Anda di halaman 1dari 44

BAB I

Pendahuluan
Matakuliah Propeller dan Sistim Perporosan merpukan komponen utama dalam penggerak kapal
tahapan ini sangat penting dalam merancang sebuah kapal (Stapersma & Woud 2005).Tujuan
dalam merancang Propeller dan Sistim Perporosan ini agar mendapatkan hasil yang maksimal
dan mendapatkan effisiensi yang di perlukan.Adapun hal yang mendasar Pada Propulsi system
yang tersusun baling-baling,Power Plant dan ship hull harus paling efisien, bahwa jumlah energi
yang diperlukan untuk propulsi kapal harus harus sekecil mungkin.(Harvald 1972) Ini
dimaksudkan agar ketika Merancang Propeller dan Sistim Peporosan harus di rancang paling
effisien dengan jumlah energy yang di perlukan untuk propulsi kapal. Tahapan yang utuma adalah
menentukan tahanan total kapal yang melaju melalui fluida.

1.1 Filosofi desain


Untuk memulai mendesain Propelller dan Sistim Perporosan kita harus menghitung
tahanan Total.Tahanan total memiliki berbagai macam metode yaitu Harvald,Holtrop,ataupun
bisa juga menghitung dengan alat bantu software berupa marxsurf pada pencangan
pembangunan kapal harus dapat menghasilkan tahanan yang kecil ketika kapal melaju di air
(Harvald).Perhitungan selanjutnya adalah daya enggine yang di hantarkan ke propeller untuk
mendapatkan daya dorong ketika sudah mendapatkan perhitungan tersebut maka di dapatkan
BHP.BHP ini di gunakan untuk mencari Main Engine yang memiliki nilai yang sesuai atau melebihi
unutuk di oprasikan dengan baik terhadap pemilihan main engine karena perlu di perhatikan
terhadap putaran yang di hasilkan dan termasuk kapal golongan High Speed,Medium Speed,dan
Low Speed.Ada pun saran dalam pemilihan putuaran yang di hasilkan adalah golongan High
Speed dan Medium Speed karena membutuhkan reduction gear untuk bisa beroprasi dengan
baik
Ketika Sudah mendapatkan main engine yang akan di pakai,langkah berikutnya adalah
menghitung dan menentukan propeller mana yang akan di gunakan.pada perhitungan tersebut
dan penentuan dimensi dari propeller ada pun cara menggunakan diagram Bp-𝛿 .Pada diagram
tersebut kita akan mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menentukan baling-baling
kinerja pada kondisi opersai tertentu.Memang,kurva dapat digunakan untuk tujuan desain
geometri dasar ketika karakteristik model yang di gunakan untuk serangkaian rasio pitch
(Carlton).Perlu di perhatikan dalam tahapan ini karena kita harus mencari Propeller yang memiliki
effisiensi yang tinggi dan diameter dapat sesuai dengan kapal yang kita rancang serta memenuhi
syarat kavitasi.
Sedangkan Kavitasi sendiri merupakan fenomena yang merugikan dalam operasinal kapal,
karena menyebabkan banyak kerugian. Pengaruh yang merugikan tersebut berupa menurunnya
efisiensi propeller, merusak material propeller, kecepatan kapal menjadi lebih rendah dan
menyebabkan getaran dan bising. Oleh karena itu perlu ada kriteria sederhana yang untuk
memperkirakan terjadinya kavitasi, agar dampak negatif dari kavitasi dapat dihindari.(Harvald
1983)
Tahapan selanjutnya adalah Enggine Propeller Matching,merupakan mencocokan performa
dari Propeller dengan mesin jenis apa yang akan di gunakan (Stapersma & Woud
2005).Setelah Itu melakukan perhitungan perencanaan porors.Besarnya gaya yang di
hantaran melalui poros dan besar torsi yang di terima perlu di perhatikan.
1.2 Data Ukuran Kapal

Beriku ini adalah data dimensi kapal yang sudah didapatkan dari kapal-kapal pembanding

Tipe Kapal : Container Cargo


Nama Kapal:Bang Jo
Tahun Pembangunan :2016
DWT :1150 TON
LPP :162.840 m
LWL :166.0968 m
B :27.431 m
H :13.954 m
T : 9.763 m
Cb 𝛿 :0.625 m
Cm 𝛽 :0.977 m
Cp 𝜌 :0.638
Vs :20 Knot
BAB II
Pendahuluan

