (polidipsia), kelaparan konstan,

penurunan berat badan, perubahan penglihatan, dan kelelahan. Gejala ini bisa

terjadi secara tiba-tiba. DMT1 biasanya terjadi pada remaja atau anak.3

Hiperglikemia pada DMT 2 hasil dari inadekuatnya produksi insulin dan

ketidakmampuan tubuh untuk merespon sepenuhnya insulin (resistensi insulin).

DMT2 sebagian besar terlihat pada dewasa tua, tetapi semakin terlihat meningkat

pada anak-anak, remaja dan orang dewasa muda karena menigkatnya tingkat

obesitas, ketidakaktifan fisik dan pola makan yang buruk.13 Sebagian besar pasien

DMT2 adalah pasien obesitas dan keadaan ini berhubungan dengan resistensi

Universitas Lambung Mangkurat


9

insulin. Resistensi insulin telah terjadi beberapa dekade sebelum kejadian DMT2.

Secara fisiologis tubuh dapat mengatasi resistensi insulin yang terjadi dengan

meningkatkan jumlah sekresi insulin sehingga hiperglikemia massa tidak terjadi.

Pada suatu saat, gabungan defek sekresi insulin dan resistensi insulin

menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Saat terdiagnosis DM, diperkirakan

pasien tersebut sudah kehilangan 50% massasel beta pankreas, sehingga terjadi

ketidakseimbangan antara sekresi insulin dan resistensi insulin.14 Gejala pada

DMT2 antara lain yaitu haus berlebihan, mukut kering, sering buang air kecil,

kekuranga energi, kelelahan yang ekstrim, kesemutan atau mati rasa di kaki,

penyembuhan luka yang lambat, penglihatan kabur, dan infeksi jamur di kulit

yang rekuren.13

6. Faktor Resiko

Faktor resiko DMT2 antara lain adalah (Powers, 2010):

 Riwayat kelura menderita diabetes (contoh: orang tua atau saudara

kandung dengan DM tipe 2

 Obesitas (Indeks Massa Tubuh ≥ 25 kg/m2)

 Aktivitas fisik

 Ras/etnis

 Gangguan toleransi glukosa

 Riwayat diabetes gestational atau melahirkan bayi dengan berat lahir

> 4kg

 Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg)

Universitas Lambung Mangkurat


10

 Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL (0,9) mmol/L) dan/atau kadar

trigiserida ≥ 250 mg/dL (2,82 mmol/L)

 Polycystic Ovary Syndrome atau Acantosis Nigricans

 Riwayat kelainan darah

7. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasaar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara

enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan

glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakka atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat

badanyang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam
Atau
Pemeriksaaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik
Atau

Universitas Lambung Mangkurat


11

Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunkaan metode yang terstandarisasi


oleh Nationl Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard

NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil

pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati,

riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang mempengaruhi

umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai

sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM

digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa

terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma

puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam

<140mg/dl;

• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-jam

setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100mg/dl

• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan

HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabete

Universitas Lambung Mangkurat


12

HbA1c (%) Glukosa darah

puasa (mg/dL)

Tabel 5.Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

Glukosa plasma 2 jam

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang

cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-hari.

2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan.

3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.

4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.

5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai.

6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban

glukosa.

7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok.

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes

Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak

menunjukkan gejala klasik DM (B) yaitu:

Universitas Lambung Mangkurat


13

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT]=23 kg/m2)

yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:

a. Aktivitas fisik yang kurang.

b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).

c. Kelompok ras/etnis tertentu.

d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau

mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).

e. Hipertensi (=140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).

f. HDL <35mg/dL dan atau trigliserida >250mg/dL.

g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.

h. Riwayat prediabetes.

i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.

j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia >45tahun tanpa faktor risiko di atas.

Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma

normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok prediabetes

pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas

pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.

Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa

darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel-3 di bawah ini.

