Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS ANESTESI

RESUSITASI JANTUNG PARU PADA SEORANG LAKI-LAKI 64


TAHUN DENGAN CARDIAC ARREST

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:
Christian Tricaesario
22010116210092

Pembimbing:
dr. Darma Yudistira

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Christian Tricaesario


NIM : 22010116210092
Bagian : Anestesiologi RSDK-FK UNDIP
Judul kasus : Resusitasi Jantung Paru pada Seorang Laki-Laki 64
Tahun dengan Cardiac Arrest
Pembimbing : dr. Darma Yudistira

Semarang, 20 April 2017


Pembimbing

dr. Darma Yudistira


BAB I
PENDAHULUAN

Bantuan hidup dasar atau basic life support (BLS) adalah pendekatan
sistematik untuk penilaian pertama pasien, mengaktifkan respon gawat darurat
dan juga inisiasi resusitasi jantung paru (RJP). RJP yang efektif adalah dengan
menggunakan kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. 1
BLS boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam
bidang kesehatan. Artinya, RJP boleh dilakukan dan dipelajari oleh dokter,
perawat, paramedis, dan juga orang awam. Keadaan di mana terdapat kegagalan
pernapasan yang dapat menyebabkan systemic cardiopulmonary arrest (SCA)
adalah kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratorik, sudden infant death syndrome
dan lainnya.2
Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena penderita yang
diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang besar untuk dapat hidup. Pasien
yang ditemukan dalam keadaan tidak sadar diri atau mengalami penurunan
pernafasan selalu diasumsikan mempunyai gangguan SCA terlebih dahulu.
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan
transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh
terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal
bagi korban dan mengalami kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami
kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan
gula/glukosa dan oksigen.
Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen
dan glukosa maka sel-sel otak akan mengalami kematian secara permanen.
Kematian otak berarti pula kematian korban. Oleh karena itu, golden period
(waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah
dibawah 10 menit. Artinya, dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang
mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan
pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup korban sangat kecil.3
Saat ini, AHA telah mempublikasikan panduan terbaru RJP dan juga ECC
(Emergency Cardiovascular Care) per bulan Oktober 2015. Kehadiran
rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman sebelumnya tidak
aman atau tidak efektif, melainkan untuk menyempurnakan rekomendasi
terdahulu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
adalah usaha untuk mengembalikan sirkulasi dan/atau fungsi pernapasan akibat
terhentinya fungsi dan/atau denyut jantung. Resusitasi sendiri berarti
menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha untuk mencegah
berlanjutnya episode henti jntung menjadi kematian biologis. Dapat diartikan pula
sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan atau sirkulasi yang
bertujuan untuk mempertahankan fungsi otak secara manual.1,4
Henti napas adalah tidak adanya pergerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari pasien atau tidak adekuat.5 Bisa diakibatkan karena tenggelam,
penyakit stroke, obstruksi jalan napas, epiglotitis, overdosis obat-obatan, infark
miokardium, tersengat listrik, dan lain sebagainya; sedangkan henti jantung
didefinisikan sebagai ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat kembali
normal jika dilakukan tindakan pertolongan yang cepat dan tepat.2 Hal ini berarti
henti jantung bisa disebabkan oleh berbagai hal misalnya penyakit yang
sebelumnya diderita, bisa juga tanpa adanya penyakit yng mendahului, namun
keduanya sama-sama terjadi mendadak dan masih bersifat reversible.

