PENDAHULUAN
2.1.2 Epidemiologi
Penelitian Shaw dkk pada tahun 2010 mendapatkan bahwa prevalensi dari
diabetes pada orang dewasa (usia 20-79 tahun) di dunia adalah 6,4%, mengenai 285
juta orang dewasa serta akan meningkat menjadi 7,7% dan mengenai 439 juta orang
dewasa pada tahun 2030. Antara tahun 2010 dan 2030 akan ada peningkatan 69%
dari jumlah orang dewasa dengan diabetes pada negara berkembang dan
peningkatan sebanyak 20% pada negara maju.7
World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan
jumlah penyandang diabetes melitus sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.1
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 mendapatkan prevalensi
diabetes melitus pada penduduk usia 25-64 tahun di Jawa dan Bali sebesar 7,5%.4
International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah
penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 10 juta pada tahun 2015 menjadi
sekitar 16 ,1 juta pada tahun 2040.8
2.1.3 Patofisiologi
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh kombinasi faktor genetik yang
berhubungan dengan gangguan sekresi insulin, resitensi insulin, dan faktor
lingkungan seperti obesitas, over eating, kurang berolah raga, stres, dan juga
penuaan. Penyakit ini merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan multipel
gen dan faktor lingkungan dan biasanya terjadi pada usia 30 tahun ke atas.9
Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan terganggunya sekresi insulin,
resistensi insulin, produksi hepatic glucose yang berlebihan, serta abnormalitas
metabolisme lemak.Pada fase awal penyakit ini, toleransi glukosa masih mendekati
normal meskipun ada resistensi insulin, hal tersebut karena sel beta pankreas masih
bisa mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin.Seiring dengan
berjalannya waktu, pancreatic islet tidak mampu mempertahankan keadaan
hiperinsulinemia. Setelah itu muncullah suatu keadaan yang disebut sebagai
Impaired Glucose Tolerance (IGT) yang ditandai dengan peningkatan kadar gula
darah post prandial. Penurunan lebih lanjut pada sekresi insulin dan meningkatnya
produksi hepatic glucose menyebabkan terjadinya diabetes yang nyata terlihat
dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel beta terjadi kemudian.10
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan selbeta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentraldari DM tipe 2.Namun kini diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak, gastrointestinal,sel alpha pancreas, ginjal, dan otak, berperan dalam
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. Delapan organ penting yang
terlibat dalam patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 ini dikenal sebagai omnius
octet.1
1. Kegagalan sel βeta pankreas
Fungsi sel beta sudah sangat berkurang ketika diagnosis DM tipe 2
ditegakkan.1
2. Liver
Resistensi insulin yang berat pada DM Tipe 2 memicu glukoneogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver meningkat atau
dikenal dengan sebutan hepatic glucose production (HGP).1
3. Otot
Gangguan kerja insulin yang multipel di intramioselular terjadi akibat
gangguan fosforilasi tirosin sehingga menimbulkan gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa.1
4. Sel Lemak
Peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA = free fatty
acid) dalam plasma diakibatkan oleh sel lemak yang resisten terhadap efek
antilipolisis dari insulin. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA
juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh
FFA ini disebut sebagai lipotoxicity.1
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin
ini diperankan oleh 2 hormon, yaitu GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1)
dan GIP (glucose-dependentinsulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-
1 dan resistensi terhadap GIP. Selain itu, incretin juga segera dipecah enzim
DPP-4, sehingga incretin hanya bekerja dalam beberapa menit. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui
kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan menyebabkan
meningkatnya glukosa darah setelah makan.1
6. Sel αlpha Pankreas
Ketika keadaan puasa, sel Alpha akan meningkat kadarnya di dalam plasma
dan berfungsi dalam sintesis glukagon. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding orang normal.1
7. Ginjal
Ginjal memfiltrasi sekitar 163gram glukosa per hari. Sembilan puluh persen
dari glukosa yang terfiltrasi akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose Co-Transporter) pada bagian convulated tubulus
proksimal. Sedangkan 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-
1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.1
8. Otak
Insulin berperan sebagai penekan nafsu makan yang kuat, akan tetapi pada
individu dengan DM asupan makanan justru meningkat karena adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak.1
Gambar 1. Ominous Octet, delapan organ yang berkaitan dengan patogenesis hiperglikemia DM
tipe 2.1
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan untuk diagnosis adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan berupa plasma darah vena. Glukosuria
tidak dapat menegakkan diagnosis. Jika individu mengalami keluhan yang baik
berupa keluhan utama maupun keluhan lain, kecurigaan terhadap DM perlu
dipikirkan.1
Kriteria diagnosis DM adalah sebagai berikut.2
a. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan sebagai tidak ada
intake kalori dalam setidaknya 8 jam, atau
b. Glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa ≥ 200 mg/dL. Tes
toleransi glukosa dilakukan sesuai standar WHO dengan 75gram glukosa
anhidrat yang dilarutkan dalam air, atau
c. A1C ≥ 6,5%. Pemeriksaan dilakukan pada laboratorium yang menggunakan
metode yang tersertifikasi NGSP dan terstandardisasi DCCT assay, atau
d. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dengan
glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria DM digolongkan ke
kelompok prediabetes2:
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) yaitu hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma
2 jam < 140 mg/dl
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) yaitu hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma
puasa <100 mg/dl
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
d. Pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%
2.1.6 Penatalaksanaan
Modalitas terapi pada pasien DM terdiri dari edukasi, terapi nutrisi, jasmani,
dan terapi farmakologis.1
1. Edukasi
Edukasi meliputi promosi hidup sehat dan dilakukan sebagai upaya
pencegahan dan merupakan bagian yang penting dari pengelolaan DM secara
holistik.1
2. Terapi Nutrisi
Komposisi makanan dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65% terutama
yang berserat tinggi. Lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak
melebihi 30% total asupan energi. Protein sebesar 10-20% total asupan energi.
