Anda di halaman 1dari 16

PAPER BEDAH

ATRESIA ANI
Paper ini dibuat sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik
Senior SMF Bedah di Rumah Sakit Umum Haji Medan

Oleh :
Ibnu Fuqon
18360087

Pembimbing :
dr. Yusril Leman, Sp.B, FINATS

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji serta syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
sehingga atas rahmat dan didayah yang dilimpahkan-Nya, Alhamdullilah penulis
dapat menyelesaikan paper ini dengan judul “ATRESIA ANI”. Proses penulisan
ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, maka tidak lupa saya
mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr . Yusril Leman, Sp.B, FINATS selaku pembimbing dalam
melaksanakan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) SMF Ilmu
Bedah Rs. Umum Haji Medan, Sumatera Utara.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan paper ini
baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Medan, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. .............................................................................. i


DAFTAR ISI. ............................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN. ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang. ................................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN TEORI. .................................................................... 2
2.1 Pengertian. ........................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi. ....................................................................................... 2
2.3 Etiologi. ................................................................................................ 3
2.4 Klasifikasi. ........................................................................................... 4
2.5 Tanda dan gejala. ................................................................................ 7
2.6 Patofisiologi.......................................................................................... 7
2.7 Komplikasi. .......................................................................................... 8
2.8 Prognosis. ............................................................................................. 9
2.9 Pengobatan. ......................................................................................... 10
2.10 Pencegahan ........................................................................................ 11
BAB 3. PENUTUP. .................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan. ......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA. ............................................................................... 13

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Atresia ani adalah kelainan congenital dimana lubang anus tertutup
secara abnormal. Atresia ani atau anus imperforate memiliki anus tampak
rata, cekung ke dalam, atau kadang berbentuk anus tetapi lubang anus yang
ada tidak terbentuk secara sempurna sehingga lubang tersebut tidak terhubung
dengan saluran rectum. Rectum yang tidak terhubung dengan anus maka
feses tidak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh secara normal. Tidak adanya
lubang anus ini karena terjadi gangguan pemisahan kloaka pada saat
kehamilan.
Indonesia memiliki angka kejadian atresia ani sangat tinggi yaitu 90%.
Masyarakat pada daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan kepadatan
penduduk dan lingkungan yang kumuh. Lingkungan yang kumuh dapat
menjadi factor pendukung terjadinya atresia ani. Tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang rendah dan pola nutrisi yang kurang baik memungkinkan
bahwa keluarga dengan ibu hamil kurang memperoleh informasi mengenai
kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan.
Lingkungan yang terpapar dengan zat zat racun seperti asap rokok, alcohol
dan nikotin dapat mempengaruhi perkembangan janin. Atresia ani merupakan
suatu penyakit yang terjadi karena factor genetic, lingkungan dan atau
keduanya. Kelainan ini harus segera ditangani, jika tidak maka akan terjadi
komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi dan inkontinensia feses.
Maka dari itu untuk menambah wawasan khususnya keluarga dengan
ibu hamil penulis mengangkat tema atresia ani ini untuk mengurangi angka
kejadian atresia ani di Indonesia.

1
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus.
Merupakan kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada
anorektal di saluran gastrointestinal. Atresia ani atau anus imperforata adalah
malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang ke luar
(Wong,2004). Pada Atresia ani bentuk anus tampak rata, cekung ke dalam,
kadan berbentuk seperti anus tetapi tidak ada lubang atau lubang abnormal
sehingga tidak terhubung dengan rectum. Atresia ani terjadi karena gangguan
pemisahan kloaka pada saat kehamilan.

2.2 Epidemiologi
Atresia Ani adalah kegagalan pemisahan kloaka saat embrional dalam
kandungan ibu yang sehungga tidak terbentuknya lubang anus. Sebenarnya
kelainan ini sangat mudah diketahui, tetapi bisa juga terlewatkan karena
kurangnya pemeriksaan pada perineum. Malformasi anorektal lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Dengan angka kejadian rata-
rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 pada setiap
kelahiran.
Dari data yang ditemukan kelainan yang paling banyak ditemui pada
bayi laki-laki adalah Fistula rektouretra lalu diikuti oleh fistula perineal.
Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi anorektal yang paling
banyak ditemui adalah anus imperforate kemudian diikuti fistula
rektovestibular dan fistula perineal.
Pada Orang tua yang mempunyai gen karier terhadap Atresia ani
mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan kepada anaknya dan 30%
Anak dengan kelainan genetik, kelainan kromosom atau kelainan kongenital
lain yang juga beresiko untuk menderita atresia ani.

2
Pada umumnya gambaran atresia ani yang terjadi pada 1,5%-2% atresia ani
adalah Atresia rektum, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4:0.
Kejadian yang tinggi terjadi pada daerah India selatan (M Kisra, 2005).
Malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan
dibandingkan malformasi anorektal letak tinggi itu adalah hasil penelitian
Boocock dan Donna di Manchester.

