Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FTS STERIL

PEMBUATAN STERILE CORTISON ACETAT SUSPENSI

DISUSUN OLEH :

1. Amalia Setya Wardani (4161002)

2. Brian wicaksono (4161009)

3. Feransiska Marentina W (4161017)

4. Intan Rahmawati (4161023)

5. Nita Dwi Jayanti (4161030)

6. Nurma Astri Apriyani (4161031)

7. Sinta Wulandari (4161036)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKES NASIONAL SURAKARTA
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan farmasi di Indonesia sudah dimulai semenjak zaman Belanda,


sehingga teknologi steril sebagai salah satu bagian dari ilmu farmasi mengalami dinamika
yang begitu cepat. Teknologi Steril merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana
membuat suatu sediaan (Injeksi volume kecil, Injeksi volume besar, Infus, Tetes Mata dan
Salep Mata) yang steril, mutlak bebas dari jasad renik, patogen, atau non patogen, vegetatif
atau non vegetatif (tidak ada jasad renik yang hidup dalam suatu sediaan). Teknologi steril
berhubungan dengan proses sterilisasi yang berarti proses mematikan jasad renik
(kalor,radiasi, zat kimia) agar diperoleh kondisi steril. Tentunya di setiap fakultas
mendapatkan mata kuliah tersebut, karena teknologi steril berperan penting dan menjadi mata
kuliah pokok farmasi.

Dalam teknologi steril, kita dapat mempelajari tentang bagaimana menghasilkan atau
membuat sediaan yang steril, sediaan steril dapat dibuat secara sterilisasi kalor basah, kalor
kering, penyaringan, sterilisasi gas, radiasi ion dan teknik aseptik. Kemudian sediaan steril
tersebut dilakukan uji sterilitas, uji pirogenitas (ada atau tidaknya pirogen). Pada saat kuliah
teknologi steril akan kita dapatkan sediaan dalam bentuk larutan, emulsi, suspensi dan semi
solid yang steril (bebas dari pirogen).

Salah satu bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih
dahulu sebelum digunakan yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lendir. Dimasukkan ke dalam tubuh dengan menggunakan alat
suntik.

Suspensi untuk injeksi adalah sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair
yang sesuai dan tidak disuntikkan secara intravena atau kedalam larutan spinal . Suspensi
untuk injeksi terkonstitusi adalah sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai
untuk membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai.
Sediaan suspesi digunakan untuk mengatasi zat aktif yg tidak terlarut dalam pelarut,
kelarutan hidrokortison asetat praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol dan
dalam kloroform, sehingga sediaan yang paling efektif adalah dalam bentuk suspensi injeksi.

B.Tujuan

1. Memahami pembuatan sediaan steril dengan teknik aseptis

2. Memahami pembuatan injeksi hidrokortison asetat suspensi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori

Suspensi farmasi adalah dispersi kasar, dimana partikel padat yang tak larut
terdispersi dalam medium cair. Partikelnya mempunyai diameter yang sebagian besar lebih
dari 0,1 mikron. Beberapa partikel terlihat dibawah mikroskop menunjukan gerakan Brown
bila dispersinya mempunyai viskositas yang rendah, (Anief, 2000).

Suspensi dapat dibuat dengan cara :

1. Metode dispersi
2. Metode presipitasi dan ada 3 macam :
a. Presipitasi dengan pelarut organik
b. Presipitasi dengan perubahan pH dari media
c. Presipitasi dengan dekomposisi rangkap, (Voight, 1994).

Suspensi obat suntik harus steril, mudah disuntikan dan tidak menyumbat jarum
suntik. Suspensi obat mata harus steril dan zat yang terdispersi harus sangat halus, bila untuk
dosis ganda harus mengandung bakterisida. Pada etiket harus tertera kocok dahulu dan
disimpan dalam wadah tertutup baik dan disimpan ditempat sejuk, (Anief, 1997).

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disespensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikan dengan
cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selput lendir. Injeksi diracik
dengan melarutkan, mengelmusikan atau mensuspensikan sejumlah obat dalam sejumlah
pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah
dosis ganda. Suatu kerja optimal dan tersatukan dari larutan obat yang diberikan secara
parenteral kemudian hanya diberikan jika persyaratan berikut terpenuhi :
1. Penyesuaian dari kandungan bahan obat yang dinyatakan dan nyata-nyata terdapat, tidak
ada penurunan kerja selama penyimpanan melalui perusakan secara kimia dari obat dan
sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, yang tidak hanya menginginkan suatu pengambilan steril,
melainkan juga menolak antaraksi antara beban obat dan materi dinding.
3. Tersatukan tanpa reaksi. Untukitu yang bertanggungjawabterutamabebaskuman,
bebaspirogen, bahanpelarut yang netralsecarafisiologis, isotoni,isohidri, bebasbahanterapung,
(Depkes,1979).

Suspensi untuk injeksi terkontitusi adalah sediaan padat kering dengan bahan
pembawa yang sesuai untuk membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk
suspensi.Steril setelah penambahan bahan yang sesuai, (Syamsuni,2006).

Injeksi Kortison Asetat mengandung Kortison Asetat, C23H30O6, tidak kurang dari
90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. Keasaman-kebasaan
nya pada pH 5 sampe 7, (Depkes,1995).

A. Alat dan Bahan


Alat
1. Beker glass 1 buah
2. Batang pengaduk 1 buah
3. Cawan porselin 1 buah
4. Gelas ukur 1 buah
5. Perkamen 1 buah
6. Timbangan biasa 1 buah
7. Timbangan analitik 1 buah
8. Autoclave 1 buah
Bahan
1. Hidrorticon asetat 250 mg
2. NaCI 90 mg
3. Tween – 80 40 mg
4. CMC 50 mg
5. Benzyl alkohol 90 mg
6. Aqua bebas CO2 ad 10 ml
Formula dan Perhitungan
R/ tiap vial dengan volume 10 ml mengandung :

Hidrocortison asetat 250 mg


BM Hidrocortison asetat = 404,5 gr/mol
NaCI 90 mg
NaCI = 58,44 gr/mol
Tween – 80 40 mg
Tween - 80 = 108 , 14 gr/mol
CMC 50 mg

Benzyl alkohol 90 mg

Aqua p.i ad 10 mI

Perhitungan tonisitas

𝐹𝑎 𝐹𝑏 𝐹𝑐
Tonisistas = . 𝑋𝑎 + . 𝑋𝑏 + . 𝑋𝑐
𝑀𝑎 𝑀𝑏 𝑀𝑐

1 1,8 1
Tonisistas = . 2,5 + . 9+ .4
404,5 58,44 108,14

Tonisistas = 0,0618 + 0,2772 + 0,0369

= 0,3759 gr/1L
B. Cara Kerja
Cara kerja pembuatan

CMC

dilarutkan

Air panas

disterilkan

Autovlave
ditambahkan

ditambahkan
Cortison asetat

ditambahkan

Tween – 80 diaduk ad homogen

ditambahkan

NaCI dalam air dan diatambahkan benzyl alkohol

dimasukkan

Vial 10 ml dan ditutup kedap

diamatai

Suspensi yang terjadi diberi etiket

Cara kerja Uji

UJI KEBOCORAN

Sediaan dengan wadah

Dimasukkan

Bejana (autoclave) yang dibuat vakum sampai


70 mmHg

Dimasukkan

Larutan metilen blue 0,0025 % dalam larutan phenol


0,0025%
Selama >15 menit

Dilihat
Sediaan dalam wadah, jika berwarna biru maka
wadah tersebut bocor dan sebaliknya.

UJI PENGGOJOKA

Suspensi dalamdidiamkan
botol kaca

dilakukan
Sampai serbuk suspensi mengendap

dihitung

Penggojokan sampai tidak terdapat sediaan


yang mengendap

Waktu yang dibutuhkan untuk serbuk terdispersi secara merata

UJI PEMERIKSAAN WARNA

Vial

dipegang

lehernya

dibalikkan

Perlahan - lahan

diputar

Larutan

dipeganag

Wadah secara horizontal

diperiksa

Vial dengan latar belakan hitam putih


C. Hasil
Data Hasil
Tonisitas 0,3759 (Hipertonis)
Pemeriksaan warna Warna putih susu
Organoleptis Larutan 10 ml, berwarna putih susu, tidak berbau
Uji kebocoran Tidak bocor
Uji penggojokan Waktu penggojokan : 19,10 detik
BAB III

PEMBAHASAN

Pemerian
1. Hidrokortison Asetat
Pemerian : Serbuk hablur, putih hingga praktis putih, tidak berbau. Melebur pada suhu
lebih kurang 220˚ disertai peruraian.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol dan dalam kloroform.
Stabilitas : Hindari dari cahaya.
Kegunaan : untuk mengobati proses peradangan (Anonim, 1995).
2. NaCl (FI IV)
Pemerian : Kristal tidak berbau tidak berwarna atau serbuk kristal putih, tiap 1g setara
dengan 17,1 mmol NaCl.
Kelarutan : 1 bagian larut dalam 3 bagian air, 10 bagian gliserol
Stabilitas : Stabil dalam bentuk larutan. Larutan stabil dapat menyebabkan pengguratan
partikel dari tipe gelas
Khasiat/kegunaan : Pengganti ion Na+, Cl- dalam tubuh (Anonim, 1995).
3. Aqua Pro Injeksi
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau
Sterilisasi : Kalor basah (autoklaf)
Kegunaan : Pembawa dan melarutkan (Anonim, 1995).
4. Tween 80
Pemerian : Cairan seperti minyak, jernih berwarna kuning mudahingga coklat muda, bau
khas lemah, rasa pahit dan hangat.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, larutan tidak berbau dan praktis tidak
berwarna, larut dalam etanol, dalam etil asetat, tidak larut dalam minyak mineral.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, lindungi dari cahaya, ditempat sejuk dan kering
(Anonim, 1995).
5. CMC Na.
Pemerian : Serbuk atau granul, putih sampai krem, higroskopis.
Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloida, tidak larut dalam
etanol, eter, dan pelarut organik lain.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
Kegunaan : Suspending agent, bahan penolong tablet, peningkat viskositas (Anonim,
1995).
6. Benzil alkohol
Pemerian : Cairan tidak berwarna, bau aromatik lemah; rasa membakar tajam. Mendidih
pada suhu 206 oC tanpa peruraian . netral terhadap lakmus.
Kelarutan : agak sukar larut dengan air, mudah larut dalam etanol 50% bercampur
dengan etanol, dengan eter dan dengan kloroform.
Kegunaan : pengawet
Wadah : wadah tertutup rapat terlindung dari cahaya dan disimpan di tempat sejuk dan
kering (Anonim, 1995).
Pada percobaan kali ini dilakukan agar dapat memahami dan membuat steril cortisone
acetat suspensi. Zat aktif yang digunakan dalam percobaan ini yaitu hidrocortison acetat,
dimana kelarutan dari bahan ini praktis tidak larut dalam air, sehingga untuk dijadikan
sediaan parenteral maka perlu dibuat sediaan berupa suspensi steril. Karena berupa sediaan
suspensi, maka obat ini tidak boleh digunakan secara intravena karena mengandung partikel
yang dapat menyebabkan emboli pada pembuluh darah, sehingga dapat diberikan secara
intramuscular atau subcutan. Hasil dari perhitungan tonisitas bahan menunjukkan bahwa
sediaan bersifat hipertonis, keadaan ini dapat diterima untuk sediaan suspensi injeksi untuk
tujuan intramuscular atau subcutan.

Proses pembuatan sediaan dilakukan dengan teknik aseptis sehingga membutuhkan


sterilisasi awal untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik
dalam sediaan. CMC dikembangkan ke dalam aqua p.i panas, fungsi dari CMC yaitu sebagai
suspending agent. Kemudian disterilkan dengan autoclave pada suhu 121°C selama 5 menit
untuk menjamin sterilitas dari bahan tersebut. Adapun bahan lain yang digunakan yaitu
hidrocortison asetat sebagai zat berkhasiat dan Tween-80 sebagai surfaktan untuk
menurunkan tegangan permukaan yang terjadi pada sediaan suspensi ini serta agar sediaan
dapat segera terdispersi kembali. Kedua bahan tersebut dimasukkan ke dalam CMC yang
telah disterilkan dan diaduk hingga homogen. Selanjutnya NaCl ditambahkan ke dalam aqua
p.i dan dicampur dengan benzyl alcohol, NaCl sebagai zat pengisotonis dimana sediaan
parenteral harus memenuhi syarat isotonis untuk mengurangi kerusakan jaringan dan iritasi
serta mencegah hemolisa. Dan benzyl alcohol sebagai pengawet digunakan untuk
menghindari pertumbuhan bakteri pada sediaan suspensi ini. Selanjutnya larutan suspensi
yang telah homogen dimasukkan ke dalam vial 10 ml dan ditutup kedap. Tutup secara kedap
untuk menghindari masuknya kontaminan ke dalam sediaan. Etiket yang diberikan berisi
keterangan Steril Cortison Acetat Suspensi, tiap 10 ml mengandung 0,25 gram hidrocortison
acetat. Selajnutnya dilakukan pengujian terhadap sediaan.Tujuan dilakukan pengujian ini
adalah untuk menjamin bahwa suatu sediaan suspensi steril ini dapat digunakan dengan baik
dan benar serta suatu sediaan tidak terjadi kerusakan.

1. Uji kebocoran
Uji kebocoran ini bertujuan untuk menjamin suatu sediaan steril tidak terjadi kebocoran.
Cara kerja uji ini adalah membuat larutan metilen blue kemudian ampul di rendamkan ke
dalam larutan tersebut, setelah itu dimasukkan kedalam bejana vakum autoclave smapai 70
mmHg dan dijaga selama tidak kurang dari 15 menit. Kemudiaan setelah diamati hasilnya
bahwa sediaan steril suspensi kortison tidak terjadi kebocoran.
2. Uji penggojokan
Uji penggojokan ini bertujuan untuk mengetahui seberapa cepat suatu sediaan larutan
suspensi terdispersi semua. Cara kerja uji ini adalah sediaan suspensi steril dimasukkan
kedalam botol kaca, kemudian didiamkan sampai mengendap sempurna. Setelah
mengendap sempurna suspensi dilakukan penggojokan atau di kocok sampai tidak terdapat
sisa endapan pada dasar botol. Kemudian dicatat waktu redespersi nya dari sediaan suspensi
dan dihasilkan waktu redespersi nya 19,10 detik. Sehingga sediaan terdispersi secara
sempurna
3. Uji tonisitas
Uji tonisitas ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu larutan dalam ukuran dan
bentuk sel dengan mengubah jumlah air dalam sel tersebut. Dari hasil uji tonisitas
didapatkan 0.3759.
4. Uji pemeriksaan warna
Uji pemeriksaan warna didapatkan hasil bahwa sediaan steril berwarna jernih keruh terdapat
endapan.

Hidrokortison asetat digunakan pada heumatoid arthritis sebagai antiinflamasi dan


immunosuppresif. Hidrokortison asetat mengganggu antigen T limfosit, menginhibisi
prostaglandin dan sintesis leukotrin, menghibisi neutrofil dan turunan monosit superoksida
radikal. Hidrokortison asetat juga mengganggu migrasi seldan menyebabkan redistribusi
monosit, limfosit, dan neutrofil, sehingga menumpulkan respon inflamasi dan autoimun.
Dalam membran sinovial, sel CD4 + T berlimpah dan berkomunikasi dengan makrofag,
osteoklas, fibroblas dan kondrosit, baik melalui interaksi sel-sel langsung menggunakan
reseptor permukaan sel atau melalui sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, dan IL-6. Sel-
sel ini menghasilkan metaloproteinase dan zat sitotoksik lainnya, yang menyebabkan erosi
tulang dan tulang rawan (Dipiro et al., 2008).
Suspensi hidrokortison asetat steril digunakan untuk mengobati rheumatoid pada
sendi dan penggunaannya disuntikkan di intraartikular. Inflamasi kronik jaringan sinovial
yang melapisi kapsul sendi dihasilkan dalam proliferasi jaringan ini. Karakteristik sinovium
yang mengalami proliferasi dari rheumatoid diseut pannus. Pannus ini menyerang kartilago
dan akhirnya permukaan tulang, memproduksi erosi tulang dan kartilago dan menyebabkan
kerusakan sendi. (Dipiro, 2008)
Sendi sinovial adalah sendi yang paling umum dari kerangka apendikular manusia.
Meskipun sendi ini dianggap bergerak bebas, tingkat kemungkinan gerak bervariasi sesuai
dengan desain struktural individu dan fungsi utama (gerakan vsstabilitas). Komponen dari
sendi sinovial yang khas mencakup unsur-unsur tulang, tulang subkondral, Kartilago
artikular, membran sinovial, kapsul sendi fibroligamentous, dan reseptor sendi artikular.
Pemahaman tentang anatomi dasar dari bentuk sendi synovial dasar untuk perubahan klinis
yang signifikan pada sendi yang menyebabkan disfungsi sendi.
Meskipun peran yang tepat dari cairan sinovial masih belum diketahui, diperkirakan untuk
melayani sebagai pelumas sendi atau setidaknya untuk berinteraksi dengan tulang rawan
artikular untuk mengurangi gesekan antara permukaan sendi. Ini adalah relevansi klinis
karena sendi amobil telah terbukti untuk menjalani degenerasi dari kartilago artikular. Cairan
sinovial mirip dalam komposisi plasma, dengan penambahan asam hialuronat yang
memberikan berat molekul tinggi dan viskositas khas. Membran bagian dalam sendi sinovial
disebut membran sinovial dan mengeluarkan cairan sinovial ke dalam rongga sendi.
Cairanmengandung asam hialuronat yang disekresikan oleh selfibroblast dalam membran
sinovial (Tortora G. J., Derrickson B, 2009). Bentuk cairan ini adalah lapisan tipis (kira-
kira50 μm) di permukaan kartilago dan juga ke dalam microcavities dan penyimpangan
dalam permukaan kartilago artikular, mengisi semua ruang kosong (Edwards, 2000).
Cairan dalam kartilago artikular secara efektif berfungsi sebagai cadangan cairan
sinovial. Selama gerakan, cairan sinovial hadir dalam kartilago, dikeluarkan untuk menjaga
lapisan cairan pada permukaan kartilago (disebut pelumasan). Diperkirakan, fungsi cairan
sinovial meliputi mengurangi gesekan dimana cairan sinovial akan melumasi sendi, shock
absorption yaitu sebagai cairan dilatant, cairan sinovial ditandai dengan menjadi lebih kental
di bawah tekanan, cairan sinovial dalam sendi diarthrotic menjadi tebal saat diterapkan untuk
melindungi sendi dan selanjutnya menipis ke viskositas normal untuk melanjutkan fungsi
pelumas. Fungsi ketiga yaitu transportasi nutrisi dan limbah dimana cairan mensuplai oksigen
dan nutrisi dan menghilangkan karbon dioksida dan limbah metabolik dari kondrosit dalam
kartilago. Jaringan sinovial terdiri dari jaringan ikat vascularized yang tidak memiliki
membran basement. Dua jenis sel (tipe A dan tipe B) yang hadir: Tipe A berasal dari monosit
darah. Tipe B menghasilkan cairan sinovial. Cairan sinovial terbuat dari asam hialuronat dan
lubricin, proteinase, dan kolagenase. Cairan sinovial menunjukkan karakteristik aliran non-
Newtonian; koefisien viskositas tidak konstan dan cairan tidak linear kental. Cairan sinovial
memiliki karakteristik tiksotropi; viskositas menurun dan menipis cairan selama stres
berlanjut. Cairan sinovial yang normal mengandung 3-4mg/ml asam hialuronat (Hui,
Alexander, 2012). Polimer disakarida yang terdiri dari asam D-glukuronat dan DN asetil
glukosamin yang bergabung bergantian dengan ikatan beta-1,4 dan beta-1,3 glikosidiki.
Asam hialuronat disintesis oleh membran sinovial dan disekresikan ke dalam rongga sendi
untuk meningkatkan viskositas dan elastisitas kartilago artikular dan untuk melumasi
permukaan antara sinovium dan kartilago. Cairan sinovial mengandung lubricin (juga dikenal
sebagai PRG4) sebagai komponen pelumas kedua, disekresikan oleh fibroblas sinovial (Jay et
al, 2000). Terutama, ia bertanggung jawab untuk mengurangi gesekan antara permukaan
berlawanan kartilago. Ada juga beberapa bukti bahwa hal itu membantu mengatur
pertumbuhan sel sinovial (Warman M, 2003)

Kesimpulan

Hasil yang didapatkan dari uji penggojogan, larotan dapat terdispersi sempurna dan
tidak ada kebocoran dari hasil uji kebocoran yang dilakukan.
Daftar Pustaka

Anonim.1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI.


Anief, Moh. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : UGM Press.
Anief, Moh. 2000. Farmasetika. Yogyakarta : UGM Press.
Departemen Kesehatan. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Depkes.
Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes.
Edwards, Jo, ed. 2000.Normal Joint Structure. Notes on Rheumatology.University College
London. Archived.
Hui, Alexander et al. 2012. A Systems Biology Approach to Synovial Joint Lubrication
in Health, Injury, and Disease. Systems Biology and Medicine. Wiley Interdisciplinary
Reviews 4 (1): 15–7.

Jay et al. 2000. Lubricin is A Product of Megakaryocyte Stimulating Factor Gene Expression
by Human Synovial Fibroblasts.J Rheumatol. 27 (3): 594–600.

Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.


.Tortora G. J., Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. John
Wiley & Sons
Warman M. 2003. Delineating Biologic Pathways Involved in Skeletal Growth and
Homeostasis Through The Study of Rare Mendelian Diseases that Affect Bones and
Joints. Arthritis Research & Therapy. 5 (Suppl 3): S2
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press

Anda mungkin juga menyukai