Abstrak
Diagnosis epilepsy merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin
memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan mengenali serangan kejang
dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadikan pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan
pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan
tetapi pada pasien epilepsi tertentu diperlukan pemeriksaan melalui rekaman video – EEG.
Makalah ini menjelaskan suatu pendekatan cara membuat diagnosis dan evaluasi pasien epilepsi
Kata kunci: diagnosis epilepsy, etiologi, klasifikasi serangan kejang, klasifikasi sindrom epilepsy.
Abstract
The diagnosis of epilepsy is problematic because the routine diagnosis of epilepsy is therefore
clinical, and requires specific clinical knowledge and skills. Recognizing and correctly diagnosing
seizures can lead to a number of effective treatments. In the majority of patiens with epilepsy,
diagnosis can be made with a detailed neurologic history and examination, an EEG, and brain
imaging. However, in certain patients, diagnosis requires recording the seizures during inpatient
video-EEG monitoring. This article explains an approach for diagnosing and evaluating this
1
Key words : diagnosis of epilepsy, etiology, classification of seizures, classification of epilepsy
syndromes.
Pendahuluan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya
bangkitan (seizures) yang bersifat spontan dan berkala. Manifestasi kliniknya dapat berupa
gangguan kesadaran, perilaku, emosi, fungsi motorik, persepsi, dan sensasi, yang dapat terjadi
tersendiri ataupun dalam kombinasi. Epilepsi juga dihubungkan dengan konsekuensi psikososial
yang lebih berat bagi para penyandangnya. Stigma sosial yang melekat pada epilepsi juga
menghambat penyandangnya untuk terlibat dalam kegiatan olahraga, pekerjaan, pendidikan, dan
pernikahan.
Secara klinis, epilepsi merupakan gangguan paroksismal di mana cetusan neuron korteks
serebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik,
perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Epilepsi juga dapat dibagi berdasarkan
penyebabnya, idiopatik (sebagian besar pasien), atau simtomatik, yang dapat dikenali
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis mengambil peran besar dalam menentukan diagnosis. Oleh sebab itu,
anamnesis harus dilakukan sebaik mungkin sehingga dapat mengambil diagnosis dengan baik pula
2
Dalam melakukan anamnesis, terkandung pengertian komunikasi antar dokter pasien.
Dalam berkomunikasi, terdapat dua aspek yang penting, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal.
Dalam proses anamnesis, terjadi komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien yang dapat
disingkat dalam tiga erproses, yaitu: pasoen bercerita, dokter mendengar dan memperhatikan, dan
tanya jawab.2
Ada 2 jenis anamnesis yang umum dilakukan, yakni Autoanamnesis dan Alloanamnesis.
Pada umumnya anamnesis dilakukan dengan tehnik autoanamnesis yaitu anamnesis yang
dilakukan langsung dengan pasiennya. Pasien sendirilah yang paling tepat untuk menceritakan
permasalahannya. Ini adalah cara anamnesis terbaik karena pasien sendirilah yang paling tepat
Meskipun demikian dalam prakteknya tidak selalu autoanamnesis dapat dilakukan. Pada
pasien yang tidak sadar, sangat lemah atau sangat sakit untuk menjawab pertanyaan, atau pada
pasien anak – anak, maka perlu orang lain untuk menceritakan permasalahannya. atau
Heteroanamnesis. Tidak jarang dalam praktek sehari – hari anamnesis dilakukan bersama – sama
berikut kepada keluarga penderita. Pertanyaan mengenai gambaran sawan kepada keluarga:
1. Apakah sawan dimulai atau mengenai satu bagian badan atau langsung mengenai kedua
sisi ?
3. Bila bangkitan dimulai dari suatu tempat, apakah menjalar, meluas ke daerah lain ?
3
4. Apakah penderita tampak menjadi pucat, muka menjadi merah, berkeringat, mulut berbusa,
6. Bagaimana gambaran bangkitan, otot-otot lemas atau kaku, mengelojot, atau kaku dulu
diikuti kelojot ?
2. Apa merasakan sesuatu pada kulit, melihat, mendengar, terkecap, terhidu sesuatu, atau
5. Apakah ingat apa yang terjadi atau dialami ketika mendapat serangan ?
2. Bila saat-saat timbulnya bangkitan, misalnya bila terlalu lelah, terlambat makan, waktu
3. Pengobatan apa yang telah didapat, apakah obat dimakan terus dan bagaimana hasil nya ?
4
Pada anamnesis ditanyakan pula pada umur berapa terjadinya bangkitan pertama kali.
Keterangan ini dapat membantu menentukan sebab bangkitan yang mungkin. Pertanyaan kepada
keluarga untuk mencari factor penyebab. Perlu disusun riwayat perkembangan jiwa-raga penderita
2. Apakah sewaktu mengandung penderita ibu mengalami gangguan atau sakit ? Apakah ada
8. Pada umur berapa anak dapat duduk, jelan, dan bicara dengan jelas ?
9. Pada umur berapa penderita mendapat bangkitan pertama ? Apakah bangkitan ini terjadi
pada waktu penderita sakit disertai demam ? Apakah penderita pernah kejang meskipun
tidak demam ?
