Anda di halaman 1dari 13

Perilaku Auditor Dalam Situasi Masalah Audit: Peran Locus Of

Control, Komitmen Profesi, Dan Kesadaran Etis

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Pengertian Auditing

Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang


informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh
seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan
kesesuaian informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan
(Arens dan Loebbecke, 1996:1).
Secara umum auditing merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh dan
mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan
dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara
pernyataan- pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta
penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Definisi auditing
secara umum tersebut memiliki unsur-unsur penting yang diuraikan yaitu (Mulyadi,
2001:7):
1. Suatu proses sistematik. Yaitu berupa rangkaian langkah atau prosedur yang logis,
bererangka, dan terorganisasi.
2. Untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif. Proses sistematik
tersebut ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat
oleh individu atau badan usaha, serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau
berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut.
3. Pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi. Yang dimaksud disini
adalah hasil proses akuntansi. Proses akuntansi ini menghasilkan suatu pernyataan
yang disajikan dalam laporan kuangan.
4. Menetapkan tingkat kesesuaian. Pengumpulan bukti mengenai pernyataan dan
evaluasi terhadap hasil pengumpulan bukti tersebut dimaksudkan untuk
menetapkan kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah dittetapkan.
5. Kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria atau standar yang dipakai sebagai dasar
untuk menilai pernyataan (yang berupa hasil proses akuntansi) dapat berupa :
a. Peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan legislatif.
b. Anggaran atau ukuran prestasi lain yang ditetapkan oleh manajemen.
c. Prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia.
6. Penyampaian hasil. Penyampaian hasil auditing sering disebut dengan atestasi.
Atestasi dalam bentuk laporan tertulis dapat dinaikkan atau menurunkan tingkat
kepercayaan pemakai informasi keuangan atas asersi yang dibuat oleh pihak yang
diaudit.
7. Pemakai yang berkepentingan. Para pemakai informasi keuangan, seperti
pemegang saham, manajemen, kreditor, investor, organisasi buruh, dan kantor
pelayanan pajak

2.2.2. Akuntansi Keperilakuan


Akuntansi merupakan suatu sistem untuk menghasilkan informasi keuangan
yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan bisnis.
Tujuan informasi tersebut adalah memberikan petunjuk dalam memilih tindakan yang
paling baik untuk mengalokasikan sumber daya yang langka pada aktivitas bisnis dan
ekonomi. Namun, pemilihan dan penetapan suatu keputusan bisnis melibatkan aspek-
aspek keperilakuan dari para pengambil keputusan. Dengan demikian, akuntansi tidak
dapat dilepaskan dari aspek perilaku manusia serta kebutuhan organisasi akan informasi
yang dapat dihasilkan oleh akuntansi (Khomsiyah dan Indriantoro, 2000 dalam Ikhsan
dan Ishak, 2005:1).
Perkembangan yang pesat dalam akuntansi keperilakuan lebih disebabkan karena
akuntansi secara simultan dihadapkan dengan ilmu- ilmu sosial secara menyeluruh.
Mengenai bagaimana perilaku manusia dapat mempengaruhi data akuntansi dan
keputusan bisnis, serta bagaimana akuntansi mempengaruhi keputusan bisnis dan
perilaku manusia selalu dicari jawabannya. Namun disisi lainnya, akuntansi
keperilakuan tidak sama dengan akuntansi tradisional yang hanya melaporkan data
keuangan. Akuntansi keperilakuan menyediakan suatu kerangka yang disusun
berdasarkan teknik berikut ini (Ikhsan dan Ishak, 2005:4):
a. Untuk memahami dan mengukur dampak proses bisnis terhadap orang-orang dan
kinerja perusahaan.
b. Untuk mengukur dan melaporkan perilaku serta pendapat yang relevan terhadap
perencanaan strategis.
c. Untuk mempengaruhi pendapat dan perilaku guna memastikan keberhasilan
implementasi kebijakan perusahaan.

Studi terhadap perilaku akuntan atau perilaku dari non akuntan telah banyak
dipengaruhi oleh fungsi akuntansi dan laporan (hofstede dan kinerd, 1970). Riset
akuntansi keperilakuan meliputi masalah yang berhubungan dengan:
a. pembuatan keputusan dan pertimbangan oleh akuntan dan auditor
b. pengaruh dari fungsi akuntansi seperti partisipasi dalam penyusutan anggaran
c. pengaruh hasil dari fungsi tersebut,seperti iformasi akuntansi dan penggunaan
pertimbangan dalam pembuatan keputusan
Suatu tinjauan atas artikel riset akuntansi keprilakuan selama tahun (1990-1991)
menunjukkan penekanan pada kekuatan dala pembuatan keputusan yang menrupakan
karakteristik dari sebagian basar riset akuntansi keperilakuan (Ikhsan dan Ishak,
2005:10).

