Anda di halaman 1dari 7

1

Pendapat Hukum (Legal Opinion)


tentang Kewenangan Kepala Daerah Dalam Memberikan
Penetapan Hak Atas Tanah

Disusun Oleh:
HERU PURNOMO, S.H

A. Dasar hukum

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Jogjakarta;
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1959 tentang Penetapan
Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1955 Tentang Perpanjangan
Jangka Waktu Berlakunya Peraturan-Peraturan Daerah Yang
Dimaksud Dalam Pasal 6 Undang-Undang Pembentukan
Daerah-Daerah Otonom Di Jawa (Lembaran-Negara Tahun 1955 No.
53), Sebagai Undang-Undang;
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria;
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia;
6. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan
sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta;
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah;
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah;
9. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 26 Tahun 1956 tentang
Pemberian Hak Atau Pemindahan Hak (Vervreemden), Penyerahan Hak
(Overdrach), Peralihan Hak Karena Warisan Dan Hapusnya Hak
"Handarbe" (Inlandsch Bezitsrecht) Diatas Tanah Dalam Daerah
Istimewa Yogyakarta Kepada Warga Negara Indonesia Asli; dan
2

10. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3


Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Bahasan

1. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang


Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berkaitan dengan
kepemilikan tanah menegaskan bahwa “Atas dasar ketentuan dalam
pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.”
2. Selanjutnya ditegaskan pada ayat (2) dalam pasal yang sama Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960, ditegaskan bahwa “Hak menguasai dari
Negara yakni berupa kewenangan untuk:
a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya bumi, air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan (hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari)
bumi (tanah), air dan ruang angkasa itu; dan
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan
ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
sebagaimana dimaksud pada angka 2 tersebut digunakan untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat, dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.1

1
Lihat Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3

4. Hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud pada angka 3


tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada:2
a. daerah-daerah Swatantra; dan
b. masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
5. Hubungan hukum (hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari)
bumi (tanah), air dan ruang angkasa hanya dapat dipunyai oleh warga
negara Indonesia atau dapat dikatakan hubungan hukum antara bumi
(tanah), air dan ruang angkasa dengan pemiliknya bersifat asas
kebangsaan.3
6. Dalam kaitan Kasus Posisi dan Isu Hukum dalam Legal Opinion ini
bahwa hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yakni
meliputi:4
a. hak milik;
b. hak guna-usaha;
c. hak guna-bangunan;
d. hak pakai;
e. hak sewa;
f. hak membuka tanah;
g. hak memungut-hasil hutan;
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas
yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hakhak yang
sifatnya sementara, yang meliputi:5
1) hak gadai;
2) hak usaha bagi hasil;

2
Lihat Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3
Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
4
Lihat Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
5
Lihat Pasal 16 ayat (1) juncto. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
4

3) hak menumpang; dan


4) hak sewa tanah pertanian,
diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan
Undang-Undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya
didalam waktu yang singkat.
7. Selanjutnya ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 bahwa “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun
wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi
diri sendiri maupun keluarganya.”6 Dan kepemilikan tanah dengan
status hak milik hanya dapat dipunyai (baca: diberikan) kepada hanya
Warga Negara Indonesia.7
8. Berkaitan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 7
tersebut, Konstitusi mengamanatkan bahwa ”Yang menjadi warga
negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara.”8
Tindaklanjut dari amanat Konstitusi mengenai “Warga Negara
Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, pada saat ini telah
diundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang memuat asas-asas, yakni
meliputi:
a. Asas ius sanguinis (law of the blood), yaitu asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan
berdasarkan negara tempat kelahiran.
b. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas, yaitu asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara

6
Lihat Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
7
Lihat Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
8
Lihat Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5

tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak


sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
c. Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukankan
satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal
kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarga-
negaraan (apatride).
Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam
Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
e. Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi
dasar penyusunan Undang-Undang ini, yakni meliputi:
1) asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa
peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan
nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan
kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita
dan tujuannya sendiri;
2) asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan
bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh
kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun
baik di dalam maupun di luar negeri;
3) asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah
asas yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia
mendapatkan perlakuan yang sarna di dalam hukum dan
pemerintahan.
4) asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan
seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai
substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya;
5) asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan
perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan
6

warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis


kelamin dan gender;
6) asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara harus menjamin,
melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada
umumnya dan hak warga negara pada khususnya;
7) asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam
segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara harus
dilakukan secara terbuka; dan
8) asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang
yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
agar masyarakat mengetahuinya.
9. Kewenangan Kepala Daerah dapat dilihat dari 2 (dua) fase yakni:
a. Sebelum 1988 (sebelum adanya Lembaga Pertanahan/BPN)

1) Kewenangan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk


memberikan Keputusan atas Hak Pakai tanah Negara yang
dikuasai oleh Negara (baca: Pemerintah Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta) pada tahun 1971 sampai dengan 1988 (baca:
sebelum adanya Lembaga Pertanahan/BPN) berdasarkan
pelimpahan kewenangan (delegasi) dari Pemerintah Pusat (baca:
Menteri Agraria/Menteri Dalam Negeri).
2) Keputusan pemberian Hak Pakai tanah Negara yang diterbitkan
oleh Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
instrumen hukum administrasi pemerintahan yang berbentuk
keputusan dari perbuatan hukum publik yang bersegi satu
(ketetapan) yang diterbitkan oleh Kepala Daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta, yang berkedudukan sebagai Wakil
Pemerintah Pusat (organ pemerintahan) sesuai dengan
kewenangan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
pemberian Hak Pakai atas tanah Negara yang dikuasai oleh
Negara (baca: Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta)
7

bersumber dari Pemerintah Pusat (baca: Menteri Agraria/


Menteri Dalam Negeri) sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan
Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah juncto Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.

b. Setelah 1988 (setelah adanya Lembaga Pertanahan/BPN)

1) Dengan adanya perubahan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal


Agraria pada Kementerian Dalam Negeri, tahun 1988 Pemerintah
(baca: Presiden) membentuk Badan Pertanahan Nasional untuk
menyelenggarakan urusan Agraria dengan Keputusan Presiden
Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Atau
dapat dikatakan bahwa status hukum Direktorat Jenderal
Agraria ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non
Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional.
2) Selanjutnya Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan
pertama kali ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
11/KBPN/1988 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pertanahan, sedangkan Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Propinsi dan Kantor
Pertanahan Di Kabupaten/Kotamadya pertama kali ditetapkan
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
1989.
3) Dengan adanya Badan Pertanahan Nasional sebagai Lembaga
Pemerintah Non Departemen untuk menyelenggarakan urusan
Agraria berkonsekuensi terhadap kewenangan pemberian hak
atas tanah bergeser dari Kepala Daerah (baca: Gubernur,
Bupati/Walikota) menjadi kewenangan Kepala Badan
Pertanahan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai