Anda di halaman 1dari 16

Epilepsi pada Pria Berusia 19 Tahun

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat

Abstrak

Diagnosis epilepsy merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin

memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan mengenali serangan kejang

dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadikan pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan

pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan

tetapi pada pasien epilepsi tertentu diperlukan pemeriksaan melalui rekaman video – EEG.

Makalah ini menjelaskan suatu pendekatan cara membuat diagnosis dan evaluasi pasien epilepsi

yang datang berobat ke klinik.

Kata kunci: diagnosis epilepsy, etiologi, klasifikasi serangan kejang, klasifikasi sindrom epilepsy.

Abstract

The diagnosis of epilepsy is problematic because the routine diagnosis of epilepsy is therefore

clinical, and requires specific clinical knowledge and skills. Recognizing and correctly diagnosing

seizures can lead to a number of effective treatments. In the majority of patiens with epilepsy,

diagnosis can be made with a detailed neurologic history and examination, an EEG, and brain

imaging. However, in certain patients, diagnosis requires recording the seizures during inpatient

video-EEG monitoring. This article explains an approach for diagnosing and evaluating this

epilepsy patient’s population in the clinics.

1
Key words : diagnosis of epilepsy, etiology, classification of seizures, classification of epilepsy

syndromes.

Pendahuluan

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya

bangkitan (seizures) yang bersifat spontan dan berkala. Manifestasi kliniknya dapat berupa

gangguan kesadaran, perilaku, emosi, fungsi motorik, persepsi, dan sensasi, yang dapat terjadi

tersendiri ataupun dalam kombinasi. Epilepsi juga dihubungkan dengan konsekuensi psikososial

yang lebih berat bagi para penyandangnya. Stigma sosial yang melekat pada epilepsi juga

menghambat penyandangnya untuk terlibat dalam kegiatan olahraga, pekerjaan, pendidikan, dan

pernikahan.

Secara klinis, epilepsi merupakan gangguan paroksismal di mana cetusan neuron korteks

serebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik,

perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Epilepsi juga dapat dibagi berdasarkan

penyebabnya, idiopatik (sebagian besar pasien), atau simtomatik, yang dapat dikenali

penyebabnya. Epilepsi idiopatik seringkali menunjukkan predisposisi genetik.

Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis mengambil peran besar dalam menentukan diagnosis. Oleh sebab itu,

anamnesis harus dilakukan sebaik mungkin sehingga dapat mengambil diagnosis dengan baik pula

dan mampu memberikan pertolongan bagi pasien.

2
Dalam melakukan anamnesis, terkandung pengertian komunikasi antar dokter pasien.

Dalam berkomunikasi, terdapat dua aspek yang penting, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal.

Komunikasi verbaldalam proses wawancara dan nonverbal misalnya menganggukkan kepala.

Dalam proses anamnesis, terjadi komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien yang dapat

disingkat dalam tiga erproses, yaitu: pasoen bercerita, dokter mendengar dan memperhatikan, dan

tanya jawab.2

Ada 2 jenis anamnesis yang umum dilakukan, yakni Autoanamnesis dan Alloanamnesis.

Pada umumnya anamnesis dilakukan dengan tehnik autoanamnesis yaitu anamnesis yang

dilakukan langsung dengan pasiennya. Pasien sendirilah yang paling tepat untuk menceritakan

permasalahannya. Ini adalah cara anamnesis terbaik karena pasien sendirilah yang paling tepat

untuk menceritakan apa yang sesungguhnya dia rasakan.

Meskipun demikian dalam prakteknya tidak selalu autoanamnesis dapat dilakukan. Pada

pasien yang tidak sadar, sangat lemah atau sangat sakit untuk menjawab pertanyaan, atau pada

pasien anak – anak, maka perlu orang lain untuk menceritakan permasalahannya. atau

Heteroanamnesis. Tidak jarang dalam praktek sehari – hari anamnesis dilakukan bersama – sama

auto dan alloanamnesis.