2.2.3. Pengertian Etika

Etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai.
Masing-masing orang mempunyai perangkat nilai, sekalipun tidak dapat ducapkan
secara eksplisit (Arens dan Loebbecke, Etika (ethics) merupakan peraturan-peraturan
yang 1996:73). Dirancang untuk mempertahankan suatu profesi pada tingkat yang
bermartabat, mengarahkan anggota profesi dalam hubungannya satu dengan yang lain,
dan memastikan kepada publik bahwa profesi akan mempertahankan tingkat kinerja
yang tinggi. Secara umum, etika merupakan nilai-nilai dan prinsip moral. Walaupun
etika pribadi berbeda-beda.dari seorang ke orang lainnya, pada suatu saat banyak warga
negara didalam suatu masyarakat dapat menyetujuai apa yang dianggap perilaku etis
(ethical) dan tidak etis (unethical). Dalam kenyataannya, suatu masyarakat
menyerahkan kepada hukum untuk menentukan apa yang oleh warganya dianggap
perilaku yang tidak etis. Titik tolak yang baik untuk mempertimbangkan etika adalah
dengan memeriksa konteks dimana sebagian persoalan etis muncul diantara orang-
orang. Setiap hubungan diantara dua atau lebih individu menyertakan didalamnya
ekspektasi pihak-pihak yang terlibat Simamora, 2002:44).
Etika berusaha mencoba mendefinisikan apa yang dimaksud dengan baik bagi
seseorang atau masyarakat, dan mencoba menetapkan sifat dari kewajiban atau tugas
yang harus dilakuakan oleh dirinya Namun, bagi dan sendiri sesamanya. seseorang
ketidakmampuan untuk tidak menyepakati apa yang disebut "baik" dan "kewajiban"
telah membuat para filsuf terpecah menjadi dua kelompok aliran. Kelompok aliran
pertama disebut kelompok aliran etika absolut (ethical absolutist), yang mengatakan
bahwa terdapat suatu standar universal yang tidak berubahselama-lamanya dan berlaku
bagi semua orang. Kelompok aliran yang lain disebut kelompok aliran ethical relativist
atau kelompok aliran etika relatif, yang mengatakan bahwa pertimbangan etika manusia
ditentukan oleh perubahan kebiasaan dan tradisi dalam maşvarakat dimana mereka
hidup (Boynot dan Johnson, 2002:97).

2.2.4. Etika Profesi

Etika profesi adalah aplikasi umum dari etika umum. Etika umum menekankan
bahwa ada pedoman tertentu yang menjadi dasar bagi seseorang untuk berperilaku.
Ketaatan terhadap etika profesi seringkali membuat para praktisi perorangan tidak mau
mengambil manfaat dari orang lain. Ini adalah perbedaan mendasar, tanda yang
membedakan seorang profesional adalah kesediaannya secara sukarela tidak hanya
karena kebutuhan akan kemampuan standar yang tinggi (yang disahkan oleh
kemampuan praktik yang lama dan melalui pengujian) dalam memberikan jasa kepada
kliennya, tetapi juga kewajiban kepada klien, sesama praktisi, dan masyarakat yang
menuntut lebih dari sekedar hukum yang paling ketat. Dalam auditing, pemakai laporan
keuangan tidak bisa diharapkan selalu memahami standar auditing yang berlaku umum
atau norma pemeriksaan akuntan, prosedur auditing yang dilaksanakan, dan bidang
pengetahuan auditing lainnya yang kompleks. Melalui kode etik profesi, auditor
meyakinkan mereka bahwa jasa yang bermutu sudah diberikan (Guy; et al, 2002:56).
Berikut ini dicantumkan prinsip etika profesi Ikatan Akuntan Indonesia (Mulyadi,
2002:54-60):
1. Tanggung Jawab Profesi. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai
profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan
profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2. Kepentingan Publik. Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak
dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan
menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3. Integritas. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap
anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi
mungkin, dimana integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari
timbulnya pengakuan profesional
4. Objektifan. Setiap anggota harus menjaga objektivitas dan bebas dari benturan
kepentingan dalam pemenuhankewajiban profesionalnya, dimana objektivitas
adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota,
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional. Setiap anggotga harus melaksanakan
jasa profesionalnya dengan kehati-hatiannya, kompetensi dan ketekunan, serta
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan
profesional pada tingkat yang diperlukan atau memastikan bahwa klien atau
pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten
berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
6. Kerahasiaan. Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang
diperoleh selama melakukan jasa professional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau
kewajiban professional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7. Perilaku Profesional. Setiap anggota harus berperilaku yang komitmen dengan
reputasi profesi yang baik dan menjahui tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesi.
8. Standar Teknis. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai
dengan standar teknis dan standar professional yang relevan. Sesuai dengan
keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan
dengan pronsip integritas dan objektifitas.