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru


1. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung yang mungkin menjadi fatal.5
Indikasi RJP untuk orang awam adalah hilangnya kesadaran dan henti
napas. Bila terjadi henti napas primer, jantung dapat terus memompa darah
selama beberapa menit selama ada sisa oksigen dalam paru yang beredar ke
otak dan organ lain. Penanganan dini pada pasien henti napas dapat mencegah
henti jantung. Tanda-tanda diperlukannya penanganan jalan napas dan
pernapasan:5
a. aliran udara di hidung atau mulut tidak dapat didengar atau
dirasakan
b. pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan
sela iga serta tidak ada pengembangan dada saat inspirasi
c. adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi
buatan
d. bisa disertai bunyi napas tambahan (snoring, wheezing)
e. dapat disertai retraksi
f. pada keadaan klinis dapat diketahui:
- hiperkarbia: penurunan kesadaran, peningktan CO2 arteri
- hipoksemia: takikardi, gelisah, berkeringat, sianosis

2. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidaksanggupan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat kembali normal, apabila dilakukan tindakan yang
tepat atau akan menyebabkan kematian dan kerusakan otak. Tanda-tanda henti
jantung, antara lain:2
a. hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik setelah henti jantung
b. henti napas (apnea) yang muncul setelah 15-20 detik henti jantung
c. terlihat seperti mati, yang ditandai warna kulit pucat sampai kelabu
d. pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah henti jantung
e. tidak teraba denyut arteri
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol
(10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (5%). Dua jenis henti
jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan
pacemaker jantung. Fibrilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas
jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba
(karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,
pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apneu), dilatasi pupil tak bereaksi
terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.2
Pengiriman oksigen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi oksigen dan fungsi pernapasan. Iskemi yang
melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan korteks serebri rusak
permanen, walaupun setelah itu jantung berdenyut kembali.

2.3 Komponen Resusitasi Jantung Paru


Terdapat 3 komponen resusitasi jantung paru diantaranya:
A (Airway) : menjaga jalan napas tetap terbuka.
B (Breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
C (Circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
dada.

2.4 Langkah Resusitasi Jantung Paru


Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen: kompresi dada
dan ventilasi buatan. Sebelum menolong korban, hendaklah menilai keadaan
lingkungan terlebih dahulu:6
1. Apakah korban dalam keadaan sadar?
2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu
korban dan bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik-baik saja?”
3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi
rumah sakit terdekat, dan mulailah RJP
A. Airway (Jalan Napas)
Posisikan korban dalam keadaan terlentang pada alas yang keras (ubin),
bila diatas kasur selipkan papan. Periksa jalan napas korban sebagai berikut:
o membuka mulut korban
o masukkan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah)
o lihat apakah ada benda asing, darah, (bersihkan)
Pada korban tidak sadar, tonus otot menghilang, sehingga lidah akan jatuh
kebelakang (drop), menutupi jalan napas. Lidah dan epiglottis penyebab utama
tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar. Beberapa cara untuk
membebaskan jalan napas:5
o Letakkan tangan penolong diatas kening korban dan tangan yang lain
didagu korban, tengadahkan/dongakkan kepala korban (Head tilt - chin
lift).
o Jika kita mencurigai adanya patah atau fraktur tulang leher/servikal,
maka pakai cara jaw thrust lalu buka jalan napas.

HEAD TILT CHIN LIFT

JAW THRUST
B. Breathing (Pernapasan)
Untuk menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara:
o Look : lihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak.
o Listen : dengarkan suara napas korban ada atau tidak
o Feel : rasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung.

Jika tidak ada, maka dapat dilakukan napas buatan mulut ke mulut atau
sungkup ke mulut, atau mulut ke hidung, atau mulut ke lubang trakheostomi
sebanyak 2 kali.1,7

C. Circulation (Sirkulasi)
Aspek dasar dalam Bantuan Hidup Dasar meliputi pengenalan
(recognition) secara cepat henti jantung yang tiba-tiba dan aktivasi emergency
response system (activation), resusitasi jantung paru yang dini (resuscitation),
dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan Automated External
Defibrillator (AED).1,4,7
a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response
system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti
jantung secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali
mengenali bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan
pada tidak adanya atau berkurangnya respon napas. Setelah memastikan
bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus memeriksa respon penderita
dengan cara menepuk pundak penderita dan memanggil penderita. Setelah
itu baik penolong yang terlatih maupun yang tidak terlatih harus segera
mengaktifkan emergency response system (dengan menghubungi nomor
darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency response system
semua penolong harus segera memulai RJP.

