Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik berupa adanya hiperglikemia. Hiperglikemia pada diabetes melitus
dapat terjadi karena kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin, atau keduanya.1
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang berlangsung kronik dan kompleks
serta memerlukan manajemen medis yang berkelanjutan.2 Hiperglikemia kronik
pada diabetes berhubungan dengan adanya kerusakan jangka panjang dan disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh, yang meliputi mata, ginjal, saraf, jantung,
dan pembuluh darah.3 American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan
diabetes menjadi empat, yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes melitus
gestasional, dan diabetes tipe spesifik karena penyebab lainnya.2
International Diabetes Federation (IDF) mengestimasikan bahwa ada 382
juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia pada tahun 2013. Jumlah tersebut
diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang pada tahun 2035.
Diperkirakan dari 382 orang tersebut, 175 juta orang belum terdiagnosis sehingga
terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa
pencegahan.4 Sekitar 90-95% insiden diabetes merupakan diabetes melitus tipe 2,
sehingga epidemic outbreak dari diabetes merefleksikan tingginya prevalensi
diabetes melitus tipe 2.5
Diabetes melitus dan komplikasinya telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang serius tidak hanya karena tingginya biaya pengobatan namun juga
merupakan penyebab yang penting dari angka morbiditas dan mortalitas di seluruh
dunia. Komplikasi diabetes melitus dapat bersifat akut maupun kronis. Komplikasi
akut dapat berupa krisis hiperglikemia dan hipoglikemia, sedangkan komplikasi
kronis dapat diklasifikasikan menjadi makroangiopati dan mikroangiopati.
Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada mikroangiopati berupa kelainan
retina mata, glomerulus ginjal, saraf,dan pada otot jantung (kardimiopati). Pada
pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi kronik. DM dapat terjadi pada
pembuluh darah serebral, jantung (Penyakit Jantung Koroner) dan pembuluh darah
perifer (tungkai bawah). Salah satu contoh dari komplikasi kronik adalah nefropati
diabetik. Nefropati diabetik sering berakhir dengan penyakit ginjal kronis.2
Nefropati diabetik adalah
Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi
dengan akibat mudahnya terjadi infeksi salurah kemih, tuberculosis paru dan
infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangrene diabetes.
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter
pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Sampai saat ini, di Indonesia
kaki diabtes masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan
maskimal. Di samping itu, ketidak-tahuan masyarakat mengenai kaki diabetes
masih sangat mencolok.
Secara global, lebih dari 150 juta penduduk dunia pada tahun 2016
menderita diabetes dan hampir seperempatnya berisiko memiliki ulkus diabetikum.
Persentase ulkus kaki diabetes sebagai komplikasi diabetes melitus pada tahun 2011
di RSUP Dr. Cipto Mangunkusomo Jakarta (RSCM) adalah 8.70% (PERKENI,
2015). Risiko kematian akibat ulkus gangrene pada penyandang diabetes di
Indonesia mencapai 32% sedangkan jumlah amputasi sebesar 30% (Maryuni,
2013).
Pengelolahan kaki diabetes dapat dibagi mejadi 2 kelompok besar, yaitu
pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer
sebelum terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan
yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetic
yang sudah terjadi).
Melihat tingginya angka kejadian diabetes melitus dan kemungkinan
tingginya morbiditas serta mortalitas yang dialami penderita diabetes melitus, baik
karena komplikasi akut maupun komplikasi kronis, penulis tertarik untuk
membahas lebih dalam mengenai diabetes melitus tipe 2 dan penyakit ginjal kronis
sebagai komplikasinya.
Menurut beberapa hasil penelitian, diabetes melitus sangat erat kaitannya
dengan obesitas. Obesitas merupakan suatu kondisi dimana tubuh seseorang
memiliki kadar lemak yang terlalu tinggi. Pada penderita diabetes melitus, pankreas
menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kadar
glukosa darah pada tingkat normal, namun insulin tersebut tidak dapat bekerja
maksimal membantu sel-sel tubuh menyerap glukosa karena terganggu oleh
komplikasi-komplikasi obesitas, salah satunya adalah kadar lemak darah yang
tinggi terutama kolesterol dan trigliserida.6
Melihat tingginya jumlah orang yang diestimasikan menderita diabetes
melitus yang erat kaitannya dengan obesitas dan kemungkinan tingginya morbiditas
serta mortalitas yang dialami penderita diabetes melitus, baik karena komplikasi
akut maupun komplikasi kronik, penulis tertarik untuk membahas lebih dalam lagi
mengenai diabetes melitus tipe 2, nefropati diabetes, osteomyelitis dan obesitas.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi
American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan diabetes melitus
(DM) sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Hiperglikemia kronik pada DM berasosiasi dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, dan kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah.6 World Health Organization (WHO)
merumuskan diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat definisi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.3

2.1.2 Epidemiologi
Penelitian Shaw dkk pada tahun 2010 mendapatkan bahwa prevalensi dari
diabetes pada orang dewasa (usia 20-79 tahun) di dunia adalah 6,4%, mengenai 285
juta orang dewasa serta akan meningkat menjadi 7,7% dan mengenai 439 juta orang
dewasa pada tahun 2030. Antara tahun 2010 dan 2030 akan ada peningkatan 69%
dari jumlah orang dewasa dengan diabetes pada negara berkembang dan
peningkatan sebanyak 20% pada negara maju.7
World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan
jumlah penyandang diabetes melitus sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.1
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 mendapatkan prevalensi
diabetes melitus pada penduduk usia 25-64 tahun di Jawa dan Bali sebesar 7,5%.4
International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah
penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 10 juta pada tahun 2015 menjadi
sekitar 16 ,1 juta pada tahun 2040.8
2.1.3 Patofisiologi
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh kombinasi faktor genetik yang
berhubungan dengan gangguan sekresi insulin, resitensi insulin, dan faktor
lingkungan seperti obesitas, over eating, kurang berolah raga, stres, dan juga
penuaan. Penyakit ini merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan multipel
gen dan faktor lingkungan dan biasanya terjadi pada usia 30 tahun ke atas.9
Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan terganggunya sekresi insulin,
resistensi insulin, produksi hepatic glucose yang berlebihan, serta abnormalitas
metabolisme lemak.Pada fase awal penyakit ini, toleransi glukosa masih mendekati
normal meskipun ada resistensi insulin, hal tersebut karena sel beta pankreas masih
bisa mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin.Seiring dengan
berjalannya waktu, pancreatic islet tidak mampu mempertahankan keadaan
hiperinsulinemia. Setelah itu muncullah suatu keadaan yang disebut sebagai
Impaired Glucose Tolerance (IGT) yang ditandai dengan peningkatan kadar gula
darah post prandial. Penurunan lebih lanjut pada sekresi insulin dan meningkatnya
produksi hepatic glucose menyebabkan terjadinya diabetes yang nyata terlihat
dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel beta terjadi kemudian.10
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan selbeta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentraldari DM tipe 2.Namun kini diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak, gastrointestinal,sel alpha pancreas, ginjal, dan otak, berperan dalam
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. Delapan organ penting yang
terlibat dalam patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 ini dikenal sebagai omnius
octet.1
1. Kegagalan sel βeta pankreas
Fungsi sel beta sudah sangat berkurang ketika diagnosis DM tipe 2
ditegakkan.1
2. Liver
Resistensi insulin yang berat pada DM Tipe 2 memicu glukoneogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver meningkat atau
dikenal dengan sebutan hepatic glucose production (HGP).1
3. Otot
Gangguan kerja insulin yang multipel di intramioselular terjadi akibat
gangguan fosforilasi tirosin sehingga menimbulkan gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa.1
4. Sel Lemak
Peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA = free fatty
acid) dalam plasma diakibatkan oleh sel lemak yang resisten terhadap efek
antilipolisis dari insulin. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA
juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh
FFA ini disebut sebagai lipotoxicity.1
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin
ini diperankan oleh 2 hormon, yaitu GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1)
dan GIP (glucose-dependentinsulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-
1 dan resistensi terhadap GIP. Selain itu, incretin juga segera dipecah enzim
DPP-4, sehingga incretin hanya bekerja dalam beberapa menit. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui
kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan menyebabkan
meningkatnya glukosa darah setelah makan.1
6. Sel αlpha Pankreas
Ketika keadaan puasa, sel Alpha akan meningkat kadarnya di dalam plasma
dan berfungsi dalam sintesis glukagon. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding orang normal.1
7. Ginjal
Ginjal memfiltrasi sekitar 163gram glukosa per hari. Sembilan puluh persen
dari glukosa yang terfiltrasi akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose Co-Transporter) pada bagian convulated tubulus
proksimal. Sedangkan 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-
1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.1
8. Otak
Insulin berperan sebagai penekan nafsu makan yang kuat, akan tetapi pada
individu dengan DM asupan makanan justru meningkat karena adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak.1

Gambar 1. Ominous Octet, delapan organ yang berkaitan dengan patogenesis hiperglikemia DM
tipe 2.1

2.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pada DM tipe 2 dapat berupa keluhan klasik dan keluhan
lain. Keluhan klasik terdiri dari poliuria, polifagia, polidipsia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Sedangkan keluhan lain terdiri dari
badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, pruritus vulva.1
Polidipsia dan poliuria terjadi akibat tingginya kadar gula dalam aliran
darah sehingga menyebabkan cairan ditarik keluar dari jaringan, sehingga
menyebabkan penderita DM sering buang air kecil dan sering minum sebagai
kompensasinya. Polifagia disebabkan karena glukosa tidak bisa masuk ke sel dan
digunakan oleh sel, sehingga otot dan organ tubuh menjadi kekurangan energi.
Terganggunya penggunaan glukosa terjadi akibat terganggunya kinerja insulin.
Penurunan berat badan terjadi karena ketidakmampuan tubuh untuk
memetabolisme glukosa, sehingga tubuh menggunakan energi alternatif yang
diambil dari yang tersimpan di otot maupun lemak tubuh.11