2.2.5. Dilema Etis

Dilema etis adalah suatu situasi dimana seseorang berhadapan dengan suatu
keputusan menyangkut perilaku yang benar. Dilema etis biasanya melibatkan situasi
dimana kesejahteraan seseorang atau lebih terpengaruh akibat suatu keputusan. Auditor
independen yang tetap menjadi bagian dari tim manajemen sebuah perusahaan yang
melecehkan dan mengelabui karyawan ataupun memperlakukan pelanggan secara
curang merupakan dilema moral (Simamora, 2002:44).
Dilema etik merupakan situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan
mengenai perilaku yang pantas harus dibuat. Auditor, akuntan, dan kalangan bisnis
lainnya menghadapi banyak dilema etik dalam karier bisnis mereka. Bernegosiasi
dengan klien yang mengancam untuk mencari Auditor baru kalau perusahaanya tidak
memperoleh pendapat wajar tanpa pengecualian, jelas merupakan dilema etik karena
pendapat seperti itu belum memuaskannya. Ada beberapa alternatif pemecahan dilema
etik, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari cara yang merupakan rasionalisasi
perilaku tidak beretika. Berikut ini adalah metode rasionalisasi yang biasanya
digunakan bagi perilaku tidak beretika (Arens dan loebbecke, 1996:74):
1. Semua orang melakukannya. Argumentasi yang mendukung penyalahgunaan
pajak, menyontek dalam ujian, atau menjual produk rusak biasanya didasarkan pada
rasionalisasi bahwa semua orang melakukan hal yang sama, oleh karena itu dapat
diterima.
2. Jika itu legal, maka itu beretika. Menggunakan argumentasi bahwa semua
perilaku illegal adalah beretika sangat berhubungan dengan ketepatan hukum.
Dengan filosofi ini, tidak ada kewajiban menuntut kerugian yang telah dilakukan
seseorang.
3. Kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya. Filosofi ini bergantung pada
evaluasi hasil temuan seseorang. Umumnya, seseorang akan memberikan hukuman
(konsekuensi) pada temuan tersebut.
Ditahun-tahun belakangan, kerangka formal telah dikembangkan untuk
membantu orang dalam memecahkan dilema etik. Tujuan kerangka ini adalah
menentukan tindakan yang tepat denganmenggunakan norma orang yang bersangkutan.
Pendekatan enam langkah berikut ini merupakan pendekatan sederhana untuk
memecahkan dilema etik:

a. Dapatkan fakta-fakta yang relevan.


b. Identifikasikan isu-isu etika dari fakta-fakta yang ada.
c. Tentukan dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi delima.
d. Identitikasikan konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif.
e. Putuskan tindakan yang tepat.

2.2.6. Locus Of Control

Didalam organisasi yang terdiri dari beberapa individu didalamnya perlu


adanya pemahaman factor karakteristik individual, baik fisik maupun kepribadian.
Locus of control merupakan salah satu aspek kepribadian.
Menurut Rotter (1996) Locus Of Control adalah cara pandang seseorang
terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak dapat mengendalikan (control)
peristiwa yang terjadi padanya. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan tempat
kedudukan kendali locus of control adalah sampai sejauh mana orang yakin bahwa
mereka menguasai nasib mereka sendiri. Pada dasarnya konsep locus of control
menunjukkan kepada harapan-harapan individu mengenai sumber penyebab dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Rotters, 1996 dalam Prasetyo, 2002).

