Disusun oleh:
Christian Tricaesario
22010116210092
Pembimbing:
dr. Darma Yudistira
Bantuan hidup dasar atau basic life support (BLS) adalah pendekatan
sistematik untuk penilaian pertama pasien, mengaktifkan respon gawat darurat
dan juga inisiasi resusitasi jantung paru (RJP). RJP yang efektif adalah dengan
menggunakan kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. 1
BLS boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam
bidang kesehatan. Artinya, RJP boleh dilakukan dan dipelajari oleh dokter,
perawat, paramedis, dan juga orang awam. Keadaan di mana terdapat kegagalan
pernapasan yang dapat menyebabkan systemic cardiopulmonary arrest (SCA)
adalah kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratorik, sudden infant death syndrome
dan lainnya.2
Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena penderita yang
diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang besar untuk dapat hidup. Pasien
yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar diri atau mengalami penurunan
pernafasan selalu diasumsikan mempunyai gangguan SCA terlebih dahulu.
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan
transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh
terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal
bagi korban dan mengalami kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami
kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan
gula/glukosa dan oksigen.
Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen
dan glukosa maka sel-sel otak akan mengalami kematian secara permanen.
Kematian otak berarti pula kematian korban. Oleh karena itu, golden period
(waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah
dibawah 10 menit. Artinya, dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang
mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan
pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup korban sangat kecil.3
Saat ini, AHA telah mempublikasikan panduan terbaru RJP dan juga ECC
(Emergency Cardiovascular Care) per bulan Oktober 2015. Kehadiran
rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman sebelumnya tidak
aman atau tidak efektif, melainkan untuk menyempurnakan rekomendasi
terdahulu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
adalah usaha untuk mengembalikan sirkulasi dan/atau fungsi pernapasan akibat
terhentinya fungsi dan/atau denyut jantung. Resusitasi sendiri berarti
menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha untuk mencegah
berlanjutnya episode henti jntung menjadi kematian biologis. Dapat diartikan pula
sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan atau sirkulasi yang
bertujuan untuk mempertahankan fungsi otak secara manual.1,4
Henti napas adalah tidak adanya pergerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari pasien atau tidak adekuat.5 Bisa diakibatkan karena tenggelam,
penyakit stroke, obstruksi jalan napas, epiglotitis, overdosis obat-obatan, infark
miokardium, tersengat listrik, dan lain sebagainya; sedangkan henti jantung
didefinisikan sebagai ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat kembali
normal jika dilakukan tindakan pertolongan yang cepat dan tepat.2 Hal ini berarti
henti jantung bisa disebabkan oleh berbagai hal misalnya penyakit yang
sebelumnya diderita, bisa juga tanpa adanya penyakit yng mendahului, namun
keduanya sama-sama terjadi mendadak dan masih bersifat reversible.
2. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidaksanggupan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat kembali normal, apabila dilakukan tindakan yang
tepat atau akan menyebabkan kematian dan kerusakan otak. Tanda-tanda henti
jantung, antara lain:2
a. hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik setelah henti jantung
b. henti napas (apnea) yang muncul setelah 15-20 detik henti jantung
c. terlihat seperti mati, yang ditandai warna kulit pucat sampai kelabu
d. pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah henti jantung
e. tidak teraba denyut arteri
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol
(10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (5%). Dua jenis henti
jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan
pacemaker jantung. Fibrilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas
jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba
(karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,
pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apneu), dilatasi pupil tak bereaksi
terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.2
Pengiriman oksigen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi oksigen dan fungsi pernapasan. Iskemi yang
melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan korteks serebri rusak
permanen, walaupun setelah itu jantung berdenyut kembali.
JAW THRUST
B. Breathing (Pernapasan)
Untuk menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara:
o Look : lihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak.
o Listen : dengarkan suara napas korban ada atau tidak
o Feel : rasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung.
Jika tidak ada, maka dapat dilakukan napas buatan mulut ke mulut atau
sungkup ke mulut, atau mulut ke hidung, atau mulut ke lubang trakheostomi
sebanyak 2 kali.1,7
C. Circulation (Sirkulasi)
Aspek dasar dalam Bantuan Hidup Dasar meliputi pengenalan
(recognition) secara cepat henti jantung yang tiba-tiba dan aktivasi emergency
response system (activation), resusitasi jantung paru yang dini (resuscitation),
dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan Automated External
Defibrillator (AED).1,4,7
a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response
system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti
jantung secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali
mengenali bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan
pada tidak adanya atau berkurangnya respon napas. Setelah memastikan
bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus memeriksa respon penderita
dengan cara menepuk pundak penderita dan memanggil penderita. Setelah
itu baik penolong yang terlatih maupun yang tidak terlatih harus segera
mengaktifkan emergency response system (dengan menghubungi nomor
darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency response system
semua penolong harus segera memulai RJP.
b. Pengecekan nadi
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri
femoralis) dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak
menemukannya. Bagi penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai
jika pasien tidak responsif dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya
denyut karotis atau tidak.
Penyelamatan pernapasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and
ECC 2010 adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi
sebelum ventilasi. Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia
maupun hewan bahwa memulai RJP dengan 30 kompresi daripada
memulai dengan 2 ventilasi yang menunjukkan hasil yang lebih baik,
namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada. Oleh
sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus
diminimalkan selama seluruh proses resusitasi. Selain itu, kompresi
dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan memposisikan
kepala, mengambil penutup untuk pertolongan napas dari mulut ke
mulut, dan mengambil alat memakan banyak waktu. Memulai RJP
dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan penundaan
yang lebih singkat.
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang
terlatih harus memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke
mulut atau melalui bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan
ventilasi, sebagai berikut:
o Memberikan setiap napas buatan selama satu detik
o Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan
pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
o Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
o Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu,
atau laryngeal mask airway/LMA) telah dipasang selama RJP
dengan dua orang penyelamat, berikan napas setiap 6-8 detik
tanpa menyesuaikan napas dengan kompresi. Kompresi dada
tidak boleh berhenti untuk memberikan ventilasi.
d. Defibrilasi dini dengan AED
Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang
seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrillation) bila
AED dekat dan mudah didapatkan dan kemudian kembali ke penderita
untuk memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan
RJP berkualitas tinggi. Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang
penolong harus segera memberikan kompresi dada sedangkan penolong
kedua mengaktifkan emergency response system dan mengambil AED
(atau defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit). AED harus
digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus memberikan
RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.
Tahapan defibrilasi:
1. Nyalakan AED
2. Ikuti petunjuk
3. Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan
gangguan).
3. Rata-rata kompresi
Sebaiknya dilakukan kira-kira minimal 100 kali/menit. Jumlah kompresi
dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation (ROSC)) dan
fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi
dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta
lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan
napas, memberikan napas buatan, dan melakukan analisis AED).
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan
tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.
Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan
tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada
meminimalkan gangguan pada komponen penting dari RJP tersebut. Kompresi
yang inadekuat atau gangguan yang sering, atau keduanya, akan mengurangi
jumlah total kompresi yang diberikan per menit.9
4. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat
dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada
jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan
meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.
Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk
dialirkan ke jantung dan otak.9
8. Tim Resusitasi
Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya,
satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan penolong
kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi atau
memakaikan bag-mask untuk membantu pernapasan dan penolong keempat
mempersiapkan defibrillator.9
2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2015
Saat ini AHA telah mempublikasikan panduan terbaru CPR (Cardio
Pulmonary Resuscitation) dan juga ECC (Emergency Cardiovascular Care) per
bulan Oktober 2015. Pada panduan CPR tahun 2010, AHA telah mengembangkan
CPR yang berfokus pada evidence-based recommendations untuk resusitasi, ECC
dan penanganan pertama atau first aid. Untuk tahun 2015, AHA berfokus pada
perkembangan terbaru dalam ilmu pengetahuan dan juga kontroversi-kontroversi
yang terjadi sejak panduan 2010 dikeluarkan, sehingga diharapkan dalam 5 tahun
kedepan, panduan ini bisa memberikan penanganan life-saving yang efektif
berdasarkan ilmu pengetahuan terbaru.10
Pada panduan terbaru, AHA masih menggunakan 5 komponen high-quality
CPR yang mana diantaranya:
1. Ensuring chest compressions of adequate rate (frekuensi kompresi
adekuat)
2. Ensuring chest compressions of adequate depth (kedalaman yang
adekuat)
3. Allowing full chest recoil between compressions (recoil penuh
diantara kompresi)
4. Minimizing interruptions in chest compressions (interupsi minimal)
5. Avoiding excessive ventilation (hindari ventilasi berlebih)
Pada Panduan CPR tahun 2015, AHA menambahkan beberapa perubahan yang
signifikan diantaranya :10
Pada korban dewasa dengan henti jantung, kompresi jantung dilakukan
dengan kecepatan 100 kali/menit sampai 120 kali/menit
Ketika RJP dilakukan, kedalaman kompresi 2 inci sampai 2.4 inci atau 5
sampai 6 cm.