Asupan natrium sama seperti orang sehat yaitu <2300 mg per hari. Konsumsi serat
dianjurkan 20-35 gram/hari.1
Kebutuhan kalori bagi penderita DM adalah 25 kal/kgBB ideal untuk wanita
dan 30 kal/kgBB ideal untuk laki-laki. Jumlah kebutuhan kalori bisa ditambah atau
dikurangi atas dasar beberapa faktor, seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dan lain-lain. Stres metabolik juga memengaruhi jumlah kalori yang harus
diberi, penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stres metabolik (sepsis,
operasi, trauma).1
Penghitungan berat badan ideal menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi, seperti berikut.1
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumusnya menjadi :
(TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB normal : BB ideal ± 10%
Kurus : kurang dari BBI - 10%
Gemuk : lebih dari BBI + 10%
3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar pengelolaan DM tipe 2 yang
tidak disertai nefropati. Kegiatan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali
per minggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu. Latihan
jasmani yang dilakukan adalah yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksmial). Contoh latihan jasmani tersebut meliputi jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.1
4. Farmakologi
a. Obat Antihiperglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat ini dibagi menjadi 5 golongan :
1) Pemacu Sekresi Insulin
Sulfonilurea : mempunyai efek utama sebagai peningkat sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utamanya berupa
hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
Glinid : cara kerja sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada DM tipe 2 dapat dibagi menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronik.1
a. Komplikasi Akut
- Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai
dengan tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat, osmolalitas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. Status
Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) juga termasuk krisis hiperglikemia dengan
peningkatan glukosa darah hingga 600-1200 mg/dL tanpa disertai tanda dan gejala
asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton
(+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.1
- Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.
Hipoglikemia ditandai dengan adanya whipple's triad, yaitu terdapat gejala-gejala
hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah, dan gejala berkurang dengan
pengobatan.1
b. Komplikasi Kronik
- Makroangiopati
Makroangiopati bisa mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah
tepi, dan pembuluh darah otak. Apabila mengenai pembuluh darah tepi, gejala
tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri ketika beraktivitas dan
berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa disertai
gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang bisa dapat ditemukan
pada penderita.1
- Mikroangiopati
Mikroangiopati dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan
neuropati. Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari gagal ginjal
stadium akhir. Sekitar 20-40% penderita diabetes akan mengalami nefropati
diabetes. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin
>30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6
bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya.1
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting
yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan meningkatkan risiko amputasi.
Gejala yang sering terasa oleh penderita meliputi rasa terbakar pada kaki dan
bergetar sendiri, serta pada malam hari terasa lebih sakit. Pada polineuropati distal
perlu dilakukan perawatan kaki yang memadai untuk mengurangi risiko ulkus pada
kaki yang akhirnya bisa menjadi kaki diabetes.1
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat penyakit
dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault sebagai
berikut:
2.2.4 Etiologi
Etiologi PGK sangat bervariasi. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di
Indonesia, antara lain adalah glomerulonefritis (46,39%), diabetes mellitus
(18,65%), obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi (8,46%), dan sebab-sebab lain
yang dapat berupa nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui (13,65%).15
Gomerulonefritis adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktik klinik
sehari-hari dan merupakan penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Di Indonesia, glomerulonefritis merupakan penyebab utama PGTA yang menjalani
terapi pengganti ginjal. Manifestasi klinik glomerulonefritis sangat bervariasi mulai
dari kelainan urin seperti proteinuria atau hematuri saja sampai dengan
glomerulonefritis progresif cepat.14
Glomerulonefritis sebagian besar akan memasuki fase kronik atau persisten.
