1
Pemerhati Budaya Madura di Probolinggo.
sehingga turut bertanggung jawab membudayakan literasi di rumah. Orientasi
pragmatisme tidak seharusnya dikedepankan, sehingga tidak menganggap penting
pengembangan intelektualitas dengan banyak membaca dan berkarya. Sekolah
seyogyanya tidak hanya mengutamakan pembangunan fisik semata, akan tetapi
alokasi anggaran untuk mendongkrak budaya literasi juga diharapkan mendapat
porsi yang nyata, tidak terkecuali para orang tua yang diharapkan kerelaannya
menyisihkan uang untuk pengembangan wawasan dan pengetahuan, misalnya
dengan adanya anggaran untuk beli buku bacaan di rumah.
Universitas Islam Malang beberapa minggu yang lalu menyelenggarakan
seminar dengan mengangkat “Literasi” sebagai tema utamanya. Dr. Muhammad
Rohmadi, M.Hum., Salah satu pembicara dalam seminar nasional tersebut
menyampaikan bahwa untuk menyemai budaya literasi harus dimulai dari
memahami jati diri kita sebagai makhluk sosial dan berketuhanan. Lebih dari itu,
mengukur kesuksesan seseorang tidak hanya dari jumlah materi yang dimilikinya,
akan tetapi dari kepandaiannya memosisikan diri sebagai anggota masyarakat dan
dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sehingga, diakui atau tidak kebahagian
seseorang tidak hanya ditentukan oleh banyaknya harta yang dimiliki, melainkan
juga ada faktor ilmu pengetahuan dan kemampuan mengamalkannya yang dapat
mendatangkan kebahagiaan dan kedamaian abadi dan bermakna.
Fenomena yang berkembang saat ini, masyarakat lebih tertarik dengan hal-
hal yang cepat saji. Hal ini memicu rendahnya daya tarik masyarakat terhadap
literasi, karena dianggap tidak akan mendatangkan manfaat dan daya guna secara
cepat. Di sisi lain, tujuan sekolah tidak lagi mengedepankan mengasah
intlektualitas dan wawasan keilmuan anak-anak didiknya. Selain itu banyak orang
tua yang lebih mengarahkan anak-anaknya untuk memilih sekolah yang
memberikan keterampilan agar dapat diterima di dunia kerja. Akibatnya, sekolah-
sekolah yang menyediakan berbagai latihan keterampilan kerja mendapat
sambutan yang lebih banyak dibandingkan dengan sekolah yang porsi teoritis
ilmiahnya lebih dominan.
Membangun budaya literasi bagi anak-anak didik di sekolah pada
khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, akan mendapat tantangan berat
karena adanya pola pikir yang pragmatis dari berbagai pihak. Mereka yang
berpikir pragmatis akan melakukan sesuatu dengan pertimbangan untung rugi
secara materi dan kadang mengenyampingkan asas manfaat ilmialnya. Semua itu
tidak terlepas dari kampanye berbagai pihak, termasuk pemerintah dengan
terminologi “kerja kerja kerja.
Masyarakat awam akan cenderung mengartikan terminologi “kerja kerja
kerja” sebagai suatu tindakan keras yang melibatkan fisik dan waktu yang banyak.
Banyaknya bertindak secara fisik yang menghabiskan waktu banyak akan
mengurangi perhatian terhadap pentingnya berpikir mempersiapkan langkah dan
strategi yang tepat untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Di sinilah
pentingnya literasi, karena tidak mungkin tercipta pilihan yang tepat tanpa ilmu
pengetahuan yang diperolah dari proses membaca dan berpikir.
Mengingat dan mempelajari akar suatu perkara merupakan solusi untuk
menumbuhkan budaya literasi. Emha Ainun Najib dalam salah satu bukunya
pernah menyatakan bahwa banyak orang yang berpikir tentang buah, sedangkan
tangkai, pohon dan akar sering tidak mendapat perhatian yang baik. Banyak orang
yang tidak tertarik membaca dan mempelajari proses terjadinya suatu, yang ada
hanyalah memilih di antara sesuatu yang sudah tersaji di depan mata.
Berbagai fasilitas yang kita rasakan saat ini sebetunya berasal dari budaya
literasi yang sangat kuat di masa lalu. Misalnya, banyak yang tidak menyadari
sebetulnya terciptanya kipas angin yang kita nikmati sekarang ini, berawal dari
proses membaca dan mencoba. Selanjutnya, hasil percobaan-percobaan
menghasilkan sebuh karya berupa kipas yang berfungsi mendatangkan kesejukan
udara. Mungkin Ki Hajar Dewantara juga tidak membayangkan bahwa semboyan
yang dituturkan pada saat itu akan tetap dikenang sampai saat ini. Dengan
membaca, kita pun akan tahu bahwa di dalam semboyan “Ing ngarsa sung tuladha,
Ing madya mangu karsa tut wuru handayani” [Iŋ ŋarsɔ saŋ tulɔdɔ Iŋ madyɔ
maŋɔn karsɔ Tut wuri handayani], ada pelajaran yang sangat berarti dalam hidu,
bahwa keteladanan merupan keharusan bagi seorang pemimpin, semangat kuat
harus dimiliki ketika sedang berproses dan berusaha untuk mendukung upaya-
upaya baik dari orang di sekitar kita.
Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya membudayakan literasi
sangat diperlukan, baik di rumah, lebih-lebih di lingkungan sekolah. Sehingga,
informasi-informasi terbaru tentang dunia pengetahuan dan teknologi akan kita
terima dengan utuh dan komprehensif. Walau demikian, upaya membudayakan
literasi tidak boleh mengenyampingkan pendidikan keterampilan (skill education),
karena dengan banyaknya keterampilan akan membantu dan mempermudah
penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dunia
kerja.