3.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 1 April 2017 di
Ruang Rajawali 6B RSUP dr. Kariadi.
A. Keluhan utama:
Sesak napas
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
± 1 minggu SMRS pasien merasa sesak. Sesak bertambah parah dengan
beraktivitas ringan seperti berjalan, pasien merasa lebih baik saat
beristirahat. Sebelumnya pasien sudah pernah dirawat di RSDK dengan
penyakit jantung, riwayat TB paru BTA +, dirasakan juga nyeri perut
disertai BAB hitam sejak 2 hari yang lalu.
C. Riwayat Dahulu:
Riwayat penyakit jantung
Riwayat TB
Riwayat PCI tahun 2014
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat asma dan alergi disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat trauma sebelumnya disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sekarang adalah pensiunan. Biaya pengobatan: JKN non-PBI.
Kesan : sosial ekonomi cukup.
3.5 Diagnosis
3.5.1 Cardiac arrest
3.5.2 CHF NYHA III
A: cardiac arrest
P: RJP + injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 09:10 WIB) TD tidak terukur, nadi tidak
Cek kesadaran pasien tidak sadar teraba
Cek Nadi Karotis tidak teraba
A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 09:30 WIB) TD tidak terukur, nadi tidak
Cek kesadaran pasien tidak sadar teraba
Cek Nadi Karotis tidak teraba Pupil dilatasi maksimal
EKG asistol
A: cardiac arrest
P: Pasien dinyatakan meninggal dihadapan
keluarga dan perawat
BAB IV
RINGKASAN
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Resusitasi Jantung Paru. Dalam:
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI; 2009.
2. Kern KB. Pathophysiology of Cardiac Arrest. Dalam: The Textbook of
Emergency Cardiovascular Care and CPR. Lippincott Williams & Wilkins;
2009. p. 149–59.
3. Wik L. Three minutes of basic cardiopulmonary resuscitation of pre-
hospital ventricular fibrillation patients before defibrillation increases the
number of patients who survive to hospital discharge, and one year
survival. Circulation. 2002;106(A1823).
4. Ahmed D. Cardiopulmonary Resuscitation. Chinkipora Sopore Kashmir,
India; 2008.
5. Managing Respiratory Arrest [Internet]. [cited 2017 Apr 11]. Available
from: https://acls.com/free-resources/respiratory-arrest-airway-
management/managing-respiratory-arrest
6. Stoppler MC. The Importance of CPR [Internet]. 2008 [cited 2017 Apr 11].
Available from:
http://www.emedicinehealth.com/cardiopulmonary_resuscitation_cpr/articl
e_em.htm
7. Soenarjo, Mochamat. Resusitasi Jantung Paru. Dalam: Anestesiologi.
Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip; 2013. p.
47–62.
8. Pediatric Basic Life Support and Cardiopulmonary Resuscitation Quality
[Internet]. 2015 [cited 2017 Apr 11]. Available from:
https://eccguidelines.heart.org/index.php/circulation/cpr-ecc-guidelines-
2/part-11-pediatric-basic-life-support-and-cardiopulmonary-resuscitation-
quality/
9. American Heart Association. Highlight of The 2010 American Heart
Association Guidelines for CPR and ECC. 2010.
10. American Heart Association. Highlight of The 2015 American Heart
Association Guidelines for CPR and ECC. 2015.