Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH EPILEPSI

Disusun dalam rangka memenuhi tugas Neurobehavior

Disusun Oleh :
DIAN UTAMI SRI ROMADHONI
201501192

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO
TAHUN AJARAN 2018/ 2019
1. Pengertian
EPILEPSI didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepasnya muatan
listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai
macam etiologi.Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan epileptic
seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang
disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut(Ardilla, Tjandrasa, Arieshanti, & Permutasi, 2014)

Epilepsi merupakan “koleksi fungsi otak yang beraneka ragam” atau “badai listrik di
otak”. Bangkitan epilepsi adalah suatu tanda atau gejala sepintas yang disebabkan oleh
aktivitas neuronal di otak yang bersifat sinkron dan berlebihan atau abnormal. Epilepsi adalah
suatu gangguan fungsi otak yang dicirikan oleh kecenderungan predisposisi untuk
menimbulkan bangkitan epileptik beserta konsekuensinya yang bersifat neurobiologik,
kognitif, psikologik, dan sosial(Lukas et al., 2016)

Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit kedua


terbanyak setelah stroke.Epilepsi disebabkan oleh berbagai etiologi dengan gejala tunggal
yang khas yaitu serangan yang terjadi tiba-tiba dan berulang yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik kortikal secara berlebihan(Nur, Setiawati, & Salimo, 2011)

2. ETIOLOGI
a) Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi
genetik.
b) Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui
Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang
mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma
West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa
ensefalopati difus.
c) Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang
mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan
saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh
darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan
neurodegeneratif
(Sunaryo, Neurologi, & Uwk, 2007)
3. KLASIFIKASI
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna
2005).
Serangan Parsial
 Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
 Serangan parsial Kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
 Serangan umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
 Serangan Umum
- Absans (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik.
 Tak tergolongkan
(Sunaryo et al., 2007)
4. KLASIFIKASI
Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindrom epilepsi (Kustiowati dkk 2003)
Berkaitan dengan letak fokus
 Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak bernigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik berigna)
- Epilepsi pada anak dengan proksimal oksipital
- Primary reading epilepsy
 Simptometik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus perientalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
 Kriptogenik

Umum

 Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absen pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
 Kriptogenik atau simptomatik
- Sindroma West ( Spasmus infantil dan hipsaritmia)
- Lennox Gastaut.
- Epilepsi absans mioklonik
 Simptomatik
- Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik neonatal
 Sindrom obtahara
- Etiologi / sindrom spesifik
 Malformasi serebral
 Gangguan metabolisme

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

 Serangan umum dan fokal


- Serangan neonatal
- Epilepsi nioklonik berat pada bayi
- Sindrom Taissinare
- Sindrom Landau Kleffner
 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
 Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat –obatan
- Eklampsi
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

(Sunaryo et al., 2007)

5. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih
tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit
vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan
kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi
penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk
mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris
hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual
fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry
hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan
dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka
lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi
ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens
contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama.(Sunaryo et
al., 2007)

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis,


fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat
menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya
nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi
seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu
serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan
kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat
diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan
adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa
menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.(Sunaryo et al., 2007)

6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM.

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat


mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum
dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” (Sunaryo et al., 2007)

7. PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan


elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada
wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan
hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting
untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut

1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien


dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG
akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan
kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform
pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi.
Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“
adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang.
Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan
dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam
menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :

1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan
epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila
dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %.
Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal,
sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting
sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya
epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal
oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk
menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja
dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi
anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform
difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk
menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau
serangan kejang umum.

8. PEMERIKSAAN VIDEO-EEG

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi
atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin
EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan
bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya
pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena
epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus
dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran
serangan kejang epilepsi (Sunaryo et al., 2007)

9. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural
diotak Indikasi CT Scan kepala adalah:
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh
karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,
tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan
T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan
saggital.
(Sunaryo et al., 2007)

10. PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI


Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan
pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan
epilepsi(Sunaryo et al., 2007)
Pengaruh Obat Anti Epilepsi Terhadap Gangguan Daya Ingat pada
Epilepsi Anak

semakin lama pengobatan epilepsi semakin besar kemungkinan terjadi


gangguan memori. Obat anti epilepsi mempunyai efek negatif maupun positif
terhadap kemampuan kognitif pasien epilepsi. Obat anti epilepsi dapat
meningkatkan kemampuan kognitif dan tingkah laku pasien epilepsi dengan
cara mengurangi bangkitan kejang, efek modulasi terhadap neurotransmiter, dan
efek psikotropika. Obat anti epilepsi mengurangi iritabilitas neuron dan
meningkatkan inhibisi pasca-sinaps atau mempengaruhi sinkronisasi jaringan
neuron untuk menurunkan eksitasi neuron yang berlebihan sehingga dapat
menurunkan bangkitan kejang dan dapat menurunkan aktivitas epilepsi di
sekeliling jaringan otak yang normal. Aktivitas obat anti epilepsi tersebut
apabila dirangsang secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan
aktivitas motorik dan psikomotor, penurunan perhatian, dan gangguan memori.
Penurunan daya ingat dapat bersifat reversibel dan kumulatif, sehingga semakin
lama pasien mendapatkan terapi anti epilepsi maka gangguan memori akan
semakin besar.Obat anti epilepsi yang paling mempengaruhi fungsi kognitif dan
memori adalah fenobarbital dan fenitoin.Fenobarbital merupakan obat anti
epilepsi generasi lama yang efektif untuk epilepsi fokal. Dampak obat
antiepileptik terjadi dengan cara meningkatkan inhibisi. Fenobarbital berikatan
dengan reseptor GABA memperpanjang waktu membukanya Cl-channel
sehingga terjadi hiperpolarisasi. Pemakaian fenobarbital menimbulkan efek
samping sedasi dan hipnosis yang mengakibatkan gangguan perhatian dan
konsentrasi. Fenitoin juga termasuk obat anti epilepsi generasi lama yang efektif
untuk epilepsi fokal. Efek antiepileptik terjadi dengan cara mereduksi eksitasi,
yaitu menghalangi Na+channel sehingga mencegah aktivitas elektrik
paroksismal, menghalangi potensiasi pasca kejang, dan mencegah menjalarnya
kejang.Efek samping fenitoin adalah diplopia, nistagmus, ataksia, sukar bicara
(slurred speech), dan sedasi sehingga mengakibatkan gangguan perhatian dan
konsentrasi. Perhatian dan konsentrasi diperlukan untuk proses registrasi dan
pengenalan informasi. (Nur et al., 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Ardilla, Y., Tjandrasa, H., Arieshanti, I., & Permutasi, A. E. (2014). Deteksi
Penyakit Epilepsi dengan Menggunakan Multilayer Perceptron, 3(1), 1–5.
Lukas, A., Neurologi, R., Kedokteran, F., Gadjah, U., Pengajar, S., Fakultas, N.,
… Gastaut, L. (2016). Gangguan kognitif pada epilepsi, 1(2).
Nur, F. T., Setiawati, S. R., & Salimo, H. (2011). Pengaruh Obat Anti Epilepsi
Terhadap Gangguan Daya Ingat pada Epilepsi Anak, 12(5), 10–14.
Sunaryo, U., Neurologi, B., & Uwk, F. K. (2007). No Title, 1.

Anda mungkin juga menyukai