b. Pengecekan nadi
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri
femoralis) dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak
menemukannya. Bagi penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai
jika pasien tidak responsif dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya
denyut karotis atau tidak.

c. Resusitasi Jantung Paru


 Kompresi dada
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan
bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan
menciptakan aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan
intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Hal ini
menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan otak.
Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah
selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus
mendapatkan kompresi dada. Untuk memperoleh kompresi dada yang
efektif, tekan secara kuat dan cepat (push hard and push fast).
Kecepatan kompresi harus mencapai 100-120kali/menit dengan
kedalaman kompresi 2-2,4 inci (5-6 cm). Penolong harus memberi
kesempatan agar daya rekoil dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis
kompresi, untuk memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara
penuh sebelum kompresi berikutnya. Penolong seharusnya mencoba
untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi selama
kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap
menit.

Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk


bayi hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan
anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus
dilakukan di bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman
kompresi adalah 1,5 inchi.8
.

 Penyelamatan pernapasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and
ECC 2010 adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi
sebelum ventilasi. Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia
maupun hewan bahwa memulai RJP dengan 30 kompresi daripada
memulai dengan 2 ventilasi yang menunjukkan hasil yang lebih baik,
namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada. Oleh
sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus
diminimalkan selama seluruh proses resusitasi. Selain itu, kompresi
dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan memposisikan
kepala, mengambil penutup untuk pertolongan napas dari mulut ke
mulut, dan mengambil alat memakan banyak waktu. Memulai RJP
dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan penundaan
yang lebih singkat.
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang
terlatih harus memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke
mulut atau melalui bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan
ventilasi, sebagai berikut:
o Memberikan setiap napas buatan selama satu detik
o Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan
pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
o Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
o Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu,
atau laryngeal mask airway/LMA) telah dipasang selama RJP
dengan dua orang penyelamat, berikan napas setiap 6-8 detik
tanpa menyesuaikan napas dengan kompresi. Kompresi dada
tidak boleh berhenti untuk memberikan ventilasi.
d. Defibrilasi dini dengan AED
Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang
seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrillation) bila
AED dekat dan mudah didapatkan dan kemudian kembali ke penderita
untuk memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan
RJP berkualitas tinggi. Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang
penolong harus segera memberikan kompresi dada sedangkan penolong
kedua mengaktifkan emergency response system dan mengambil AED
(atau defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit). AED harus
digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus memberikan
RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.
Tahapan defibrilasi:
1. Nyalakan AED
2. Ikuti petunjuk
3. Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan
gangguan).

2.5 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2010


1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus yang
mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:9
 Kecepatan kompresi paling sedikit 100 kali/menit (perubahan dari
”kurang lebih” 100 kali/menit)
 Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan
paling sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita
anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi (4cm) pada bayi dan 2 inchi (5cm)
pada anak-anak)
 Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan
kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi
sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC
 Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap
kali selesai kompresi
 Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
 Menghindari ventilasi yang berlebihan
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi ventilasi yaitu
sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang
baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi
untuk memberikan napas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan napas telah
dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan
kecepatan paling sedikit 100 kali/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi.
Napas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6 sampai 8
detik (sekitar 8-10 napas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.9

2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B


Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation
berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari
penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif.
Mengamankan jalan napas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang
memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang
seorang diri.
Sebagian besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling umum
adalah ventricular fibrillation atau pulseless ventricular tachycardia. Pada
penderita tersebut, elemen paling penting dari BLS adalah kompresi dada dan
defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali
tertunda ketika penolong membuka jalan napas untuk memberikan napas buatan,
mencari alat pembatas (barrier devices) atau mengumpulkan peralatan ventilasi.
Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang penting
yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang
merupakan pengecualian dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak
berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, and feel, sehingga komponen
ini dihilangkan dari panduan.
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada dimulai sesegera
mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus pertama dari
30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita
yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan
RJP oleh orang-orang disekitarnya.
Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut, namun salah satu hambatan yang
dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur yang paling
sulit, yaitu membuka jalan napas dan memberikan napas buatan. Memulai
pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong
untuk memulai RJP. 9