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan untuk diagnosis adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan berupa plasma darah vena. Glukosuria
tidak dapat menegakkan diagnosis. Jika individu mengalami keluhan yang baik
berupa keluhan utama maupun keluhan lain, kecurigaan terhadap DM perlu
dipikirkan.1
Kriteria diagnosis DM adalah sebagai berikut.2
a. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan sebagai tidak ada
intake kalori dalam setidaknya 8 jam, atau
b. Glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa ≥ 200 mg/dL. Tes
toleransi glukosa dilakukan sesuai standar WHO dengan 75gram glukosa
anhidrat yang dilarutkan dalam air, atau
c. A1C ≥ 6,5%. Pemeriksaan dilakukan pada laboratorium yang menggunakan
metode yang tersertifikasi NGSP dan terstandardisasi DCCT assay, atau
d. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dengan
glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria DM digolongkan ke
kelompok prediabetes2:
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) yaitu hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma
2 jam < 140 mg/dl
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) yaitu hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma
puasa <100 mg/dl
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
d. Pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%
2.1.6 Penatalaksanaan
Modalitas terapi pada pasien DM terdiri dari edukasi, terapi nutrisi, jasmani,
dan terapi farmakologis.1
1. Edukasi
Edukasi meliputi promosi hidup sehat dan dilakukan sebagai upaya
pencegahan dan merupakan bagian yang penting dari pengelolaan DM secara
holistik.1
2. Terapi Nutrisi
Komposisi makanan dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65% terutama
yang berserat tinggi. Lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak
melebihi 30% total asupan energi. Protein sebesar 10-20% total asupan energi.
Asupan natrium sama seperti orang sehat yaitu <2300 mg per hari. Konsumsi serat
dianjurkan 20-35 gram/hari.1
Kebutuhan kalori bagi penderita DM adalah 25 kal/kgBB ideal untuk wanita
dan 30 kal/kgBB ideal untuk laki-laki. Jumlah kebutuhan kalori bisa ditambah atau
dikurangi atas dasar beberapa faktor, seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dan lain-lain. Stres metabolik juga memengaruhi jumlah kalori yang harus
diberi, penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stres metabolik (sepsis,
operasi, trauma).1
Penghitungan berat badan ideal menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi, seperti berikut.1
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 Pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumusnya menjadi :
(TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB normal : BB ideal ± 10%
Kurus : kurang dari BBI - 10%
Gemuk : lebih dari BBI + 10%
3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar pengelolaan DM tipe 2 yang
tidak disertai nefropati. Kegiatan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali
per minggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu. Latihan
jasmani yang dilakukan adalah yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksmial). Contoh latihan jasmani tersebut meliputi jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.1
4. Farmakologi
a. Obat Antihiperglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat ini dibagi menjadi 5 golongan :
1) Pemacu Sekresi Insulin
 Sulfonilurea : mempunyai efek utama sebagai peningkat sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utamanya berupa
hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
 Glinid : cara kerja sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.

2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin


 Metformin : merupakan pilihan pertama bagi sebagian besar kasus
DM tipe 2. Efek utamanya mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan
perifer.
 Tiazolindindion: agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat
di sel otot, lemak, dan hati.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa di Saluran Pencernaan
 Penghambat glukosidase alfa: bekerja dengan memperlambat
absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
4) Penghambat DPP-IV
Menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-
1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
5) Penghambat SGLT-2
Menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan
cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
b. Obat Antihiperglikemia Suntik
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat disertai ketosis
 Krisis hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi obat hiperglikemik oral (OHO) dosis
optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 5 jenis, yaitu :
1) Insulin kerja cepat (rapid-acting insulin)
Contoh : lispro (humalog), aspart (novorapid), glulisin (apidra).
Awitan (onset) 5-15 menit, puncak efek 1-2 jam, lama kerja 4-6 jam.
2) Insulin kerja pendek (short-acting insulin)
Contoh : humulin R, actrapid.
Awitan (onset) 30-60 menit, puncak efek 2-4 jam, lama kerja 6-8
jam.
3) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Contoh : humulin N, insulatard, insuman basal.
Awitan (onset) 1,5-4 jam, puncak efek 4-10 jam, lama kerja 8-12
jam.
4) Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Contoh : glargine (lantus), detemir (levemir), lantus 300.
Awitan (onset) 1-3 jam, puncak efek hampir tanpa puncak, lama
kerja 12-24 jam.
5) Insulin kerja ultra panjang (ultra long acting insulin)
Contoh : degludec (tresiba)
Awitan (onset) 30-60 menit, puncak efek hampir tanpa puncak, lama
kerja sampai 48 jam.
6) Insulin campuran tetap.
Terapi insulin dapat diberikan secara infus intravena kontinyu atau
subkutan, secara terprogram atau terjadwal. Kebutuhan insulin harian total
(IHT) dapat didasarkan pada dosis insulin sebelum perawatan atau dihitung
sebagai 0,5-1 unit/kg BB/hari. Untuk lanjut usia atau pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, hendaknya diberikan dosis yanglebih rendah,
misalnya 0,3 unit/kg BB/hari.12 Setelah kebutuhan insulin harian total (IHT)
dihitung, misalnya pada pasien dengan berat badan 100 kg maka kebutuhan
IHT nya adalah 0,5 unit dikali 100 kg = 50 unit per hari. Empat puluh persen
dari 50 unit itu merupakan dosis insulin basal (50 unit x 40% = 20 unit) yang
diberikan sebelum tidur. Enam puluh persen dari 50 unit itu adalah dosis
insulin prandial (50 unit x 60% = 30 unit), dosis sebesar 30 unit itu dibagi 3
dan dikonsumsi setiap setelah makan atau dengan kata lain 10 unit setiap
setelah makan.13

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada DM tipe 2 dapat dibagi menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronik.1
a. Komplikasi Akut
- Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai
dengan tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat, osmolalitas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. Status
Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) juga termasuk krisis hiperglikemia dengan
peningkatan glukosa darah hingga 600-1200 mg/dL tanpa disertai tanda dan gejala
asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton
(+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.1

- Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.
Hipoglikemia ditandai dengan adanya whipple's triad, yaitu terdapat gejala-gejala
hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah, dan gejala berkurang dengan
pengobatan.1

b. Komplikasi Kronik
- Makroangiopati
Makroangiopati bisa mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah
tepi, dan pembuluh darah otak. Apabila mengenai pembuluh darah tepi, gejala
tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri ketika beraktivitas dan
berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa disertai
gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang bisa dapat ditemukan
pada penderita.1
- Mikroangiopati
Mikroangiopati dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan
neuropati. Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari gagal ginjal
stadium akhir. Sekitar 20-40% penderita diabetes akan mengalami nefropati
diabetes. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin
>30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6
bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya.1
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting
yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan meningkatkan risiko amputasi.
Gejala yang sering terasa oleh penderita meliputi rasa terbakar pada kaki dan
bergetar sendiri, serta pada malam hari terasa lebih sakit. Pada polineuropati distal
perlu dilakukan perawatan kaki yang memadai untuk mengurangi risiko ulkus pada
kaki yang akhirnya bisa menjadi kaki diabetes.1

2.2 Penyakit Ginjal Kronik


2.2.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease adalah suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
tetap, dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal.14 Pada PGK, ditemukan adanya
kelainan struktural dan/atau kelainan fungsional pada ginjal yang berlangsung lebih
dari 3 bulan, dengan adanya implikasi terhadap kesehatan. Kerusakan ginjal
mengacu pada berbagai macam kelainan yang ditemukan selama pemeriksaan,
yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap penakit penyebabnya tetapi dapat
mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik
menurun secara bersamaan pada hampir semua kasus PGK. Adapun yang termasuk
kriteria dari PGK adalah sebagai berikut:
1. Adanya bukti kerusakan ginjal yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium (albuminuria (AER ≥ 30 mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3
mg/mmol]), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit atau yang lain
oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan histologi,
kelainan struktural yang terdeteksi melalui pencitraan, atau riwayat
transplantasi ginjal)
2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2)15

2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat penyakit
dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault sebagai
berikut:

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus Kockroft-Gault


tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat badan di
bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita Acute Kidney Injury
(AKI), kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis), atau ada anggota
tubuh yang tidak lengkap (amputasi).14

Tabel 1. Klasifikasi berdasarkan Derajat Penyakit Ginjal Kronik.15

Derajat LFG (ml/menit/1,73m2) Penjelasan


G1 ≥ 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Penurunan ringan
G3a 45-59 Penurunan ringan-
sedang
G3b 30-44 Penurunan sedang-berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 < 15 Gagal ginjal
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan Etiologi Penyakit.15

Penyakit Tipe mayor (contoh)


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin
/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant gromerulopathy
Berdasarkan etiologinya, PGK juga adapat diklasifikasikan atas dasar ada atau
tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis
atau patologis dari ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:15
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan Patologi Anatomi.15

Contoh penyakit Contoh penyakit ginjal


sistemik yang primer (tidak disertai
mempengaruhi ginjal penyakit sistemik yang
mempengaruhi ginjal)
Penyakit glomerular Diabetes, penyakit Glomerulonefritis
autoimun sistemik, diffuse, focal, crescentic
infeksi sistemik, obat, proliferative,
neoplasia (termasuk gromerulonekrosis focal
amyloidosis) dan segmental, mefropati
membrane, minimal
change disease
Penyakit Infeksi sistemik, Infeksi saluran kemih,
tubulointerstitial autoimun, sarcoidosis, batu, obstruksi
obat, urat, toksin
lingkungan, neoplasia
(myeloma)
Penyakit pembuluh Aterosklerosis, Associated renal limited
darah hipertensi, iskemia, vasculitis (ANCA),
emboli kolesterol, fibromuscular dysplasia
vaskulitis sistemik,
mikroangiopati
trombotik, sklerosis
sistemik
Penyakit kistik dan Penyakit polikistik Displasia renal, penyakit
congenital ginjal, Alport syndrome, kistik medulla,
Fabry disease podositopati
2.2.3 Epidemiologi
Penyakit Ginjal Kronik merupakan penyakit yang sering dijumpai pada
praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-13% dari
populasi. Sebuah studi yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia
melaporkan sebanyak 12,5% populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi
ginjal.16 Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus per satu juta penduduk per tahun, dan angka
ini meningkat sekitar 8% tiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk
per tahun.14

