BAB I
1
PENDAHULUAN
Setiap menit terdapat sekitar 4-6 orang meninggal di dunia akibat serangan
jantung, sangat disayangkan di saat seseorang tiba – tiba meninggal, yang tadinya
terlihat segar bugar, dengan kata lain jantungnya yang sehat tiba – tiba tidak
berdenyut lagi.
Saat ini sudah banyak kemajuan penting dalam pencegahan kematian
seseorang, namun serangan jantung masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama dan merupakan penyebab utama kematian di banyak negara. Serangan
jantung bisa terjadi baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Dari semua
kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di rumah, sehingga
setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau
cardiopulmonary resuscitation (CPR).
Menurut American Heart Association tindakan resusitasi jantung paru
berhubungan erat dengan chain of survival, karena bagi penderita yang
mengalami serangan jantung, pemberian RJP dengan segera maka akan
meningkatkan kesempatan yang amat besar untuk dapat bertahan hidup.
Resusitasi jantung paru merupakan usaha penyelamatan hidup pada kondisi
henti jantung dan henti nafas. Hal ini dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Pendekatan optimal dalam RJP
dapat bervariasi, tergantung dari penolong, penderita, dan sumber yang tersedia,
namun tantangan yang muncul tetap, yaitu bagaimana dapat melakukan resusitasi
yang dini dan efektif. Oleh karena itu, pengenalan dini terhadap henti jantung dan
tindakan segera oleh penolong masih terus menjadi prioritas utama dalam AHA
Guidelines for CPR and ECC 2015.
Pada konsensus AHA 2005 membahas mengenai semua aspek deteksi dan
penanganan cardiac arrest. Konsensus 2005 menetapkan bantuan hidup dasar
dengan prinsip ABC (airway, breathing, and circulation), namun terjadi
perubahan pada konsensus AHA tahun 2015, yaitu perubahan prinsip menjadi
CAB (circulation, airway and breathing). Perbedaan tersebut berpengaruh
terhadap keberhasilan resusitasi dan kelangsungan hidup seseorang.
2
Rekomendasi 2015 mengkonfirmasi mengenai guideline / algoritma CPR,
lebih memberikan penekanan pada detail kecepatan dan kedalaman kompresi dada
selama CPR. Selain perubahan ini, guideline 2015 diantaranya juga
menambahkan taksonomi system of care, penambahan chain of survival,
penambahan kebijakan mengenai penggunaan teknologi dan regionalisasi,
penekanan mengenai minimalisir interupsi dalam kompresi dada.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan
kembali, dimaksudkan usaha – usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu
episode henti jantung yang dapat berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi
Jantung Paru Otak yang biasa kita kenal dengan nama RJPO atau
Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation adalah usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi sirkulasi dan atau pernafasan pada henti jantung (cardiac
arrest) dan atau henti nafas (respiratory arrest).
A. Henti napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap / uap / gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung. Untuk orang awam, jika tidak ada gerakan dada dan nafas tidak normal
(gasping), segera lakukan Resusitasi Jantung Paru.
B. Henti jantung
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan
dapat kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak
tepat. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tidak
termasuk dalam henti jantung.
4
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab non-kardial (selain jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu
gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot
jantung (decompensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti,
aliran darah koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada
sternum, dan sumbatan koroner. Yang termasuk penyebab non-kardial meliputi
penyebab non-kardial internal dan non-kardial eksternal. Penyebab non-kardial
internal yaitu penyakit paru, serebrovaskuler, kanker, perdarahan gastrointestinal,
penyakit ginjal. Penyebab non-kardial eksternal trauma, asfiksia, overdosis obat,
aliran listrik/petir.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti,
miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama
ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi
asistol. Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode
hipoperfusi, miokard mungkin rusak.
2.3 Kontraindikasi RJPO
Kontraindikasi absolut terhadap resusitasi jantung paru adalah DNR (Do
Not Resuscitate) yang merupakan permintaan seseorang untuk tidak diresusitasi
apabia terjadi henti jantung. Kotraindikasi relatif terhadap resusitasi jantung paru
adalah bergantung pada penilaian klinisi bahwa dengan resusitasi yang dilakukan
akan sia-sia secara medis.
5
semua korban serangan jantung. Karena pentingnya tindakan tersebut, kompresi
dada harus menjadi tindakan RJP paling awal untuk semua korban tanpa
memandang usia. Jika mampu melakukan, penyelamat juga sebaiknya
menambahkan ventilasi setelah kompresi dada. Penyelamat terlatih yang bekerja
sama harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada dan ventilasi secara
kompak dalam tim.
Korban
Seringkali serangan jantung pada orang dewasa terjadi tiba-tiba, yang
penyebabnya adalah jantung; oleh karena itu, sirkulasi yang dihasilkan oleh
kompresi dada merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Sebaliknya, serangan
jantung pada anak-anak yang paling sering terjadi karena asfiksia, yang
membutuhkan ventilasi dan penekanan dada untuk mendapatkan hasil optimal.
Oleh karena itu, bantuan pernapasan mungkin lebih penting untuk anak-anak
dibandingkan orang dewasa pada serangan jantung.
6
Rantai kelangsungan hidup ini dengan mengaktivasi
kegawatdaruratan yang cepat dan inisiasi RJP membutuhkan pengenalan
cepat akan terjadinya serangan jantung. Untuk pasien yang mengalami
serangan jantung di luar rumah sakit (OHCA) mengandalkan masyarakat
umtuk memberikan pertolongan. Penolong yang tidak terlatih harus
mengenali tanda serangan jantung, selain itu untuk meminta bantuan bisa
digunakan media sosial untuk memanggil penolong tanpa harus
meningglkan korban. Tanda dari serangan jantung antara lain seseorang
tidak responsif, pernapasan tidak ada atau tidak normal, agonal gasps
(napas terengah yang mengancam nyawa) biasa terjadi pada tahap
permulaan dari serangan jantung mendadak dan dapat terjadi salah
penafsiran dengan pernapasan normal, deteksi denyut nadi sendiri sering
tidak dapat diandalkan bahkan ketika dilakukan oleh penolong terlatih, dan
mungkin memerlukan waktu yang lebih lama. Akibatnya, tim penyelamat
harus mulai RJP segera jika korban dewasa tidak responsif dan tidak
bernapas atau tidak bernapas secara normal (yaitu, hanya terengah-engah).
Panduan tentang "look, listen and feel for breathing" untuk membantu
pengenalan akan obstruksi jalan napas tidak lagi dianjurkan.
Petugas kegawatdaruratan harus dan bisa membantu memberikan
penilaian dan arah untuk memulai RJP. Seorang profesional kesehatan
dapat menggabungkan informasi tambahan untuk membantu pengenalan
akan terjadinya suatu henti jantung.
7
Inisiasi cepat dari kompresi dada yang efektif adalah aspek
fundamental dari resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan probabilitas
pasien untuk hidup dengan memberikan sirkulasi jantung dan otak. Tim
penyelamat harus melakukan kompresi dada untuk semua pasien serangan
jantung, tanpa melihat tingkat keterampilan penyelamat, karakteristik
korban, atau sumber daya yang tersedia.
Penyelamat harus fokus pada pemberian RJP berkualitas tinggi:
Memberikan penekanan dada dari tingkat yang memadai
(setidaknya
100-120x / menit)
Memberikan kompresi dada dengan kedalaman yang memadai
o Dewasa: kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan
tidak lebih dari 2,4 inci (6 cm)
o Bayi dan anak: kedalaman setidaknya sepertiga anterior-
posterior (AP) diameter dada atau sekitar 1,5 inci (4 cm)
pada bayi dan sekitar 2 inci (5 cm) pada anak-anak.
Memungkinkan dada untuk mengembang secara penuh setelah
setiap kompresi
Meminimalkan interupsi saat kompresi
Menghindari ventilasi berlebihan
Jika ada beberapa penyelamat, sebaiknya kompresi dilakukan
setiap 2 menit per orang.
Pembukaan jalan napas (dengan head tilt – chin lift atau jaw thrust)
diikuti dengan bantuan napas buatan dapat meningkatkan oksigenasi dan
ventilasi. Namun, manuver ini bisa sulit dilakukan dan ada interupsi
karena kompresi dada, terutama untuk penyelamat tunggal yang belum
terlatih. Dengan demikian, penyelamat yang tidak terlatih boleh
memberikan Hands-Only CPR (kompresi tanpa ventilasi), dan penyelamat
yang mampu boleh membuka jalan napas dan memberikan napas buatan
dengan kompresi dada. Ventilasi harus diberikan jika korban memiliki
risiko tinggi terjadinya asfiksia (misalnya pada bayi, anak, atau korban
tenggelam).
Setelah advanced airway terpasang, petugas kegawatdaruratan
dapat memberikan ventilasi dengan rate normal, yaitu 1 napas setiap 6
8
detik (10 napas per menit) dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa
interupsi.
9
c. Defibrilasi yang cepat
Probabilitas korban selamat dapat menurun dengan meningkatnya
interval antara henti jantung dan defibrilasi. Defibrilasi dini tetap
merupakan terapi utama untuk ventrikel fibrilasi (VF) dan ventrikel
takikardia tanpa nadi (pulseless VT).
Salah satu faktor penentu keberhasilan defibrilasi adalah efektivitas
kompresi dada. Defibrilasi dapat memberikan outcome yang baik jika
interupsi (untuk penilaian irama, defibrilasi, atau perawatan lanjutan) pada
kompresi dada dikurangi seminimal mungkin
10
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan, pengalaman, dan
kemampuan. Status penderita henti jantung dan responnya terhadap RJP juga
bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini
seefektif dan mungkin untuk penderita henti jantung.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang
telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi
dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-
anak seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun
kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian napas buatan pada
henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.
C (circulation).
- A (airway ) : menjaga jalan nafas tetap terbuka
- B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
11
- C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru
12
Gambar 2.7 Urutan resusitasi jantung paru
c. Fase III : Prolonged Life Support (PLS), yaitu penambahan dari BLS
kemudian mengobatinya.
13
- H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
permanen.
- I (Intensive Care ) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
sendiri.
b. Memastikan kesadaran pasien/korban
Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan
14
sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencegah
cedera/komplikasi.
e. Mengatur posisi penolong
Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar
dimulai. Letakkan pasien pada posisi telentang pada alas keras ubin atau
selipkan papan jika pasien diatas kasur. Jika tonus otot pasien hilang, lidah
sadar. Untuk menghindari hal ini, maka dilakukan beberapa tindakan atau
parasat misalnya:
1. Head tilt-chin lift maneuver
Parasat ini dilakukan jika tidak ada traumapada leher. Satu tangan
15
menghadap keatas dan epiglottis terbuka, sniffing position, posisi cium,
posisi hirup.
2. Jaw-thrust maneuver
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat
Karena lidah melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan
Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit: letakan pasien dalam posisi
didorong kedepan, mulut dibuka) dan jika mulut ada cairan, lender atau
(a) (b)
Gambar 4. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan tehnik jaw
tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of life,
16
pasien/korban dan hidung pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk
mengalami laringotomi.
17
Gambar 7. Pernafasan mulut ke stoma.
dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga
teraba trakea, kemudian digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba
pernafasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada
Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau
18
- Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu
19
Gambar 8. Kompresi dada
defibrilasi :
- Nyalakan AED
- Ikuti petunjuk
gangguan)
PENILAIAN ULANG
dievaluasi kembali :
20
- Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas
dengan ratio 30 : 2
- Jika ada nafas dan denyut jantung teraba letakkan korban pada posisi
sisi mantap
- Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas
Gambar 9. Defibrilasi
21
Kompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan aspek yang
penting dalam resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan kemungkinan
kelangsungan hidup penderita dengan memberikan sirkulasi pada jantung dan
paru. Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua penderita henti
jantung, tanpa melihat tingkatan ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau
sumber daya yang tersedia. AHA Guidelines for CPR and ECC 2015
mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
Kecepatan kompresi paling sedikit 100-120 x/menit
Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inci (5 cm) dan tidak lebih
dari 2.4 inci (6 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga dari
diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar
1,5 inci (4cm) pada bayi dan 2 inci (5cm) pada anak-anak). Batas antara
1,5 hingga 2 inci tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman
mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya
dari AHA Guidelines for CPR and ECC.
Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap
setiap kali selesai kompresi.
Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada.
Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi
yaitu 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru
lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2015 meneruskan rekomendasi
untuk memberikan napas buatan sekitar 1 detik.. Begitu jalan napas telah
dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan
kecepatan paling sedikit 100-120 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan
ventilasi. Napas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6
detik (sekitar 10 napas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.
22
untuk menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat
dan efektif. Mengamankan jalan napas sebagai prioritas utama merupakan
sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama
oleh penolong yang seorang diri.
Serangan jantung terjadi sebagian besar pada orang dewasa dan
penyebab paling umum adalah ventricular fibrillation atau pulseless
ventricular tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari
Basic Life Support adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada
rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong
membuka jalan napas untuk memberikan napas buatan, mencari alat pembatas
(barrier devices), atau mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai
emergency response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera
memulai kompresi dada. Hal ini berarti tidak ada lagi "look, listen, feel",
sehingga komponen ini dihilangkan dari panduan.
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai
sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus
pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian
besar penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak
mendapatkan pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak
alasan untuk hal tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu
urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu
membuka jalan napas dan memberikan napas buatan. Memulai pertolongan
dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong untuk
memulai RJP.
23
lebih mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih
mudah dituntun oleh penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa
ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil yang sama jika dibandingkan
kompresi dengan menggunakan ventilasi.
