Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan


seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah
dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan
muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu
cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya
adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat
satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang
dan lain-lain.

Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan


setiap waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut hukum Islam
belum tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula yang tidak
tahu sama sekali tentang ketentutan-ketentuan yang di tetapkan oleh hukum Islam
dalam hal jual beli (bisnis). Jual beli merupakan transaksi yang dilakukan oleh
pihak penjual dan pembeli atas suatu barang dan jasa yang menjadi objek transaksi
jual beli.

Jual Beli bisa didefinisikan sebagai suatu transaksi pemindahan pemilikan


suatu barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan imbalan
suatu barang lain atau uang. Atau dengan kata lain, jual beli itu adalah ijab
dan qabul,yaitu suatu proses penyerahan dan penerimaan dalam transaksi barang
atau jasa. Islam mensyaratkan adanya saling rela antara kedua belah pihak yang
bertransaksi. Oleh karena kerelaan adalah perkara yang tersembunyi, maka
ketergantungan hukum sah tidaknya jual beli itu dilihat dari cara-cara yang nampak
(dhahir) yang menunjukkan suka sama suka, seperti adanya ucapan penyerahan dan
penerimaan. Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang
dilakukan setiap waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut
hukum Islam belum tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula

1
yang tidak tahu sama sekali tentang ketentutan-ketentuan yang di tetapkan oleh
hukum Islam dalam hal jual beli (bisnis). Jual beli merupakan transaksi yang
dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli atas suatu barang dan jasa yang menjadi
objek transaksi jual beli. Akad jual beli dapat diaplikasikan dalam pembiayaan yang
diberikan oleh bank syariah. Pembiayaan yang menggunakan akad jual beli
dikembangkan di bank syariah dalam tiga jenis pembiayaan, yaitu pembiayaan
murabahah, istishna, dan salam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud jual beli dan bagaimana hokum jual beli?
2. Apa saja syarat dan rukun jual beli?
3. Bagaimana jual beli di dunia maya?
4. Bagaimana jual beli dengan system kredit?
5. Apa yang dimaksud dengan khiyar?
6. Apa saja macam dari khiyar?

C. Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa dapat memahami ruang lingkup jual beli dan dasar
hokum jual beli dalam fikih muamalah
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui syarat dan rukun jual beli
3. Untuk menggetahui bagaimana jual beli didunia maya
4. Untuk menggetahui bagaimana jual beli dengan system kredit
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui arti khiyar
6. Untuk mengetahui apa saja macam dari khiyar

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

Menurut M. Ali Hasan sebagaimana dikutip oleh Syaifullah M.S. “Berbagai


Macam Transaksi Dalam Islam”. Jual beli dalam bahasa Arab berasal dari kata (‫)البیع‬
yang artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain).
Kata ( ‫ ) البیع‬dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya,
yaitu kata ‫ الشراء‬dengan demikian kata ( ‫ ) البیع‬berarti kata jual dan sekaligus berarti
kata “beli”1. Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta.

Menurut istilah, bai’ atau jual beli artinya pertukaran harta denan harta dengan
ketentuan memiliki dan memberi kepemilikan. Karena berakar dari kata baa’
(tangan) yang masing-masing penjual dan pembeli mengulurkan tangannya ketika
hendak mengambil atau menyerahkan barang dagangannya. Jual beli dalam istilah
fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Dalam definisi menurut ulama hanafiyah jual beli ialah
“Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu
yang bermanfaat”. Yang dimaksud ialah melalui ijab dan qabul (pernyataan
menjual dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga
dari penjual dan pembeli. Disamping harta yang diperjual belikan harus bermanfaat
bagi manusia2.

Sebagian ulama memberikan definisi yaitu pertukaran harta meski sekedar


dalam penguasaan atau penjualan fasilitas yang mubah dengan nilai yang sepadan
dengan salah satu dari keduanya (harta atau fasilitas) untuk dimiliki selamanya.
Dari definisi diatas saling memberikan pengertian sebagai berikut:

1. Jual beli dilakukan oleh dua pihak dengan adanya pertukaran


kepemilikan antara keduanya.

