Anda di halaman 1dari 7

Berbagai Makna Kafir dalam Al-Quran

Kata kafir dan derivasinya terulang ratusan kali dalam al-Quran.

Kata kafir dan derivasinya terulang ratusan kali dalam al-Quran, Abu Hilal al-Askary dalam
al–Wujuuh wa an Nadhaair fi al Quran mengatakan bahwa secara bahasa al-Kufr bermakna
menutupi, orang Arab biasa mengatakan al-Lailu Kafir (Malam adalah Kafir) karena malam
menutupi segala sesuatu dengan kegelapannya, atau Kafara al-Ghamamu an-Nujuma
(mendung menutupi bintang). Orang yang menanam disebut Kafir, karena ia
menyembunyikan/menutup benih di dalam tanah, Kufur nikmat disebut kufur karena
menutupinya.

Diantara beberapa makna dari kata kafir dalam al-Quran, adalah:

1. Makna yang paling terkenal yaitu lawan dari keimanan, ini nampak dalam firman Allah
Q.S. At-Taghobun: 2 berikut:

ٌ
‫ِن‬‫ْم‬
‫مؤ‬ُّ ‫ُم‬ ‫َم‬
‫ِنك‬ ‫ٌ و‬
‫ِر‬‫َاف‬ ‫ُم‬
‫ْ ك‬ ‫َم‬
‫ِنك‬ ‫ُم‬
‫ْ ف‬ ‫َك‬
‫لق‬ََ
‫ِي خ‬ َّ َ
‫الذ‬ ‫هو‬ُ
“Dialah yang menciptakan kamu, lalu diantara kamu ada yang kafir dan ada yang mukmin”

atau dalam firman Allah berikut:

‫فَ َمن شَاء فَ ْليُؤْ ِمن َو َمن شَاء فَ ْليَ ْكفُ ْر‬
“Barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa
menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”

2. Lawan dari ketaqwaan, hal ini bisa dilihat dalam firman Allah dalam QS az Zumar 71-73:

‫ًا‬
‫مر‬َُ ‫َّم‬
‫َ ز‬ ‫هن‬ ‫َِلى ج‬
ََ ‫َر‬
‫ُوا إ‬ ‫َف‬
‫َ ك‬
‫ِين‬ َّ َ
‫الذ‬ ‫َس‬
‫ِيق‬ ‫و‬
“Orang-orang kafir digiring ke neraka jahannam secara berombongan”

Ayat di atas kemudian diikuti oleh firman Allah berikut:

‫َو ِسيقَ الَّذِينَ اتَّقَ ْوا َربَّ ُه ْم إِلَى ْال َجنَّ ِة ُز َم ًرا‬
“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara
berombongan

Kekafiran dalam pembagian kedua ini bukan termasuk kafir aqidah, ia lebih dekat dengan
makna “Pelanggaran/kejahatan”(al-Ijram), ini dikuatkan dengan ayat ayat yang senada seperti:
ًْ
* ‫دا‬‫َف‬‫َنِ و‬
‫ْم‬ ‫َِلى الر‬
‫َّح‬ ‫َ إ‬ ‫َّق‬
‫ِين‬ ‫ُت‬ ْ ُ
‫الم‬ ‫ْشُر‬
‫نح‬َ َ‫ْم‬
‫يو‬َ
‫دا‬ًْ
‫ِر‬‫َ و‬ ‫َّم‬
‫هن‬ ‫َِلى ج‬
ََ ‫َ إ‬
‫ِين‬ ‫ْر‬
‫ِم‬ ‫ُج‬ ْ ُ
‫الم‬ ََ
‫نسُوق‬ ‫و‬
“Pada hari itu Kami mengumpulkan orang orang yang bertaqwa kepada Yang Maha
Pengasih bagaikan kafilah yang terhormat. Dan Kami akan menggiring orang yang durhaka
ke neraka jahannam dalam keadaan dahaga.” (Q.S. Maryam: 85-86)

Atau dalam Q.S. Shad: 28 berikut:

ِ ‫أَ ْم ن َْج َع ُل ْال ُمت َّ ِقينَ َك ْالفُ َّج‬


‫ار‬
“Atau pantaskah Kami mengganggap orang orang yang bertaqwa sama dengan orang orang
jahat.”