2.3 Etiologi
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa
penelitian, atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor
lingkungan yang terpapar oleh zat-zat beracun, lingkungan yang kumuh dan
pola nutrisi bayi selama dalam kandungan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua
menjadi carier maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia
ani, kemudian adanya kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak
normal dan kelainan congenital lainnya juga dapat beresiko menderita
atresia ani.
5. Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus
urogenital, biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital
pada minggu ke-5 sampai ke-7 pada usia kehamilan,

3
2.4 Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) dijelaskan bahwa, atresia ani
dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
a. Golongan I yaitu pada anak penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi
menjadi 4 kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistelurin
2. Atresia rectum,
3. Perineum yang datar
4. Tidak adanya Fistel.
Namun jika ada fistelurin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika
urinaria. Cara menentukan letak fistelnya adalah dengan memasang kateter
urin. Dan jika kateter telah terpasang kemudian urin yang keluar jernih, itu
pertanda bahwa fistel terletak di uretra karena fistel tersebut tertutup kateter.
Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesika
urinaria kemudian pengeluaran feses tersebut tidak lancar, itu pertanda
penderita memerlukan kolostomi segera agar fases keluar dengan semestinya.
Pada perempuan penderita atresia rectum, tindakannya sama seperti laki-laki
yaitu harus dibuat kolostomi dan Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari
kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi juga.
b. Golongan II yaitu pada penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi 4
kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistel perineum
2. Membran anal
3. Stenosis anus
4. Fistel tidak ada.
Fistel perineum yang ada pada laki-laki ini sama dengan pada
wanita yaitu lubangnya terdapat anterior dari letak anus yang normal.
Sedangkan pada membran anal, biasanya terlihat bayangan mekonium di
bawah selaput. Saat evakuasi feses sedang tidak ada sebaiknya dilakukan
terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan

4
perempuan yaitu tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel
dan udara.
c. Golongan I pada perempuang dibagi 5 kelainan yaitu :
1. Kelainan kloaka
2. Fistel vagina
3. Fistel rektovestibular
4. Atresia rectum
5. Fistel tidak ada
6. Invertogram : udara >1 cm dari kulit
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi
fecesnya menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.
Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi
feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai
terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat
direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka
maka tidak perlu ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis
dan jalan cernanya. Evakuasi pengeluaran feses yang umumnya tidak
sempurna sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Pada atresia rectum,
anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan dubur, jari tidak dapat
masuk lebih dari 1-2 cm. Dan tidak ada evakuasi mekonium sehingga
perlu juga segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuatin
vertogram.
d. Golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu
 Kelainan pada fistel perineum,
 Stenosis anus
 Fistel tidak ada
 Invertogram : udara <1 cm dari kulit.
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan
tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat
yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga

5
biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan
pada invertogram udara.
Selanjutnya klasifikasi atresia ani juga dibagi menjadi ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis yaitu terjadinya penyempitan anus sehingga feses tidak
dapat keluar pada semestinya.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.
3. Anal agenesis yaitu penderita masih memiliki anus tetapi ada daging
diantara rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah penderita yang tidak memiliki rektum.

Kemudian Kalsifikasi pasien penderita Atresia ani diklasifikasikan lebih


lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator
Pada anomaly rendah, rektum mempunyai jalur desenden yang normal
melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang
berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan
dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Pada anomaly intermediet, rektum berada pada atau di bawah tingkat otot
puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang
normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Pada anomaly tinggi ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter
internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula
genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak
antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

6
Gambaran malforasi anorektal pada perempuan

2.5 Tanda dan gejala


1. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
2. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran bayi.
3. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
4. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
5. Pengukuran suhu rektal pada bayi tidak dapat dilakukan.
6. Adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula) dan distensi
bertahap
7. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
8. Lebih dari 50% pasien dengan atresia ani mempunyai kelainan congenital
lain.
9. Perut kembung 4-8 jam setelah lahir. (Betz. Ed 7. 2002)

2.6 Patofisiologi
Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum
anorektal pada embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik
bagian belakang. Kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan
struktur anorektal berkembang awalnya dari ujung ekor dari bagian
belakang. Penyempitan pada kanal anorektal menyebabkan terjadinya
stenosis anal. Atresia ani sendiri terjadi karena tidak ada kelengkapan
migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu dalam

7
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga diakibatkan karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan
vagina. Di usus besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan
sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal
mengalami obstruksi. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi
dan adanya fistula. Obstruksi tersebut berakibat distensi abdomen,
sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin
akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses
mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi,
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate.
(rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektourethralis).

2.7 Komplikasi
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet
training.
d. Komplikasi jangka panjang yaitu
a) eversi mukosa anal,
b) stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis).
c) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
d) Prolaps mukosa anorektal.
e) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
f) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan
dan infeksi).(Ngastiyah, 2005).

8
Factor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi pada
atresia ani adalah kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan
operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, dan
keterampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang
buruk.