1
M. Ali Hasan sebagaimana dikutip oleh Syaifullah M.S.,“Berbagai Macam Transaksi Dalam
Islam”, dalam Jurnal Studi Islamika,Vol.11,No.2,Desember 2014: (371-387) h. 373
2
Hasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 111-112

3
2. Pertukaran itu hendaknya berlaku pada harta atau yang senilai dengan
harta yakni yang bisa memberi manfaat kepada kedua belah pihak.
3. Sesuatu yang tidak berupa barang atau harta atau yang dihukumi
sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
4. Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah
pihak memiliki sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya
ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.

Hukum dasar bai' adalah mubah, namun terkadang hukumnya bisa berubah
menjadi wajib, haram, sunat dan makruh tergantung situasi dan kondisi berdasarkan
asas maslahat.

a. Dasar dalam Al-quran


Dasar hukum yang berasal dari Al-Quran antara lain adalah sebagai berikut:
ِّ ‫َّللاُ ْالبَ ْی َع َو َح َّر َم‬
‫الربَا‬ َّ ‫َوا َح َّل‬
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-
Baqarah: 275)
‫ْس َعلَ ْی ُك ْم ُجنَا ٌح أ َ ْن ت َ ْبتَغُوا فَض اًْل ِّم ْن َّر ِّب ُك ْم‬
َ ‫لَی‬
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan)
dari Tuhanmu”. (Al-Baqarah:198) “
‫اض ِّم ْن ُك ْم‬
ٍ ‫ارةا َع ْن ت ََر‬ ِّ َ‫يَا أَيُّ َهاالَّ ِّذ ينَ آ َمنُوا ََلت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوا لَ ُكم بَ ْینَ ُك ْم بِّ ْالب‬
َ ‫اط ِّل إِّ ََّلأَن ت َ ُكونَ تِّ َج‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling mengharamkan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka antara kamu”(an-Nisaa’:29)
‫َوأ َ ْش ِّهد ُٓو ۟ا ِّإذَا ت َ َبا َي ْعت ُ ْم‬
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli,”(Al-Baqarah: 282)
b. Dasar dalam Al sunnah
Dasar hukum yang berasal dari Al-Sunnah antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Hadis Rasulullah Saw, yang diriwayatkan Rifa’ah bin Rafi al Bazar dan
Hakim: “Rasulullah Saw, bersabda ketika ditanya salah seorang sahabat
mengenai pekerjaan yang paling baik, Rasulullah ketika itu menjawab,

4
pekerjaan yang dilakukan dengan tangan seseorang sendiri dan setiap
jual beli yang diberkati (jual beli yang jujur tanpa diiringi kecurangan)”.
2. Rasulullah Saw, bersabda “Sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar
saling merelakan”
3. Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Sufyan dari Abu Hamzah
dari Hasan dari Abi S’aid “Dari Sufyan dari Abu Hamzah dari Hasan
dari Abi S’aid dari Nabi Saw, bersabda “Pedagang yang jujur dan
terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para nabi, shiddiqin
dan syuhada.”
c. Dasar dalam Ijma’
Kaum muslimin telah sepakat dari dahulu sampai sekarang tentang
kebolehan hukum jual beli. Oleh karena itu, hal ini merupakan bentuk ijma’
umat, karena tidak ada seorangpun yang menantangnya.
Sementara legitimasi dari ijma’ adalah ijma’ ulama dari berbagai
kalangan mazhab telah bersepakat akan disyariatkannya dan dihalalkannya
jual beli. Jual beli sebagai mu’amalah melalui sistem barter telah ada sejak
zaman dahulu. Islam datang memberi legitimasi dan memberi batasan dan
aturan agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kezaliman atau tindakan
yang dapat merugikan salah satu pihak.
Dari Su’aib ar Rumi r.a, bahwa Rasulullah bersabda: “Tiga perkara
yang didalamnya terdapat keberkatan yaitu; jual beli secara tangguh,
muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk jual beli. (HR. Ibnu Majjah)
Dalam firman Allah dan hadis tersebut jelas bahwa jual beli itu
dihalalkan dan tidak perlu diragukan lagi asalkan transaksi jual beli yang
dilakukan tidak ada unsur pemaksaan

B. Syarat dan Rukun Jual Beli

Pengertian syarat adalah sesuatu yang bukan merupakan unsur pokok tetapi
adalah unsur yang harus ada di dalamnya. Jika ia tidak ada, maka perbuatan tersebut

5
dipandang tidak sah. Misalnya; suka sama suka merupakan salah satu syarat sahnya
jual beli. Jika unsur suka sama suka tidak ada, jual beli tidak sah menurut hukum3.