11. Pada umur berapa penderita bersekolah dan bagaimana prestasi nya ?
12. Apakah ada di antara ayah dan ibu ada hubungan keluarga ?
13. Apakah di pihak ibu atau ayah ada anggota-anggota keluarga yang menderita epilepsy,
5
Pemeriksaan Fisik
1. Trauma kepala
3. Gangguan kongenital
4. Gangguan neurologik
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari adanya tanda
seboseum pada muka pada skelrosi tuberose. Hemangioma pada muka dapat menjadi
menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala,
Pemeriksaan Penunjang
Tujuannya adalah mendeteksi adanya kelainan otak yang bisa diobati sebagai dasar
penyakit dan menyingkirkan faktor – faktor yang bisa memprovokasi serangan. Lakukan
pemeriksaan darah untuk mencari bukti kecanduan alkohol, hipoglikemia, atau hipokalsemia.
6
EEG bisa membantu menunjukkan jenis epilepsi, letak fokus epileptik (aktivitas
gelombang yang lambat bisa menunjukkan adanya tumor), dan menjadi pedoman untuk terapi
obat. Diagnosis epilepsi tak dapat ditegakkan hanya dari EEG- epilepsi merupakan diagnosis
klinis, bukan elektrik. Sekitar 10 – 15% populasi memiliki EEG yang abnormal.
Jika ada kemungkinan aritmia jantung transien sebagai penyebab kejang, pemantauan EKG
24 jam terus menerus harus dilakukan. Lakukan CT scan kepala untuk menyingkirkan penyakit
otak fokal. Sangat bernilai pada epilepsi onset-lambat, kejang parsial, dan pada pasien dengan
kejang umum dimana EEG mengungkapkan adanya kelainan fokal, khususnya jika disertai oleh
Working Diagnosis
Epilepsi adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan kejang / bangkitan berulang. Kejang
maupun epilepsi bukan merupakan diagnosis atau jenis penyakit; melainkan gejala proses lain
yang mempengaruhi otak dalam berbagai cara, tetapi umumnya memiliki ekspresi klinis final
berupa kejang.
Etiologi
Penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu epilepsi idiopatik (bila faktor penyebabnya tidak
diketahui) dan epilepsi simtomatik (penyebabnya di ketahui) dan kriptogenik (dianggap sebagai
genetik.
misalnya trauma kepala, infeksi, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
7
darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegenerative
Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis kronis yang paling umum di
Amerika Serikat, dengan prevalensi sekitar 0,5%. Resiko kumulatif seumur hidup mengalami
kejang adalah 8%. Setengah risiko seumur hidup mengalami epilepsi selama masa kanak –
kanak atau remaja. Selama masa kanak – kanak, angka tertinggi selama tahun pertama
kehidupan dan kemudian menurun tajam, angka menurun lagi selama remaja; diatas usia 50,
angka epilepsi mulai meningkat kembali, sebagai akibat sekunder dari penyakit
Angka mortalitas pasien epilepsi adalah 2 sampai 4 kali dibanding populasi non
epilepsi, dengan mortalitas tertinggi pada 10 tahun setelah diagnosis ditegakkan. 10%
kematian pada pasien epilepsi berhubungan dlangsung dengan kejang atau status epileptikus,
sementara 5% kematian merupakan akibat sekunder dari kecelakaan fatal selama kejang.
Resiko bunuh diri pada penderita epilepsi adalah 25 kali dibanding populasi umum.4
Patogenesis
Kejang epilepsi (serangan epilepsi, epileptic fit) dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron
secara berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga menyebabkan aktivasi fungsi motorik (kejang),
sensorik (kesan sensorik), otonom (misal, saliva), atau fungsi kompleks (kognitif, emosional)
depolarisasi paroksismal [PDS]). Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca2+. Ca2+ yang masuk
8
mula-mula akan membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi
yang berlebihan, yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K+ dan Cl- yang diaktivasi oleh Ca2+.
Kejang epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang terdapat dalam jumlah yang cukup.
- Dendrit sel piramidal mengandung kanal Ca2+ bergerbang voltase yang akan membuka
pada saat depolarisasi sehingga menigkatkan depolarisasi. Pada lesi neuron akan lebih
banyak kanal Ca2+ yang diekspresikan. Kanal Ca2+ akan dihambat oleh Mg2+, sedangkan
akan mengurangi efluks K+ melaui kanal K+. Hal ini berarti K+ memiliki efek depolarisasi,
dan karena itu pada waktu bersamaan meningkatkan pengaktifan kanal Ca 2+.
- Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps eksitatorik. Glutamat
bekerja pada kananl kation yang tidak peremeabel terhadap Ca2+ (kanal AMPA) dan pada
kanal yang permeable terhadap Ca2+ (kanal NMDA). Kanal NMDA normalnya dihambat
oleh Mg2+. Akan tetapi, depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA
menghilangkan penghambatan Mg2+ (kerjasama dari kedua kanal). Jadi, defisiensi Mg2+
9
untuk diaktifkan sehingga memudahkan serangan absens. 6
Penatalaksanaan
Pemilihan obat. Disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping, interaksi anatar Obat
Strategi pengobatan. Dimulai dengan terapi lini pertama OAE sesuai dosis, kemudian
ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi / didapat hasil tang optimal dan
konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi,
Konseling. Beritahukan kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka lama
tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen ( meskipun penyebab dasar kejang
dapat menimbulkan keadaan demikian ) dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat
sepengetahuan dokter.
Tindak lanjut. Periksa pasien secara berkala, dan awasi adanya toksisitas OAE.
Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakuakan secara periodik kepada beberapa
OAE. Penting juga dilakukan evaluasi ulang fungsi neurologis secara rutin.
Penanganan jangka panjang. Teruskan [pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan
Penghentian obat. Dilakuakn secara bertahap. Jika penghentian obat dilakuakan secara
tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat karena dapat mencetuskan bengkitan atau
bahkan status epileptikus. Jika bangkitan timbul selama atau sesudah penghentian obat,
10
Untuk keberhasilan pengobatan epilepsi, disamping ketepatan diagnosis dan dosis OAE,
diperlukan juga kepatuhan, sikap dan pengetahuan penderita menghadapi penyakit epilepsinya.
Memulai pengobatan:
Pengobatan OAE dapat dimulai bila terjadi dua kali bangkitan dalam selang waktu yang
Pada umumnya, bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE, kecuali bila terdapat
Bangkitan partial sederhana tipe sensorik/psikis biasanya tidak perlu OAE, kecuali
menggangu penderita. 7
Tabel 4. Obat anti epilepsi, dosis, dan kadar minimal dan efek samping8
11
Fenobarbital 100-200 mg 10-40 Mengantuk, nistagmus, ruam, gangguan
mcg/ml belajar, hiperaktivitas
12
Klonazepam 0,04-0,2mg 20-80 Mengantuk, ataksia, irritable, gangguan
ng/ml perilaku, eksaserbasi tonik-klonik seizures
Serangan mioklonik
Terapi non farmakologi bisa dengan melakukan diet, pembedahan dan vagal nerve
stimulation (VNS), yaitu implantasi dari perangsang saraf vagal, makan makanan yang seimbang
(kadar gula darah yang rendah dan konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan
terjadinya serangan epilepsi), istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat
13
mencetuskan serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik
nafas panjang dan teknik relaksasi selain juga menghindari faktor pencentus lainnya.
Pencegahan
Epilepsi yang idiopatik tidak dapat dicegah. Tetapi, tindakan preventif dapat dipakai untuk
Menghindari benturan kepala adalah cara yang paling efektif untuk mencegah epilepsi
post-trauma.
Perhatian perinatal yang memadai dapat mengurangi kasus epilepsi yang disebabkan oleh
Penggunaan obat untuk menurunkan suhu tubuh pada anak yang demam dapat mengurangi
Infeksi sistem saraf pusat merupakan penyebab epilepsi yang cukup sering pada daerah
Komplikasi
Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang berulang,
Jika jatuh selama kejang, dapat melukai kepala atau mematahkan tulang.
Jika memiliki epilepsi, akan lebih dari 15 kali lebih mungkin untuk tenggelam saat
berenang atau mandi dari sisa penduduk karena kemungkinan mengalami kejang sementara
di air.
Banyak negara memiliki batasan lisensi pengemudi terkait dengan kemampuan penderita
14
Kejang selama hamil bahaya bagi ibu dan bayi, dan obat anti-epilepsi tertentu
Status epilepticus. Kondisi ini terjadi jika kejang terus-menerus yang berlangsung > 5
menit atau mengalami kejang berulang sering tanpa sadar kembali/Orang dengan status
Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi factor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis
epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah
dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti min um
obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena
atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang
serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan
Kesimpulan
bahwa pasien tersebut menderita epilepsi. Epilepsi adalah sekelompok penyakit yang ditandai
dengan kejang/bangkitan berulang. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, orang tua
Daftar Pustaka
15
1. Ginsberg L. Lecture Notes : Neurologi. 8thed. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2011. h. 79, 107
2. Anthony S. Fauci. Harrison’s internal medicine. 17th Edition. USA: McGraw – Hill; 2008.
h 1129-34.
4. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi. 2nd ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
Setiawan, Iqbal Mochtar, alih bahasa; Titik Resmisari, Liena, editor bahasa
Indonesia. Teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC; 2006. h:338-9.
EGC; 2006.
7. McPhee SJ, Papadakis MA. Current Medical Diagnosis and Treatment. Epilepsy.
16