Ketika merancang desain propeller dan sistim perporosan.Kapal mencapai kecepatan yang
sesuai dengan keingin ship owner.Hal ini sangat berkaitan dengan daya yang di butuhkan
oleh kapal terhadap pencaipaian kecepatan.Maka dari itu kita harus mencari Main Engine
untuk mencapai daya yang di inginkan Ship Owner .Untuk mencari Main Engine mari kita
bahas di BAB ini :

1. Perhitungan tahanan total kapal


2. Perhitungan kebutuhan power
3. Pemilihan Main Engine dan reduction gear
4. Pemilihan daun dan tipe propeller
5. Perhitungan reksiko kavitasi
6. Enggine Propeller Metching

2.1 Perhitungan Tahanan Total Kapal


Tahanan Total kapal merupkana perhitungan dari keseluruhan tahanan pada sebuah
kapal yang disebabkan oleh fluida yang berlawanan arah dengan gerak kapal.Tahanan kapal
diperlukan untuk mengetahui kebutuhan gaya dorong yang diperlukan oleh kapal,agar kapal
bisa bergerak dengan kecepatan yang di inginkan Ship owner.Ketika mendesain perhitungan
tahanan ini akan menggunakan metode holtrop serta Software Marxsurf.
Tahanan total kapal memiliki beberapa komponen gabungan perhitungan dari beberapa
tahanan (Harvald 1972) yaitu:
 Tahanan Gesek
 Tahanan Tambahan
 Tahanan Gelombang
 Tahanan Tambahan Bulbousbow
 Tahanan Tambahan dari Transom
 Tahanan Colerasi model Kapal

Dalam Menghitung Tahanan Kapal yang kita mualai adalah harus menentukan
terlebih dahulu besarnya Volume Displasmen,Berat Displasmen,Luas Permukaan basah
(Wetted Surface area),Froud Number dan Reynold Number pada kapal yang kita desain.
2.1.1 Volume Displasmen
Volume Displasmen merupakan seluruh bagian badakan kapal akibat Volume air yang
terceup setinggi sarat air kapal.Berdasarkan Harvald (1972 Hal 6).Berikut merupakan rumus
dari Displasment :
∇= 𝐶𝑏 × 𝐿𝑤𝑙 × 𝐵 × 𝑇 (2.1)
Cb =Koefisien Block kapal yang terletak di bawah garis air
Lwl =Panjang kapal yang di hitung pada hari air
B =Lebar Kapal
T =Tinggi sarat air kapal
Dalam perhitungan perhitungan Berat Displasmen hingga Luas Permukaan Basah
menggunakan kaidah Yang di hitung Harvald (1972). Stability and Strength.
2.12 Berat Displasmen
Berat Displasmen merupakan berat dari Volume air yang dipindahkan oleh kapal..Berat
displasmen dapat di cari dengan menggunakan rumus Lewis (1988) (hal17) (2.2-2.3)
∆ = 𝐶𝑏 × 𝐿𝑤𝑙 × 𝐵 × 𝑇 × 𝜌 𝑎𝑖𝑟 𝑙𝑎𝑢𝑡
∆ = ∇ × 𝜌 𝑎𝑖𝑟 𝑙𝑎𝑢𝑡
𝜌 𝑎𝑖𝑟 𝑙𝑎𝑢𝑡 = 𝑀𝑎𝑠𝑎 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑎𝑖𝑟 𝑙𝑎𝑢𝑡
2.1.3 Luas Permukaan Basah
Luas permukaan basah adalah luas permukaan pada kapal yang tercelup didalam air..
Berat displasment dapat dicari dengan menggunakan rumus Lewis (1988) (hal 91)

𝑆 = 𝐿(2𝑇 + 𝐵) √𝐶𝑀 (0.453 + 0.4425𝐶𝐵 − 0.2862𝐶𝑀 − 0.003467 𝐵⁄𝑇 + 0.3696𝐶𝑊𝑃 )