Adapun syarat penjual dan pembeli adalah:

1. Berakal
2. Dengan kehendak sendiri
3. Tidak mubadzir
4. Baligh

Dan syarat barang yang diperjual belikan, adalah:

1. Suci
2. Ada manfaatnya
3. Barang itu dapat diserahkan
4. Barang itu milik penjual
5. Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli

Adapun rukun jual beli menurut Jumhur ulama rukun jual beli ada 4, yaitu:

Pertama, Akad (ijab qobul), pengertian akad menurut bahasa adalah ikatan yang
ada diantara ujung suatu barang. Sedangkan menurut istilah ahli fiqh ijab qabul
menurut cara yang disyariatkan sehingga tampak akibatnya. Mengucapkan dalam
akad merupakan salah satu cara lain yang dapat ditempuh dalam mengadakan akad,
tetapi ada juga dengan cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk
berakad.

Kedua, orang yang berakad (subjek), dua pihak terdiri dari bai’(penjual) dan
mustari (pembeli). Disebut juga aqid, yaitu orang yang melakukan akad dalam jual
beli, dalam jual beli tidak mungkin terjadi tanpa adanya orang yang melakukannya,
dan orang yang melakukan harus:

3
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Bandung, 1990), hal 263

6
1. Beragama Islam, syarat orang yang melakukan jual beli adalah orang
Islam, dan ini disyaratkan bagi pembeli saja dalam benda-benda
tertentu.
2. Berakal, yang dimaksud dengan orang yang berakal disini adalah orang
yang dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik baginya.
Maka orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya, sekalipun miliknya
sendiri.
3. Dengan kehendaknya sendiri, yang dimaksud dengan kehendaknya
sendiri yaitu bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tidak dipaksa.
4. Baligh, baligh atau telah dewasa dalam hukum Islam batasan menjadi
seorang dewasa bagi laki-laki adalah apabila sudah bermimpi atau
berumur 15 tahun dan bagi perempuan adalah sesudah haid.
5. Keduanya tidak mubazir, yang dimaksud dengan keduanya tidak
mubazir yaitu para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual
beli tersebut bukanlah manusia yang boros (mubazir).

Ketiga, ma’kud ‘alaih (objek) yaitu barang menjadi objek jual beli atau yang
menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli. Barangnya harus:

1. Bersih barangnya
2. Dapat dimanfaatkan
3. Milik orang yang melakukan akad
4. Mengetahui
5. Barang yang diakadkan ada ditangan
6. Mampu menyerahkan

Keempat, ada nilai tukar pengganti barang, nilai tukar pengganti barang, yaitu
sesuatu yang memenuhi tiga syarat; bisa menyimpan nilai (store of value), bisa
menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat
tukar (medium of exchange).

7
C. Jual Beli di Dunia Maya (E-Commerce)

Pada umumnya transaksi secara online merupakan transaksi pesanan dalam


model bisnis era global yang non face, dengan hanya melakukan transfer data lewat
dunia maya (data interchange) via internet, yang mana kedua belah pihak, antara
originator dan adresse (penjual dan pembeli), atau menembus batas system
pemasaran dan bisnis online dengan menggunakan sentral shop, sentral shop
merupakan sebuah rancangan web e-commerce smart dan sekaligus sebagai
Business Intelligent yang sangat stabil untuk digunakan dalam memulai,
menjalankan, mengembangkan, dan mengontrol bisnis. Perkembangan teknologi
inilah yang bisa memudahkan transaksi jarak jauh, dimana manusia bisa dapat
berinteraksi secara singkat walaupun tanpa face to face, akan tetapi di dalam bisnis
adalah yang terpenting memberikan informasi dan mencari keuntungan

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli di deunia maya
adalah:

1. Terjadinya transaksi antara dua belah pihak.


2. Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi.
3. Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme
perdagangan tersebut.

HUKUM (FIQIH) E-COMMERCE


Transaksi elektronik penjualan barang yang ditawarkan melalui internet
merupakan transaksi tertulis. Jual beli dapat menggunakan transaksi secara lisan
dan tulisan. Keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama. Hal ini sesuai dengan
kaidah fiqihiyah “Tulisan (mempunyai kekuatan hukum) sebagaimana ucapan”
Akad jual beli yang dilakukan secara tertulis sama hukumnya dengan akad yang
dilakukan secara lisan. Berkaitan dengan kaidah ini al-Dasuqi mengatakan“Sah
hukumnya akad dengan tulisan dari kedua belah pihak atau salah satu dari mereka
menggunakan ucapan sementara yang lain menggunakan tulisan” Kalangan
Malikiyah, Hanbaliyah dan sebagian Syafi’iyah bahwa tulisan sama halnya dengan
lisan dalam hal sebagai indikasi kesuka-kerelaan, baik saat para pihak yang

8
melakukan akad hadir (ada) maupun tidak. Transaksi menggunakan tulisan
merupakan transaksi kinayah yang keabsahannya sama dengan transaksi dengan
lisan, selama maksud masing-masing pihak yang berakad tercapai.
Syarat sahnya E-commerce menurut fiqih
Beberapa ulama menentukan syarat transaksi yang dilakukan dengan
perantara:
1. Kesinambungan antara ijab dan qabul. Menurut jumhur, selain
Syafi’iyah qabul tidak harus langsung.
2. Qabul dilakukan di tempat sampainya ijab.
3. Kesesuaian antara ijab dan qabul.
4. Tidak adanya penolakan dari salah satu pihak yang bertransaksi.

D. Jual Beli dengan Sistem Kredit


Jual beli dengan sistem kredit adalah jual beli yang dilakukan tidak secara
kontan di mana pembeli sudah menerima barang sebagai objek jual beli, namun
belum membayar harga, baik keseluruhan maupun sebagian. Pembayaran
dilakukan secara angsur sesuai dengan kesepakatan. Sulaiman bin Turki
mendefinisikan Jual beli kredit yaitu di mana barang diserah terimakan terlebih
dahulu, sementara pembayaran dilakukan beberapa waktu kemudian berdasarkan
kesepakatan. Jual beli dengan cara mengangsur pembayaran harga barang dalam
kurun waktu tertentu dan jumlah nominal tertentu belum ada pada zaman Rasul.
Jual beli kredit dalam istilah fikih mu’amalah kontemporer disebut al-bai bittaqsith.

Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hukum jual beli
dengan cara kredit. Penyebab dari perbedaan pendapat ulama’ tersebut adalah
terletak pada adanya penambahan harga sebagai konsekwensi dari ditundanya
pembayaran. Dalam larangan hadits yang berbunyi: “Dari Abu Hurairah dari
Rasulullah SAW bahwasannya beliau melarang dua transaksi jual beli dalam satu
transaksi jual beli” (HR. Tirmidzi, Nasa’I dan lainnya).

Ada dua anggapan yang menyatakan bahwa jual-beli kredit itu haram dan
jual beli kredit itu dibolehkan:

9
1. Jual beli kredit diharamkan.
Diantara yang berpendapat demikian dari golongan ulama
kontemporer adalah Al-Abani yang beliau cantumkan dalam banyak
kitabnya, diantaranya Silsilah Ahadits Ash Shohihah. Juga Syaikh Salim
Al Hilali dalam kitab Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyah berpendapat
bahwa jual beli secara kredit adalah termasuk kedalam larangan jual beli
dua transaksi dalam satu transaksi sebagaimana yang disebutkan
didalam hadits. Mereka menafsirkan hadits “Dua transaksi dalam satu
transaksi” adalah seperti ucapan seorang penjual atau pembeli “Barang
ini kalau dibeli tunai haranya segini, kalau kredit haranya segini”.
Pendapat ini menyimpulkan bahwa jual beli dengan system kredit
hukumnya haram.
2. Jual beli kredit dibolehkan.
Kementerian waqaf dan urusan agama islam Kuwait semua sepakat
bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit
lebih tinggi daripada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja
mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan
dan perhitungan yang jelas. Dalil yang memperbolehkan jual beli
dengan pembayaran tertunda:
َ ‫ين إِّلَى أ َ َج ٍل ُّم‬
ُ‫س َّمى فَا ْكتُبُ ه‬ ٍ َ‫يَآأَيُّ َها الَّذِّينَ َءا َمنُوا إِّذَاتَدَا يَنت ُ ْم بِّد‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.(QS. Al Baqarah : 282)”
Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan
akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman
ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit dengan syarat
penjual dan pembeli sepakat dengan ketentuan dan si pembeli ridho
dengan kesepakatan menambah harga dalam jangka waktu yang telah di
tentukan saat akan melakukan transaksi dengan memusyawarahkan
kenaikan harga jika akan di bayar dengan di angsur (bertahap dalam

10
pembayaran dengan kenaikan harga yang telah di tentukan dan waktu
jatuh tempo yang di sepakati bersama).

E. Pengertian Khiyar

Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata khara-yakhiru-khairan-wa-


khiyaratan (‫ )خارـیخیرـخیراـوخايرة‬yang sinonimnya (‫ )أعطاه ماهوخیر له‬yang artinya
memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya.

Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua urusan
baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya4.

Syayyid Sabiq memberikan definisi khiyar sebagai berikut:

‫الخیار هوطلب خیر آلمرين من اإلمضاء أواإللغاء‬

Artinya: khiyar adalah menuntut yang baik dari dua perkara berupa meneruskan
(akad jual beli) atau membatalkannya.

Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara


pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi
dengan adanya system khiyar ini adakalanya menimbulkan penyesalan kepada
salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau pedagang mengharap barangnya
segera laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli
atau kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu
tidak senang hatinya kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka
oleh karena itu untuk mendapatkan sah-nya khiyar harus ada ikrar dari kedua belah
pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya
kalau kedua belah pihak menghendakinya.

Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa khiyar adalah pilihan
untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap
barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad. Tujuan diadakan khiyar
tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga

4
Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fikih Muamalat.cit. hlm. 25

11
tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela dan
sepakat.

F. Macam-Macam Khiyar

Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syariat Islam adalah adanya hak
kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau membatalkan
transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah untuk kemaslahatan
bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri, memelihara kerukunan,
hubungan baik serta menjalin silaturahmi antara sesama manusia. Adakalanya
seseorang membeli barang, sekiranya hakkhiyar ini tidak ada, maka akan
menimbulkan penyesalan salah satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan,
kedengkian, dendam dan persengketaan dan perbuatan buruk lainnya yang dilarang
oleh agama.

Syari’at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-keburukan itu, maka


syari’at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka tegaknya keselamatan,
kerukunan, dan keharmonisan dalam hubungan antar manusia. Berdasarkan hal
tersebut, ada beberapa khiyar yang harus diketahui. Adapun macam khiyar tersebut
antara lain:

a. Khiyar Majelis
Majelis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang
berarti tempat duduk, dan maksud dari majelis akad menurut kalangan ahli
fikih adalah tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai
berakad. Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang
ditetapkan oleh syara’ bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama
para pihak masih berada ditempat transaksi.
Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak
melakukan khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga
mereka berpisah atau menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua
belah pihak telah memalingkan badan untuk meninggalkan tempat
transaksi. Pada prinsipnya khiyar majelis berakhir dengan adanya dua hal:

12
1. Keduanya memilih akan diteruskannya akad.
2. Diantara keduanya terpisah dari tempat jual beli.

Tidak ada perbedaan diantara kalangan fikih yang mengatakan


bolehnya khiyar majelis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang
boleh, dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk
mem-fasakh atau meneruskan selama keduanya masih dalam majelis dan
tidak memilih meneruskan akad5.

b. Khiyar Syarat
Menurut Syaid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana
seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh
melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut
lama apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan
apabila ia menghendaki ia bisa membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah
suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli
memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau
salah satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau
membatalkannya.
Khiyar syarat disyari’atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang
berakad, atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan
didalamnya terdapat unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT
memberi orang yang berakad dalam masa khiyar syarat dan waktu yang
telah ditentukan satu kesempatan untuk menunggu karena memang
diperlukan. Kalangan ulama fikih sepakat bahwa khiyar syarat sah jika
waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang dijual tidak
termasuk barang yang cepat rusak6.
c. Khiyar Aib

5
Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fikih Muamalat.hlm. 194.
6
Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fikih Muamalat. hlm. 111

13
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya
nilai penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria
yang diduga sebelumnya. Khiyar aib adalah hak pembatalan jual beli dan
pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum
diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah
transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang.
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang
mengakibatkan berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-
orang yang ahli dibidannya. Menurut ijma’ ulama pengembalian barang
karena cacat boleh dilakukan pada waktu akad berlangsung. Jika akad telah
dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut,
maka akadnya sah dan tidak ada khiyar setelahnya.
Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya.
Namun jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut dan
mengetahuinya setelah akad maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak
pembeli berhak melakukan khiyar antara mengembalikan barang atau
meminta ganti rugi sesuai dengan adanya cacat.
Dimyanuddin Djuani mengatakan bahwa khiyar aib bisa dijalankan
dengan syarat sebagai berikut:
1. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum teradi serah
terima, jika aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.
2. Aib tetep melekat pada objek setelah diterima oleh pembeli.
3. Pembeli tidak mengetahui adanya aib atas objek transaksi, baik ketika
melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli
mengetahui sebelumnya maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah
meridhoinya.
4. Tidak ada persyaratan bara’ah (cuci tangan) dari aib dalam kontrak jual
beli, jika dipersyaratkan maka hak khiyar gugur.
5. Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad.

14
d. Khiyar Ru’yah
Khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau
tetap melangsungkan ketika ia melihat objek akad dengan syarat ia belum
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya
dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan atasnya.
Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiah, Malikiyah,
Hanabillah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak
ada tempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan meurut
Imam Syafi’I khiyar ru’yah itu tidak sah dalam proses jual beli karena
menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib dianggap tidak sah.
Syarat khiyar ru’yah bagi yang membolehkannya, antara lain:
1. Barang yang akan ditransaksikan merupakan barang yang secara fisik
ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
2. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan
mengembalikan saat transaksi.
3. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau
sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.

15
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Menurut istilah, bai’ atau jual beli artinya pertukaran harta denan harta
dengan ketentuan memiliki dan memberi kepemilikan. Karena berakar dari
kata baa’ (tangan) yang masing-masing penjual dan pembeli mengulurkan
tangannya ketika hendak mengambil atau menyerahkan barang
dagangannya. Dasar hokum jual beli terdapat dalam al-quran, al-sunnah dan
dasar dalam ijma’.
2. Syarat adalah sesuatu yang bukan merupakan unsur pokok tetapi adalah
unsur yang harus ada di dalamnya. Syarat jual beli terbagi menjadi dua,
yaitu syarat untuk objek jual beli dan syarat untuk orang yang melakukan
transaksi jual beli. Adapun syarat jual beli ada empat, yaitu akad (ijab
qabul), orang yang berakad (subjek), ma’kud ‘alaih (objek), dan nilai tukar
pengganti barang.
3. Jual beli dunia maya merupakan transaksi secara online pesanan dalam
model bisnis era global yang non face, dengan hanya melakukan transfer
data lewat dunia maya (data interchange) via internet.
4. Jual beli dengan sistem kredit adalah jual beli yang dilakukan tidak secara
kontan di mana pembeli sudah menerima barang sebagai objek jual beli,
namun belum membayar harga, baik keseluruhan maupun sebagian.
Pembayaran dilakukan secara angsur sesuai dengan kesepakatan. Jual beli
dengan system kredit ada yang membolehkan da nada yang mengharamkan.
5. Khiyar dalam arti bahasa artinya memberikan kepadanya sesuatu yang lebih
baik baginya. Khiyar dapat pula diartikan pilihan untuk melanjutkan jual
beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang
dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad. Tujuan diadakan khiyar
tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak
sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-
sama rela dan sepakat.

16
6. Khiyar ada empat macam antara lain:
1) Khiyar Majelis
2) Khiyar Syarat
3) Khiyar Aib
4) Khiyar Ru’yah

17
DAFTAR PUSTAKA

Haroen H. Nasrun, Fiqh Muamalah ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000)

Sulaiman Rasjid H, Fiqh Islam ( Bandung : Sinar Buku Bandung, 2007)

Azzam M. Abdul Aziz, Fikih Muamalat ( Jakarta : Amzah, 2014)

Ali Hasan, M. 2014, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jurnal Study
Islamika, 371-387

Mujiatun Ridawati, 2016, Tafaqquh, Jurnal Kopertais, vol.1 no.1

S. Syaifullah, 2014, Hunafa, Jurnal Studia Islamika, vol.11 no.2

18

Anda mungkin juga menyukai