3. Rata-rata kompresi
Sebaiknya dilakukan kira-kira minimal 100 kali/menit. Jumlah kompresi
dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation (ROSC)) dan
fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi
dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta
lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan
napas, memberikan napas buatan, dan melakukan analisis AED).
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan
tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.
Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan
tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada
meminimalkan gangguan pada komponen penting dari RJP tersebut. Kompresi
yang inadekuat atau gangguan yang sering, atau keduanya, akan mengurangi
jumlah total kompresi yang diberikan per menit.9

4. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat
dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada
jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan
meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.
Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk
dialirkan ke jantung dan otak.9

5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)


Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA
mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih
diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka.
Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh
penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli
melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil
yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi.9

6. Identifikasi pernapasan agonal oleh pengantar (Dispatcher Identification of


Agonal Gasps)
Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernapas atau sulit
bernapas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk memulai RJP
jika korban tidak bernapas atau pernapasan yang tidak normal. Pengecekan
kecepatan pernapasan seharusnya dilakukan sebelum aktivasi emergency response
system.1,7,9

7. Aktivasi Emergency Response System


Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah penilaian
respon penderita dan pernapasan, namun seharusnya tidak ditunda. Menurut
panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan
setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan tidak
merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan menggunakan
defibrillator jika tersedia.9

8. Tim Resusitasi
Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya,
satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan penolong
kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi atau
memakaikan bag-mask untuk membantu pernapasan dan penolong keempat
mempersiapkan defibrillator.9
2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2015
Saat ini AHA telah mempublikasikan panduan terbaru CPR (Cardio
Pulmonary Resuscitation) dan juga ECC (Emergency Cardiovascular Care) per
bulan Oktober 2015. Pada panduan CPR tahun 2010, AHA telah mengembangkan
CPR yang berfokus pada evidence-based recommendations untuk resusitasi, ECC
dan penanganan pertama atau first aid. Untuk tahun 2015, AHA berfokus pada
perkembangan terbaru dalam ilmu pengetahuan dan juga kontroversi-kontroversi
yang terjadi sejak panduan 2010 dikeluarkan, sehingga diharapkan dalam 5 tahun
kedepan, panduan ini bisa memberikan penanganan life-saving yang efektif
berdasarkan ilmu pengetahuan terbaru.10
Pada panduan terbaru, AHA masih menggunakan 5 komponen high-quality
CPR yang mana diantaranya:
1. Ensuring chest compressions of adequate rate (frekuensi kompresi
adekuat)
2. Ensuring chest compressions of adequate depth (kedalaman yang
adekuat)
3. Allowing full chest recoil between compressions (recoil penuh
diantara kompresi)
4. Minimizing interruptions in chest compressions (interupsi minimal)
5. Avoiding excessive ventilation (hindari ventilasi berlebih)
Pada Panduan CPR tahun 2015, AHA menambahkan beberapa perubahan yang
signifikan diantaranya :10
 Pada korban dewasa dengan henti jantung, kompresi jantung dilakukan
dengan kecepatan 100 kali/menit sampai 120 kali/menit
 Ketika RJP dilakukan, kedalaman kompresi 2 inci sampai 2.4 inci atau 5
sampai 6 cm.