Untuk menggambarkan gambaran sawan, dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai

berikut kepada keluarga penderita. Pertanyaan mengenai gambaran sawan kepada keluarga:

1. Apakah sawan dimulai atau mengenai satu bagian badan atau langsung mengenai kedua

sisi ?

2. Apakah kesadaran berubah, menurun, menjadi pingsan, atau tetap baik ?

3. Bila bangkitan dimulai dari suatu tempat, apakah menjalar, meluas ke daerah lain ?

3
4. Apakah penderita tampak menjadi pucat, muka menjadi merah, berkeringat, mulut berbusa,

kencing, dan lain-lain ?

5. Apakah penderita selama bangkitan melakukan gerakan-gerakan atau menunjukkan

tingkah laku tertentu ?

6. Bagaimana gambaran bangkitan, otot-otot lemas atau kaku, mengelojot, atau kaku dulu

diikuti kelojot ?

7. Berapa lama kira-kira berlangsungnya serangan ?

8. Bagaimana tingkah laku penderita sesudah serangan selesai ?

Pertanyaan yang diajukan kepada penderita:

1. Apakah ada tanda-tanda akan datang nya serangan ?

2. Apa merasakan sesuatu pada kulit, melihat, mendengar, terkecap, terhidu sesuatu, atau

merasa pusing ketika mendapat serangan

3. Apakah merasa takut, marah, perasaan berubah ?

4. Apa benda yang dilihat, bunyi yang didengar berubah ?

5. Apakah ingat apa yang terjadi atau dialami ketika mendapat serangan ?

Kepada keluarga penderita penting pula ditanyakan mengenai frekuensi, saat-saat

terjadinya sawan, pengobatan yang telah di dapat dan bagaimana hasilnya .

1. Berapa kali timbulnya serangan sehari, seminggu, sebulannya ?

2. Bila saat-saat timbulnya bangkitan, misalnya bila terlalu lelah, terlambat makan, waktu

tidur, pada wanita apa ada hubungan dengan haid ?

3. Pengobatan apa yang telah didapat, apakah obat dimakan terus dan bagaimana hasil nya ?

4
Pada anamnesis ditanyakan pula pada umur berapa terjadinya bangkitan pertama kali.

Keterangan ini dapat membantu menentukan sebab bangkitan yang mungkin. Pertanyaan kepada

keluarga untuk mencari factor penyebab. Perlu disusun riwayat perkembangan jiwa-raga penderita

sejak dikandung ibunya.

1. Penderita anak ke berapa dari berapa anak ?

2. Apakah sewaktu mengandung penderita ibu mengalami gangguan atau sakit ? Apakah ada

tindakan untuk menggugurkan kandungan ?

3. Apakah penderita lahir cukup bulan ?

4. Apakah persalinan berjalan normal atau sukar ?

5. Apakah bayi segera menangis setelah lahir ?

6. Apakah bayi tampak pucat atau biru ?

7. Penyakit, kecelakaan apa yang pernah di alami penderita ?

8. Pada umur berapa anak dapat duduk, jelan, dan bicara dengan jelas ?

9. Pada umur berapa penderita mendapat bangkitan pertama ? Apakah bangkitan ini terjadi

pada waktu penderita sakit disertai demam ? Apakah penderita pernah kejang meskipun

tidak demam ?

10. Bagaimana perkembangan mental penderita dibandingkan dengan anak-anak lain,

bagaimana sifatnya, bagaimana ia dalam pergaulan dengan anak-anak lain ?

11. Pada umur berapa penderita bersekolah dan bagaimana prestasi nya ?

12. Apakah ada di antara ayah dan ibu ada hubungan keluarga ?

13. Apakah di pihak ibu atau ayah ada anggota-anggota keluarga yang menderita epilepsy,

gangguan saraf / jiwa ?

14. Bagaimana keadaan kesehatan saudara-saudara kandung penderita ?1

5
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan meliputi:

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk eliminasi kemungkinan-kemungkinan seperti:

1. Trauma kepala

2. Infeksi telinga atau sinus

3. Gangguan kongenital

4. Gangguan neurologik

5. Kecanduan alkohol/obat terlarang

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari adanya tanda

neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih, dan adenoma

seboseum pada muka pada skelrosi tuberose. Hemangioma pada muka dapat menjadi

tanda adanya penyakit Sturge-Weber. Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin

menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala,

muka, tubuh, ekstrimitas

Pemeriksaan Penunjang

Tujuannya adalah mendeteksi adanya kelainan otak yang bisa diobati sebagai dasar

penyakit dan menyingkirkan faktor – faktor yang bisa memprovokasi serangan. Lakukan

pemeriksaan darah untuk mencari bukti kecanduan alkohol, hipoglikemia, atau hipokalsemia.

Semua pasien harus menjalani pemeriksaan rontgen toraks.

6
EEG bisa membantu menunjukkan jenis epilepsi, letak fokus epileptik (aktivitas

gelombang yang lambat bisa menunjukkan adanya tumor), dan menjadi pedoman untuk terapi

obat. Diagnosis epilepsi tak dapat ditegakkan hanya dari EEG- epilepsi merupakan diagnosis

klinis, bukan elektrik. Sekitar 10 – 15% populasi memiliki EEG yang abnormal.

Jika ada kemungkinan aritmia jantung transien sebagai penyebab kejang, pemantauan EKG

24 jam terus menerus harus dilakukan. Lakukan CT scan kepala untuk menyingkirkan penyakit

otak fokal. Sangat bernilai pada epilepsi onset-lambat, kejang parsial, dan pada pasien dengan

kejang umum dimana EEG mengungkapkan adanya kelainan fokal, khususnya jika disertai oleh

adanya gelombang lambat.1

Working Diagnosis

Epilepsi adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan kejang / bangkitan berulang. Kejang

maupun epilepsi bukan merupakan diagnosis atau jenis penyakit; melainkan gejala proses lain

yang mempengaruhi otak dalam berbagai cara, tetapi umumnya memiliki ekspresi klinis final

berupa kejang.

Etiologi

Penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu epilepsi idiopatik (bila faktor penyebabnya tidak

diketahui) dan epilepsi simtomatik (penyebabnya di ketahui) dan kriptogenik (dianggap sebagai

simptomatik tetapi penyebab belom diketahui). Kebanyakan sebab:

1. Idiopatik (70 %): penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi

genetik.

2. Simptomatik (30%): Kelainan konginetal disebabkan oleh kelainan/lesi pada SSP,

misalnya trauma kepala, infeksi, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran

7
darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegenerative

3. Kriptogenik: dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya

West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.3

Epidemiologi

Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis kronis yang paling umum di

Amerika Serikat, dengan prevalensi sekitar 0,5%. Resiko kumulatif seumur hidup mengalami

kejang adalah 8%. Setengah risiko seumur hidup mengalami epilepsi selama masa kanak –

kanak atau remaja. Selama masa kanak – kanak, angka tertinggi selama tahun pertama

kehidupan dan kemudian menurun tajam, angka menurun lagi selama remaja; diatas usia 50,

angka epilepsi mulai meningkat kembali, sebagai akibat sekunder dari penyakit

serebrovaskular dan cedera vaskular serebral.

Angka mortalitas pasien epilepsi adalah 2 sampai 4 kali dibanding populasi non

epilepsi, dengan mortalitas tertinggi pada 10 tahun setelah diagnosis ditegakkan. 10%

kematian pada pasien epilepsi berhubungan dlangsung dengan kejang atau status epileptikus,

sementara 5% kematian merupakan akibat sekunder dari kecelakaan fatal selama kejang.

Resiko bunuh diri pada penderita epilepsi adalah 25 kali dibanding populasi umum.4

Patogenesis

Kejang epilepsi (serangan epilepsi, epileptic fit) dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron

secara berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga menyebabkan aktivasi fungsi motorik (kejang),

sensorik (kesan sensorik), otonom (misal, saliva), atau fungsi kompleks (kognitif, emosional)

secara lokal atau umum.