2.2.7. Jenis- Jenis Locus Of Control

Locus of control dapat dibagi menjadi dua (2) yaitu: Locus Of Control Internal
dan Eksternal.
1. Locus of control internal Menurut Robbin dan Coulter (1999 dalam Prasetyo, 2002)
orang- orang yang berpendapat bahwa mereka yang mengendalikan nasib disebut
internal kontrol.
Sedangkan menurut Lefcourt (1982, dalam Prasetyo, 2002: 122) menyatakan
bahwa Locus of Control internal ditunjukkan dengan pandangan bahwa peristiwa
baik atau buruk yang terjadi diakibatkan oleh tindakan seseorang, oleh karena itu
terjadinya suatu peristiwa berada dalam kontrol seseorang.
Locus of Control internal mengacu pada persepsi seseorang terhadap kejadian baik
positif ataupun negatif sebagai konsekuensi dari tindakan atau perbuatan diri sendiri
dan berada dibawah pengendalian dirinya (Mustikawati, 1999 : 100).
2. Locus of Control External Menurut Robbins dan Coulter (1999, dalam Prasetyo,
2002) Locus of Control External adalah orang-orang yang berpendapat bahwa
kehidupan mereka dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar Ekternal control
mengacu pada keyakinan bahwa suatu kejadian tidak memiliki hubungan langsung
dengan tindakan yang telah dilakukan oleh dirinya sensiri dan berada diluar kontrol
dirinya (Mustikawati, 1999: 100).

2.2.8. Kesadaran Etis

Etika menggambarkan prinsip moral atau peraturan perilaku individu atau


kelompok individu yang mereka akui. Etika berlaku ketika seseorang harus mengambil
keputusan dari beberapa alternative menyangkut prinsip moral. Perilaku etis ditentukan
oleh masing - masing individu. Setiap orang menggunakan alasan moral untuk
memutuskan apakah sesuatu etis atau tidak, etika adalah kode perilaku moral yang
mewajibkan kita untuk tidak hanya mempertimbangkan diri kita sendiri tetapi juga
orang lain. Setiap orang dapat menerima pedoman etis untuk mengambil keputusan
moral dari berbagai sumber seperti keluarga, teman, agama, dan model peran. Sering
kali pedoman seperti itu didasarkan atas teori etis atau aturan pengambilan keputusan
(Guy, et al, 2002 56).
Norma norma etika dirumuskan sebagai standar moral dan sebagai dasar yang
nyata untuk melakukan tindakan disipliner. Dasar kebenaran untuk kaidah kaidah
perilaku yang sesuai dengan etika terletak pada penghargaan dan penghormatan yang
semakin tinggi yang dengannya profesi tersebut dihargai oleh masyarakat apabila
kaidah - kaidah tersebut ditaati (Holmes dan Burns, 1979:72).

2.2.9. Motivasi

Motivasi merupakan tujuan yang diinginkan yang mendorong orang berperilaku


tertentu, sehingga motivasi sering pula diartikan dengan keinginan, tujuan, kebutuhan
atau dorongan, dan sering dipakai secara bergantianuntuk menjelaskan motivasi
seseorang (Hariandja, 2002:321). Beberapa model atau teori tentang motivasi sebagai
berikut (Hariandja, 2002:324-333):
1. Teori Motivasi Kebutuhan

Teori ini dikemukakan oleh Abraham A. Maslow yang menyatakan manusia


dimotivasi untuk memuaskan sejumlah kebutuhan yang melekat pada diri setiap
manusia yang cenderung bersifat bawaan, adapun kebutuhan - kebutuhan itu
adalah:
a. Kebutuhan fisik (physiological needs), yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan
kebutuhan yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan diri sebagai
mahluk fisik seperti kebutuhan untuk makanan, minuman, pakaian, seks, dan
lain - lain.
b. Kebutuhan rasa aman (safety needs), yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan
kebutuhan rasa aman dari ancaman ancaman dari luar yang mungkin terjadi
seperti keamanan dari ancaman orang lain, ancaman alam, atau ancaman bahwa
suatu saat tidak dapat bekerja karena faktor usia atau faktor lainnya.
c. Kebutuhan sosial (social needs), yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan
menjadi bagian dari orang lain, dicintai orang lain, dan mencintai orang lain.
d. Kebutuhan pengakuan (esteem needs), yaitu kebutuhan yang berkaitan tidak
hanya menjadi bagian dari orang lain (masyarakat), tetapi lebih jauh dari itu
yakni diakui atau dihormati atau dihargai orang lain karena kemampuannya atau
kekuatannya.
e. Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs), yaitu kebutuhan yang
berhubungan dengan aktualisasi atau penyaluran diri dalam arti kemampuan,
minat, dan potensi diri dalam bentuk nyata dalam kehidupannya.
2. Teori X dan Y