Bahkan kebanyakan pasien berisiko untuk mengalami kerusakan glomerular yang
berlangsung terus-menerus dan pada akhirnya berujung pada PGTA.16 Data statistik
di Jepang menyebutkan glomerulonefritis kronik sebagai penyebab nomor dua
(23,0%) untuk kejadian PGTA setelah nefropati diabetik (43,2%) pada 282.000
pasien yang menjalani terapi dialisis.17 Gromerulonefritis kronik berada pada
urutan ketiga (10%) sebagai penyebab PGK pada pasien hemodialisis baru di
Indonesia berdasarkan data IRR tahun 2014 setelah penyakit ginjal hipertensi
(37%) dan nefropati diabetik (27%). Insiden penyakit ini ditemukan lebih tinggi
pada populasi usia < 40 tahun.18
2.2.5 Patofisiologi
Penyakit Ginjal Kronik disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan
pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal
glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan
secara langsung oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin. Selain itu,
dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung dalam jangka
panjang. Berbagai sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan
kerusakan ginjal.19
Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas PGK
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.14
Gambar 2. Patogenesis Pennyakit Ginjal Kronik.14
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada PGK, gambaran klinis yang muncul seringkali tidak
spesifik dan biasanya ditemukan pada tahap akhir penyakit. Pada stadium awal,
PGK biasanya asimtomatik. Tanda dan gejala PGK dapat melibatkan berbagai
macam sistem organ.19 Gambaran klinis yang muncul dapat berupa gambaran klinis
yang sesuai dengan penyakit dasarnya seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus
Sistemik, dan lain sebagainya. Dapat pula berupa sekumpulan gejala yang disebut
sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikaarditis,
kejang, hingga koma. Jika sudah terjadi komplikasi, gejala komplikasi yang dapat
muncul ialah hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida).14
Pada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan temuan yang sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya. Dapat pula ditemukan adanya penurunan
fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG
yang dihitung menggunakan rumus Kockroft-Gault. Selain itu, dapat ditemukan
kelainan pada kadar biokimawi darah yang dapat berupa penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
Kelaian pada urinalisis juga dapat muncul, berupa proteinuria, hematuria,
leukosuria, cast, isostenuria.14
Pada pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan adanya batu radioopaque
pada pemeriksaan foto polos abdomen, ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, atau kalsifikasi pada
pemeriksaan ultrasonografi ginjal. Dapat pula dilakukan pielografi antegrad atau
retrogad maupun renografi bila ada indikasi. Pielografi intravena jarang dikerjakan,
karena kontras sering tidak dapat melewati filter glomerulus. Selain itu juga
dikhawatirkan adanya pengaruh toksik kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.18
Dapat juga dilakukan pemeriksaan biopsi dan pemeriksaan histopatologi
ginjal pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi
yang telah diberikan. Kontraindikasi dikerjakannya biopsi ginjal adalah ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan
obesitas.14
2.2.7 Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana PGK dilakukan sesuai dengan derajatnya. Pada
derajat G1, dilakukan terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan
fungsi ginjal, dan memperkecil risiko kardiovaskular. Pada derajat G2,
penatalaksanaan yang dilakukan ialah penatalaksanaan untuk menghambat
perburukan fungsi ginjal. Pada derajat G3, dilakukan evaluasi dan terapi komplikasi
yang muncul. Pada derajat G4, mulai dilakukan persiapan untuk terapi pengganti
ginjal. Terapi pengganti ginjal mutlak diperlukan pada PGK derajat G5.14
Terapi Penyakit Dasar
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.14
Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien PGK. Hal
ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.14
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah adalah pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis.14
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60
ml/menit/1,73m2. Protein diberikan 0,6-0,8kg/BB/hari, 0,35-0,50 gr diantaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Fosfat diberikan ≤ 10 gr/kgBB/hari.19
Terapi farmakologis yang diberikan adalah antihipertensi. Pemakaian obat
antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular
juga sangat penting untuk menghambat perburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Proteinuria
merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi ginjal. Beberapa obat
antihipertensi terutama penghambat enzim konverting angiotensin (ACE inhibitor)
melalui berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat
mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.14
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
PGK secara keseluruhan.14
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit Ginjal Kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. PGK
derajat G1, biasanya belum menimbulkan komplikasi. PGK derajat G2, mulai
menimbulkan komplikasi berupa tekanan darah yang mulai naik. PGK derajat G3,
dapat menimbulkan komplikasi berupa hiperfosfatemia, hipokalsemia, anemia,
hiperparatiroid, hipertensi, dan hiperhomosisteinemia. PGK derajat G4, dapat
menimbulkan komplikasi berupa malnutrisi, asidosis metabolik, hiperkalemia, dan
dislipidemia. Sedangkan PGK derajat G5, dapat meinmbulkan komplikasi gagal
jantung dan sindrom uremia.14
Terapi Pengganti Ginjal
Dilakukan pada PGK derajat G5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi
ginjal. Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens
kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika klirens
kreatinin telah dibawah 20 ml/menit.14
1. Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung
ginjal buatan (dialiser) yang terdiri atas dua kompartemen yang terpisah. Darah
pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput
semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri
cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip
serum normal dan tidak mengandung sisa metabolism nitrogen. Cairan dialisis dan
darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis,
air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat
dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan
dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi.17
Komplikasi yang sering terjadi selama hemodialisis berlangsung adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil. Di Indonesia, hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu
dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Pasien hemodialisis harus
mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang
merupakan prediktor penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis.