2.8 Prognosis
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki
dengan pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk
kontinensia fekal. Sedangkan beda dengan kelainan anorektal letak
tinggi diperbaiki dengan pembedahan sakroperineal atau
abdominoperineal. Adapun pada kelainan ini, sfingterani eksternus
tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus, maka
kontinensia fekal tergantung fungsi otot puborektalis (DeLorimer
1981 ; Iwai et al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan hasil
penelitian klinis, dalam jangka panjang dari kelainan anorektal
letak rendah yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90%
penderita mencapai kontrol anorektal yang secara sosial dapat
diterima. Insidensi “soiling” pada penderita umur lebih 10 tahun
lebih rendah dibanding penderita yang lebih muda. Pada kelainan
anorektal letak tinggi hasilnya hanya 1/3 yang baik, 1/3 lagi dapat
mengontrol kontinensia fekal. Pada wanita hasilnya lebih baik
daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali intermediet.
Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat
dikerjakan melalui perineum tanpa membuka abdomen (Smith,
1990). masalah-masalah kontinensia biasanya terjadi pada
beberapa penderita dengan kelainan anorektal letak tinggi terutama
ketika dilakukan pembedahan dibanding letak rendah.

9
2.9 Pengobatan
Penatalaksanaan atresia ani ini berbeda, tergantung pada letak ketinggian
akhiran rectum dan ada tidaknya fistula. Leape (1987) menganjurkan pada:
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP)
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas
otot sfingter ani ekternus
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion yaitu tindakan
pembedahan untuk membuat lubang anus pada anus malformasi fistel
rendah misalnya pada anocutan fistel, anus vestibular yang tidak adekuat
dan pada anus membranaseus
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin

Pelaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu sebagai berikut:


a. Kolostomi
Kolostomi adalah suatu tindakan membuat lubang pada dinding
abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya
sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Saat ini
tatalaksana atresia ani yang paling ideal adalah divided descending
colostomy karena kolostomi ini memungkinkan terjadinya dekompresi
yang adekuat, dan segmen kolon distal non-fungsional yang pendek
namun tidak mengganggu proses pull-through pada tahap terapi
definitive. Kolostomi pada sigmoid juga dianggap lebih menguntungkan
dibanding dengan kolostomi transversal, karena proses pembersihan
kolon distal pada proses kolostomi menjadi lebih mudah. Loop
colostomy memungkinkan masuknya feses dari stoma proksimal ke
distal, dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi, dilatasi rektal, dan
impaksi feses. Kolostomi pada rektosigmoid bagian bawah sering terjadi

10
kesalahan karena proses ini membuat segmen distal menjadi terlalu
pendek dan sulit untuk dimobilisasi pada proses pull through.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
PSARP adalah suatu tindakan membelah muskulus sfingter
eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi
kantong rectum dan pemotongan fistel. PSARP umumnya ditunda 9
sampai 12 bulan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi
untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan
sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan
agak padat.
d. Perawatan Postoperasi
Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani
anal dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur
pasien dan saat businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian
dilakukan tappering businasi dengan menurunkan frekuensi sampai
beberapa bulan, biasanya sekitar 6 bulan. Orang tua pasien harus
diikutsertakan dalam program ini karena orang tua yang menjalankan dan
orang yang paling dekat dengan anak.

2.10 Pencegahan
1. Melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil
mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan.
2. Promosi kesehatan mengenai sanitasi lingkungan.
3. Menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun seperti asap rokok, nikotin,
dan zat yang berbahaya lainnya.

11
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Atresia ani merupakan suatu penyakit dimana tidak ada lubang anus
pada tempat yang seharusnya. Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi
baru lahir. Atresia ani ini dapat disebabkan oleh kelainan genetic dan
lingkungan. Untuk mencegah terjadinya atresia ani ini dapat dilakukan
melalui pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil
mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan, promosi kesehatan mengenai
sanitasi lingkungan, dan menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun
seperti asap rokok, nikotin, dan zat yang berbahaya lainnya. Untuk
penanganannya dapat dilakukan dengan kolostomi, yaitu pembuatan
lubang pada abdomen yang fungsinya sebagai pengganti anus.

12
Daftar Pustaka

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediarik”
Edisi ke-3. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC

Sri Kurnianingsih (ed), Monica Ester (Alih bahasa). Pedoman Klinis


Keperawatan Pediatrik.. Edisi ke-4. Jakarta: EGC

Faradilla, dkk. 2009. Anastesi pada tindakan posterosagital anorektoplasti pada


kasus malforasi anorektal. Faculty of Medicine – University of Riau
Pekanbaru. [serial online]
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/malformasi_anorektal_file
s_of_drsmed.pdf

Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba


Medika

[serial online]
https://www.academia.edu/8685826/ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_ANI
[diakses pada tanggal 29 Februari 2016]

[serial online]
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?se
quence=6 [diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

[serial online]
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-
babii.pdf [diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

[serial online]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf
[diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

13

Anda mungkin juga menyukai