Universitas Lambung Mangkurat


14

Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan

diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti

8. Terapi

B. Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL)

1. Definisi

Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) adalah enzim yang mempunyai

kemampuan untuk menghidrolisis antibiotika golongan penisilin, sefalosporin

generasi satu, dua, dan tiga, serta golongan aztreonam.8,9 Bakteri penghasil ESBL

paling banyak berasal dari bakteri Gram negatif kelompok Enterobacteriaceae

yaitu E. coli dan K. pneumoniae. Selain itu, Citrobacter sp, Enterobacter sp, P.

mirabilis, P. vulgaris, dan P. aeruginosa juga ditemukan dapat menghasilkan

ESBL.9

2. Klasifikasi

Ada dua system klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan ESBL

yaitu klasifikasi Ambler dan klasifikasi Bush-Jacoby. Klasifikasi Ambler

membagi enzim beta-laktamase menjadi 4 kelas (A, B, C, dan D) berdasarkan

struktur molekul. ESBL termasuk kelas A beta-laktamase dan dapat didefinisikan

Universitas Lambung Mangkurat


15

sebagai enzim plasmid-mediated yang menghidrolisis oxyimino-sefalosporin, dan

monobaktam tapi tidak sefamisin atau karbapenem dan dihambat oleh asam

klavulanat. Sementara klasifikasi Bush-Jacoby membagi enzim beta-laktamase

berdasarkan karakteristik fungsional dan profil substrat. Kebanyakan ESBL

termasuk ke dalam grup 2be yang menghidrolisis penisilin, sefalosporin, dan

monobaktam, dan dihambat oleh asam klavulanat (sesuai klasifikasi Ambler).23

Tabel 2.1 Klasifikasi Beta-Laktamase Berdasarkan Kelas Fungsional dan

Molekuler23

Kelas Kelas Karakteristik

Fungsional Molekuler

Grup 1 C 40 kDa cephalosporinase tidak diinhibisi oleh

inaktivator

Grup 2b A 22-36 kDa Penicillinase spektrum luas, diinhibisi oleh

asam klavulanat

Grup 2be A 28-29 kDa, Extended spectrum beta-lactamase

(ESBL) tipe TEM dan SHV

Grup 2d D 29-53 kDa Oxacillinase tidak diinhibisi dengan baik

oleh inaktivator

Grup 2e A 27-48 kDa cephalosporinase diinhibisi oleh

inaktivator

Universitas Lambung Mangkurat


16

Grup 2f A 29-30 kDa Serine Carbapenemases

Grup 3 B 25-120 kDa metallo-beta-lactamase

3. Resistensi Bakteri Penghasil ESBL Terhadap Antibiotik

Mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik beraneka ragam,

baik melalui pembentukan enzim penghancur antibiotik, penurunan aktivitas

protein pengikat antibiotik, dan sebagainya. Resistensi bakteri terhadap antibiotik

akan menyangkut dua jenis bakteri yaitu bakteri yang secara alamiah resisten

terhadap antibiotik tertentu (resistensi intrinsik) dan bakteri yang berubah

sifatnya dari peka menjadi resisten dimana perubahan fenotip ini dapat terjadi

karena mutasi kromosomal dan/atau didapatnya materi genetik dari luar.24

Gen penyebab resistensi terletak pada kromosom, transposon, plasmid, dan

integron. Mutasi kromosomal dapat menyebabkan bakteri resisten terhadap

antibiotik. Pertukaran bebas elemen genetik khususnya transposon, plasmid, dan

integron secara horizontal baik melalui proses konjugasi, transduksi, dan

transformasi juga dapat menyebabkan bakteri resisten terhadap antibiotik.24

ESBL termasuk plasmid mediated beta-lactamase yang dapat menyebar

secara horizontal melalui konjugasi plasmid dan integron. Organisasi integron

tidak hanya dapat menyebabkan resistensi terhadap beta laktam, tetapi juga pada

golongan lain seperti aminoglikosida, makrolid, sulfonamid, dan

kloramfenikol.24,25

4. Hubungan Kateterisasi dengan Terjadinya Infeksi Saluran Kemih Oleh

Bakteri Penghasil ESBL

Universitas Lambung Mangkurat


17

Beberapa faktor risiko timbulnya bakteri penghasil ESBL diantaranya

adalah pemasangan infus, kateterisasi urin, pemakaian antibiotik, lama rawat inap