Teori ini menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri dari dua jenis.
Pencetusnya, McGregor, mengatakan bahwa ada jenis manusia X dan jenis manusia
Y yang masing - masing memiliki karakteristik tertentu. Jenis manusia X adalah
manusia yang selalu ingin menghindari pekerjaan bilamana mungkin, sementara
jenis manusia Y menunjukkan sifat yang senang bekerja yang diibaratkan bahwa
bekerja baginya seperti bermain. Kemudian jenis manusia tipe X tidak punya
inisiatif dan senang diarahkan, sedangkan jenis manusia Y sebaliknya. Dikaitkan
dengan kebutuhan, dikatakan bahwa tipe manusia X bilamana mengacu pada hirarki
kebutuhan dari Maslow, memiliki kebutuhan tingkat rendah, sedangkan tipe
manusia Y memiliki kebutuhan tingkat tinggi.
3. Three Needs Theory

Teori ini dikemukakan oleh David McClelland, yang mengatakan bahwa ada tiga
kebutuhan manusia, yaitu:
a. Kebutuhan prestasi (needs for achievement), yaitu keinginan untuk melakukan
sesuatu yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
b. Kebutuhan untuk berkuasa (needs for power), yaitu kebutuhan untuk lebih kuat,
lebih berpengaruh terhadap orang lain.
c. Kebutuhan afiliasi (needs for affiliation), yaitu kebutuhan untuk disukai,
mengembangkan, atau memelihara persahabatan dengan orang lain.
4. ERG (existence, relatedness, growth) Theory

Teori ini dikemukakan oleh Clayton Aldefer yang sebetulnya tidaklah jauh berbeda
dengan teori dari A. Maslow, yang mengatakan bahwa teori ini merupakan revisi
dari teori tersebut. Teori ini ada tiga kelompok kebutuhan manusia yaitu:
a. Existence yaitu berhubungan dengan kebutuhan untuk mempertahankan
keberadaan seseorang dalam hidupnya.
b. Relatedness yaitu berhubungan dengan kebutuhan untuk berinteraksi dengan
orang lain.
c. Growth yaitu berhubungan dengan kebutuhan pengembangan diri, yang identik
dengan kebutuhan sel-actualization yang dikemukakan oleh Maslow.
5. Teori Dua Faktor

Teori ini disebut juga motivation-bygiene theory dan dikemukakan oleh Frederick
Herzberg. Teori ini mengatakan bahwa suatu pekerjaan selalu berhubungan dengan
dua aspek yaitu pekerjaan itu sendiri seperti mengajar, merakit sebuah barang,
mengkoordinasi suatu kegiatan, menunggu langganan, membersihkan ruangan, dan
lain yang discbut job content, dan aspek yang berkaitan lain dengan pekerjaan
seperti gaji, kebijaksanaan organisasi, supervise, rekan sekerja, dan lingkungan
kerja yang disebut job context.

2.2.10. Perilaku

Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan, dengan kata lain perilaku kita,
pada umumnya di motivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.
Alasan tindakan - tindakan kita tidak selalu jelas bagi pemikiran kita secara sadar.
Dorongan dorongan (drives) yang memotivasi pola pola perilaku individual khusus,
hingga tingkat tertentu berlangsung dibawah sadar (Winardi, 2002:32).
Hal tersebut mungkin pula disebabkan oleh kurangnya upaya seorang individu
untuk mencapai pencerahan diri. Tetapi, sekalipun dengan bantuan professional
misalnya, dengan bantuan psikoterapi upaya memahami diri sendiri mungkin
merupakan sebuah proses sulit yang memberikan keberhasilan tingkat yang berbeda-
beda. Unit dasar perilaku adalah sebuah aktivitas. Sesungguhnya dapat kita mengatakan
bahwa semua perilaku merupakan suatu seri aktivitas - aktivitas. Sebagai manusia kita
senantiasa melakukan sesuatu hal berjalan, berbincang, makan, minum, tidur, bekerja,
dan sebagainya.
Manusia bukan saja menunjukkan perbedaan perbedaan dalam keinampuan
mereka untuk melakukan sesuatu, tetapi pula dalam keinginan mereka untuk
melakukan sesuatu, atau motivasi (Winardi, 2002:32).
2.2.11. Perilaku Auditor

Reputasi profesional seorang oleh Auditor ditentukan kompetensi,


pertimbangan, kejujuran, kejujuran, dan independensinya, dimana kejujuran sebagai
bagian yang tidak terpisahkan.

