Makalah Epilepsi Tugas Neuro
Makalah Epilepsi Tugas Neuro
Disusun Oleh :
DIAN UTAMI SRI ROMADHONI
201501192
Epilepsi merupakan “koleksi fungsi otak yang beraneka ragam” atau “badai listrik di
otak”. Bangkitan epilepsi adalah suatu tanda atau gejala sepintas yang disebabkan oleh
aktivitas neuronal di otak yang bersifat sinkron dan berlebihan atau abnormal. Epilepsi adalah
suatu gangguan fungsi otak yang dicirikan oleh kecenderungan predisposisi untuk
menimbulkan bangkitan epileptik beserta konsekuensinya yang bersifat neurobiologik,
kognitif, psikologik, dan sosial(Lukas et al., 2016)
2. ETIOLOGI
a) Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi
genetik.
b) Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui
Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang
mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma
West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa
ensefalopati difus.
c) Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang
mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan
saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh
darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan
neurodegeneratif
(Sunaryo, Neurologi, & Uwk, 2007)
3. KLASIFIKASI
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna
2005).
Serangan Parsial
Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
Serangan parsial Kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
Serangan umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
Serangan Umum
- Absans (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik.
Tak tergolongkan
(Sunaryo et al., 2007)
4. KLASIFIKASI
Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindrom epilepsi (Kustiowati dkk 2003)
Berkaitan dengan letak fokus
Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak bernigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik berigna)
- Epilepsi pada anak dengan proksimal oksipital
- Primary reading epilepsy
Simptometik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus perientalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
Kriptogenik
Umum
Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absen pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
Kriptogenik atau simptomatik
- Sindroma West ( Spasmus infantil dan hipsaritmia)
- Lennox Gastaut.
- Epilepsi absans mioklonik
Simptomatik
- Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik neonatal
Sindrom obtahara
- Etiologi / sindrom spesifik
Malformasi serebral
Gangguan metabolisme
Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih
tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit
vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan
kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi
penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk
mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris
hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual
fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry
hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan
dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka
lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi
ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens
contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama.(Sunaryo et
al., 2007)
6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
7. PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam
menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan
epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila
dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %.
Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal,
sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting
sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya
epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal
oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk
menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja
dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi
anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform
difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk
menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau
serangan kejang umum.
8. PEMERIKSAAN VIDEO-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi
atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin
EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan
bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya
pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena
epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus
dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran
serangan kejang epilepsi (Sunaryo et al., 2007)
9. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural
diotak Indikasi CT Scan kepala adalah:
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh
karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,
tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan
T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan
saggital.
(Sunaryo et al., 2007)
Ardilla, Y., Tjandrasa, H., Arieshanti, I., & Permutasi, A. E. (2014). Deteksi
Penyakit Epilepsi dengan Menggunakan Multilayer Perceptron, 3(1), 1–5.
Lukas, A., Neurologi, R., Kedokteran, F., Gadjah, U., Pengajar, S., Fakultas, N.,
… Gastaut, L. (2016). Gangguan kognitif pada epilepsi, 1(2).
Nur, F. T., Setiawati, S. R., & Salimo, H. (2011). Pengaruh Obat Anti Epilepsi
Terhadap Gangguan Daya Ingat pada Epilepsi Anak, 12(5), 10–14.
Sunaryo, U., Neurologi, B., & Uwk, F. K. (2007). No Title, 1.