Fenomena pemicunya adalah depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal (pergeseran

depolarisasi paroksismal [PDS]). Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca2+. Ca2+ yang masuk

8
mula-mula akan membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi

yang berlebihan, yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K+ dan Cl- yang diaktivasi oleh Ca2+.

Kejang epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang terdapat dalam jumlah yang cukup.

Perangsangan neuron atau penyebaran rangsangan ke neuron di sekitarnya ditingkatkan

oleh sejumlah mekanisme seluler:

- Dendrit sel piramidal mengandung kanal Ca2+ bergerbang voltase yang akan membuka

pada saat depolarisasi sehingga menigkatkan depolarisasi. Pada lesi neuron akan lebih

banyak kanal Ca2+ yang diekspresikan. Kanal Ca2+ akan dihambat oleh Mg2+, sedangkan

hipomagnesia akan meningkatkan aktivitas kanal ini. Peningkatan konsentrasi K+ ekstrasel

akan mengurangi efluks K+ melaui kanal K+. Hal ini berarti K+ memiliki efek depolarisasi,

dan karena itu pada waktu bersamaan meningkatkan pengaktifan kanal Ca 2+.

- Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps eksitatorik. Glutamat

bekerja pada kananl kation yang tidak peremeabel terhadap Ca2+ (kanal AMPA) dan pada

kanal yang permeable terhadap Ca2+ (kanal NMDA). Kanal NMDA normalnya dihambat

oleh Mg2+. Akan tetapi, depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA

menghilangkan penghambatan Mg2+ (kerjasama dari kedua kanal). Jadi, defisiensi Mg2+

dan depolarisasi memudahkan pengaktifan kanal NMDA.

- Depolarisasi normalnya dikurangi oleh neuron inhibitorik yang mengaktifkan

kanal K + dan/atau Cl - di antaranya melalui GABA. GABA dihasilkan oleh glutamat

dekarboksilase (GD), yakni enzim yang membutuhkan piridoksin (vitamin B 6 )

sebagai ko-faktor. Defisiensi vitamin B 6 atau berkurangnya afinitas enzim

terhadap vitamin B 6 (kelainan genetik) memudahkan terjadinya epilepsi.

Hiperpolarisasi neuron thalamus dapat meningkatkan kesiapan kanal Ca 2+ tipe-T

9
untuk diaktifkan sehingga memudahkan serangan absens. 6

Penatalaksanaan

 Pemilihan obat. Disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping, interaksi anatar Obat

Anti Epilepsi (OAE), dan harga obat.

 Strategi pengobatan. Dimulai dengan terapi lini pertama OAE sesuai dosis, kemudian

ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi / didapat hasil tang optimal dan

konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi,

secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.

 Konseling. Beritahukan kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka lama

tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen ( meskipun penyebab dasar kejang

dapat menimbulkan keadaan demikian ) dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat

menurunkan kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat atau dosis harus

sepengetahuan dokter.

 Tindak lanjut. Periksa pasien secara berkala, dan awasi adanya toksisitas OAE.

Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakuakan secara periodik kepada beberapa

OAE. Penting juga dilakukan evaluasi ulang fungsi neurologis secara rutin.

 Penanganan jangka panjang. Teruskan [pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan

sekurang-kurangnya 1-2 tahun.

 Penghentian obat. Dilakuakn secara bertahap. Jika penghentian obat dilakuakan secara

tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat karena dapat mencetuskan bengkitan atau

bahkan status epileptikus. Jika bangkitan timbul selama atau sesudah penghentian obat,

OAE harus diberikan lagi sekurang-kurangnya 1-2 tahun.

10
Untuk keberhasilan pengobatan epilepsi, disamping ketepatan diagnosis dan dosis OAE,

diperlukan juga kepatuhan, sikap dan pengetahuan penderita menghadapi penyakit epilepsinya.

Memulai pengobatan:

 Pengobatan OAE dapat dimulai bila terjadi dua kali bangkitan dalam selang waktu yang

tidak lama ( maksimum satu tahun ).

 Pada umumnya, bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE, kecuali bila terdapat

pertimbangan kemungkinan berulang yang tinggi.

 Bangkitan partial sederhana tipe sensorik/psikis biasanya tidak perlu OAE, kecuali

menggangu penderita. 7

Tabel 4. Obat anti epilepsi, dosis, dan kadar minimal dan efek samping8

Obat Dosis dewasa Kadar Efek samping dab reaksi idiosinkrasi


optimal

Serangan umum (tonik-klonik)/ parsial(fokal)

Fenitoin 200-400 mg 10-20 Nistagmus,ataksia,disartria,sedasi,bingung,


mcg/ml hyperplasia gingiva, hirsutism, anemia
megaloblastik, ruam, demam, SLE,
limfadenopati, neuropati perifer, diskinesis

Karbamezepin 600-1200 mg 4-8 mcg/ml Nistagmus,disartria, diplopia, ataksia,


hepatotoksik, hiponatremia. Mungkin
menyebabkan eksaserbasi myoclonic
seizures

Asam valproat 1500-2000mg 50-100 mual, muntah, diare, mengantuk, alopesia,


mcg/ml berat badan bertambah, hepatotoksik,
trombositopenia, tremor, pankrestitis

11
Fenobarbital 100-200 mg 10-40 Mengantuk, nistagmus, ruam, gangguan
mcg/ml belajar, hiperaktivitas

Primidon 750-1500 mg 5-15 Sedasi, nistagmus, ataksia, vertigo, mual,


mcg/ml ruam kulit, anemia megaloblastik, irritabel

Lamotrigin 100-500 mg - Sedasi, ruam kulit, gangguan penglihatan,


dispepsia, ataksia

Topiramat 200-400 mg - Somnolen, mual, dispepsia,irritable, pusing,


nistagmus, diplopia, glaucoma,renal kalkuli,
berat badan turun, hipohidrosis,hipertermia

Oxcarbazepin 900-1800 mg - Sama seperti karbamazepin

Levetirasetam 1000-3000 mg - Somnolen, ataksia, sakit kepala, gangguan


perilaku

Zonisamid 200-600 mg - Somnolen, ataksia, anoreksia, mual,muntah,


ruam,bingung, renal kalkuli. Jangan
digunakan pada orang alergi sulfonamid

Tiagabin 32-56 mg - Somnolen, ansietas, pusing, kurang


konsentrasi, termor, diare

Gabapentin 900-3600 mg - Sedasi, lelah, ataksia, nistagmus, berat badan


turun

Absense (petit mal)

Etosusimid 100-1500 mg 40-100 Mual, vomiting, anoreksia, sakit kepala,


mcg/ml letargi, ketidakseimbangan, SLE, urtikaria,
pruritus

Asam valproat 1500-2000 mg 50-100 Seperti di atas


mcg/ml

12
Klonazepam 0,04-0,2mg 20-80 Mengantuk, ataksia, irritable, gangguan
ng/ml perilaku, eksaserbasi tonik-klonik seizures

Serangan mioklonik

Asam valproat 1500-2000 mg 50-100 Seperti di atas


ncg/ml

Klonazepam 0,04-0,2mg 20-80 Seperti di atas


ng/ml

Tabel 4. Jenis serangan epilepsi dan terapi8

Jenis serangan 1 st line terapi 2 nd terapi


epilepsi

Parsial Karbamazepin, fenitoin Fenobarbital, primidon, asam


valproat

Tonik-klonik Karbamazepin, fenitoin, asam Fenobarbital, primidon


valproat

Lena (absence) Asam valproat, etosusimid Klonazepam

Mioklonik Asam valproat, etosusimid Klonazepam

Atonik/tonik Asam valproat, etosusimid Klonazepam

Terapi non farmakologi bisa dengan melakukan diet, pembedahan dan vagal nerve

stimulation (VNS), yaitu implantasi dari perangsang saraf vagal, makan makanan yang seimbang

(kadar gula darah yang rendah dan konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan

terjadinya serangan epilepsi), istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat

13
mencetuskan serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik

nafas panjang dan teknik relaksasi selain juga menghindari faktor pencentus lainnya.