AHA Guidelines for CPR and ECC 2015 menyebutkan penolong tidak
terlatih harus memberikan CPR hanya kompresi (Hands-Only) dengan atau
tanpa bantuan panduan operator sampai AED atau penolong yang terlatih tiba.
d. Kecepatan kompresi
AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 kecepatan kompresi dada pada
kecepatan minimum 100 x/menit , sebaiknya AHA Guidelines for CPR and
ECC 2015 kecepatan kompresi dada pada kecepatan minimum 100 x/menit
dengan kedalaman kompresi miminal 2 inchi (5 cm), dilakukan kira – kira
minimal 100-120 kali/ menit. Jumlah kompresi dada yang dilakukan per menit
selama RJP sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan
Return of Spontaneous Circulation (ROSC) dan fungsi neurologis yang baik.
Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per menit ditetapkan
oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya gangguan dalam
melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan napas, memberikan
napas buatan, dan melakukan analisis AED (Automated External
Defibrillator).
Pada sebagian besar penelitian, kompresi yang lebih banyak
dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi
yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang
lebih rendah. Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat
membutuhkan penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat,
tapi juga pada meminimalkan gangguan pada komponen penting dari RJP
tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang sering (atau keduanya)
akan mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per menit.
e. Kedalaman kompresi
24
Untuk dewasa kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan tidak
lebih dari 2.4 inci (6 cm) Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan
cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada
jantung dan otak. AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 kedalaman
kompresi miminal 2 inchi (5 cm). Kompresi menghasilkan aliran darah
terutama dengan meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung
menekan jantung. Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi
yang penting untuk dialirkan ke jantung dan otak.
g. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian
tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah
posterior dan menekan esophagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid
dapat menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan
aspirasi selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat
menghambat ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi
direkomendasikan. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat
menghambat kemajuan airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan
aplikasi yang tepat. Ditambah lagi, tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat
bahkan oleh penolong yang terlatih. Penekanan krikoid masih dapat
25
digunakan dalam beberapa keadaan tertentu (misalnya dalam usaha melihat
pita suara selama intubasi trakea).
h. Aktivasi Emergency Response System
Aktivasi Emergency Response System seharusnya dilakukan setelah
penilaian respon penderita dan pernapasan, namun seharusnya tidak ditunda.
Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan
dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan
kesehatan tidak merasakan nadi dalam 10 detik, RJP harus segera dimulai dan
menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.
i. Tim resusitasi
Langkah – langkah algoritma BLS sejak dahulu dipresentasikan dalam
keadaan di mana hanya ada satu penyelamat. Pada AHA 2015 lebih
difokuskan untuk memberikan RJP dalam suatu tim agar resusitasi berjalan
dengan baik dan efektif. Misalnya, satu penolong mengaktifkan respon sistem
kegawatdaruratan sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada,
penolong ketiga membantu ventilasi atau memakaikan bag mask untuk
membantu pernapasan dan penolong keempat mempersiapkan defibrilator.
26
meningkatkan sistem resusitasi. Kepemimpinan dan tanggung jawab adalah
komponen penting di dalam suatu tim.
Peningkatkan perawatan membutuhkan penilaian kinerja. Hanya melalui
proses pengevaluasian ini kualitas RJP bisa ditingkatkan. Prosesnya meliputi
evaluasi secara keseluruhan dari tindakan resusitasi dan outcome yang didapatkan,
patokan dengan feedback dari seluruh pihak yang terkait, dan usaha strategis
untuk mengetetahui kekurangan yang ada.
27
selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek
barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak
adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung
adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya
resusitasi.
2.9 Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah fraktur iga atau sternum
karena kompresi dada (jarang) dan gastric insufflation karena bantuan respirasi
buatan menggunakan ventilasi non-invasif (mulut ke mulut, bag valve mask) yang
bisa menyebabkan muntah, dengan kemungkinan aspirasi atau gangguan jalan
napas; insersi ventilasi invasif bisa mencegah hal ini.
BAB III
KESIMPULAN
28
Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC 2015. Panduan RJP yang terbaru
ini juga menekankan pada pemberian RJP yang berkualitas tinggi, dengan
kecepatan kompresi paling sedikit 100-120 kali / menit dan kedalamannya paling
sedikit 5 cm dan tidak lebih dari 6 cm pada dewasa dan anak-anak, serta 4 cm
pada bayi. AHA juga menyarankan pemberian RJP hanya dengan tangan (hands
only CPR) atau RJP tanpa ventilasi dengan maksud untuk memudahkan penolong
yang tidak terlatih dalam menyelamatkan penderita henti jantung.
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. 2015. Guideline Update for CPR and ECC
Latief S.A. 2010. Petunjuk Praktis Anaestelogi. Edisi kedua. Penerbit FK UI.
29