2.7 Keputusan untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi


Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari
keadaan berikut ini:
 telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
 ada orang lain yang lebih ahli mengambil alih tanggung jawab
 penolong terlalu lelah sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi
yang adekuat
 pasien dinyatakan mati atau hampir dipastikan bahwa fungsi serebral
tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit sampai 1 jam terbukti tidak
ada nadi pada normotermia tanpa RJPO setelah dimulai resusitasi.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak,
fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara
pasti/irreversible.
 Bantuan medis atau AED telah tiba
Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada
pernapasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap
selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek
barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak
adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung
adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya
resusitasi.1,3,4,6
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : Tn. CC
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pensiunan
Ruang : Rajawali 6B
No. CM : C556964
Tgl masuk : 26 Maret 2017

3.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 1 April 2017 di
Ruang Rajawali 6B RSUP dr. Kariadi.
A. Keluhan utama:
Sesak napas
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
± 1 minggu SMRS pasien merasa sesak. Sesak bertambah parah dengan
beraktivitas ringan seperti berjalan, pasien merasa lebih baik saat
beristirahat. Sebelumnya pasien sudah pernah dirawat di RSDK dengan
penyakit jantung, riwayat TB paru BTA +, dirasakan juga nyeri perut
disertai BAB hitam sejak 2 hari yang lalu.
C. Riwayat Dahulu:
 Riwayat penyakit jantung
 Riwayat TB
 Riwayat PCI tahun 2014
 Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
 Riwayat asma dan alergi disangkal
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal
 Riwayat trauma sebelumnya disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sekarang adalah pensiunan. Biaya pengobatan: JKN non-PBI.
Kesan : sosial ekonomi cukup.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan di Ruang Rajawali 6B
A. Keadaan Umum
Tidak sadar, henti jantung dan henti napas, terpasang infus NaCl 0.9%,
syringe pump dobutamin dan furosemid, dan nasal kanul oksigen 3
lpm
B. Survey Primer
Airway : paten
Breathing : tidak ada napas spontan
Circulation : tekanan darah tidak terukur, nadi tidak terukur
C. Pengkajian berkaitan dengan kegawatan
Jalan napas : paten
Pernapasan : henti napas
Sirkulasi : gangguan hemodinamik
Nyeri : tidak nyeri

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil
Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
(25/03/2017)
Darah Lengkap
Hemoglobin 14,3 g/dL 13-16
Hematokrit 42,2 % 40-54
Eritrosit 6,82 106/uL 4,4-5,9
MCH 21 Pg 27-32
MCV 61,9 fL 76-96
MCHC 33,9 g/dL 29-36
Leukosit 12,3 103/uL 3,8-10,6
Trombosit 283 103/uL 150-400
RDW 19,6 % 11,60-14,80
MPV 10,3 fL 4-11
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 103 mg/dl 80-160
Ureum 90 mg/dL 15-39
Kreatinin 1,3 mg/dL 0,6-1,3
Magnesium 0,82 mmol/L 0,74-0,99
Calcium 2.22 mmol/L 2,12-2,52
Elektrolit
Natrium 133 mmol/L 136-145
Kalium 4,2 mmol/L 3,5-5,1
Chlorida 101 mmol/L 98-107
Koagulasi
1,63
INR

3.5 Diagnosis
3.5.1 Cardiac arrest
3.5.2 CHF NYHA III

3.6 Tindakan Life-Saving


 Nama Tindakan : Resusitasi Jantung Paru
 Diagnosis Banding : Cardiac arrest, CHF NYHA III
 Dasar Diagnosis : Klinis dan penunjang
 Indikasi Tindakan : Henti jantung
 Tata Cara : Sesuai prosedur
 Tujuan : Bantuan hidup lanjut
 Risiko : Patah tulang, kematian
 Komplikasi : Patah tulang
 Prognosis : Dubia
 Alternatif & Risiko : Tidak ada
 Lain-lain : Tidak ada
Tindakan Monitoring hasil tindakan
(Jam 09:05 WIB) TD tidak terukur, nadi tidak
Cek kesadaran  pasien tidak sadar teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba

A: cardiac arrest
P: RJP + injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 09:10 WIB) TD tidak terukur, nadi tidak
Cek kesadaran  pasien tidak sadar teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba

A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 09:30 WIB) TD tidak terukur, nadi tidak
Cek kesadaran  pasien tidak sadar teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba Pupil dilatasi maksimal
EKG asistol
A: cardiac arrest
P: Pasien dinyatakan meninggal dihadapan
keluarga dan perawat
BAB IV
RINGKASAN

Resusitasi jantung paru adalah usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk


mencegah suatu episode henti jantung dengan bantuan pernapasan dan kompresi
dada. Indikasi dilakukan RJP adalah henti napas dan henti jantung.
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi pengenalan segera henti
jantung dan aktivasi emergency response system, RJP awal dengan menekankan
pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, dan penanganan lanjut yang
terintegrasi.
Pada CPR (cardiopulmonary rescucitation) Guidelines 2010, terdapat
perubahan pada tahapan BLS yang pada awalnya tahapan sebagai berikut: A-B-C
(Airway-Breathing-Circulation) menjadi C-A-B (Circulation-Airway-Breathing)
untuk pasien dewasa dan pediatrik (anak dan bayi, tidak termasuk bayi baru lahir).
Panduan RJP yang terbaru ini juga menekankan pada pemberian RJP yang
berkualitas tinggi, dengan kecepatan kompresi paling sedikit 100 kali/menit dan
kedalamannya paling sedikit 2 inchi (5cm) pada dewasa dan anak-anak, serta 1,5
inchi (4cm) pada bayi.
Pada Panduan CPR tahun 2015, AHA menambahkan beberapa perubahan
diantaranya kompresi jantung dilakukan dengan kecepatan 100-120 kali/menit
dengan kedalaman kompresi haruslah 2-2,4 inci atau 5-6 cm untuk dewasa rata-
rata.
RJP dilakukan sampai sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif telah
timbul kembali, ada orang lain yang lebih ahli mengambil alih tanggung jawab,
penolong terlalu lelah, bantuan medis atau AED telah tiba, atau korban telah
dinyatakan meninggal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Resusitasi Jantung Paru. Dalam:
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI; 2009.
2. Kern KB. Pathophysiology of Cardiac Arrest. Dalam: The Textbook of
Emergency Cardiovascular Care and CPR. Lippincott Williams & Wilkins;
2009. p. 149–59.
3. Wik L. Three minutes of basic cardiopulmonary resuscitation of pre-
hospital ventricular fibrillation patients before defibrillation increases the
number of patients who survive to hospital discharge, and one year
survival. Circulation. 2002;106(A1823).
4. Ahmed D. Cardiopulmonary Resuscitation. Chinkipora Sopore Kashmir,
India; 2008.
5. Managing Respiratory Arrest [Internet]. [cited 2017 Apr 11]. Available
from: https://acls.com/free-resources/respiratory-arrest-airway-
management/managing-respiratory-arrest
6. Stoppler MC. The Importance of CPR [Internet]. 2008 [cited 2017 Apr 11].
Available from:
http://www.emedicinehealth.com/cardiopulmonary_resuscitation_cpr/articl
e_em.htm
7. Soenarjo, Mochamat. Resusitasi Jantung Paru. Dalam: Anestesiologi.
Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip; 2013. p.
47–62.
8. Pediatric Basic Life Support and Cardiopulmonary Resuscitation Quality
[Internet]. 2015 [cited 2017 Apr 11]. Available from:
https://eccguidelines.heart.org/index.php/circulation/cpr-ecc-guidelines-
2/part-11-pediatric-basic-life-support-and-cardiopulmonary-resuscitation-
quality/
9. American Heart Association. Highlight of The 2010 American Heart
Association Guidelines for CPR and ECC. 2010.
10. American Heart Association. Highlight of The 2015 American Heart
Association Guidelines for CPR and ECC. 2015.

Anda mungkin juga menyukai