Perilaku Auditor menurut etika profesi dengan sendirinya masuk kedalam tida
bagian umum yang bisa saja tumpang tindih. Ini menyangkut hubungan antara Auditor
dengan klien, akuntan lain, dan masyarakat serta kelompok-kelompok khusus (Holmes
dan Burns 1979:80-82):

a. Hubungan dengan Klien

Identitas klien merupakan faktor utama dalam hubungan antara Auditor denganh
klien. Dalam perusahaan perorangan, pemiliknya itulah klien, kecuali jika kreditor
atau calon pembeli perusahaan itu yang meminta untuk diadakan audit. Hubungan
antara Auditor dengan klien merupakan masalah hukum dan moral. Klien memang
berhak mengharapkan diterapkannya tingkat kemahiran profesional yang tinggi
dalam pelaksanaan kegiatan audit yang kompeten. Setiap penugasan audit
merupakan kontrak, dimana Auditor setuju untuk memberikan kemampuannya
yang tertinggi, untuk memikul tanggung jawab atas pekerjaan audit, dan melindungi
kepentingan klien.

b. Hubungan dengan Akuntan Lain

Hubungan Auditor dengan akuntan lain harus jujur dan terhormat. Kritik-kritikan
pribadi terhadap akuntan publik independen lain harus dihindari. Tanggung jawab
umum seorang Auditor terhadap akuntan lain merupakan suatu kewajiban moral

c. Hubungan dengan Masyarakat dan Pihak Lain

Tanggung jawab etis seorang Auditor kepada masyarakat nonprofesional harus


sedemikian rupa sehingga masyarakat atau sekelompok tertentu dari dunia usaha
yang berkepentingan tidak disesalkan oleh suatu laporan audit tentang kondisi suatu
perusahaan. Seorang yang tidak menunjukkan tanggung jawab moral terhadap
masyarakat akan segera kehilangan nama baiknya. Barang siapa tidak menunjukkan
tanggung jawab hukum bisa terkena tuntutan hukum. Seorang Auditor jangan
sekali-kali mengambil keuntungan dengan memberikan informasi yang
diperolehnya ketika melakukan Audit kepada orang lain yang bisa
memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan.

2.2.12. Laporan Audit (audit report)

Laporan merupakan hal yang esensial dalam penugasan audit dan assurance
karena laporan berfungsi mengkomunikasikan temuan - temuan Auditor. Laporan audit
adalah tahap akhir dari keseluruhan audit. Standar pelaporan yang mengharuskan
laporan audit berisi suatu petunjuk yang jelas tentang sifat pekerjaan Auditor serta
tingkat tanggung jawab yang diembannya atas laporan keuangan. Ada tujuh unsur
laporan audit (Arens,et al, 2003:66-69) :
1. Judul Laporan

Standar auditing mewajibkan setiap laporan diberi judul laporan, dan dalam judul
tersebuttercantum kata independen, sebagai contoh "laporan Auditor independen"

2. Alamat Laporan Audit

Laporan ini biasanya ditujukan kepada perusahaan, para pemegang saham atau
dewan direksi perusahaan untuk menunjukkan bahwa Auditor itu independen
terhadap perusahaan dan dewan direksi perusahaan yang diaudit.

3. Paragraf Pendahuluan

Paragraf ini menunjukkan laporan tiga hal, pertama membuat suatu pernyataan
sederhana bahwa kantor akuntan publik telah melaksanakan audit. Kedua, paragraf
ini menyatakan laporan keuangan yang telah diaudit, termasuk pencantuman
tanggal neraca serta periode akuntansi dari laporan laba rugi dan laporan arus
kas. Ketiga, menyatakan bahwa laporan keuangan merupakan tanggung jawab
manajemen dan tanggung jawab Auditor terletak pada pernyataan pendapat atas
laporan keuangan berdasarkan pelaksanaan audit.

4. Paragraf Scope

Berisi pernyataan faktual tentang apa yang dilakukan Auditor selama proses audit,
bahwa audit dirancang untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa laporan
bebas dari salah saji yang material

5. Paragraf Pendapat

Berisi kesimpulan Auditor berdasarkan hasil dari proses audit yang telah dilakukan.
Bagian ini merupakan bagian terpentingdari keseluruhan laporan audit, sehingga
seluruh laporan audit dinyatakan secara sederhana sebagai pendapat Auditor.

6. Nama KAP

Nama tersebut akan mengidentifikasikan kantor akuntan publik atau praktisi mana
yang telah melaksanakan audit.

7. Tanggal Laporan Audit

Tanggal yang tepat untuk dicantumkan dalam laporan audit adalah tanggal pada
saat Auditor menyelesaikan prosedur audit terpenting dilokasi pemeriksaan.
2.2.13. Tipe-tipe Pokok Laporan Audit yang Dikeluarkan Oleh Auditor

Berikut ini laporan audit yang dikeluarkan Auditor (Mulyadi 2001:6):

a. Pendapat Wajar tanpa Pengecualian (ungualified opinion)

Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan oleh Auditor jika tidak terjadi
pembatasan dalam lingkup audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan
mengenai kewajaran dan penerapan prinsip akuntansi berterima umum dalam
penyusunan laporan keuangan. Laporan dianggap menyajikan secara wajar posisi
keuangan dan hasil usaha suatu organisasi, sesuai dengan prinsip akuntansi
berterima umum, jika memenuhi kondisi berikut ini :

a. Prinsip akuntansi berterima umum digunakan untuk menyusun laporan


keuangan.
b. Perubahan penerapan prinsip akuntansi berterima umum dari periode ke periode
telah cukup dijelaskan.
c. Informasi dalam catatan-catatan yang mendukungnya telah dijelaskan dengan
cukup dalam laporan keuangan, sesuai dengan prinsip akuntansi berterima
umum.

b. Pendapat Wajar dengan Pengecualian (qualified opinion)

Kondisi-kondisi berikut ini, dapat memberikan pendapat wajar dengan


pengecualian dalam laporan audit:

a. Lingkup audit dibatasi oleh klien,


b. Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat
memperoleh informasi penting karena kondisi- kondisi yang berada diluar
kekuasaan klien maupun auditor.
c. Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima
umum.
d. Prinsip akuntansi berterima umum yang digunakan dalam penyusunan laporan
keuangan tidak diterapkan secara konsisten.

Dalam pendapat ini auditor menyatakan bahwa laporan keuangan yang disajikan
oleh klien adalah wajar, tetapi ada beberapa unsure yang dikecualikan, yang
pengecualiannya tidak mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara
keseluruhan.

c. Pendapat tidak Wajar (adverse opinion)

Akuntan memberikan pendapat ini jika laporan keuangan klien tidak disusun
berdasarkan prinsip akuntansi berterima umum sehingga tidak menyajikan secara
wajar posisi keuangan hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas perusahaan
klien. Auditor meberikan pendapat tidak wajar jika ia dibatasi lingkup auditnya,
sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup untuk mendukung
pendapatnya.
d. Pendapat tidak Memberikan Pendapat (disclaimer opinion)

Berikut kondisi yang menyebabkan Auditor menyatakan tidak memberikan


pendapat adalah:

a. Pembatasan yang luar biasa sifatnya terhadap lingkup audit.


b. Auditor tidak independen dalam hubungannya dengan kliennya.

2.2.14. Teori yang Melandasi Pengaruh locus of control terhadap perilaku Auditor
dalam situasi masalah audit

Berdasarkan pada teori locus of control yang dikemukakan Rotter (1996) bahwa
perilaku Auditor dalam situasi masalah akan dipengaruhi oleh karakteristik locus of
control-nya. Individu dengan internal locus of control akan lebih mungkin berperilaku
etis dalam situasi masalah audit dibanding dengan individu dengan eksternal locus of
control. Ciri pembawaan internal locus of control adalah mereka yang yakin bahwa
suatu kejadian selalu berada dalam kendalinya dan akan selalu mengambil peran dan
tanggung jawab dalam penentuan benar atau salah. Sebaliknya orang dengan eksternal
locus of control percaya bahwa kejadian dalam hidupnya berada diluar kontrolnya dan
percaya bahwa hidupnya dipengaruhi oleh takdir, keberuntungan, dan kesempatan serta
lebih mempercayai kekuatan diluar dirinya. Karenanya Auditor dengan eksternal locus
of control lebih besar kemungkinannya untuk memenuhi permintaan klien (Muawanah
dan Indriantoro, 2001:135).

2.2.15. Teori yang Melandasi Pengaruh komitmen profesi terhadap perilaku


Auditor dalam situasi masalah audit

Variabel personalitas yang lain yang diduga berpengaruh terhadap perilaku


Auditor dalam situasi masalah audit adalah komitmen profesi Auditor. Komitmen
profesi yang didefinisikan sebagai tingkat identifikasi dan keterlibatan individu dengan
profesi tertentu.

Dalam teori atribusi dikemukakan oleh Mcguire yang menyatakan memandang


individu sebagai personalitas komitmen profesi yang mencoba memahami sebab yang
terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapi, ia mencoba menemukan apa yang
menyababkan apa, atau apa yang mendorong siapa, siapa yang melakukan apa, respon
yang kita berikan kepada suatu peristiwa tergantung pada interprestasi kita tentang
peristiwa itu.Menguji hubungan antara komitmen profesi pemahaman etika dan sikap
ketaatan pada aturan. Hasilnya menunjukkan bahwa akuntan dengan profesi yang kuat,
perilakunya lebih mengarah pada aturan dibanding akuntan dengan komitmen profesi
yang rendah. Selanjutnya komitmen yang kuat berhubungan dengan convential level
pengembangan moral (Muawanah dan Indriantoro, 2001:136).

2.2.16. Teori yang Melandasi Pengaruh kesadaran etis terhadap perilaku Auditor
dalam situasi masalah audit

Teori cognitive moral development oleh Ponemon (1992) bermanfaat dalam


pengambaran psikologi pembuatan kesadaran etis dalam domain akuntan publik.
Perkembangan ke tahap kesadaran etis yang lebih tinggi akan membantu sensitifitas
seorang individu untuk lebih mengkritisi kejadian, masalah dan konflik. Auditor
dengan kapasitas kesadaran etis yang tinggi akan lebih baik dalam menghadapi konflik
dan dilema etis. Kesadaran etis yang diukur dengan DIT antara partner dan manajer,
hasilnya mengindikasikan bahwa partner dan manajer pada level kesadaran etis yang
lebih tinggi akan lebih independen dalam membuat keputusan yang terkait dengan
dilema etis (Ponemon, 1992 dalam Purnamasari, 2006:7).

2.3. Kerangka Pikir

Berdasarkan teori- teori tersebut diatas dan dengan hasil penelitian terdahulu, maka
dapat dibuat premis dalam penelitian ini untuk membuat suatu kerangka pikir yang
digunakan sebagai penyelesaian permasalahan dalam penelitian ini, adapun premis - premis
tersebut dibawah ini:

a. Premis 1
Pengaruh locus of control dan komitmen profesi terhadap perilaku Auditor dalam
situasi audit kesadaran etis sebagai variabel moderating hasilnya signifikan, sehingga
pengaruh variabel moderating pada penelitian ini tidak diabaikan (Muawanah, 2001)

b. Premis 2
Locus of control dapat berinteraksi dengan cognitive style untuk menentukan individu
berperilaku dalam merespon dilemma etis (Tsui dan Gul dalam Muawanah dan
Indriantoro, 2001).

c. Premis 3
Auditor harus mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi keinginan klien, maka
harus ada hubungan positif antara orientasi pelanggan dengan komitmen profesi
(Dansen, 1995 dalam Ratmono dan Prabowo, 2006)

d. Premis 4
Hubungan antara komitmen profesi pemahaman etika dan sikap ketaatan pada aturan
menunjukkan akuntan dengan profesi yang kuat, perilakunya lebih mengarah dibanding
akuntan dengan komitmen profesi yang rendah (Jeffrey dan Weatherholt dalam
Muawanah dan Indriantoro, 2001).

e. Premis 5
Auditor dengan kapasitas pemikiran etis yang yang tinggi akan lebih baik dalam
menghadapi konflik dan dilemma etis, dan lebih independen dalam membuat keputusan
yang terkait dengan dilema etis (Ponemon dalam Purnamasari, 2006).

f. Premis 6
Individu yang lebih mengembangkan moral kemungkinannya akan lebih kecil untuk
menyetujui perilaku tidak etis (Trevini dan Youngblood dalam Purnamasari, 2006).
Berdasarkan premis premis diatas, maka dapat digambarkan dengan gambar 2.1
dibawah ini.

Locus Of Control
(X1)

Komitmen Profesi Perilaku auditor dalam


situasi masalah audit
(X2) (Y)

Kesadaran Etis
(X3)
Uji Regresi Linier
Berganda

Keterangan:

X1 : Variabel locus of control.


X2 : Variabel komitmen profesi.
X3 : Variabel kesadaran etis.
Y : Perilaku auditor dalam situasi masalah audit
: Mempengaruhi.

2.4. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pikir diatas dapat ditentukan hipotesis sebagai berikut:

1. Bahwa peran locus of control, komitmen profesi, dan kesadaran etis berpengaruh
terhadap perilaku Auditor dalam masalah audit.
2. Bahwa yang paling dominan berpengaruh adalah locus of control terhadap perilaku
Auditor dalam situasi masalah audit.

Anda mungkin juga menyukai