Indikasi dilakukannya hemodialisis pada PGK selain sudah memasuki
derajat G5 adalah:
- pasien dengan keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata,
- kalium serum > 6 mEq/L,
- ureum darah > 200 mg/dL,
- pH darah < 7,1,
- anuria berkepanjangan (> 5 hari), dan
- overload cairan.14
2. Peritoneal Dialysis
Peritoneal Dialysis (PD) adalah suatu metode dialisis dengan
memanfaatkan peritoneum sebagai membran semipermeabel. PD terbagi atas PD
akut yang merupakan metode terapi pengganti ginjal (TPG) untuk pasien yang
mengalami kegawatan akut, yang bersifat sementara; dan PD kronis yang
merupakan metode TPG untuk pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal
secara permanen (PGK stadium 5) yang bersifat berkesinambungan. PD kronis
terdiri atas berbagai macam yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) dan Automated Peritoneal Dialysis (APD) yang terdiri dari Tidal
Peritoneal Dialysis: Continuous Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD), Nocturnal
Intermittent Peritoneal Dialysis (NIPD), Tidal with day dwell, dan Cyclers.16
Indikasi dimulainya PD adalah PGK stadium 5 yang memerlukan dialisis.
Kontraindikasi dilakukannya PD terdiri atas kontraindikasi absolut dan
kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut dilakukannya PD adalah:
- kesulitan teknik operasi,
- luka yang luas di dinding abdomen,
- perlekatan yang luas dalam rongga peritoneum (akibat operasi daerah
abdomen atau riwayat inflamasi sebelumya),
- tumor atau infeksi di dalam rongga abdomen (adneksitis),
- riwayat ruptur divertikel,
- hernia berulang yang tidak dapat dikoreksi,
- fistel antara peritoneum dan rongga pleura, dan
- tidak dapat melakukan PD secara mandiri dan tidak ada yang membantu
dalam melakukan PD.
Kontraindikasi relatifnya antara lain:
- obesitas tanpa residual renal function,
- gangguan jiwa,
- gangguan penglihatan,
- hernia,
- Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dan
- inflamasi kronik saluran cerna.16
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1950-an dan mulai banyak digunakan pada tahun 1970-
an. CAPD biasanya dilakukan sampai 4 kali dalam sehari sehari dengan cara
menginjeksikan cairan dialisat sebanyak 2-2,5 liter ke dalam rongga peritoneum
melalui kateter trans-abdominal melewati dinding abdomen anterior, menembus
peritoneum parietal dengan ujungnya terletak di pelvis. Cairan dialisat berada
dalam rongga peritoneum selama 4-6 jam, waktu ini disebut sebagai dwell time atau
dwell period. Membran peritoneum, yang berperan sebagai penyaring alami,
digunakan untuk pertukaran elektrolit, glukosa, urea, albumin, dan molekul-
molekul kecil lain dari darah, juga pengeluaran cairan. Pertukaran ini dapat terjadi
karena adanya perbedaan tekanan osmotik antara cairan dialisat dan darah, dimana
cairan dialisat konsentrasinya lebih tinggi daripada darah. Pada kebanyakan kasus,
cairan dialisat mengandung glukosa yang digunakan untuk menaikkan
konsentrasinya dan menciptakan adanya perbedaan tekanan osmotik. Adanya
perbedaan tekanan osmotik ini menyebabkan perpindahan cairan dari darah ke
cairan dialisat, yang disebut ultrafiltrasi. Perbedaan tekanan osmotik ini juga
menyebabkan terjadinya proses difusi, dimana akan terjadi perpindahan molekul-
