Anda di halaman 1dari 5

Menurut Depediknas (2016) kurikulum 2013 pada hasil belajar

ditunjukan untuk mengetahui dan memperbaiki pencapaian kompetensi, untuk

mengukur pencapaian kompetensi dibutuhkan sebuah instrument penilaian

hasil belajar. Instrument penilaian hasil belajar adalah alat untuk mengetahui

kekurangan yang dimiliki setiap peserta didik atau sekelompok peserta didik.

“Hasil dari kegiatan belajar dengan adanya perubahan perilaku kearah posistif

yang relative permanen pada diri orang yang belajar”.

Berdasarkan observasi awal terhadap proses pembelajaran IPA di

kelas VII H SMP Negeri 2 Pontianak terdapat beberapa masalah pada hasil

belajar menunjukan bahwa rata-rata 86% peserta didik memperoleh nilai

dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada materi suhu dan kalor,

dimana nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di SMP Negeri 2 Pontianak

adalah 75.

Hasil pra-riset yang telah dilakukan di SMP Negeri 2 Pontianak,

Pembelajaran masih didominasi oleh kegiatan guru. guru jarang menggunakan

alat peraga dalam proses pembelajaran. Guru hanya menjelaskan dan

menuliskan rumus di papan tulis, latihan soal menggunakan metode ceramah.

Sebagian peserta didik menganggap fisika adalah pelajaran yang rumit dan

sulit untuk dipahami, sehingga peserta didik malas untuk mendengarkan dan

memahami materi yang diberikan oleh guru dikelas.

Kurangnya minat belajar dan memahami materi ini menyebabkan

peserta didik kesulitan bahkan kesalahan dalam memahami konsep. Kesalahan

konsep atau yang lebih dikenal dengan miskonsepsi adalah suatu konsepsi
yang tidak sesuai dengan konsepsi yang diakui oleh para ahli

(Suparno,2005:2). Miskonsepsi peserta didik dapat disebabkan oleh konsepsi

awal peserta didik, Suparno (2005:31) menyatakan bahwa pengetahuan awal

yang dimiliki peserta didik seringkali tidak cocok dengan pengetahuan yang

diterima oleh pakar dan menjadi suatu miskonsepsi.

Miskonsepsi yang dialami oleh peserta didik hampir pada setiap

sub materi kalor dan perpindahannya. Contoh pada materi kalor peserta didik

menganggap kalor sama dengan suhu karena dapat berpindah-pindah dan

banyak peserta didik yang menganggap kalor tidak dipengaruhi oleh massa,

pada materi perpindahan kalor peserta didik tidak dapat membedakan

penerapan perpindahan kalor secara konduksi, konveksi, dan radiasi. Semua

miskonsepsi yang dialami oleh peserta didik adalah konsepsi awal peserta

didik yang sudah salah dan kurangnya kemauan peserta didik untuk bertanya

kepada guru.

Pengetahuan awal peserta didik tentang suatu konsep yang sudah

dimiliki sebelum mengikuti pembelajaran disebut konsepsi awal peserta didik,

sedangkan konsepsi peserta didik tentang suatu konsep yang diperoleh peserta

didik setelah mengikuti proses pembelajaran. Konsepsi awal peserta didik

tidak selalu sama dengan konsep yang baru. Peserta didik akan melakuan

beberapa hal dalam menghadapi konsep yang baru yaitu, 1) mengabaikan atau

menolaknya, 2) memadukan keduanya, 3) mengubah konsepsi awalnya

dengan konsep yang baru. Menurut Piaget terdapat tiga proses kunci yang

diakukan induvidu dalam membangun pengetahuan yaitu; asimilasi,

akomodasi, ekuilibrium. Sementara itu Posner et al, (1982) memandang


bahwa proses perubahan konseptual diawali proses asimilasi kemudian

akomodasi (dalam Suratno, 2008).

Proses asimilasi merupakan proses dimana konsepsi awal sejalan

dengan konsep baru sehingga peserta didik akan menggunakan konsepsi

awalnya untuk menghadapi konsep yang baru dengan perubahan kecil yang

berupa penyesuaian, sedangkan pada proses akomodasi terjadi konflik kognitif

karena konsepsi awal peserta didik yang tidak sesuai dengan konsep yang baru

sehingga peserta didik melakukan perubahan konseptual. Menurut Posner et

al, (1982) terdapat empat syarat yang mendukung terjadinya proses akomodasi

menuju perubahan konseptual,yaitu: 1) harus ada ketidakpuasan

(dissatisfaction) terhadap konsepsi yang telah ada, 2) konsepsi yang baru

harus dapat dimengerti (intelligible), 3) konsepsi yang baru harus harus masuk

akal (plsusible), dan 4) konsep yang baru harus berdaya guna atau bermanfaat

(fruitful).

Berdasarkan hal tersebut agar terjadi perubahan konseptual, guru

berperan sebagai mediator dan fasilitator. Peran tersebut dapat dilakukan

dengan beberapa tahap berikut: 1) mengungkapkan konsepsi awal peserta

didik dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan pendapatnya

tetang suatu konsep, 2) membandingkan dan membedakan konsepsi awalnya

dengan pendapat teman-temannya melalui diskusi kelompok sehingga

terjadilah konflik kognitif. Konflik kognitif ini diharapkan dapat memotifasi

peserta didik untuk mencari penjelasan dari perbedaan-perbedaan pendapat

yang ada, 3) membantu peserta didik dalam mengkonstruksikan konsepsinya

dengan menyediakan kondisi dan sarana yang mendukung proses belajar


siswa, 4) mengarahkan dan memberikan kesempatan pada peserta didik untuk

mengharapkan konsep baru dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa yang

terjadi dilingkungannya sehingga siswa merasa bahwa konsep tersebut

berdayaguna atau bermanfaat. Singkatnya hal ini menuntut guru memandang

kelas sebagai suatu learning community, sehingga di kelas peserta didik tidak

hanya aktif dalam mempelajari fakta, akan tetapi harus aktif dalam melatih

inkuiri seperti mengemukakan penjelasan, deskribsi, prediksi, dan mengontrol

obyek dan peristiwa alamiah. Dalam suatu learning community, peserta didik

belajar dari berbagai sumber baik melalui buku teks, informasi guru, media

informasi yang sesuai, praktikum, penelitian, ataupun melalui diskusi teman

sejawat.

Dari pemaparan tersebut, maka dibutuhkan suatu model

pembelajaran yang mampu membuat peserta didik lebih aktif dan kreatif

dalam upaya membantu peserta didik mendalami sebuah materi, dengan

menggunakan salah satu alternatife alat bantu audio visual gambar. Model

pembelajaran yang banyak menggunakan audio visual sebagai media belajar

peserta didik dalah model picture and picture. Model picture and picture

merupakan salah satutipe pembelajaran cooperative learning yang

menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap

kelompok 4-5 orang peserta didik secara heterogen (Trinto,2007:52).

Model pembelajaran tipe picture and picture merupakn salah satu

model pembelajaran aktif menggunakan gambar yang dipasangkan atau

diurutan menjadi urutan yang sistematis, seperti menyusun gambar secara


berurutan,menunjukan gambar, memberikan keterangan gambar, dan

menjelaskan gambar (Suprijoni, dlam Huda, 2013:236).

Betzy Carolin (2016) dalam penelitiannya menemukan tingkat

efektivitas model pembelajaran Picture and Picture dalam mengatasi

miskonsepsi peserta didik di kelas X SMA Panca Bakti Pontianak pada materi

pembentukan bayangan pada cermin. Rata-rata persentase miskonsepsi peserta

didik pada materi pemebentukan bayangan pada cermin sebelum diberikan

remediasi sebesar 48,1% dan setelah diberikan remediasi melalui model

Picture and Picture di kelas X SMA Panca Bakti Pontianak turun menjadi

27,7%. Terjadi perubahan yang signifikan antara jumlah miskonsepsi siswa

sebelum dan sesudah diberikan remediasi menggunakan model Picture and

Picture. Penelitian Betzy Caroline (2016) menunjukan bahwa menggunakan

model Picture and Picture efektif untuk mengatasi miskonsepsi peserta didik

pada materi pembentukan bayangan pada cermin. Selanjutnya hasil penelitian

oleh Damayanti (2013) bahwa penerapan model Picture and Picture dapat

meningkatkan hasil belajar peserta didik dan juga dapat meningkatkan

aktivitas pembelajaran mata pelajaran matematika.

Berdasarkan permasalahan diatas yang telah dikemukakan di atas

maka penelitian ini dilakukan untuk meremediasi miskonsepsi peserta didik

kelas VII H SMP Negeri 2 Pontianak tahun pembelajaran 2019/2020. Selain

itu model pembelajaran Picture and Picture belum pernah digunakan atau

dipakai untuk meremediasi disekolah tersebut. Dari penelitian ini diharapkan

model Picture and Picture dapat efektif mengurangi miskonsepsi siswa

tentang materi kalor dan perpindahannya.

Anda mungkin juga menyukai