2.2.4 Etiologi
Etiologi PGK sangat bervariasi. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di
Indonesia, antara lain adalah glomerulonefritis (46,39%), diabetes mellitus
(18,65%), obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi (8,46%), dan sebab-sebab lain
yang dapat berupa nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui (13,65%).15
Gomerulonefritis adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktik klinik
sehari-hari dan merupakan penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Di Indonesia, glomerulonefritis merupakan penyebab utama PGTA yang menjalani
terapi pengganti ginjal. Manifestasi klinik glomerulonefritis sangat bervariasi mulai
dari kelainan urin seperti proteinuria atau hematuri saja sampai dengan
glomerulonefritis progresif cepat.14
Glomerulonefritis sebagian besar akan memasuki fase kronik atau persisten.
Bahkan kebanyakan pasien berisiko untuk mengalami kerusakan glomerular yang
berlangsung terus-menerus dan pada akhirnya berujung pada PGTA.16 Data statistik
di Jepang menyebutkan glomerulonefritis kronik sebagai penyebab nomor dua
(23,0%) untuk kejadian PGTA setelah nefropati diabetik (43,2%) pada 282.000
pasien yang menjalani terapi dialisis.17 Gromerulonefritis kronik berada pada
urutan ketiga (10%) sebagai penyebab PGK pada pasien hemodialisis baru di
Indonesia berdasarkan data IRR tahun 2014 setelah penyakit ginjal hipertensi
(37%) dan nefropati diabetik (27%). Insiden penyakit ini ditemukan lebih tinggi
pada populasi usia < 40 tahun.18

2.2.5 Patofisiologi
Penyakit Ginjal Kronik disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan
pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal
glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan
secara langsung oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin. Selain itu,
dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung dalam jangka
panjang. Berbagai sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan
kerusakan ginjal.19
Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas PGK
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.14
Gambar 2. Patogenesis Pennyakit Ginjal Kronik.14

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada PGK, gambaran klinis yang muncul seringkali tidak
spesifik dan biasanya ditemukan pada tahap akhir penyakit. Pada stadium awal,
PGK biasanya asimtomatik. Tanda dan gejala PGK dapat melibatkan berbagai
macam sistem organ.19 Gambaran klinis yang muncul dapat berupa gambaran klinis
yang sesuai dengan penyakit dasarnya seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus
Sistemik, dan lain sebagainya. Dapat pula berupa sekumpulan gejala yang disebut
sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikaarditis,
kejang, hingga koma. Jika sudah terjadi komplikasi, gejala komplikasi yang dapat
muncul ialah hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida).14
Pada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan temuan yang sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya. Dapat pula ditemukan adanya penurunan
fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG
yang dihitung menggunakan rumus Kockroft-Gault. Selain itu, dapat ditemukan
kelainan pada kadar biokimawi darah yang dapat berupa penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
Kelaian pada urinalisis juga dapat muncul, berupa proteinuria, hematuria,
leukosuria, cast, isostenuria.14
Pada pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan adanya batu radioopaque
pada pemeriksaan foto polos abdomen, ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, atau kalsifikasi pada
pemeriksaan ultrasonografi ginjal. Dapat pula dilakukan pielografi antegrad atau
retrogad maupun renografi bila ada indikasi. Pielografi intravena jarang dikerjakan,
karena kontras sering tidak dapat melewati filter glomerulus. Selain itu juga
dikhawatirkan adanya pengaruh toksik kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.18
Dapat juga dilakukan pemeriksaan biopsi dan pemeriksaan histopatologi
ginjal pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi
yang telah diberikan. Kontraindikasi dikerjakannya biopsi ginjal adalah ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan
obesitas.14

2.2.7 Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana PGK dilakukan sesuai dengan derajatnya. Pada
derajat G1, dilakukan terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan
fungsi ginjal, dan memperkecil risiko kardiovaskular. Pada derajat G2,
penatalaksanaan yang dilakukan ialah penatalaksanaan untuk menghambat
perburukan fungsi ginjal. Pada derajat G3, dilakukan evaluasi dan terapi komplikasi
yang muncul. Pada derajat G4, mulai dilakukan persiapan untuk terapi pengganti
ginjal. Terapi pengganti ginjal mutlak diperlukan pada PGK derajat G5.14
Terapi Penyakit Dasar
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.14
Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien PGK. Hal
ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.14
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah adalah pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis.14
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60
ml/menit/1,73m2. Protein diberikan 0,6-0,8kg/BB/hari, 0,35-0,50 gr diantaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Fosfat diberikan ≤ 10 gr/kgBB/hari.19
Terapi farmakologis yang diberikan adalah antihipertensi. Pemakaian obat
antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular
juga sangat penting untuk menghambat perburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Proteinuria
merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi ginjal. Beberapa obat
antihipertensi terutama penghambat enzim konverting angiotensin (ACE inhibitor)
melalui berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat
mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.14
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
PGK secara keseluruhan.14
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit Ginjal Kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. PGK
derajat G1, biasanya belum menimbulkan komplikasi. PGK derajat G2, mulai
menimbulkan komplikasi berupa tekanan darah yang mulai naik. PGK derajat G3,
dapat menimbulkan komplikasi berupa hiperfosfatemia, hipokalsemia, anemia,
hiperparatiroid, hipertensi, dan hiperhomosisteinemia. PGK derajat G4, dapat
menimbulkan komplikasi berupa malnutrisi, asidosis metabolik, hiperkalemia, dan
dislipidemia. Sedangkan PGK derajat G5, dapat meinmbulkan komplikasi gagal
jantung dan sindrom uremia.14
Terapi Pengganti Ginjal
Dilakukan pada PGK derajat G5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi
ginjal. Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens
kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika klirens
kreatinin telah dibawah 20 ml/menit.14
1. Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung
ginjal buatan (dialiser) yang terdiri atas dua kompartemen yang terpisah. Darah
pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput
semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri
cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip
serum normal dan tidak mengandung sisa metabolism nitrogen. Cairan dialisis dan
darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis,
air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat
dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan
dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi.17
Komplikasi yang sering terjadi selama hemodialisis berlangsung adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil. Di Indonesia, hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu
dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Pasien hemodialisis harus
mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang
merupakan prediktor penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis.
Indikasi dilakukannya hemodialisis pada PGK selain sudah memasuki
derajat G5 adalah:
- pasien dengan keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata,
- kalium serum > 6 mEq/L,
- ureum darah > 200 mg/dL,
- pH darah < 7,1,
- anuria berkepanjangan (> 5 hari), dan
- overload cairan.14
2. Peritoneal Dialysis
Peritoneal Dialysis (PD) adalah suatu metode dialisis dengan
memanfaatkan peritoneum sebagai membran semipermeabel. PD terbagi atas PD
akut yang merupakan metode terapi pengganti ginjal (TPG) untuk pasien yang
mengalami kegawatan akut, yang bersifat sementara; dan PD kronis yang
merupakan metode TPG untuk pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal
secara permanen (PGK stadium 5) yang bersifat berkesinambungan. PD kronis
terdiri atas berbagai macam yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) dan Automated Peritoneal Dialysis (APD) yang terdiri dari Tidal
Peritoneal Dialysis: Continuous Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD), Nocturnal
Intermittent Peritoneal Dialysis (NIPD), Tidal with day dwell, dan Cyclers.16
Indikasi dimulainya PD adalah PGK stadium 5 yang memerlukan dialisis.
Kontraindikasi dilakukannya PD terdiri atas kontraindikasi absolut dan
kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut dilakukannya PD adalah:
- kesulitan teknik operasi,
- luka yang luas di dinding abdomen,
- perlekatan yang luas dalam rongga peritoneum (akibat operasi daerah
abdomen atau riwayat inflamasi sebelumya),
- tumor atau infeksi di dalam rongga abdomen (adneksitis),
- riwayat ruptur divertikel,
- hernia berulang yang tidak dapat dikoreksi,
- fistel antara peritoneum dan rongga pleura, dan
- tidak dapat melakukan PD secara mandiri dan tidak ada yang membantu
dalam melakukan PD.
Kontraindikasi relatifnya antara lain:
- obesitas tanpa residual renal function,
- gangguan jiwa,
- gangguan penglihatan,
- hernia,
- Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dan
- inflamasi kronik saluran cerna.16
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1950-an dan mulai banyak digunakan pada tahun 1970-
an. CAPD biasanya dilakukan sampai 4 kali dalam sehari sehari dengan cara
menginjeksikan cairan dialisat sebanyak 2-2,5 liter ke dalam rongga peritoneum
melalui kateter trans-abdominal melewati dinding abdomen anterior, menembus
peritoneum parietal dengan ujungnya terletak di pelvis. Cairan dialisat berada
dalam rongga peritoneum selama 4-6 jam, waktu ini disebut sebagai dwell time atau
dwell period. Membran peritoneum, yang berperan sebagai penyaring alami,
digunakan untuk pertukaran elektrolit, glukosa, urea, albumin, dan molekul-
molekul kecil lain dari darah, juga pengeluaran cairan. Pertukaran ini dapat terjadi
karena adanya perbedaan tekanan osmotik antara cairan dialisat dan darah, dimana
cairan dialisat konsentrasinya lebih tinggi daripada darah. Pada kebanyakan kasus,
cairan dialisat mengandung glukosa yang digunakan untuk menaikkan
konsentrasinya dan menciptakan adanya perbedaan tekanan osmotik. Adanya
perbedaan tekanan osmotik ini menyebabkan perpindahan cairan dari darah ke
cairan dialisat, yang disebut ultrafiltrasi. Perbedaan tekanan osmotik ini juga
menyebabkan terjadinya proses difusi, dimana akan terjadi perpindahan molekul-
molekul produk sisa yang terdapat dalam darah melalui membran peritoneum
menuju cairan dialisat.14

2.2 Obesitas
2.3.1 Definisi
Pengertian obesitas menurut World Health Organization (WHO) adalah
penumpukan lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu
kesehatan.20 Obesitas terjadi ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan
energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama. Banyaknya konsumsi energi
dari makanan yang dicerna melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan
aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak dan
jaringan lemak sehingga dapat berakibat pertambahan berat badan. Obesitas yang
muncul pada remaja cenderung berlanjut hingga dewasa sampai 50-70%.21

2.3.2 Epidemiologi
Menurut data terbaru dari Behavioral Risk Factor Surveillance System
(BRFSS) pada bulan September 2018 yang dilakukan di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa tingkat obesitas dewasa sekarang melebihi 35% di tujuh
negara bagian, 30% di 29 negara bagian dan 25% di 48 negara bagian. Virginia
Barat memiliki tingkat obesitas dewasa tertinggi di 38,1% dan Colorado yang
terendah sekitar 22,6%. Tingkat obesitas dewasa meningkat di Iowa,
Massachusetts, Ohio, Oklahoma, Rhode Island, dan South Carolina antara tahun
2016 dan 2017, dan tetap stabil di negara bagian lainnya.22
Pada tahun 2014 lebih dari 1,9 milyar orang dewasa yang berumur lebih
dari 18 tahun kelebihan berat badan (39%), dan dari jumlah tersebut 600 juta (13%)
mengalami obesitas.22 Prevalensi obesitas menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2007, 2010 dan 2013
menunjukkan bahwa angka kejadian obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18
tahun) tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan
tahun 2010 (7,8%). Pada tahun 2013, prevalensi terendah di Nusa Tenggara Timur
(9,8%) dan tertinggi di provinsi Sulawesi Utara (34,7%). Sedangkan prevalensi
obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) pada tahun 2013 sebanyak 32,9 persen,
naik 18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%).
Prevalensi obesitas terendah di Nusa Tenggara Timur (5,6%), dan prevalensi
obesitas tertinggi di provinsi Sulawesi Sulawesi Utara (19,5%).1

2.3.3 Etiologi
Obesitas merupakan kondisi kronis yang terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara energi masuk dengan energi keluar dan akumulasi
simpanan energi yang berubah menjadi lemak.22 Pada umumnya, berbagai faktor
yang menentukan keadaan obesitas seseorang seperti:
a. Faktor Lingkungan
Hampir seluruh obesitas sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
baik tingkat aktivitas yang rendah atau asupan kalori yang terlalu besar.
Tingkat aktivitas fisik cenderung menurun dalam beberapa dekade terakhir.
Hal ini berkaitan dengan teknologi yang kian berkembang, sehingga saat ini
sebagian besar orang lebih memilih menghabiskan waktu untuk duduk di
tempat kerja, menonton tv dan browsing internet. Sedangkan dari faktor
nutrisi, kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat
yang tinggi, dan lemak seperti makanan siap saji dan camilan dengan porsi
besar dapat berkontribusi pada penambahan berat badan.23

b. Usia
Obesitas dapat terjadi pada semua usia, bahkan pada anak kecil.
Tetapi seiring pertambahan usia, perubahan hormon dan gaya hidup yang
kurang aktif meningkatkan risiko obesitas. Selain itu, jumlah otot di tubuh
akan cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Massa otot yang lebih
rendah ini menyebabkan penurunan metabolisme. Perubahan ini juga
mengurangi kebutuhan kalori, dan sulit untuk menahan kelebihan berat
badan. Jika tidak secara sadar mengontrol jumlah makanan yang di
konsumsi dan tidak aktif secara fisik, hal ini dapat menjadi salah satu risiko
obesitas.23
c. Faktor endokrin
Faktor endokrin sebagai penyebab ditemukan hanya dalam kurang
dari 1% obesitas anak dan remaja, beberapa diantaranya adalah hipotiroid,
kelebihan kortisol (penggunaan kortikosteroid, Cushing Syndrome),
defisiensi hormon pertumbuhan, dan lesi hipotalamus (infeksi, malformasi,
vaskular, neoplasma, atau trauma).23

2.3.4 Patogenesis Obesitas


Pertambahan massa lemak selalu disertai perubahan fisiologis tubuh yang
sebagian besar bergantung pada distribusi regional massa lemak itu.24 Obesitas
berisiko DM 2,26 kali lebih tinggi dari pada non obesitas, hal ini dikaitkan dengan
timbunan lemak pada jaringan viseral (intra abdomen) yang berbahaya karena
lipolisis di daerah ini lebih resisten terhadap efek insulin dibandingkan adiposit di
daerah lain. Jaringan adiposa menginduksi resistensi insulin dengan melepaskan
asam lemak bebas yang berpengaruh pada proses pembentukan sinyal insulin.
Jaringan adiposa melepaskan beberapa adipositokin. Adipositokin yang paling
penting adalah TNF-α (tumor necrotic factor αlpha) dan memproduksi
inflammatory cytokines yang dapat menyebabkan resistensi insulin melalui glucose
transporter 4 (GLUT 4) dengan melepaskan asam lemak bebas.24,25
Resistensi insulin merupakan suatu fase awal abnormalitas metabolik
sampai terjadinya intoleransi glukosa. Pada kondisi awal intoleransi glukosa,
insulin yang diproduksi sel β pankreas masih dapat melakukan kompensasi dengan
meningkatkan sekresi insulin. Apabila fungsi sel β pankreas menurun akan
menyebabkan sekresi insulin tidak adekuat, sehingga terjadi transisi dari kondisi
resistensi insulin ke diabetes yang manifes secara klinis. Sebagai akibatnya proses
awal penyakit ini berlangsung tanpa gejala, sampai terjadi kegagalan fungsi sel β
pankreas dan pasien memerlukan terapi dengan obat atau insulin. Kondisi ini lebih
lanjut dapat merusak pembuluh darah arteri dan hati. 24,25

2.3.5 Diagnosis
2.3.5.1 Anamnesis
Identifikasi pasien dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskular dan
komorbid lainnya. Menggali risiko penyakit jantung koroner meliputi riwayat
infark miokardium, angina pectoris (stable atau unstable), riwayat operasi arteri
koroner atau prosedur misalnya angioplasty. Menggali adanya penyakit
aterosklerotik lainnya, termasuk peripheral arterial disease, abdominal aortic
aneurysm, symptomatic carotid artery disease. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan
faktor risiko mayor untuk penyakit kardiovaskular. Sleep apnea dengan gejala
meliputi mengorok yang keras, napas berhenti saat tidur, yang kemudian diikuti
dengan keadaan terbangun singkat. Selain itu dapat diidentifikasi penyakit lainnya
yang berhubungan dengan obesitas, pasien dengan obesitas biasanya berhubungan
dengan kelainan ginekologi walaupun tidak bersifat mengancam nyawa seperti
menorrhagia, amenorrhea, osteoarthritis, batu empedu dan komplikasinya. Riwayat
obesitas dalam keluarga merupakan hal penting, polycystic ovarian disease dan
hipotiroid diketahui sebagai penyebab overweight. Riwayat penggunaan obat-
obatan seperti obat antidepresan, lithium, phenothiazines, glucocorticoids, hormone
progestational, cyproheptadine, antihistamin, sulfonylurea, glucocorticoid, insulin,
berhubungan dengan peningkatan berat badan.25,27

2.3.5.2 Pemeriksaan Fisik


a. Indeks Masa Tubuh
Dengan IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan
normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur >
18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan
olahragawan. Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan oleh bentuk tubuh
dan proporsi tubuh, sehingga dengan demikian IMT belum tentu memberikan
kegemukan yang sama bagi semua populasi. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat
dihitung dengan rumus berikut:20,21
Berat Badan (Kg)
IMT = -------------------------------------------------------
Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)
Berikut klasifikasi yang ditetapkan oleh WHO:

b. Lingkar Pinggang
Lingkar pinggang merupakan pemeriksaan yang paling praktis dapat
digunakan oleh klinisi untuk mengevaluasi lemak abdominal. Lemak pada region
abdomen lebih berisiko tinggi dibandingkan lemak perifer (misalnya lemak pada
paha, bokong). Lingkar pinggang yang tinggi berhubungan dengan peningkatan
risiko menderita diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, hipertensi, dan penyakit
kardiovaskular pada pasien dengan BMI antara 25-34,9 km/m2.
Untuk mengukur lingkar pinggang, pengukuran dilakukan dengan
mengambil tengah-tengah antara inferior margin dari costae terbawah dan iliac
crest dalam posisi pengukuran horizontal. Saat membaca hasil pengukuran,
perhatikan jangan sampai meteran menekan kulit dan alat ukur paralel terhadap
lantai. Interpretasi pengukuran dilakukan saat akhir ekspirasi normal.27

Gambar 3. Pengukuran Lingkar Pinggang.27


Wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah mengusulkan criteria dan klasifikasi
obesitas sendiri (Tabel 4).

Tabel 4. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan
Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik.27
Risiko Komorbiditas
Klasifikasi IMT (kg/m2)

Lingkar Perut
<90 cm (laki-laki) 90 cm (laki-laki)
<80 cm (perempuan) 80 cm (perempuan)
Berat badan kurang <18,5 Rendah (risiko
meningkat pada Sedang
masalah klinis lain)
Kisaran normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat
Berat badan lebih 23,0
Beresiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat
Obes I 25,0-29,9 Moderat Berat
Obes II 30,0 Berat Sangat Berat

2.3.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis meliputi pemeriksaan
darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, profil lipid, fungsi tiroid, pemeriksaan EKG.27

2.3.5 Penatalaksanaan
Penurunan berat badan mempunyai efek menguntungkan terhadap
komorbid obesitas. Bahkan penurunan sebesar 5 sampai 10% dari berat awal dapat
mengakibatkan perbaikan kesehatan secara signifikan. Terdapat bukti kuat bahwa
penurunan berat badan dapat mengurangi konsentrasi glukosa darah serta HbA1c
pada beberapa pasien dengan diabetes tipe 2. Tidak ada terapi tunggal yang efektif,
terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar yaitu diet rendah
kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah.26
a. Terapi Diet
Terapi diet direncanakan berdasarkan individu. Defisit kalori yang
dianjurkan adalah 500 hingga 1000 kcal/hari. Disamping pengurangan
lemak jenuh, total lemak seharusnnya kurang dan sama dengan 30% dari
total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu sehari-hari saja
tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan, kecuali total kalori juga
berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk
mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan
konsentrasi kolesterol LDL.26
b. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan
peningkatan berat badan, keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi
pengurangan risiko kardiovasklar dibandingkan dengan pengurangan berat
badan tanpa aktivitas fisik. Untuk pasien obese terapi harus dimulai secara
perlahan dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Pasien
dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan
jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama
45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. dengan ini, pengeluaran
energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai.
Selain itu dapat pula diadaptasi ke dalam berbagai bentuk aktivitas fisik lain
seperti berjalan kaki, pasien dimotivasi dalam aktivitas sehari-hari seperti
memilih naik tangga dibandingkan naik lift. Strategi lain adalah dengan
mengurangi waktu santai dengan cara melakukan aktivitas fisik rutin lain
dengan risiko cidera rendah. 26
c. Terapi Perilaku
Strategi ini meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan
dan aktivitas fisik, manajemen stres, stimulus control, pemecahan masalah,
contingency management, cognitive restructuring dan dukungan sosial. 26
d. Farmakoterapi
Penggunaan obat-obatan dengan penggunaan jangka panjang
bermanfaat selain diet dan aktivitas fisik pada pasien dengan BMI  30 tanpa
faktor risiko. Farmakoterapi juga bermanfaat pada pasien dengan BMI  27
dengan faktor risiko penyakit yang berhubungan dengan obesitas. Obat-
obatan penurun berat badan yang sudah dikembangkan terdiri dari 3 kelas,
(1) bekerja dengan mempengaruhi sekresi katekolamin seperti dopamin dan
norepinefrin; (2) mempengaruhi serotonin; (3) bekerja dengan
mempengaruhi lebih dari satu neurotransmiter, yaitu meningkatkan sekresi
dopamine, norepinefrin, atau serotonin menuju celah sinap, atau bekerja
dengan mengahambat reuptake neurotransmiter menuju neuron, atau
kombinasi keduanya. Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obat
penurun berat badan yang telah disetujui FDA di Amerika Serikat untuk
penggunaan jangka panjang. Sibutramine bekerja dengan menghambat
reuptake norepinefrin dan serotonin. Dosis diberikan 5-15 mg per oral.
Sibutramine memiliki efek samping meningkatkan tekanan darah dan laju
nadi, sehingga sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan
riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif,
aritmia, stroke. Sedangkan orlistat tidak bekerja sebagai penekan nafsu
makan, melainkan menghambat sebanyak 30% dari absorpsi lemak, serta
mengahambat pancreatic lipase. Dosis pemberian orlistat 120 mg per oral
sebelum makan. Dengan pemberian orlistat dibutuhkan penggantian
vitamin larut lemak karena terjai malabsorpsi parsial. 26,27
e. Terapi Bedah
Terapi ini hanya dilakukan pada pasien obesitas berat secara klinis
dengan BMI  40 atau  35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus
dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan
farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang berat. Terdapat 2
metode operasi yang efektif, yaitu dengan menurunkan volume gaster
(banded gastroplasty), dan yang bekerja dengan mempengaruhi proses
pencernaan makanan (Roux-en-Y gastric bypass). Komplikasi operasi
meliputi bocornya anastomosis, subphrenic abscess, splenic injury,
pulmonary embolism, infeksi luka operasi, stoma stenosis, yang terjadi
kurang dari 10%.26,27

2.4 Osteomyelitis
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : IPS
No CM : 00739378
Umur : 68 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Jl. Pulau Misol Gang IV no. 9
Pendidikan Terakhir : S1
Pekerjaan : Pensiun
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Rawat Jalan : 7 Desember 2018
Tanggal Kunjungan : 11 Desember 2018

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama: Kesemutan pada kaki
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli diabetic centre mengeluhkan kesemutan pada
kaki. Kesemutan telah dirasakan selama sekitar 1 tahun terakhir. Kesemutan
dikatakan hilang timbul namun semakin sering muncul sejak beberapa
bulan terakhir. Kesemutan dikatakan terasa pada kedua kaki pasien dan
disertai rasa kebas. Pasien mengeluhkan kesemutan dirasakan paling sering
terjadi setelah pasien makan dalam porsi yang besar. Keluhan kesemutan
dikatakan membaik setelah pasien menyuntikkan insulin dan
mengkonsumsi obat anti hipertensi.
Pasien juga mengeluhkan sering merasa lemas dan mudah mengantuk
terutama saat pasien makan dalam porsi yang besar. Keluhan membaik
setelah pasien menyuntikkan insulin. Keluhan ini dikatakan telah
berlangsung sejak lama sehingga pasien cenderung tidak melakukan
aktivitas apapun. Selain itu, pasien mengatakan sering buang air kecil
terutama saat malam hari. Pasien mengatakan dalam 1 malam dapat
terbangun hingga 2 kali untuk buang air kecil. Keluhan sering buang air
kecil ini sudah berlangsung sejak lama. Awalnya pasien dapat terbangun
hingga 4-5 kali untuk buang air kecil namun semakin lama frekuensi buang
air kecil saat malam hari berkurang. Keluhan sering buang air kecil ini
terjadi bersamaan dengan keluhan sering merasa haus.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan:


Pasien terdiagnosis diabetes mellitus tipe 2 sejak 24 tahun yang lalu
dan terdiagnosis hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dengan tekanan darah
tertinggi dikatakan mencapai 170/80 mmHg. Sebelum terdiagnosis dengan
diabetes mellitus, pasien sering mengeluhkan sering buang air kecil saat
malam hari, sering merasa haus, dan peningkatan nafsu makan. Pasien tidak
ingat adanya penurunan berat badan. Pasien rutin kontrol ke fasilitas
kesehatan primer untuk pengecekan gula darah dan tensi. Pasien juga rutin
menyuntikkan insulin dan mengkonsumsi obat anti hipertensi. Insulin yang
digunakan pasien adalah lantus 18 unit dan apidra 8 unit. Obat anti
hipertensi yang dikonsumsi pasien adalah amlodipin 1x10 mg, valsartan
1x160 mg, dan bisoprolol 1x5 mg.
Pasien sempat MRS sebanyak 2 kali, MRS pertama 2 bulan yang
lalu dan MRS kedua pada tanggal 1 Desember 2018. Pasien MRS karena
ditemukan pingsan oleh keluarga pasien. Sebelum pingsan, pasien
mengatakan menyuntikkan insulin dengan dosis berlebih karena pasien
merasa telah mengkonsumsi makanan dalam porsi yang besar. Pasien tidak
merasakan ada gejala-gejala sebelum pingsan.
Selain itu, pasien juga terdiagnosis dengan schizophrenia sejak
tahun 1974. Pasien rutin minum obat clozapine dan gejala schizophrenia
nya dikatakan muncul kurang lebih setiap 2 bulan sekali.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien mengatakan ibu pasien menderita penyakit diabetes mellitus.
Kedua saudara kandung pasien juga menderita penyakit diabetes mellitus.
Penyakit jantung, ginjal, dan hipertensi pada keluarga disangkal pasien.

Riwayat Sosial-Ekonomi:
Pasien merupakan seorang pensiunan yang sehari-harinya hanya
melakukan aktivitas ringan di rumah, seperti membaca koran dan menonton
TV. Kegiatan sehari-hari pasien masih bisa dilakukan oleh pasien sendiri.
Pasien mengaku berolahraga dengan jalan keliling kompleks namun
olahraga tersebut tidak teratur. Pasien mengaku sering membeli bubur
kacang hijau dan makanan ringan lainnya diluar makanan pokok yang
disediakan di rumah pasien. Pasien mengatakan tidak pernah merokok
maupun mengkonsumsi alkohol.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Present (11-12-2018)
Kondisi Umum : Tampak baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu aksila : 36,3o C
VAS : 0/10
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 172 cm
IMT : 20,9 kg/m2

Status General (11-12-2018)


Kepala : Bentuk normal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflex pupil +/+
isokor, edema palpebra -/-
THT :
- Telinga : Daun telinga N/N, sekret tidak ada, pendengaran
normal
- Hidung : Sekret tidak ada
- Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
- Lidah : Ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
- Bibir : Basah, stomatitis (-), sianosis (-)
Leher : JVP PR ± 0 cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-),
thrill (-)
Perkusi : Batas kanan jantung : ICS 4 PSL dekstra
Batas kiri jantung : ICS 5 MCL sinistra
Batas atas jantung : setinggi ICS 2
sinistra
Batas bawah jantung: setinggi ICS 5
sinistra

Auskultasi : S1 tunggal, S2 tunggal, regular, murmur (-)


Pulmo : Inspeksi : Simetris statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus normal/normal
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi : Vesikuler + + Rh - - Wh - -

++ -- --
++ -- --
Abdomen :
- Inspeksi : distensi (-), scar (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, Nyeri
tekan (-), Ballotement (-/-)
- Perkusi : Shifting dullness (-), Undulasi (-), Nyeri
ketok CVA (-/-)
Ekstremitas :
Hangat + + Edema - -
+ + - -

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah Lengkap (01-12-2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan Keterangan
WBC 13.01 10µ/µL 4.1 - 11.0 Tinggi
NE% 74.29 % 47 - 80
LY% 15.99 % 13 - 40
MO% 7.31 % 2.0 - 11.0
EO% 1.42 % 0.0 - 5.0
BA% 0.99 % 0.0 - 2.0
NE# 9.67 10µ/µL 2.50 - 7.50 Tinggi
LY# 2.08 10µ/µL 1.00 - 4.00
MO# 0.95 10µ/µL 0.10 - 1.20
EO# 0.18 10µ/µL 0.00 - 0.50
BA# 0.13 10µ/µL 0.0 - 0.1 Tinggi
RBC 4.26 106/µL 4.5 - 5.9 Rendah
HGB 12.76 g/dL 13.5-17.5 Rendah
HCT 37.59 % 41.0 - 53.0 Rendah
MCV 88.22 fL 80.0 - 100.0
MCH 29.95 pg 26.0 - 34.0
MCHC 33.96 g/dL 31 - 36
RDW 11.77 % 11.6 - 14.8
PLT 324.9 10µ/µL 150 - 440
MPV 6.45 fL 6.80-10.0 Rendah
Pemeriksaan Gula Darah
Pemeriksaan 22-11-2018 29-11-2018
505 mg/dL 66 mg/dL
Glukosa Puasa
(Tinggi) (Rendah)
566 mg/dL 117 mg/dL
Glukosa 2 jam PP
(Tinggi) (Normal)

Profil Lipid (21-08-2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan Keterangan
Kolesterol Total 210 mg/dL 140-199 Tinggi
Kolesterol LDL 144 mg/dL <130 Tinggi
Kolesterol HDL 43 mg/dL 40-65
Trigliserida 148 mg/dL < 150

Pemeriksaan HbA1c
Tanggal Pemeriksaan Hasil Rujukan Keterangan
22-11-2018 13.1% 4.8-5.9 Tinggi
01-12-2018 12.2% 4.8-5.9 Tinggi

Pemeriksaan Kimia Klinik + Elektrolit (01-12-2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Keterangan
AST/SGOT 25.2 U/L 11.00-33.00
ALT/SGPT 10.9 U/L 11.00-50.00 Rendah
Albumin 4.00 g/dL 3.40-4.80
BUN 13.40 mg/dL 8.00 - 23.00
Kreatinin 1.31 mg/dL 0.70 - 1.20 Tinggi
Asam Urat 5.5 mg/dL 2.00-7.00
Kalium (K) –
3.51 mmol/L 3.50 - 5.10
Serum
Natrium (Na) –
138 mmol/L 136 - 145
Serum
Pemeriksaan Urin Lengkap (01-12-2018)
Pemeriksaan 26/09 Satuan Rujukan Remarks
pH 7.00 4.5 - 8.0
Leukosit Negatif leuco/uL Negatif
Nitrit Negatif mg/dL Negatif
Protein (2+) 100 mg/dL Negatif
Glukosa (1+) 100 mg/dL Negatif
Keton Negatif mg/dL Negatif
Darah (1+) ery/uL Negatif
Berat Jenis 1.000 1.003 – 1.035
Kekeruhan Jernih
Urobilinogen Normal mg/dL Normal
Bilirubin Negatif mg/dL Normal
Warna Colorless p.yellow-yellow
Leukosit 1
/LPB
Sedimen
Eritrosit 2
/LPB
Sedimen
Sel Epitel
Sedimen:
Gepeng 1 /LPB
Lain-lain Bakteri + /LPB

3.5 DIAGNOSIS
1. Diabetes Mellitus Tipe 2
2. CKD stage III ec susp DKD
 Hipertensi stage II

3.6 PENATALAKSANAAN
 Diet DM 2138 kkal/hari + protein 50 gram/hari, rendah garam
 Insulin Lantus 14 unit tiap 24 jam subkutan
 Insulin Apidra 6 unit tiap 8 jam subkutan
 Valsartan 160 mg tiap 24 jam IO
 Amlodipin 10 mg tiap 24 jam IO
 Bisoprolol 5 mg tiap 24 jam IO

3.7 MONITORING
 Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah TTGO
 Pemeriksaan kadar HbA1c
 Pemeriksaan rutin tekanan darah

3.8 KIE
 Memberikan pengetahuan kepada pasien dan keluarga tentang diabetes
mellitus tipe 2, tata cara minum obat, pemantauan glukosa darah mandiri,
pola makan, olahraga, tanda kegawatdaruratan, dan komplikasi yang
mungkin dialami pasien.
 Penjelasan dan disarankan untuk mengikuti terapi nutrisi yang telah
ditentukan oleh ahli gizi.
 Memberikan pengetahuan kepada pasien dan keluarga tentang hipertensi,
tata cara minum obat, dan komplikasi yang mungkin dialami pasien.
Status Lokalis

Gambar 1. Foto Klinis Regio Pedis Dekstra


Inspeksi : Luka terbuka berukuran 24 cm x 10 cm pada kruris dekstra, dasar
jaringan otot, tissue loss (+), jaringan nekrotik (-), pus (-), bleeding
(-)
Palpasi : Arteri dorsalis pedis (+)
• Pemeriksaan vaskuler
- Dorsalis pedis : Kesan menurun
- Tibialis posterior : Kesan menurun
- Popliteal : Teraba normal
- Femoralis : Teraba normal
• Pemeriksaan Neuropati
- Motoris : Claw toe (-), hammer toe (-), Charcot foot (-)
- Sensoris :Sensasi sentuh masih dirasakan, kesemutan (-), rasa nyeri
terbakar (+)
- Otonom : produksi keringat (-)
• Pemeriksaan kulit
- Kulit kering (+)
- Bengkak (+)
- Ulkus (+)
- Gangren (+)
- Infeksi jamur (-)
• Pemeriksaan alas kaki : Pasien tidak menggunakan alas kaki
BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN

4.1 Alur Kunjungan Lapangan


Praktek Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) dilaksanakan pada tanggal 8
September 2019 pukul 15.00 WITA bertempat di Perumahan Nuansa Kori, gang
HH nomor 29, Kuta Selatan, Badung. Saat melakukan kunjungan kami mendapat
sambutan yang hangat dari pasien dan keluarganya. Tujuan diadakannya kunjungan
ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien sehari-hari,
mengidentifikasi permasalahan terkait dengan penyakit pasien dan faktor resiko apa
saja yang terdapat pada pasien terkait dengan penyakit pasien. Kunjungan ini juga
bertujuan untuk memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi
penyakit yang dialami pasien.
Pasien terakhir kontrol ke RSUP Sanglah 3 hari sebelum kunjungan. Saat
kontrol terakhir dikatakan gula darah sewaktu pasien 171 mg/dL dan tekanan darah
pasien 110/70. Pasien mengatakan sehari-harinya rutin suntik insulin yang dibantu
oleh istrinya, namun beberapa kali pasien pernah lupa untuk suntik insulin. Pasien
saat ini juga rutin melakukan perawatan luka pada kaki bagian kanannya. Saat
dilakukan kunjungan pasien mengatakan tidak mempunyai keluhan yang cukup
berarti, hanya saja pasien masih sering merasakan kesemutan pada kaki kananya
dan juga disertai rasa kebas yang biasanya membaik dengan menginjeksikan insulin
dan diposisikan sedikit ke atas. Pasien mengatakan, jika pasien lupa untuk
menyuntikkan insulin maka badan pasien akan terasa sangat lemas dan mudah
mengantuk. Selain itu, pasien juga dalam keadaan obesitas yang memiliki pola
makan yang tidak teratur. Saat kunjungan juga pasien kami melihat faktor risiko
jatuh pasien yakni di depan kamar mandinya. Kejadiannya pada bulan April dan
pasien menunggu operasi sampai 3 bulan sesudahnya dan dikatakan sudah terjadi
infeksi sebelum operasi dilakukan.
Pada akhir kunjungan, kami berusaha untuk menjawab semua keluhan dan
permasalahan pasien selama kunjungan baik secara teoritis dan praktis
sepengetahuan kami sebelum melakukan kunjungan. Kepada pasien dan istrinya
kami memberikan edukasi mengenai pengobatan diabetes melitusnya serta
mencegah komplikasi dari penyakitnya yakni pada ginjalnya dan perawatan luka
pada kakinya dengan melakukan kontrol secara rutin ke dokter dan fisioterapi.

4.2 Identifikasi Masalah


Permasalahan terkait yang masih menjadi kendala bagi pasien dalam
menghadapi penyakitnya antara lain sebagai berikut :
1. Akses ke Pelayanan Kesehatan
Pasien dan keluarga memiliki akses yang mudah untuk dapat berobat ke
RSUP Sanglah, Denpasar, dan praktik dokter lainnya. Pasien tinggal bersama
istri, anak laki-laki dan menantu, serta 2 orang cucu di sebuah rumah
permanen 1 lantai. Rumah pasien terdiri dari 1 dapur, 1 kamar mandi, 1 ruang
tamu, 1 ruang keluarga dan 4 kamar tidur. Pasien saat ini rutin kontrol ke poli
bedah ortopedi untuk melihat kondisi kaki kanannya pasca operasi dan juga
diabetic center RSUP Sanglah untuk mengontrol keadaan gula darah diantar
oleh istri dan keponakannya. Rumah pasien juga relatif sedikit jauh dengan
RSUP Sanglah dan hanya berjarak ± 15,4 km.
2. Masalah Ekonomi
Pasien dikatakan sudah menggunakan BPJS KIS, dan dikatakan untuk biaya
kontrol tidak menjadi masalah. Namun, sebelumnya pasien mengalami
masalah dalam membayar biaya operasinya yakni masih berhutang sebesar 20
juta rupiah. Pasien saat ini tidak bekerja lagi semenjak sakit 6 bulan yang lalu.
Istri pasien juga dikatakan hanya bekerja sebagai penjual canang dan alat
upakara kecil-kecilan di rumahnya. Saat ini, pasien meminta bantuan dari
keluarganya untuk membayar hutang operasi yang tidak ditanggung oleh
BPJS. Dilihat dari kesehariannya, pasien sering mudah menghabiskan uang
karena sering digunakan untuk membeli makanan cepat saji, baik itu ayam
goreng, kentang goreng, minuman bersoda.
3. Beban Psikologis
Pasien merasa dirinya terbebani dengan penyakit Diabetes yang dideritanya
dikarenakan kondisinya ini juga terjadi pada kakak dan adiknya. Pasien juga
mengeluh akibat luka pada kakinya. Luka pada kakinya ini dirasakan lama
sekali sembuh dan pasien sudah jarang melakukan aktivitas di ruangan. Hal
tersebut membuat pasien merasa stress karena biasanya pasien menjadi supir
yang sering berada di jalan. Selain itu, pasien juga merasa terkurung di rumah
dan tidak dapat bersosialisasi dengan kerabat dan tetangganya. Kadang ada
beberapa kerabat dan tetangga yang menjenguk ke rumahnya.
4. Masalah dengan Penyakitnya
Penyakit pasien adalah penyakit kronis yang mengharuskan pasien untuk rutin
kontrol, mengecek gula darah, dan suntik insulin. Selain itu, pasien juga harus
mengonsumsi obat anti hipertensi dan Schizophrenia secara rutin. Secara
umum pasien memiliki semangat dalam menghadapi penyakitnya, walaupu
rasa kesemutan dan kebas di kedua kaki cukup membuat pasien kurang
nyaman saat berjalan. Pasien saat ini masih sering jajan di luar sembarangan
dan masih susah mengontrol pola makan rendah gula.
5. Pengaturan Nutrisi
Untuk faktor asupan nutrisi, sebelumnya pasien mengaku memang makan
nasi putih porsi besar 3 kali sehari dan sering minum minuman manis yang
dijual di supermarket. Selain itu, pasien juga masih sering jajan sembarangan,
seperti bubur, jajan bali ataupun manisan, sehingga susah untuk mengatur
pola makan rendah gula. Setelah dirawat di rumah sakit, pasien sudah
mengetahui bahwa salah satu penanganan Diabetes adalah dengan membatasi
konsumsi karbohidrat dan gula berlebih. Namun hingga sekarang, pasien
masih belum bisa mengatur pola makan yang rendah gula. Pengaturan
kebutuhan makanan pasien dilakukan oleh pasien, istri dan juga anaknya.
Pasien sehari-hari dirumah mengonsumsi makanan yang dimasak sendiri.
6. Aktivitas Fisik
Pasien saat ini sudah tidak bekerja. Sebelum sakit biasanya memulai
aktivitasnya jam 07.00 WITA. Sehari-hari pasien hanya diam di rumah.
Kadang pagi harinya pasien menghabiskan waktu dengan membaca koran di
rumah. Untuk aktifitas fisik, pasien biasanya menyesuaikan dengan keadaan
tubuhnya. Bila pasien merasa dalam kondisi yang baik, pasien dapat
melakukan olahraga jalan santai disekitar rumah hingga 3 putaran. Namun,
bila pasien merasa dalam kondisi kurang baik, pasien lebih memilih untuk
diam di dalam rumah. Kesehariannya dirumah, pasien menghabiskan waktu
dengan merawat dan bermain dengan cucu-cucunya hingga sore dan sisanya
pasien biasanya hanya duduk menonton tv dan tiduran. Terkadang pasien
mengikuti senam lansia bersama tetangganya di wantilan dekat rumah.
Namun kegiatan tersebut hanya dilakukan sesekali.
7. Kepatuhan berobat
Penyebab selama ini kadar gula darah pasien masih tetap tidak terkontrol
adalah pasien belum dapat mengatur pola makan dengan membatasi
konsumsi karbohidrat dan gula berlebih. Selain itu, pasien juga masih tidak
teratur dalam menyuntik insulin. Pasien pernah lupa untuk menyuntik insulin
siang dan merapelnya dimalam hari. Hal ini menyebabkan pasien mengalami
penurunan kesadaan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kejadian ini sudah
terjadi 2 kali. Menurut istri pasien, pasien susah diberitahu untuk mengatur
pola makan dan rutin menggunakan obat. Terlebih lagi bila penyakit
Schiziphrenia pasien kambuh. Untuk konsumsi obat anti hipertensi, pasien
mengatakan rutin dikonsumsi. Namun, untuk konsumsi obat Schizophrenia,
pasien mengatakan masih sering lupa untuk dikonsumsi.

Tabel 4.1 Daftar Permasalahan Pasien


No Daftar Permasalahan Pasien Tingkat Masalah
1. Akses ke Rumah Sakit ++
2. Masalah Ekonomi +++
3. Masalah Psikologis ++
4. Masalah dengan Penyakitnya ++
5. Pengaturan Nutrisi ++
6. Aktivitas Fisik +++
7. Kepatuhan berobat +

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien


1. Kebutuhan Fisik-Biomedis
a. Kecukupan Gizi
Pengaturan kebutuhan makanan pasien dilakukan oleh pasien, istri dan
anaknya. Diet yang diberikan kepada pasien adalah :
o Total Kebutuhan Kalori pada Pasien
Berdasarkan PERKENI komposisi seimbang pada pasien dengan
diabetes berupa karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-
25%. Penghitungan kebutuhan kalori pada pasien dengan
memperhatikan status gizi pasien adalah :
 Berat badan ideal : = 90% x (TB cm- 100) x 1kg = 64,8 kg
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :
 Status gizi = (BB aktual : BB ideal) x 100%
= (62 kg : 64.8 kg) x 100% = 95,67% (ideal)
 Jumlah kebutuhan kalori per hari
 Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori
= 64,8 kg x 30 = 1944 kalori
 Kebutuhan aktivitas = +20% x Kebutuhan kalori basal
=20% x 1944 = +388,8 kalori
 Kebutuhan usia = -5% x Kebutuhan kalori basal
= -5% x 1944 = -97,2 kalori
 Kebutuhan berat badan = -30% x Kebutuhan kalori basal
= -30% x 1944 = - 583,2 kalori
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1944 + 388,8 - 97,2 – 583,2 =
1652,4 kalori  dibulatkan menjadi 1652 kalori.
Distribusi makanan:
1. Karbohidrat 60% = 60% x 1652 kalori = 991,2 kalori dari karbohidrat.
Karbohidrat dibutuhkan sebesar 991,2 kalori setara dengan 247,8
gram karbohidrat (991,2 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).
2. Protein 20% = 20% x 1652 kalori = 330,4 kalori dari protein. Protein
dibutuhkan sebesar 330,4 kalori setara dengan 82,6 gram protein
(330,4 kalori : 4 kalori/gram protein).
3. Lemak 20% = 20% x 1652 kalori = 330,4 kalori dari lemak. Lemak
dibutuhkan sebesar 330,4 kalori setara dengan 36,71 gram lemak
(330,4 kalori : 9 kalori/gram lemak).
Nutrisi harian pasien yang disarankan mengingat pasien adalah seorang
penderita diabetes mellitus tipe II dengan kebutuhan kalori sejumlah 1652
kalori adalah pada tabel 4.2 sebagai berikut.
Tabel 4.2. Asupan Nutrisi Harian Pasien.
Waktu Jumlah Jenis
Makan Pagi ± 20% dari - Nasi jagung (80 gr)
total asupan - Sayur sup (100gr)
harian - Dada ayam rebus (50gr)
(330,4 kalori)
Selingan Pagi ± 10% dari - Susu (150 ml)
total asupan - Buah papaya (1 potong)
harian
(165,2 kalori)
Makan Siang ± 30% dari - Nasi beras merah (120 gr)
total asupan - Dada ayam rebus (100 gr)
harian - Sayur terong (100 gr)
(495,6 kalori) - Tempe (60 gr)
Selingan Siang ± 15% dari - Pepaya / buah (100 gr)
total asupan - Kue (100 gr)
harian
(247,8 kalori)
Makan malam ± 25% dari - Nasi jagung (100 gr)
total asupan - Tahu (40 gr)
harian - Sayur tauge (50 gr)
(413 kalori)

b. Kegiatan Fisik
Kegiatan fisik pada pasien diharapkan untuk mengurangi kegiatan
sedenten (atau imobilisasi), seperti terlalu banyak duduk atau menonton
televisi. Aktivitas fisik ringan pada pasien dapat diusakan untuk dilakukan
dengan olahraga aerobik ringan dengan berjalan – jalan selama 30 menit
dalam 3 – 4 kali/minggu.
c. Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan
Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan pada pasien sudah cukup baik,
dari segi akomodasi dan keterjangkauan. Rumah pasien berada 1,4 km dari
RSUP Sanglah, yang dapat ditempuh selama 6 menit dengan menggunakan
motor. Akses ke poli Diabetic Center RSUP Sanglah juga mudah karena
pasien merupakan pensiunan pegawai di RSUP Sanglah sehingga sudah
mengenal pegawai-pegawai lain di rumah sakit.

d. Lingkungan
Pasien berasal dari Singaraja. Saat ini pasien tinggal bersama istri, anak
laki-laki dan menantu, serta 2 orang cucu di sebuah rumah permanen 1 lantai.
Rumah pasien terdiri dari 1 dapur, 1 kamar mandi, 1 ruang tamu, 1 ruang
keluarga dan 4 kamar tidur.. Tempat tinggal pasien terletak di sebuah jalan
kecil. Secara keseluruhan tempat tinggal pasien terlihat lumayan rapi.
Ventilasi udara tempat tinggal pasien baik, penerangan rumah pasien juga
baik. Pasien menggunakan air PAM untuk mandi, mencuci baju, air minum,
dan keperluan memasak.

2. Kebutuhan Biopsikososiokultural dan Spiritual


a. Lingkungan Biologis
Keluhan pasien didasarkan karena adanya penyakit utama diabetes
mellitus tipe 2, hipertensi dan schizophrenia. Kondisi biologis yang ingin
dicapai pada pasien adalah mencegah progresifitas penyakit pasien saat ini
dengan pengobatan yang rutin.

b. Faktor Psikologis
Dalam keadaan sakit dan selama menjalani perawatan pasien
membutuhkan dukungan dari keluarga. Istri, anak, menantu cucu pasien
sangat memperhatikan kondisi kesehatan pasien. Cucu pasien selalu
menemani pasien dalam keseharian pasien. Istri pasien, anak pasien dan
menantu pasien selalu berganti-ganti untuk mengantar pasien untuk kontrol
maupun berobat. Pasien cukup mengerti dengan keadaan penyait yang
dideritanya, baik dalam aturan diet, konsumsi obat dan kebutuhan olahraga.

c. Faktor Sosial dan Kultural


Saat kunjungan, kami sempat bertanya dimana rumah pasien dengan
beberapa tetangganya, dan tetangga pasien mengetahui penyakit yang
dialami pasien. Saat ini dapat dikatakan tidak terdapat masalah dalam
lingkungan tempat tinggal pasien dan tidak terdapat pengaruh yang
merugikan terhadap penyakit pasien.

d. Faktor Spiritual
Istri pasien mengatakan pasien rutin bersembahyang. Saat ada kegiatan
keagamaan, pasien beberapa kali pulang ke Singaraja bersama anaknya.
Namun dalam waktu dekat belakangan ini, pasien mulai jarang ke Singaraja
dan anak-anak pasien yang mengunjungi pasien di Denpasar dan
bersembahyang bersama.

4.4 Penyelesaian Masalah


Terkait dengan beberapa permasalahan pasien yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka kami mengusulkan penyelesaian untuk masalah pasien yang
disesuaikan berdasarkan analisis kebutuahan biopsikospiritual pasien yaitu:
1. Umum: Edukasi pasien dan keluarga secara lebih lengkap mengenai penyakit
yang dialami pasien yaitu penyakit diabetes mellitus tipe II, CKD stage II,
osteomyelitis dan obesitas serta penatalaksanaan yang dilakukan terkait
penyakit yang dialami pasien.
2. Asupan makanan: asupan makanan pada pasien dipertahankan sesuai dengan
anjuran dokter, terutama mengingat keadaan pasien yang masih belum dapat
mengatur pola makan dengan baik. Pasien dengan obesitas dan juga
diperlukan diet yang pas untuk menurunkan berat badan pada pasien hingga
mencapai berat badan idealnya. Perlu pemrograman diet yang sesuai agar
mendapat target berat badan ideal dalam waktu 1 tahun ini.
3. Aktivitas fisik: menyarankan pasien perlu aktivitas olahraga ringan, apalagi
semenjak sakit pasien sudah tidak beraktivitas sama sekali. Cara yang dapat
diterapkan adalah dengan memulai melakukan olah raga rutin dengan ringan
seperti jalan – jalan dengan frekuensi dan durasi yang ditingkatkan dari 3-4
kali selama 30 menit sekali olahraga. Jalan – jalan dapat dilakukan di sekitar
lingkungan rumah pasien
4. Kepatuhan dalam berobat: karena masalah pasien sebelumnya adalah masih
kurang teratur dalam menyuntik insulin, walaupun telah diberitahu oleh
istrinya, maka kami lebih berfokus untuk mengedukasi dampak samping
tidak menginjeksikan insulin pada pasien dan memberikan sedikit tambahan
pengalaman mengenai kejadian yang pernah terjadi saat pasien tidak teratur
dalam menginjeksikan insulin.
5. Kebutuhan Biopsikososiokultural dan Spiritual :
 Biologis :
Pasien diingatkan untuk melakukan perawatan luka secara rutin dan
beristirahat secukupnya. Selain itu, pasien diingatkan untuk rutin
menyuntikkan insulin sesuai anjuran dokter. Kontrol perlu dilakukan bukan
hanya pada saat keluhan sudah memberat namun juga disaat pasien tidak
ada keluhan, dengan tujuan adalah untuk mengevaluasi kondisi pasien dan
sejauh pengaruh terapi terhadap kondisi pasien. Terutama untuk
menyesuaikan dosis dengan kadar gula darah pasien, serta HbA1c.
 Psikologis :
Keluarga pasien diharapkan dapat selalu membantu dan menyemangati
keadaan pasien dan tidak lelah untuk mengingatkan pasien dalam merawat
luka pasca operasi, mengatur pola makan. Selain itu, mengingatkan pasien
dan istri pasien untuk teratur menyuntikkan insulin, serta rajin berolahraga
ringan sehingga dapat meningkatkan keadaan psikologis dan kondisi fisik
pasien.
 Spiritual :
Keluarga pasien diharapkan untuk mengingatkan dan mengajak pasien
bersama –sama untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan begitu dapat menjauhkan pasien dari pikiran – pikiran negatif
tentang penyakit dan tetap bersemangat menjalani kehidupan kedepannya.
4.5 Denah Rumah

U Toilet
Dapur
Kamar tidur
Toilet

Ruang keluarga
Kamar tidur

Kamar tidur
Ruang tamu
Kamar tidur
Parkir

Merajan

Gambar 4.2 Denah Rumah Pasien.


4.6 Foto Kunjungan

Gambar 4.3 Foto bersama pasien.

Gambar 4.4 Foto kamar mandi dan dapur pasien.


Gambar 4.5 Foto kamar pasien.

Gambar 4.6 Foto pekarangan rumah pasien.


BAB V
SIMPULAN

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Sekitar 90-95% insiden diabetes merupakan
diabetes melitus tipe 2. Manifestasi klinis DM tipe 2 bisa berupa keluhan klasik dan
keluhan lainnya. Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah
vena. Terapi untuk pasien DM tipe 2 dapat berupa obat oral maupun obat suntik.
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Awalnya
CKD biasanya asimtomatik, namun tanda gejala CKD dapat melibatkan berbagai
macam sistem organ dan biasanya disebabkan oleh komplikasi dari neprofati
diabetik. Dapat pula berupa sekumpulan gejala yang disebut sindrom uremia. Jika
sudah terjadi komplikasi, gejala komplikasi yang dapat muncul ialah hipertensi,
anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit. Osteomyelitis adalah infeksi pada tulang yang
diakibatkan oleh bakteri. Kejadian osteomyelitis dapat disebabkan oleh penyakit
kronik dan trauma. Salah satunya adalah komplikasi dari penyakit diabetes yakni
kaki diabetik. Tatalaksana osteomyelitis adalah pemberian terapi antibiotic yang
komprehensif dan tindakan operatif. Obesitas adalah penumpukan lemak yang
berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan. Berbagai faktor
mempengaruhi terjadinya obesitas yaitu terutama pada pola hidup yang tidak sehat
seperti makan makanan berlemak dan tidak melakukan aktivitas fisik secara rutin.
Tatalaksana dari obesitas dalah melakukan diet seimbang dan menjalani aktivitas
fisik secara teratur.
Pada kasus diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang. Pasien datang untuk melakukan operasi kaki kanan
dan untuk kontrol kadar gula darah. Dari anamnesis dan pemeriksaan penunjang
didapatkan bahwa pasien diketahui menderita DM sejak 6 bulan lalu yang lalu dan
juga mengalami luka pada kaki. Pasien didiagnosis dengan DM tipe 2, CKD stage
II ec susp Nefropati diabetik, Osteomyelitis dan Obesitas. Pasien diberikan
tatalaksana operasi kaki kanan dan juga obat untuk mengontrol gula darahnya.
Setelah dilakukan kunjungan lapangan, didapatkan masalah ekonomi,
psikologis, dan aktivitas fisik pada pasien. Masalah ekonomi yang dihadapi saat ini
adalah membayar biaya operasi kaki kanannya yang belum lunas, dengan kondisi
penyakitnya yang kadang masih dirasakan saat ini adalah terasa kesemutan
terutama pada kaki bagian kanan, pasien juga tidak teratur berolahraga sebelumnya
dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas fisik.
Pengusulan penyelesaian untuk masalah pasien, yaitu pemberian dukungan dan
pengertian bagi pasien, menyelesaikan masalah keuangan dengan meminta bantuan
kepada keluarga dan pihak swasta. Kami menyarankan pasien dan keluarga untuk
merawat luka pada kaki kanan dengan baik, menyarankan melakukan olahraga
ringan secara rutin dan teratur, mengonsumsi makanan untuk menurunkan berat
badan serta mengedukasi dampak samping tidak menginjeksikan insulin pada
pasien dan memberikan sedikit tambahan pengalaman mengenai kejadian yang
terjadi saat pasien tidak teratur dalam menginjeksikan insulin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. Jakarta: PB Perkeni. 2015.
2. ADA. Standards of Medical Care in Diabetes 2017. American Diabetes
Association. 2017; vol.40(Supplement 1).
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
4. Kemenkes RI. Infodatin Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI. 2014.
5. Cheng D. Prevalence, predisposition and prevention of type II diabetes. Nutr
Metab (Lond). 2005; 2:29.
6. ADA. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care.
2014;37(Supplement 1): S81-S90.
7. Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Global estimates of the prevalence of
diabetes for 2010 and 2030. Diabetic Reserach and clincal practice. 2010;87:4-
14.
8. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas. 2015.
9. Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba, CB. The pathogenesis
and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. J. Physiol.
Pathophysiol. 2013;4(4):46-57.
10. Jameson JL. Harrison's Endocrinology 3rd Edition. McGrawHill. 2013.
11. Mayo Clinic. Type 2 Diabetes. 2016. Tersedia dalam:
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/type-2-diabetes/symptoms-
causes/dxc-20169861 (diakses 1 September 2019).
12. Perkeni. Konsensus Penggunaan Insulin. Jakarta : PB Perkeni. 2015.
13. Canada Diabetes Association. Insulin Prescription. 2014.
14. Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 6th ed. Jakarta: Internal
Publishing; 2014. p. 2192.
15. Pernefri. 5 th report of Indonesian renal registry 2012;12–3.
16. WHO. Preventing chronic diseases. WHO global report. a vital investment.
2005.
17. Gallieni M, Butti A, Guazzi M, Galassi A, Cozzolino M, Brancaccio D.
Impaired brachial artery endothelial flow-mediated dilation and orthostatic
stress in hemodialysis patients. Int J Artif Organs. 2008
18. Eknoyan, Garabed NL. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the
evaluation and management of chronic kidney disease. Off J Onal Soc Kidney
Dis.2013;3(1):4–4.
19. Moreira M RBG. Assessment of health-related quality of life: The cinderella
of peritoneal dialysis? Int J Nephrol (IJON). 2011.
20. World Health Organization. Obesity and Overweight. 2018. [Diakses pada
tanggal 1 September 2019] Available from: http://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/obesity-and-overweight
21. Obesity : Preventing and Managing The Global Epidemic: Technical Report
Series. World Health Organization. 2015 [Diakses pada tanggal 1 September
2019] Available from: http://www.who.int/topics/obesity/en/
22. The State of Obesity. Adult Obesity in the United States. 2018. [Diakses pada
tanggal 1 September 2019] Available from: https://stateofobesity.org/adult-
obesity/
23. Mayo clinic. Obesity. 2015. [diakses pada tanggal 1 September 2019].
Available from: https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/obesity/symptoms-causes/syc-20375742.
24. Soetiarto F, Roselinda dan Suhardi. Hubungan Diabetes Melitus dengan
Obesitas Berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang Data
Riskesdas 2007. 2010:28(1): hal 36-41.
25. Pusparini. Obesitas sentral, sindroma metabolik dan diabetes melitus tipe dua.
Universa Medicina. 2007; 26(4):195-204
26. Sugondo, S. Obesitas dalam Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta : 2014; hal.
2566-2568.
27. National Institute of Health North American Association for the Study of
Obesity. The Practical Guide Identification, Evaluation, and Treatment of
Overweight and Obesity in Adults. 2000; 27-38.

Anda mungkin juga menyukai