3. Lawan dari syukur atau ingkar kenikmatan, ini bisa dilihat dalam ayat berikut:

‫شدِيد‬ َ ‫ش َك ْرت ُ ْم ََل َ ِزيدَنَّ ُك ْم َولَ ِئ ْن َكفَ ْرت ُ ْم ِإ َّن‬


َ َ‫عذَا ِبي ل‬ َ ‫لَ ِئ ْن‬
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu
mengingkari, maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim: 7)

Juga dalam firman Allah:

‫ن‬ َِ
َّ‫إ‬ ‫َر‬
‫َ ف‬ ‫َف‬
‫ْ ك‬
‫من‬ََ
‫ِ و‬
‫ِه‬ ‫َف‬
‫ْس‬ ‫ُر‬
ِ ُ
‫لن‬ ‫يشْك‬
َ ‫َا‬
‫نم‬َّ‫إ‬
َِ
‫ْ ف‬‫ُر‬‫يشْك‬
َ ْ‫من‬ََ ‫و‬
ٌ‫ِي‬
‫د‬ ‫َم‬ ‫َن‬
‫ِيٌّ ح‬ ‫اَّللَ غ‬
َّ
“Dan barang siapa bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan
barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha
Terpuji.” (Q.S. Luqman: 12)

dan dalam ayat berikut:

‫َف‬
‫ُور‬
‫ًا‬ ‫َإ‬
َِّ
‫ما ك‬ ‫ًا و‬
‫ِر‬‫ما شَاك‬
َِّ
‫إ‬
“Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan: 86)

Kafir dalam makna ini bukan termasuk kafir aqidah.

4. Lawan dari amal sholih, yakni berbuat kerusakan, ini bisa dilihat dari firman Allah dalam
ayat berikut:

َ‫صا ِل ًحا فَ ِِل َ ْنفُ ِس ِه ْم يَ ْم َهدُون‬ َ ‫َم ْن َكفَ َر فَعَلَ ْي ِه ُك ْفره َو َم ْن‬
َ ‫ع ِم َل‬
“Barangsiapa kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya, dan
barangsiapa beramal sholih maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat
yang menyenangkan).” (Q.S. Ar-Rum: 44)

Kafir dalam ayat ini bukan bermakna kafir aqidah, melainkan bermakna berbuat kerusakan,
karena lawan beramal sholih adalah merusak (al-fasad) sebagaimana dalam ayat berikut:

ِ‫َات‬
‫لح‬ِ‫َّا‬ ُ‫َم‬
‫ِلوا الص‬ ‫ُوا و‬
‫َع‬ ‫من‬ََ
‫َ آ‬
‫ِين‬ َّ ُ
‫الذ‬ ‫َل‬
‫ْع‬ َ ْ
‫نج‬ ‫َم‬
‫أ‬
‫ض‬‫اْلَر‬
ِْ ْ ‫ِي‬ ‫َ ف‬
‫ِين‬ ‫ْس‬
‫ِد‬ ‫ُف‬ ْ َ
‫الم‬ ‫ ك‬.
“Pantaskah Kami memperlakukan orang-orang beriman dan beramal sholih sama dengan
orang yang berbuat kerusakan di bumi?” (Q.S. Shad: 28)

5. Bebas atau tidak ada ikatan, ini bisa dilihat dalam firman Allah berikut:

‫َكفَ ْرنا بِ ُك ْم‬


“Kami mengingkarimu.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 4)

juga dalam ayat:

‫ُكم بب‬
‫َعض‬ ‫ُر‬
َ ُ
‫بعض‬ ‫يكف‬
“Sebagian kamu akan saling mengingkari” (Q.S. Al-Ankabaut: 25)

dan dalam ayat:

ِ ‫إنِي كفَ ْرتُ بما أَ ْشركت ُ ُم‬


‫ون‬
“Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan
Allah).” (Q.S. Ibrahim: 22)

Kesimpulan dari paparan singkat di atas adalah bahwa kata ‘kafir’ dalam al-Quran memiliki
makna yang bermacam-macam, ia bisa berarti kafir dalam aqidah, berbuat pelanggaran,
mengingkari kenikmatan Allah, berbuat kerusakan dan pengingkaran hubungan. Pemaknaan
ini bisa diamati melalui konteks ayat dan kaitannya dengan ayat yang lain.

Wallahu A’lam.

Sebutan kafir bukan sesuatu yang asing lagi di telinga umat Islam. Bahkan, baik sadar
maupun tidak, hampir setiap hari kaum Muslimin pernah melafalkan kata-kata tersebut ketika
membaca Al-Qur’an. Pasalnya, istilah kafir sendiri oleh Allah Ta’ala disebut berulang kali di
dalam Al-Qur’an. Semua itu untuk menunjukkan orang-orang yang tidak mau menerima
Islam atau mereka yang bukan dari golongan Muslim.

Namun, belakangan ini sebutan kafir oleh sebagian orang dianggap mengandung konotasi
negatif, karena sebutan tersebut terdengar merendahkan atau menyinggung perasaan
golongan lain di luar agama Islam. Bahkan dalam acara-acara tertentu, tidak jarang
penyebutan kafir terhadap golongan selain Islam sering mendapat kritikan langsung dari
pihak-pihak tertentu. Bagi mereka, istilah tersebut lebih baik diganti dengan kata-kata non-
Muslim.

Lalu, apakah demikian seharusnya umat Islam menyebut orang-orang di luar agama Islam?
Apakah sebutan kafir itu memang untuk merendahkan golongan lain? Berikut Dr Zakir Naik
menjelaskan mengapa istilah tersebut dipakai di dalam Islam.

Menurut beliau untuk menjawab pertanyaan di atas kita harus menelusuri terlebih dahulu
definisi kafir itu sendiri. “Secara bahasa kata kafir berarti orang yang ingkar. Kafir berasal
dari kata kufr, yang berarti menyembunyikan atau ingkar. Dalam terminologi Islam, kafir
berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran Islam dan orang yang
menolak Islam. Dalam bahasa Inggris, mereka disebut non-muslim,” jelas Dr Zakir Naik

Bagi beliau, seseorang yang merasa terhina dengan sebutan tersebut berarti tidak memahami
kafir menurut terminologi Islam. Karena kalau dia memahami istilah tersebut, hal itu justru
menjadikan dia merasa tidak sama sekali dihinakan.

“Jika seorang non-Muslim merasa terhina bila disebut kafir, itu karena ia belum paham
dengan Islam. Dia harus mencari sumber yang tepat untuk memahami Islam dan terminologi
Islam. Dengan memahaminya, ia bukan saja tidak akan merasa terhina, tetapi justru
menghargai Islam dalam perspektif yang lebih tepat,” terang Dr Zakir Abdul Karim Naik
lebih lanjut.

Jadi, istilah kafir bukanlah sebutan untuk menghinakan golongan yang menganut agama lain.
Karena dalam perspektif Islam, kata-kata kafir memang digunakan bagi mereka yang tidak
mau menerima ajaran Islam. Karena makna di balik istilah itu sendiri adalah
menyembunyikan atau ingkar terhadap dakwah Islam. Wallahu a’lam bis shawab!

Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah


Kronologi dan Semantik Al-Qur’an
Pada situs web Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tulisan berjudul “Siapakah Orang Kafir Itu?”
dimuat pada 1 Oktober 2016. Tulisan itu berawal dari pertanyaan “Benarkah penganut agama
Yahudi dan Nasrani disebut kafir? Ataukah kafir adalah mereka yang musyrik saja?” dan
dijawab oleh KH Hafidz Abdurrahman. Walaupun tidak tampak mengkonter kolom saya
terdahulu, tulisan itu sampai pada kesimpulan sebaliknya, yakni bahwa selain Muslim adalah
kafir.

KH Hafidz Abdurrahman mengutip beberapa ayat al-Qur’an yang mengaitkan orang-orang


Yahudi dan Nasrani dengan kafara (melakukan perbuatan kufr), kemudian menyimpulkan
bahwa orang-orang kafir meliputi Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan musyrik. Kata
terakhir didefinisikan sebagai “semua pemeluk agama dan kepercayaan selain Yahudi dan
Nasrani” seperti penganut Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, Sikh, dan seterusnya.

Apa yang ditulis KH Hafidz itu merupakan keyakinan banyak kaum Muslim di Indonesia.
Saya akan tunjukkan bahwa keyakinan tersebut tidak didasarkan pada kajian dan pemahaman
yang memadai, karena al-Qur’an menggunakan kata “kafir” lebih kompleks daripada yang
digambarkan KH Hafidz itu.

Konsep Kafir Itu Tidak Statis

Salah satu cara melihat kompleksitas penggunaan kata “kafir” dalam al-Qur’an ialah dengan
menganalisisnya dari lensa tradisional yang menganggap al-Qur’an diturunkan secara
bertahap. Dalam kesarjanaan Muslim tradisional, ayat-ayat al-Qur’an dibagi ke dalam dua
tahapan: Mekkah dan Madinah. Saya akan mengikuti sistem kronologi yang lebih rinci yang
dikembangkan oleh sarjana Jerman Theodor Nöldeke, yang membagi al-Qur’an ke dalam
empat fase: Mekkah awal, Mekkah pertengahan, Mekkah akhir, dan Madinah.

Dengan meneliti penggunaan kata “kafir” dan berbagai derivasinya dalam ayat-ayat yang
tergolong ke dalam empat fase di atas akan terlihat perkembangan makna “kafir”. Ulama-
ulama Muslim kerap menjelaskan perkembangan tersebut dengan mengaitkan dengan
kehidupan Nabi Muhammad sendiri. Dengan kata lain, sirah (biografi Nabi) digunakan untuk
menjelaskan al-Qur’an.

Jika kita mengikuti paradigma kesarjanaan Muslim tradisional ini, perkembangan makna
“kafir” bisa dipahami terkait sikap Nabi Muhammad terhadap orang atau kelompok yang
menolak dakwahnya. Pada awal misi kenabian Muhammad, kata “kafir” tidak begitu
dominan dalam al-Qur’an. Kemudian istilah itu semakin penting dan dikaitkan dengan
musyrik, hingga akhirnya berkembang menjadi kategori tersendiri. Pada tahapan terakhir,
orang-orang kafir secara kategoris hanya dibatasi pada mereka yang memusuhi, dan juga
dimusuhi oleh, kaum Muslim.

Tentu saja pembahasan tentang pergeseran makna “kafir” dalam empat fase al-Qur’an itu
membutuhkan diskusi panjang. Saya hanya akan menyebutkan beberapa poin yang menonjol
saja.

Pada fase Mekkah awal, concern al-Qur’an terutama tertuju pada penolakan Hari Akhir. Al-
Qur’an menggambarkan mereka yang tidak percaya adanya Hari Akhir dengan kata
“kadzdzaba”, yang bisa diartikan berbohong. Kata itu sebenarnya juga bermakna penolakan
atas kenabian Muhammad sekaligus atas adanya Hari Akhir.

Ketika “kafir” atau “kafara” muncul pada fase Mekkah awal, seperti dalam surat al-Insyiqaq
(84), identitasnya belum jelas. Orang-orang kafir disebutkan mendustakan Hari Akhir
(84:22). Lihat bagaimana kafirun dan kadzdzaba digabung. Dalam surat al-Thariq (86),
orang-orang kafir disebut menuduh Nabi sedang bercanda saja. Maka, di bagian akhir surat
itu ditegaskan supaya “orang-orang kafir diberi waktu sejenak.” Di situ tampak kafir belum
menjadi suatu kelompok tertentu, tapi terkait dengan sifat-sifat negatif lain seperti berbohong
(kadzaba), zalim (dhalama) atau arogansi yang melewati batas (thagha).

Bahkan pada fase Mekkah pertengahan pun kafirun belum bersifat distingtif, tapi dikaitkan
dengan syirik. Misalnya, surat al-Kafirun (109) itu disebutkan terkait orang-orang musyrik,
tapi al-Qur’an menggunakan kata “kafirun”. Namun demikian, kata “kafir” menjadi cukup
dominan. Setidaknya, hampir setiap surat yang tergolong fase Mekkah pertengahan (seperti
Qs. 41, 36, 19, dan seterusnya) menggunakan kata “kafara”.
Pada fase Mekkah akhir orang-orang kafir menjadi sebuah kategori tersendiri vis-à-vis orang-
orang beriman (mu’minun). Dalam surat al-Nuh (71), walaupun menggunakan episode Nabi
Nuh, al-Qur’an memposisikan kaum mukmin pada spektrum yang bertolak belakang dari
orang-orang kafir (Q.71:27-28). Ayat-ayat dalam fase ini menggambarkan orang-orang kafir
sebagai pihak yang kehilangan harapan di dunia dan akhirat kelak.

Fase Madinah memperlihatkan pergeseran makna “kafir” secara cukup signifikan. Barangkali
ini sejalan dengan iklim polemik yang dihadapi Nabi di sana berhadapan dengan para
penolaknya, termasuk dari kaum Yahudi dan Kristen. Al-Qur’an mulai melayangkan kritik
kepada mereka, termasuk menganggap mereka telah tersesat dan melakukan perbuatan kafir
(kafaru) (misalnya, Q.4:136; 5:17, 73; 9:30).

Perbedaan sikap orang-orang mukmin dan kafir semakin dikontraskan. Bahkan, orang-orang
Badui yang tidak mengetahui batasan hukum Tuhan pun dikatakan karena kekufuran mereka
(Q.9:97). Tema yang dominan dalam ayat-ayat Madinah adalah polarisasi seperti yang
tergambar di awal surat al-Baqarah itu: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi
mereka, kamu beri peringatan atau tidak. Mereka tidak akan beriman” (2:6).

Namun demikian, pada tahun-tahun terakhir periode Madinah al-Qur’an memaknai “kafir”
lebih sempit. Hal itu mudah dipahami karena kelompok-kelompok yang menolak dakwah
Nabi telah teridentifikasi jelas, yakni Yahudi, Kristen, Musyrik, dan Munafik. Lalu, siapakah
orang-orang kafir? Jawabnya, mereka yang memperagakan permusuhan terhadap Nabi dan
para pengikutnya. Pada fase ini pun, tampaknya, kafir bukan kategori yang statis, tapi bersifat
kondisional. Artinya, setiap orang, termasuk Muslim, bisa menjadi kafir bila atau pada saat
melakukan perbuatan kufr.

Analisis Semantik

Jika mengikuti kronologi ayat-ayat al-Qur’an, yang didasarkan pada kesarjanaan Muslim
tradisional sendiri, seharusnya para penganut agama lain tidak serta-merta dikategorikan kafir
hanya karena mereka adalah non-Muslim. Perbedaan keyakinan saja tidak cukup untuk
melabeli pihak lain sebagai kafir. Diperlukan manifestasi aktual yang berbentuk permusuhan
atau bahkan keterlibatan dalam peperangan. Dalam banyak ayat, mereka itu dituduh telah
melampaui batas (misalnya Q.58:4-5).

Kelemahan pendekatan tradisional ini ialah dasar asumsinya seolah-olah sikap al-Qur’an
bersifat linear dan konsisten. Kenyataannya, isi al-Qur’an tidaklah tematik dalam arti tema
yang sama kemungkinan diulang pada fase-fase lain. Karena itu, kita temukan beberapa
tumpang-tindih (overlaps) sikap al-Qur’an dalam banyak kasus.

Menyadari problem tersebut, sarjana Jepang Toshihiko Izutsu lebih memilih analisis
semantik dalam menelaah konsep etis “kafir” dalam al-Qur’an. Dalam karyanya yang dibaca
luas dan sangat berpengaruh, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (1966), Izutsu
mengusulkan supaya kata “kufr” dipahami dalam kaitannya dengan kata-kata kunci lainnya,
seperti “fisq”, “dhulm”, “fajr”, “isyraf”, “nifaq”, dan “iman”. Dari analisis semantik itu, ia
berkesimpulan bahwa “kufr” sebagai salah satu konsep etis keagamaan lebih bermakna
“ingratitude for divine benevolence” dan karena itu antitesanya bukan iman melainkan
syukur.
Sampai di sini kiranya sudah jelas bahwa, dari analisis kronologis dan semantik, kata “kafir”
seharusnya tidak dilemparkan ke sana ke mari seperti bola panas yang liar. Celakanya, karena
pemahaman yang minim terhadap Kitab Sucinya, sebagian kaum Muslim secara
serampangan menuduh pihak-pihak lain sebagai kafir hanya karena mereka bukan Muslim.

Bahkan, tidak cukup puas menyebut non-Muslim sebagai kafir, mereka juga mengkafirkan
kalangan Muslim lain yang berseberangan. Yang terakhir ini disebut takfir, sebuah tema yang
akan didiskusikan dalam tulisan terpisah.

Anda mungkin juga menyukai