di rumah sakit, dan infeksi berulang.26,27 Selain itu, tempat dimana pasien

mendapatkan paling banyak paparan bakteri di rumah sakit, banyaknya tindakan

keperawatan, dan banyaknya paparan antibiotik seperti di ruang penyakit dalam,

Intensive Care Units, dan bedah juga menjadi faktor risiko timbulnya infeksi oleh

bakteri penghasil ESBL.28

Infeksi saluran kemih pada kateterisasi dapat terjadi karena adanya proses

perlekatan bakteri, pembentukan koloni, dan biofilm.3,12 Adanya biofilm

menyebabkan penurunan kerentanan bakteri terhadap agen antimikroba.

Penurunan kerentanan bakteri terhadap agen mikroba dalam biofilm timbul karena

beberapa faktor, termasuk gangguan fisik difusi agen antimikroba, menurunkan

tingkat pertumbuhan bakteri, dan perubahan lokal dari lingkungan mikro yang

dapat mengganggu aktivitas agen antimikroba. Selanjutnya, kedekatan sel-sel

dalam biofilm dapat memfasilitasi pertukaran plasmid sehingga dapat

menyebabkan timbulnya bakteri penghasil ESBL yang resisten terhadap beberapa

antibiotik tertentu.3

Universitas Lambung Mangkurat


18

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta

Selatan: Pusat Data dan Informasi; 2014.

2. Cefalu WT. Standards of Medical Care in Diabetes. American

Diabetes Association.2017:40(suppl.1);8.

3. World Health Organization. Global Report on Diabetes. World

Health Organization; 2016.

4. Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin. Jumlah Penderita Diabetes

Melitus Tahun 2013-2015. Banjarmasin; 2015.

5. Asti T. Kepatuhan Pasien: Faktor Penting dalam Keberhasilan

Terapi. Majalah Info POM. 2006; 7(5): 1-3.

6. Mulyani, R, Andayani, TM, Pramantara IDP. Kepatuhan terapi

insulin pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik

Endokrinologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Manajemen

dan Pelayanan Farmasi. 2012.

7. Lau, AN, Tang T, Halapy, H, Thorpe, K, Yu, CH. Initiating

Insulin in Patients with Type 2 Diabetes. Canadian Medical

Association Journal. 2012; 187(7): pp.767-75.

8. Funnel, M. The Diabetes Attitudes, Wishes, and Needs (DAWN)

Study. Clinical Diabetes. 2006; 24(4); pp 154-55.

9. Dimas S. Kepatuhan Penderita Diabetes Mellitus dalam Menjalani

Terapi Olahraga dan Diet. 2013.

Universitas Lambung Mangkurat


19

10. Ann-Marie R, Heisler M, Piette JD. The Impact Of Family And

Communication Patterns Chronic Illness Outcomes: A Systemic

Review. National Institutes of Health Public Access. 2012; 35(2):

221-239.

11. Pratita ND. Hubungan Dukungan Pasangan dan Health Locus of

Control dengan Kepatuhan dalam Menjalani Proses Pengobatan

pada Penderita Diabetes Melitus Tipe-2. Calyptra: Jurnal Ilmiah

Mahasiswa Universitas Surabaya.2012; 1(1)

12. Cryer PE. Hypogycemia. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,

Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J (eds.) Harisson’s Principles of

Internal Medicine. 18th ed. New York: Mc Graw Hill 2011. 135-9.

13. Idf 2017

14. Sudoyo, AW., Setiyohadi, B., Alwi, I., et al. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. 2013.

15. Powers 2010. Di faktor resiko

Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai