Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH SEJARAH HURUF

X DKV 3

Disusun oleh:
Rizqy Putra Pratama
Rosyid S.
Sejarah huruf

Sejarah
Bangsa Sumeria
Georg Scheder, menyampaikan bahwa sejarah huruf pertama kali muncul sekitar 3000 tahun
yang lalu. Pada waktu itu, Bangsa Sumeria yang berada di daerah antara sungai
Efratdan Tigris (sekarang Irak), adalah bangsa yang pertama kali menciptakan dan
menggunakan huruf-huruf paku yang merupakan cikal bakal dari lahirnya huruf pertama kali yang
dikembangkan di dunia. Akan tetapi, ketika Bangsa Sumeria ditaklukkan oleh bangsa lain,
mereka yang telah menaklukkan Sumeria berbaur dengan orang-orang Sumeria, dan kemudian
mengambil alih tulisan orang Sumeria. Pada akhirnya, orang-orang Babilonia, Persia, dan
bangsa-bangsa yang lain mengembangkan huruf-huruf paku tadi, sehingga huruf-huruf yang
mereka kembangkan bertahan dan dipakai sampai awal masa perhitungan tahun dunia barat.
Sejarah mengenai huruf sampai saat ini masih berkiblat kepada bangsa Sumeria. Jean Key
Gates, menggambarkan betapa bangsa Sumeria merupakan penyumbang terbesar untuk
kebudayaan manusia, dan menurutnya merupakan sistem tertua yang diketahui. Semisal
kata Cunciform, yaitu sebuah tulisan yang berbentuk Bajil, yang menggambarkan bentuk
penulisannya adalah dari Cuneus (kata latin untuk Bajil).[2]

Mesir Kuno
Sekitar 4000 SM teks tertulis sudah ada di Mesir, teks tertulis tersebut terdapa di Perpustakaan
tertua di Mesir.[3] Pada sekitar 5000 tahun yang lalu, di kawasan sungai Nil (Mesir) berkembang
huruf hiroglif. Pada awalnya, huruf hiroglif merupakan tulisan murni yang tuliskan pada batu pada
tahun itu. Dalam keterangan yang lain, sejarah huruf bermula di daerah Mesir Purba, yaitu sekitar
tahun 2700 SM. Pada waktu itu, orang-orang Mesir Purba membuat huruf hiroglif sebanyak 22,
hal ini dilakukan oleh mereka dengan tujuan untuk mempersembahkan konsonan individu dari
bahasa yang mereka gunakan.[1]
Di samping huruf paku dan hiroglif, seluruh bangsa telah banyak mengembangkan huruf-huruf
dalam kebudayaan mereka, seperti halnya Tiongkok / China dan India. Huruf Tionghoa mulai
dikembangkan sejak abad ke-14 SM., di mana pada huruf-huruf yang mereka kembangkan,
setiap tanda (huruf) mempunyai arti sebuah kata. Sedangkan di India, dengan huruf yang dikenal
dengan Sanskrit juga berkembang sekitar abad ke-14, tidak jauh beda dengan Tiongkok. Adapun
huruf yang sampai pada kita saat ini, yang biasa dikenal dengan huruf alfabet(alphabet),
sejarahnya berawal kira-kira 2.500 tahun yang lalu. Huruf-huruf alfabet Inggris dikembangkan
atas dasar alfabet Romawi.[1][4]
Huruf yang sampai pada kita saat ini, yang biasa dikenal dengan huruf Alfabet (Alphabet),
sejarahnya berawal kira-kira 2.500 tahun yang lalu. Huruf-huruf alfabet Inggris dikembangkan
atas dasar alfabet Romawi. Dalam referensi yang lain, huruf Alfabet (Alphabet) sebenarnya
berasal dari bahasa Semit, dan secara etimologinya huruf "Alphabet" terdiri atas dua kata, yaitu,
aleph (lembu jantan) dan beth (rumah). Sedang bangsa semit, merupakan bangsa yang pertama
kali menggunakan huruf Alfabet (Alphabet) tadi, Wilayah perkembangan huruf Alfabet (Alphabet)
dalam satu keterangan, berkembang ke Jazirah Arab Utara, Asia Kecil dan Eropa, Jazirah Arab
Selatan, dan kemudian sampai pada kita saat ini, sebagi media informasi antar manusia. Namun,
tidak bisa dimungkiri peradaban manusia tidak bisa lepas dari sejarah huruf yang merupakan
media informasi antar manusia.
Yunani Kuno/Huruf Yunani
Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
< Yunani Kuno

Orang Yunani tidak menciptakan alfabet, meskipun kata "alfabet" sendiri diambil dari dua huruf
pertama pada aksara Yunani - "alpha" dan "beta".
Alfabet kemungkinan diciptakan antara abad ke-17 dan ke-15 SM, oleh bangsa Fenisia. Secara
lingustik, bahasa Fenisia termasuk dalam bahasa Semit, yang digunakan oleh orang-orang yang
tinggal di Fenika (Lebanon modern). Pendapat ini bertentangan dengan usulan bahwa bahasa
Yunani berkerabat dengan bahasa India-Eropa.
Yang diciptakan oleh orang Yunani adalah kumpulan karakter huruf khas mereka, selain itu orang
Yunani juga menambahkan huruf vokal pada alfabet, yang sebelumnya hanya berisi konsonan.
Seperti kita ketahui, bahasa Fenisia dan bahasa Semit tak memiliki huruf vokal. Alfabet Yunani
diciptakan antara abad ke-8 dan 7 SM, setelah invasi bangsa Doria, dan kedatangan bangsa Hellen
(contohnya orang-orang Yunani, seperti misalnya bangsa Doria, Aiolia, dan Ionia).
Menurut sejarawan abad pertama SM, Diodorus Sikolos, adalah Kadmos yang memperkenalkan
alfabet Fenisia pada orang Yunani, dan kemudian menciptakan versi Yunani dari situ. Ini berarti
bahwa Alfabet Yunani buatan Kadmos jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Karena jika
Kadmos memang benar-beanr nyata dan pernah hidup, maka dia hidup pada Zaman Perunggu,
sekitar setidaknya enam generasi sebelum perang Argos-Thebes.
Ada suatu masa di Republik Romawi ketika bahasa Yunani digunakan oleh orang-orang elit dan
cendekaiwan Romawi melebihi bahasa mereka sendiri, bahasa Latin. Alfabet Latin pada gilirannya
berhasil tersebar luas dan bahkan lebih berpengaruh daripada alfabet Yunani. Beberapa bahasa
yang dipengaruhi alfabet Latin adalah bahasa Jerman dan bahasa Inggris.
Meskipun alfabet Yunani relatif tak berubah sejak pertama kali diciptakan, namun selama berabad-
abad bahasa Yunani sendiri telah mengalami banyak perubahan secara regional dan rasial
sehingga tercipta berbagai dialek Yunani yang berbeda-beda.

Huruf Huruf Nu N ν n
Alfabet Transliterasi
besar kecil Xi Ξ ξ x
Alpha Α α a Omikron O ο o
Beta Β β b Pi Π π p
Gamma Γ γ g
Rho P ρ r
Delta Δ δ d
Sigma Σ σ s
Epsilon Ε ε e Sigma (di
- ς -
Zeta Ζ ζ z akhir)
Eta Η η h Tau T τ t
Theta Θ θ th Upsilon Y υ u, i
Theta Upsilon
- ϑ - - ϒ -
(simbol) (simbol)
Iota I ι i Phi Φ φ ph
Kapa K κ k Chi X χ kh, ch
Lambda Λ λ l Psi Ψ ψ ps
Mu M μ m Omega Ω ω w
Rupa huruf berkait

Dalam tipografi (ilmu tentang tulisan/huruf), huruf berkait atau biasa disebut dengan serif adalah
jenis huruf yang memiliki kait pada bagian ujung strokes (goresan). Dalam beberapa
referensi tipografi, rupa huruf serif juga sering disebut rupa huruf Roman, mengacu pada sejarah
awalnya yang digunakan oleh bangsa Romawi.
Huruf Serif awalnya sering digunakan pada sistem cetak-mencetak tradisional, dan berkembang
setelah ditemukannya mesin cetakoleh Johannes Gutenberg. Menurut beberapa penelitian, rupa
huruf serif lebih sering digunakan untuk huruf cetak mencetak, karena unsur kontinuitas yang
dihasilkan dari kait di bagian goresannya. Namun untuk penggunaan digital dan tampilan di layar
komputer dengan resolusi rendah, memiliki efek sebaliknya. Serif di bagian goresan huruf ini sering
tampak hilang ataupun terlalu besar, sehingga menggangu tingkat legibility dan keterbacaan.

Klasifikasi huruf berkait


 Old Style; Contoh: Adobe Jenson, Arno, Berkeley Old Style, Centaur, Cloister, Fairfield, Legacy,
dan Trinité
 Transitional; Contoh: Times New Roman, Baskerville, Bookman, Century, Georgia dan Plantin
 Modern; Contoh: Bodoni dan Didot
 Slab Serif; Contoh: Clarendon, Rockwell dan Courier

Kelompok huruf berkait


 Trajan  Palatino
 Garamond  Sabon
 Jenson  Clarendon
 Times New Roman  Courier
 Trinité  Bodoni
 Bembo  Didot
 Caslon
 Baskerville
Aksara Nusantara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Aksara Nusantara merupakan beragam aksara atau tulisan yang digunakan


di Nusantara untuk secara khusus menuliskan bahasa daerah tertentu. Walaupun Abjad
Arab dan Alfabet Latinjuga seringkali digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, istilah Aksara
Nusantara seringkali dikaitkan dengan aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India sebelum
berkembangnya Agama Islam di Nusantara dan sebelum kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa di
Nusantara.
Berbagai macam media tulis dan alat tulis digunakan untuk menuliskan Aksara Nusantara.
Media tulis untuk prasasti antara lain meliputi batu, kayu, tanduk hewan, lempengan emas,
lempengan perak, tempengan tembaga, dan lempengan perunggu; tulisan dibuat dengan alat
tulis berupa pahat. Media tulis untuk naskah antara lain meliputi daun lontar, daun nipah,
janur kelapa, bilah bambu, kulit kayu, kertas lokal, kertas impor, dan kain; tulisan dibuat dengan
alat tulis berupa pisau atau pena dan tinta.

Pengantar
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu
untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara
waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur.
Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta.
Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan
bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4.
Setidaknya sejak abad IV itulah Bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus
berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak
bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno) juga dituangkan dalam
bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskrta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-
satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad XV Aksara Nusantara berkembang pesat
dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga
kemudian peranannya mulai tergeser oleh Abjad Arab dan Alfabet Latin.
Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, pada masa kini Aksara
Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa
pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat
peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang
inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya Aksara Sunda Baku pada tahun 1996.
Hampir semua aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal
dari daerah India Selatan. Aksara Jawi, Akara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang merupakan
turunan Abjad Arab; sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India Utara. Baik Aksara
Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara Brahmi yang merupakan induk
semua aksara di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Istilah Aksara Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang
digunakan dan berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah
di Filipina merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi
Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó'o, dan Aksara
Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina.
Beberapa aksara daerah dinamai menurut susunan huruf-hurufnya atau menurut
nama abecedarium aksara tersebut. Demikianlah maka Aksara Jawa Baru dan Aksara Bali
disebut Aksara Hanacaraka; sedangkan Aksara Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan
Aksara

Sejarah
Ada pendapat sebelum hadir abjad Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan
di kawasan Asia Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Tiongkok
Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India. Begitu pun halnya yang terjadi
di Nusantara. Para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada
bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya unsur (Hindu-Buddha)
dari India yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk
setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya
dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah
satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis:1975).
Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu
waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Perancis bernama Louis Charles Damais (l951–
55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan dari
mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus
kebudayaan India ke Nusantarakecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja,
tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak dimungkiri bahwa aksara-aksara di
Nusantara memang metampakkan aliran India Selatan atau aliran India Utara, namun juga cukup
rumit dan sulit ditentukan dari mana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India,
tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara
khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-
aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu.
Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena peran
cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik
internasional, tetapi tidak berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara
sebagai alat melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk
aksara yang berperan pada periode itu pun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil daya cipta
cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif unsur-unsur asing dari berbagai aliran
yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi
wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai
kondisi siap mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat
Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan
dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).
Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya)
disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha. Jenis aksara yang semula
dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang
dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai
istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978). Jenis aksara inilah yang kemudian
berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks
keagamaan pada media tablet, meterai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar
atau terakota) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan
tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara
tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk
aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang
ditemukan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi. Di
Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan
bahasa Sanskerta.
Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India
Selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), juga memiliki kecenderungan tidak
menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan
kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah
prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.
Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-
Grantha dan bahasa Sanskerta dengan gaya khas inovasinya. Prasasti-prasasti
masa Tarumanagaradipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara
Cianten (Kampung-muara), di tepi sungai Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat,
disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskerta; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-
umbian dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu
sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau aksara sangkha.
Sejauh mana kebenarannya, yang jelas pilin—pilin gandha ataupun sulur-suluran—merupakan
citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara, sebelum dikenal
aksara (Djafar 1978).
Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai karya asli pribumi khususnya
berkembang di beberapa daerah di Sulawesi. Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan
sebagai hasil daya cipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan
lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai
kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudian menjadi rumit sebab setiap individu atau
kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk
mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung
budaya.
Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada
periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya kemiripan berlangsung hingga abad ke-
8 Masehi. Meskipun dalam beberapa hal masih memperlihatkan pengaruh Pallawa seperti gaya
aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara Pasca-Pallawa, namun hampir di
setiap wilayah Asia Tenggara Daratan dan kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-
kurangnya abad ke-8 Masehi telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi
memiliki corak-corak khusus (tersendiri).
Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis
di Sumatra dan Jawa mempergunakan jenis bahasa pengantar yang dikenal berkembang pada
masing-masing daerah pendukung budaya (a.l. Malayu Kuno, Jawa Kuno, Sunda Kuno dan Bali
Kuno).
Pada sejumlah naskah sumber tertulis dari masa lebih tua yang umumnya menggunakan
bahasa Sanskrta, kesulitan itu tidaklah terasa benar karena tidak mengenal tanda-tanda bunyi
seperti itu sehingga dirasa tidak perlu mencantum-kannya, kecuali tanda-tanda diakritis.
Mengatasi kesulitan itu sedapat-dapatnya tidak menuliskan pepat pada akhir suku kata pertama
pada pokok kata, melainkan konsonan permulaan sukukata itu dirangkap dengan konsonan
permulaan dari sukukata kedua seperti dmakan, wdihan, si kbo, lmah, wdus, wkas, kdung pluk
dan seterusnya. Meskipun diakui sang citraleka (penulis prasasti) tidaklah selalu konsekuen
pada suku kata yang sulit atau tidak mungkin dirangkap, maka tanda [ĕ] (pepat) di sini diganti
menjadi bunyi [a] seperti suket–sukat; mangagem–mangagam; mapeken mapekan dan
seterusnya (Boechari:1958).
Media dan alat penulisan
Perbedaan media tulis dan alat tulis mempengaruhi teknik yang digunakan untuk menulis
dengan efektif. Perbedaan teknik penulisan yang efektif untuk tiap jenis media tulis dan alat tulis
merupakan faktor besar yang menghasilkan keanekaragaman bentuk huruf aksara daerah.
Aksara Sunda Kuno memiliki bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut paling
mudah untuk dituliskan di daun lontar, sedangkan Aksara Bali memiliki bentuk huruf membundar
karena bentuk huruf menyudut akan memecah lembaran daun lontar mengikuti arah seratnya.
Aksara Kerinci memiliki bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut lebih mudah
untuk dituliskan di bilah bambu, sedangkan Aksara Jawa Baru memiliki bentuk huruf membundar
karena bentuk huruf membundar lebih mudah untuk dituliskan di lembaran kertas.
Pada masa lampau aksara diwujudkan atau digambarkan dengan cara digores atau dipahat
pada berbagai media keras seperti batu, logam (emas, perunggu, tembaga), kayu, juga bahan-
bahan lunak seperti daun tal (ron-tal), atau nipah. Alat menggores atau memahat aksara pun
disesuaikan dengan kadar kekerasan bahan yang dipergunakannya yakni semacam tatah kecil
(paku/pasak) menyudut tajam pada bagian ujungnya, atau semacam pisau kecil dibentuk
melengkung, pipih, sangat tajam. Selain berfungsi untuk menorehkan aksara, juga untuk mengiris
dan menghaluskan bahan (daun) menjadi lempiran-lempiran tipis dengan ukuran panjang, lebar
dan ketebalan tertentu yang siap pakai. Bahan-bahan keras seperti batu atau jenis logam tertentu
(emas, tembaga, perunggu) dipakai semata karena bahan tersebut dianggap lebih tahan lama.
Sejumlah besar data tekstual (prasasti) dari masa lampau sebagian besar ditemukan pada
batu atau lempeng emas, perunggu maupun tembaga dan selalu dikeluarkan oleh penguasa
(raja). Oleh karena itu setiap prasasti adalah dokumen resmi pemerintah negara atau kerajaan
dan benar-benar disahkan oleh raja dengan kata lain Surat Keputusan (SK) kerajaan yang
bersangkutan. Anugrah dari raja kepada seseorang yang dianggap berjasa atau memutuskan
sesuatu perkara hukum (perdata). Karena itu selain digoreskan pada batu (otentik), dibuat
beberapa salinan atau tembusan (tinulad/tiruan otentik) prasasti yang digoreskan pada lempeng
tembaga disebut tamra prasasti (Kartakusuma 2003; 2006).
Pada masa dahulu cara pengawetan sesuatu bahan belum dikenal, satu-satunya upaya
kearah itu disalin kembali, namun teknik penyalinan kembali lebih sering dilakukan pada
sejumlah naskah pada daun tal (rontal), atau daluwang semacam lembaran kertas atau bahan
yang diolah dari kulit pohon tertentu. Berbeda dengan negeri Tiongkok, aksara dituliskan dengan
menggunakan kuas dengan cara disapukan setelah dicelupkan pada cairan berwarna pekat
(semacam tinta). Tentu saja hasilnya jauh berbeda, betapapun hasil goresan berkesan lebih
tampak jikalau dibandingkan hasil sapuan, karena aksara yang digoreskan akan metampakkan
jejak-tekan berbekas dalam dan terasa manakala diraba dan tidak memerlukan pewarna (tinta)
seperti yang dihasilkan oleh sapuan kuas. Menggores atau memahat aksara dengan alat
memang jauh lebih rumit, memerlukan keahlian dan ketrampilan dengan ketekunan khusus, hasil
latihan dan kebiasaan (secara terus-menerus).
Pada masa lampau, kegiatan menggoreskan aksara atau memahat suatu aksara (naskah
karyasastra atau prasasti) dipegang oleh ahli pemahat aksara yang disebut citraleka. Maka itu
hasil yang digoreskan atau uang pahatan aksara yang berkembang pada masa klasik bentuknya
lebih dapat digolongkan sebagai karya seni kebudayaan menampilkan kekhasan atau keunikan
jejak bekas tersendiri. Tentu saja setiap aksara tidak pula ter-lepas dari gaya dan tekanan
pahatan yang tampak pada bagian-bagian teks aksara dicirikan oleh tebal, tipis, dengan posisi
tubuh aksara tegak, agak tegak, dan miring, ataupun bentuk yang persegi, bulat, pipih
memanjang, melebar, tambun, dan kokoh tegak.
Periodisasi Aksara Nusantara
Zaman Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
Akara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada umumnya digunakan
untuk menuliskan Bahasa Sanskerta atau bahasa daerah yang sangat terpengaruh Bahasa
Sanskrta. Tapi ada juga aksara yang tidak dipengaruhi Buddha dan Hindu, tidak terpengaruh
Bahasa Sanskrta, seperti aksara Malesung di Sulawesi Utara.