molekul produk sisa yang terdapat dalam darah melalui membran peritoneum
menuju cairan dialisat.14
2.2 Obesitas
2.3.1 Definisi
Pengertian obesitas menurut World Health Organization (WHO) adalah
penumpukan lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu
kesehatan.20 Obesitas terjadi ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan
energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama. Banyaknya konsumsi energi
dari makanan yang dicerna melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan
aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak dan
jaringan lemak sehingga dapat berakibat pertambahan berat badan. Obesitas yang
muncul pada remaja cenderung berlanjut hingga dewasa sampai 50-70%.21
2.3.2 Epidemiologi
Menurut data terbaru dari Behavioral Risk Factor Surveillance System
(BRFSS) pada bulan September 2018 yang dilakukan di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa tingkat obesitas dewasa sekarang melebihi 35% di tujuh
negara bagian, 30% di 29 negara bagian dan 25% di 48 negara bagian. Virginia
Barat memiliki tingkat obesitas dewasa tertinggi di 38,1% dan Colorado yang
terendah sekitar 22,6%. Tingkat obesitas dewasa meningkat di Iowa,
Massachusetts, Ohio, Oklahoma, Rhode Island, dan South Carolina antara tahun
2016 dan 2017, dan tetap stabil di negara bagian lainnya.22
Pada tahun 2014 lebih dari 1,9 milyar orang dewasa yang berumur lebih
dari 18 tahun kelebihan berat badan (39%), dan dari jumlah tersebut 600 juta (13%)
mengalami obesitas.22 Prevalensi obesitas menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2007, 2010 dan 2013
menunjukkan bahwa angka kejadian obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18
tahun) tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan
tahun 2010 (7,8%). Pada tahun 2013, prevalensi terendah di Nusa Tenggara Timur
(9,8%) dan tertinggi di provinsi Sulawesi Utara (34,7%). Sedangkan prevalensi
obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) pada tahun 2013 sebanyak 32,9 persen,
naik 18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%).
Prevalensi obesitas terendah di Nusa Tenggara Timur (5,6%), dan prevalensi
obesitas tertinggi di provinsi Sulawesi Sulawesi Utara (19,5%).1
2.3.3 Etiologi
Obesitas merupakan kondisi kronis yang terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara energi masuk dengan energi keluar dan akumulasi
simpanan energi yang berubah menjadi lemak.22 Pada umumnya, berbagai faktor
yang menentukan keadaan obesitas seseorang seperti:
a. Faktor Lingkungan
Hampir seluruh obesitas sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
baik tingkat aktivitas yang rendah atau asupan kalori yang terlalu besar.
Tingkat aktivitas fisik cenderung menurun dalam beberapa dekade terakhir.
Hal ini berkaitan dengan teknologi yang kian berkembang, sehingga saat ini
sebagian besar orang lebih memilih menghabiskan waktu untuk duduk di
tempat kerja, menonton tv dan browsing internet. Sedangkan dari faktor
nutrisi, kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat
yang tinggi, dan lemak seperti makanan siap saji dan camilan dengan porsi
besar dapat berkontribusi pada penambahan berat badan.23
b. Usia
Obesitas dapat terjadi pada semua usia, bahkan pada anak kecil.
Tetapi seiring pertambahan usia, perubahan hormon dan gaya hidup yang
kurang aktif meningkatkan risiko obesitas. Selain itu, jumlah otot di tubuh
akan cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Massa otot yang lebih
rendah ini menyebabkan penurunan metabolisme. Perubahan ini juga
mengurangi kebutuhan kalori, dan sulit untuk menahan kelebihan berat
badan. Jika tidak secara sadar mengontrol jumlah makanan yang di
konsumsi dan tidak aktif secara fisik, hal ini dapat menjadi salah satu risiko
obesitas.23
c. Faktor endokrin
Faktor endokrin sebagai penyebab ditemukan hanya dalam kurang
dari 1% obesitas anak dan remaja, beberapa diantaranya adalah hipotiroid,
kelebihan kortisol (penggunaan kortikosteroid, Cushing Syndrome),
defisiensi hormon pertumbuhan, dan lesi hipotalamus (infeksi, malformasi,
vaskular, neoplasma, atau trauma).23
2.3.5 Diagnosis
2.3.5.1 Anamnesis
Identifikasi pasien dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskular dan
komorbid lainnya. Menggali risiko penyakit jantung koroner meliputi riwayat
infark miokardium, angina pectoris (stable atau unstable), riwayat operasi arteri
koroner atau prosedur misalnya angioplasty. Menggali adanya penyakit
aterosklerotik lainnya, termasuk peripheral arterial disease, abdominal aortic
aneurysm, symptomatic carotid artery disease. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan
faktor risiko mayor untuk penyakit kardiovaskular. Sleep apnea dengan gejala
meliputi mengorok yang keras, napas berhenti saat tidur, yang kemudian diikuti
dengan keadaan terbangun singkat. Selain itu dapat diidentifikasi penyakit lainnya
yang berhubungan dengan obesitas, pasien dengan obesitas biasanya berhubungan
dengan kelainan ginekologi walaupun tidak bersifat mengancam nyawa seperti
menorrhagia, amenorrhea, osteoarthritis, batu empedu dan komplikasinya. Riwayat
obesitas dalam keluarga merupakan hal penting, polycystic ovarian disease dan
hipotiroid diketahui sebagai penyebab overweight. Riwayat penggunaan obat-
obatan seperti obat antidepresan, lithium, phenothiazines, glucocorticoids, hormone
progestational, cyproheptadine, antihistamin, sulfonylurea, glucocorticoid, insulin,
berhubungan dengan peningkatan berat badan.25,27
b. Lingkar Pinggang
Lingkar pinggang merupakan pemeriksaan yang paling praktis dapat
digunakan oleh klinisi untuk mengevaluasi lemak abdominal. Lemak pada region
abdomen lebih berisiko tinggi dibandingkan lemak perifer (misalnya lemak pada
paha, bokong). Lingkar pinggang yang tinggi berhubungan dengan peningkatan
risiko menderita diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, hipertensi, dan penyakit
kardiovaskular pada pasien dengan BMI antara 25-34,9 km/m2.
Untuk mengukur lingkar pinggang, pengukuran dilakukan dengan
mengambil tengah-tengah antara inferior margin dari costae terbawah dan iliac
crest dalam posisi pengukuran horizontal. Saat membaca hasil pengukuran,
perhatikan jangan sampai meteran menekan kulit dan alat ukur paralel terhadap
lantai. Interpretasi pengukuran dilakukan saat akhir ekspirasi normal.27
Tabel 4. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan
Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik.27
Risiko Komorbiditas
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Lingkar Perut
<90 cm (laki-laki) 90 cm (laki-laki)
<80 cm (perempuan) 80 cm (perempuan)
Berat badan kurang <18,5 Rendah (risiko
meningkat pada Sedang
masalah klinis lain)
Kisaran normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat
Berat badan lebih 23,0
Beresiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat
Obes I 25,0-29,9 Moderat Berat
Obes II 30,0 Berat Sangat Berat
2.3.5 Penatalaksanaan
Penurunan berat badan mempunyai efek menguntungkan terhadap
komorbid obesitas. Bahkan penurunan sebesar 5 sampai 10% dari berat awal dapat
mengakibatkan perbaikan kesehatan secara signifikan. Terdapat bukti kuat bahwa
penurunan berat badan dapat mengurangi konsentrasi glukosa darah serta HbA1c
pada beberapa pasien dengan diabetes tipe 2. Tidak ada terapi tunggal yang efektif,
terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar yaitu diet rendah
kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah.26
a. Terapi Diet
Terapi diet direncanakan berdasarkan individu. Defisit kalori yang
dianjurkan adalah 500 hingga 1000 kcal/hari. Disamping pengurangan
lemak jenuh, total lemak seharusnnya kurang dan sama dengan 30% dari
total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu sehari-hari saja
tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan, kecuali total kalori juga
berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk
mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan
konsentrasi kolesterol LDL.26
b. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan
peningkatan berat badan, keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi
pengurangan risiko kardiovasklar dibandingkan dengan pengurangan berat
badan tanpa aktivitas fisik. Untuk pasien obese terapi harus dimulai secara
perlahan dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Pasien
dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan
jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama
45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. dengan ini, pengeluaran
energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai.
Selain itu dapat pula diadaptasi ke dalam berbagai bentuk aktivitas fisik lain
seperti berjalan kaki, pasien dimotivasi dalam aktivitas sehari-hari seperti
memilih naik tangga dibandingkan naik lift. Strategi lain adalah dengan
mengurangi waktu santai dengan cara melakukan aktivitas fisik rutin lain
dengan risiko cidera rendah. 26
c. Terapi Perilaku
Strategi ini meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan
dan aktivitas fisik, manajemen stres, stimulus control, pemecahan masalah,
contingency management, cognitive restructuring dan dukungan sosial. 26
d. Farmakoterapi
Penggunaan obat-obatan dengan penggunaan jangka panjang
bermanfaat selain diet dan aktivitas fisik pada pasien dengan BMI 30 tanpa
faktor risiko. Farmakoterapi juga bermanfaat pada pasien dengan BMI 27
dengan faktor risiko penyakit yang berhubungan dengan obesitas. Obat-
obatan penurun berat badan yang sudah dikembangkan terdiri dari 3 kelas,
(1) bekerja dengan mempengaruhi sekresi katekolamin seperti dopamin dan
norepinefrin; (2) mempengaruhi serotonin; (3) bekerja dengan
mempengaruhi lebih dari satu neurotransmiter, yaitu meningkatkan sekresi
dopamine, norepinefrin, atau serotonin menuju celah sinap, atau bekerja
dengan mengahambat reuptake neurotransmiter menuju neuron, atau
kombinasi keduanya. Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obat
penurun berat badan yang telah disetujui FDA di Amerika Serikat untuk
penggunaan jangka panjang. Sibutramine bekerja dengan menghambat
reuptake norepinefrin dan serotonin. Dosis diberikan 5-15 mg per oral.
Sibutramine memiliki efek samping meningkatkan tekanan darah dan laju
nadi, sehingga sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan
riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif,
aritmia, stroke. Sedangkan orlistat tidak bekerja sebagai penekan nafsu
makan, melainkan menghambat sebanyak 30% dari absorpsi lemak, serta
mengahambat pancreatic lipase. Dosis pemberian orlistat 120 mg per oral
sebelum makan. Dengan pemberian orlistat dibutuhkan penggantian
vitamin larut lemak karena terjai malabsorpsi parsial. 26,27
e. Terapi Bedah
Terapi ini hanya dilakukan pada pasien obesitas berat secara klinis
dengan BMI 40 atau 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus
dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan
farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang berat. Terdapat 2
metode operasi yang efektif, yaitu dengan menurunkan volume gaster
(banded gastroplasty), dan yang bekerja dengan mempengaruhi proses
pencernaan makanan (Roux-en-Y gastric bypass). Komplikasi operasi
meliputi bocornya anastomosis, subphrenic abscess, splenic injury,
pulmonary embolism, infeksi luka operasi, stoma stenosis, yang terjadi
kurang dari 10%.26,27
2.4 Osteomyelitis
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama: Kesemutan pada kaki
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli diabetic centre mengeluhkan kesemutan pada
kaki. Kesemutan telah dirasakan selama sekitar 1 tahun terakhir. Kesemutan
dikatakan hilang timbul namun semakin sering muncul sejak beberapa
bulan terakhir. Kesemutan dikatakan terasa pada kedua kaki pasien dan
disertai rasa kebas. Pasien mengeluhkan kesemutan dirasakan paling sering
terjadi setelah pasien makan dalam porsi yang besar. Keluhan kesemutan
dikatakan membaik setelah pasien menyuntikkan insulin dan
mengkonsumsi obat anti hipertensi.
Pasien juga mengeluhkan sering merasa lemas dan mudah mengantuk
terutama saat pasien makan dalam porsi yang besar. Keluhan membaik
setelah pasien menyuntikkan insulin. Keluhan ini dikatakan telah
berlangsung sejak lama sehingga pasien cenderung tidak melakukan
aktivitas apapun. Selain itu, pasien mengatakan sering buang air kecil
terutama saat malam hari. Pasien mengatakan dalam 1 malam dapat
terbangun hingga 2 kali untuk buang air kecil. Keluhan sering buang air
kecil ini sudah berlangsung sejak lama. Awalnya pasien dapat terbangun
hingga 4-5 kali untuk buang air kecil namun semakin lama frekuensi buang
air kecil saat malam hari berkurang. Keluhan sering buang air kecil ini
terjadi bersamaan dengan keluhan sering merasa haus.
Riwayat Sosial-Ekonomi:
Pasien merupakan seorang pensiunan yang sehari-harinya hanya
melakukan aktivitas ringan di rumah, seperti membaca koran dan menonton
TV. Kegiatan sehari-hari pasien masih bisa dilakukan oleh pasien sendiri.
Pasien mengaku berolahraga dengan jalan keliling kompleks namun
olahraga tersebut tidak teratur. Pasien mengaku sering membeli bubur
kacang hijau dan makanan ringan lainnya diluar makanan pokok yang
disediakan di rumah pasien. Pasien mengatakan tidak pernah merokok
maupun mengkonsumsi alkohol.
++ -- --
++ -- --
Abdomen :
- Inspeksi : distensi (-), scar (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, Nyeri
tekan (-), Ballotement (-/-)
- Perkusi : Shifting dullness (-), Undulasi (-), Nyeri
ketok CVA (-/-)
Ekstremitas :
Hangat + + Edema - -
+ + - -
Pemeriksaan HbA1c
Tanggal Pemeriksaan Hasil Rujukan Keterangan
22-11-2018 13.1% 4.8-5.9 Tinggi
01-12-2018 12.2% 4.8-5.9 Tinggi
3.5 DIAGNOSIS
1. Diabetes Mellitus Tipe 2
2. CKD stage III ec susp DKD
Hipertensi stage II
3.6 PENATALAKSANAAN
Diet DM 2138 kkal/hari + protein 50 gram/hari, rendah garam
Insulin Lantus 14 unit tiap 24 jam subkutan
Insulin Apidra 6 unit tiap 8 jam subkutan
Valsartan 160 mg tiap 24 jam IO
Amlodipin 10 mg tiap 24 jam IO
Bisoprolol 5 mg tiap 24 jam IO
3.7 MONITORING
Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah TTGO
Pemeriksaan kadar HbA1c
Pemeriksaan rutin tekanan darah
3.8 KIE
Memberikan pengetahuan kepada pasien dan keluarga tentang diabetes
mellitus tipe 2, tata cara minum obat, pemantauan glukosa darah mandiri,
pola makan, olahraga, tanda kegawatdaruratan, dan komplikasi yang
mungkin dialami pasien.
Penjelasan dan disarankan untuk mengikuti terapi nutrisi yang telah
ditentukan oleh ahli gizi.
Memberikan pengetahuan kepada pasien dan keluarga tentang hipertensi,
tata cara minum obat, dan komplikasi yang mungkin dialami pasien.
Status Lokalis
b. Kegiatan Fisik
Kegiatan fisik pada pasien diharapkan untuk mengurangi kegiatan
sedenten (atau imobilisasi), seperti terlalu banyak duduk atau menonton
televisi. Aktivitas fisik ringan pada pasien dapat diusakan untuk dilakukan
dengan olahraga aerobik ringan dengan berjalan – jalan selama 30 menit
dalam 3 – 4 kali/minggu.
c. Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan
Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan pada pasien sudah cukup baik,
dari segi akomodasi dan keterjangkauan. Rumah pasien berada 1,4 km dari
RSUP Sanglah, yang dapat ditempuh selama 6 menit dengan menggunakan
motor. Akses ke poli Diabetic Center RSUP Sanglah juga mudah karena
pasien merupakan pensiunan pegawai di RSUP Sanglah sehingga sudah
mengenal pegawai-pegawai lain di rumah sakit.
d. Lingkungan
Pasien berasal dari Singaraja. Saat ini pasien tinggal bersama istri, anak
laki-laki dan menantu, serta 2 orang cucu di sebuah rumah permanen 1 lantai.
Rumah pasien terdiri dari 1 dapur, 1 kamar mandi, 1 ruang tamu, 1 ruang
keluarga dan 4 kamar tidur.. Tempat tinggal pasien terletak di sebuah jalan
kecil. Secara keseluruhan tempat tinggal pasien terlihat lumayan rapi.
Ventilasi udara tempat tinggal pasien baik, penerangan rumah pasien juga
baik. Pasien menggunakan air PAM untuk mandi, mencuci baju, air minum,
dan keperluan memasak.
b. Faktor Psikologis
Dalam keadaan sakit dan selama menjalani perawatan pasien
membutuhkan dukungan dari keluarga. Istri, anak, menantu cucu pasien
sangat memperhatikan kondisi kesehatan pasien. Cucu pasien selalu
menemani pasien dalam keseharian pasien. Istri pasien, anak pasien dan
menantu pasien selalu berganti-ganti untuk mengantar pasien untuk kontrol
maupun berobat. Pasien cukup mengerti dengan keadaan penyait yang
dideritanya, baik dalam aturan diet, konsumsi obat dan kebutuhan olahraga.
d. Faktor Spiritual
Istri pasien mengatakan pasien rutin bersembahyang. Saat ada kegiatan
keagamaan, pasien beberapa kali pulang ke Singaraja bersama anaknya.
Namun dalam waktu dekat belakangan ini, pasien mulai jarang ke Singaraja
dan anak-anak pasien yang mengunjungi pasien di Denpasar dan
bersembahyang bersama.
U Toilet
Dapur
Kamar tidur
Toilet
Ruang keluarga
Kamar tidur
Kamar tidur
Ruang tamu
Kamar tidur
Parkir
Merajan