Pencegahan

Epilepsi yang idiopatik tidak dapat dicegah. Tetapi, tindakan preventif dapat dipakai untuk

epilepsy sekunder yang diketahui sebabnya.

 Menghindari benturan kepala adalah cara yang paling efektif untuk mencegah epilepsi

post-trauma.

 Perhatian perinatal yang memadai dapat mengurangi kasus epilepsi yang disebabkan oleh

trauma pada kelahiran.

 Penggunaan obat untuk menurunkan suhu tubuh pada anak yang demam dapat mengurangi

kemungkinan kejang dan timbulnya epilepsy pada kemudian hari.

 Infeksi sistem saraf pusat merupakan penyebab epilepsi yang cukup sering pada daerah

tropis. Penghindaran terhadap infeksi dapat mengurangi angka kejadian epilepsi. 6

Komplikasi

 Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang berulang,

dapat timbul depresi dan keadaan cemas.

 Jika jatuh selama kejang, dapat melukai kepala atau mematahkan tulang.

 Jika memiliki epilepsi, akan lebih dari 15 kali lebih mungkin untuk tenggelam saat

berenang atau mandi dari sisa penduduk karena kemungkinan mengalami kejang sementara

di air.

 Banyak negara memiliki batasan lisensi pengemudi terkait dengan kemampuan penderita

epilepsy untuk mengontrol status epilepticus agar dapat mengendarai mobil/motor.

14
 Kejang selama hamil bahaya bagi ibu dan bayi, dan obat anti-epilepsi tertentu

meningkatkan risiko cacat lahir. Walaupun kebanyakan wanita dengan epilepsi

mempunyai bayi yang sehat.

 Status epilepticus. Kondisi ini terjadi jika kejang terus-menerus yang berlangsung > 5

menit atau mengalami kejang berulang sering tanpa sadar kembali/Orang dengan status

epilepticus memiliki risiko kerusakan otak permanen dan kematian.

 Kematian mendadak pada epilepsi. 9

Prognosis

Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi factor

penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis

epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah

dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti min um

obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena

atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang

serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan

atau retardasi mental mempunyai prognosis relative jelek.

Kesimpulan

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpilkan

bahwa pasien tersebut menderita epilepsi. Epilepsi adalah sekelompok penyakit yang ditandai

dengan kejang/bangkitan berulang. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, orang tua

bahkan bayi baru lahir.

Daftar Pustaka

15
1. Ginsberg L. Lecture Notes : Neurologi. 8thed. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2011. h. 79, 107

2. Anthony S. Fauci. Harrison’s internal medicine. 17th Edition. USA: McGraw – Hill; 2008.

h 1129-34.

3. Tjahjadi P, Dikot Y, Gunawan D. Gambaran umum mengenai epilepsi. Dalam: Kapita

Selekta Neurologi. Jogjakarta: Gajah Mada University Press; 2005. P:119-127.

4. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi. 2nd ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC; 2008. h. 309

5. Silbernagl S, Lang F. Sistem neuromuskular dan sensorik. Dalam: Iwan

Setiawan, Iqbal Mochtar, alih bahasa; Titik Resmisari, Liena, editor bahasa

Indonesia. Teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC; 2006. h:338-9.

6. Price, Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta:

EGC; 2006.

7. McPhee SJ, Papadakis MA. Current Medical Diagnosis and Treatment. Epilepsy.

McGraw-Hill Companies, Inc; 2010. P:878-84.

8. Howard WL. Buku saku neurologi. Ed 5. Jakarta: EGC; 2001. h.93-105.

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Buku Ajar Neurologi Klinis.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2005.

16

Anda mungkin juga menyukai