 Aksara Pallawa
 Aksara Nagari
 Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno)
 Aksara Malesung (Aksara Minahasa Kuno)
 Aksara Buda
 Aksara Sunda Kuno
 Aksara Proto-Sumatera
Zaman Kerajaan-kerajaan Islam
Aksara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di antaranya memiliki huruf untuk
menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa daerah (misalnya Aksara
Jawa dan Aksara Bali) ataupun sistem vokalnya mengikuti sistem vokal Abjad Arab yang hanya
mengenal tiga bunyi vokal (misalnya Aksara Kerinci dan Aksara Buhid).

 Aksara Batak (Surat Batak)


 Aksara Rejang
 Aksara Kerinci (Surat Incung)
 Aksara Lampung (Had Lappung)
 Aksara Jawa (Hanacaraka)
 Aksara Bali
 Aksara Lontara
Zaman Modern
Aksara daerah yang berkembang pada zaman modern memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam
Bahasa Arab (misalnya f dan z) dan Bahasa Latin (misalnya x dan v) yang tidak terdapat dalam
bahasa daerah.

 Aksara Sunda Baku


 Aksara Jawa Baru
Perubahan Aksara Pallawa menjadi Aksara Nusantara

Perubahan Aksara Pallawa (kolom paling kiri) menjadi sejumlah aksara Nusantara. Kolom kedelapan adalah Aksara Jawa
Baru (Hanacaraka), kolom kesembilan adalah Aksara Bali, dan kolom paling kanan adalah Aksara Bugis (Lontara).

Variasi
Seiring perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat penggunanya, suatu aksara
dapat mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf maupun bunyinya, walaupun tetap saja
dianggap sebagai bagian dari aksara induknya; atau dengan kata lain, tidak terpecah menjadi
aksara baru.
Demikianlah misalnya Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Arabsedikit
berbeda dengan Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Melayu, atau juga Alfabet
Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Latin sedikit berbeda dengan Alfabet Latin yang
digunakan untuk menuliskan Bahasa Jerman. Dalam perjalanan sejarahnyapun Aksara
Nusantara tidak luput dari kecenderungan untuk memunculkan variasi-variasi baru yang tetap
mempertahankan kaidah inti aksara induknya.
Beberapa variasi Aksara Nusantara antara lain:

 Variasi Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno)


 Aksara Kayuwangi: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk
membundar miring. Disebut Aksara Kayuwangi karena variasi ini banyak dijumpai pada
prasasti dari sebelum hingga setelah masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Raja
Mataram (855 - 885). Oleh para ahli epigrafi Indonesia, variasi ini dianggap sebagai jenis
tulisan Kawi yang paling indah.
 Aksara Kuadrat: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf
menyerupai kotak / bujursangkar. Dari situlah variasi ini memperoleh namanya. Variasi ini
banyak dijumpai pada prasasti dari masa Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.
 Aksara Majapahit: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang tiap hurufnya ditulis dengan
banyak hiasan sehingga kadang kala sulit dikenali / sulit dibaca. Disebut Aksara Majapahit
karena variasi ini banyak dijumpai dari masa Kerajaan Majapahit.
 Variasi Aksara Batak
 Aksara Toba: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk
menuliskan Bahasa Toba.
 Aksara Karo: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk
menuliskan Bahasa Karo.
 Aksara Dairi: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa
Dairi.
 Aksara Simalungun: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk
menuliskan Bahasa Simalungun.
 Aksara Mandailing: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk
menuliskan Bahasa Mandailing.
 Variasi Aksara Lampung/Ulu
 Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Pasemah
 Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Serawai
 Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Lembak
 Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Rejang
 Variasi Aksara Jawa
 Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa.
 Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno.
 Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Banten.
 Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Cirebon.
 Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan.
 Variasi Aksara Bali
 Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali.
 Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali Kuno.
 Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Sasak.
 Variasi Aksara Lontara
 Aksara Jangang-jangang : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan
Bahasa Makassar.
 Aksara Bilang-bilang : Variasi dengan bentuk-bentuk tersendiri untuk menuliskan Bahasa
Bugis.
 Aksara Lota Ende : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa
Ende.
 Aksara Makassar : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk
menuliskan Bahasa Makassar.
 Aksara Bugis : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk
menuliskan Bahasa Bugis.
 Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Luwu.
 Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bima.

Silsilah

Brahmi

India India
Utara Selatan

Pranagari Nagari Pallawa

Kawi

Sunda Kuno Buda Jawa Bali Sukuh

Sunda Baru Jawa Baru Batak Kaganga Bugis


Baybayin

Aksara lain yang digunakan di Nusantara


 Abjad Arab
 Aksara Jawi untuk Bahasa Melayu
 Aksara Pegon untuk Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, dan Bahasa Madura.
 Alfabet Latin
 Ejaan Van Ophuijsen
 Ejaan Soewandi
 EYD

Contoh gambar desain rancangan:


Media poster:
Kartu nama :
Kartu undangan:

Baligho :
Banner:

Anda mungkin juga menyukai