𝐴𝐵𝑇
+2.38 ⁄𝐶 (2.3)
𝐵

Dalam perhitungan Frude Number hingga menghitung form factor menggunakan kaidah
Yang di hitung Harvald (1972). .
2.1.4 Fraude Number
Fraude Number ini sangat penting karena berhubungan dengan kecepatan kapal.
Semakin besar nilai fraude number maka semakin cepat pula kecepatan kapal,Fraud number
dapat dicari dengan menggunakan rumus Lewis (1988) (hal 58) (2.4-2.8)

𝑉
𝐹𝑛 = (2.4)
√𝑔 𝑥 𝐿𝑤𝑙

V = Kecepatan dinas kapal (m/2)


g =Perceatan gravitasi (m/s^2)
Setelah menghitung hasli dari perhitunganan di atas maka di dapatkan nilai Holtop dan
terpunhi dikarenakan dalam semua kecepatan.Froud Numbernya tidak ada yang melebihi dari
nilai 1.
2.1.5 Reynold Number
Reynold Number digunakan pada saat pencarian tahanan gesek.Reynold number dapat
dicari dengan rumus Lewis (1988) (hal 58)

𝑣 𝑥 𝐿𝑤𝑙
Rn = (2.5)
𝑉𝑘
Vk = Koefisien viskositas kinematik
2.1.6 Tahanan Gesek
Tahanan gesek merupakan tahanan yang disebabkan oleh gesekan pada semua fluida
yang memiliki viskositas, viskositas tersebut akan mengakibatkan gesekan dengan permukaan
kapal.
Sebelum menghitung tahanan gesek, coefisien tahanan gesek harus ditentukan terlebih
dahulu. Reynold number dapat dicari dengan menggunakan rumus Lewis (1988) (hal 58)
0,075
CF = (2.6)
(log 𝑅𝑛−2)2

Setelah coefisien gesek ditentukan, selanjutnya tahanan gesek dapat dicari dengan
menggunakan pendekatan rumus Lewis (1988) (hal 61)

Rf = 1⁄2 𝜌𝐶𝑓 𝑆𝑉 2 (2.7)

2.1.7 Menghitung Form Factor (1+K1)


Form Factor adalah viscous Resistance dari lambung kapal yang berhubungan langsung
dengan Tahanan Gesek (Friction Resistance). Nilai dari pada form factor bergantung pada bentuk
dari lambung kapal. Form Factor dapat dicari dengan menggunakan rumus Lewis (1988) (hal 91)
1.06806
1 + 𝑘1 = 0.93 + 0.487118𝑐14 (𝐵⁄𝐿)
3
(𝑇⁄𝐿)0.45106 (𝐿⁄𝐿 )0.121563 (𝐿 ⁄𝛻)0.36486 (1 − 𝐶𝑃 )−0.604247 (2.8)
𝑅
Dimana diatas C14 adalah Coeffisient Accounting untuk menentukan bentuk lambung kapal dari
After Body. Coeffisient Accounting dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan rumus :
C14 = 1 + (0,011Cstern) (2.9)
Cstern didapat sesuai dengan spesifik dari bentuk kapal.

Gambar 1. Nilai Cstern

Gambar 2. Nilai Cstern berdasarkan bentuk lambung


Sedangkan Lr yang ada pada rumus 1+(1+K1) adalah Length of the run. Length of the run
dapat diestimasikan dengan menggunakan rumus:
𝐿(1−𝐶𝑃 +0,06𝐶𝑃 𝑥 𝐿𝑐𝑏)
𝐿𝑅 = (2.10)
4𝐶𝑃 −1
Untuk Lr adalah seberapa panjang berlabuh dimana mengikuti form faktor dan length of run
Dalam perhitungan Tahanan Tambahan hingga menghitung tahanan kolerrasi model kapal
menggunakan kaidah Paper An proximate power Prediction Method.
2.1.8 Menghitung Tahanan Tambahan
Tahanan tambahan adalah tahanan yang disebabkan oleh tambahan-tambah kompoenan
yang diletakan pada kapal seperti letak dari rudder, stabilizer fins, bilge keel, skeg, dan lain-
lain.Tahanan tambahan dapat dicari dengan menggunakan rumus Holtrop dan Mennen (1978)
(hal167) (2.11-2.16)
𝑅𝐴𝑃𝑃 = 0,5𝜌𝑉 2 𝑆𝐴𝑃𝑃 (1 + 𝐾2 )𝑒𝑞 𝐶𝐹 (2.11)

Dimana SAPP adalah luas permukaan basah tambahan. Biasanya jangan dipengaruhi
oleh rudder. Wetted Surface Area Appendage dapat dicari dengan menggunakan pendekatan
menggunakan rumus Holtrop dan Mennen (1978) (hal167)
𝐶1 𝐶2 𝐶3 𝐶4 1,75𝐿𝑇
𝑆𝐴𝑃𝑃 = 100
(2.12)

Sedangkan (1+K2)eq (Appendage resistance factor) adalah factor tahanan tambahan.


Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, factor tahanan tambahan juga dipengaruhi oleh
komponen-komponen tambahan diluar kapal seperti rudder, stabilizer fins,bilge keels dan lain-
lain. Nilai dari factor tahanan tambahan dapat ditentukan dengan:
Approximate 1 + /c, values
rudder behind skeg 1.5 - 2.0,
rudder behind stern 1.3 - 1.5
twin-screw balance rudders 2.8
shaft brackets 3.0
skeg 1.5 - 2.0
strut bossings 3.0
hull bossings 2.0
shafts 2.0 - 4.0
stabilizer fins 2.8
dome 2.7
bilge keels 1.4

Nilai (1+K2)
2.1.9 Menghitung Tahanan Gelombang
Tahanan gelombang adalah tahanan yang terjadi akibat pergerakan kapal baik pada fluida
ideal (tanpa viskositas) maupun tidak ideal (dengan viskositas).Tahanan gelombang dapat dicari
dengan menggunakan rumus Holtrop dan Mennen (1978) (hal168)

𝑅𝑊 = 𝑐1 𝑐2 𝑐3 𝑉𝜌𝑔𝑒𝑥𝑝{𝑚1 𝐹𝑛 𝑑 + 𝑚2 cos(𝜆𝐹𝑛 −2 )} (2.13)

𝐶1 = 2223105𝐶7 3.78613 (𝑇⁄𝐵)1.07961 (90 − 𝑖𝐸 )−1.37565

𝐶7 = 0.229577(𝐵⁄𝐿)0.33333 Ketika B/L < 0.11


𝐶7 = 𝐵⁄𝐿 Ketika 0.11 < B/L < 0.25
𝐶7 = 0.5 − 0.0625 𝐿⁄𝐵 Ketika B/L < 0.25
𝐶2 = exp(−1.89√𝐶3 )
𝐶5 = 1 − 0.8𝐴 𝑇 ⁄(𝐵𝑇𝐶𝑀 )
𝐶3 = 0.56𝐴𝐵𝑇 1.5⁄{𝐵𝑇(0.31√𝐴𝐵𝑇 + 𝑇𝐹 − ℎ𝐵 )}
𝜆 = 1.446𝐶𝑃 − 0.03 𝐿⁄𝐵 Ketika L/B < 12
𝜆 = 1.446𝐶𝑃 − 0.36 Ketika L/B > 12
𝑚1 = 0.0140407 𝐿⁄𝑇 − 1.75254 𝛻 1⁄3⁄𝐿 + 4.79323 𝐵 ⁄𝐿 − 𝐶16
𝐶16 = 8.07981𝐶𝑃 − 13.8673𝐶𝑃 2 + 6.984388𝐶𝑃 3
𝐶16 = 1.73014 − 0.7067 𝐶𝑝 ketika 𝐶𝑃 >0.80
2 −2
𝑚2 = 𝐶15 𝐶𝑃 exp(−0.1 𝑓𝑏 ) ketika 𝐶𝑃 <0.80
𝑖𝐸 = 1 + 89 exp{−(𝐿/𝐵 )0.80856 (1 − 𝐶𝑤𝑝 )0.30848 (1 − 𝐶𝑝 − 0.0225 𝑙𝑐𝑏)0.6367 {𝐿𝑅 /𝐵)0.34574

d : -0.9
𝐶15= -1.69385 untuk L3/∇ < 512
𝐶15= 0.0 untuk L3/∇ > 1727

2.1.10 Tahanan Tambahan dari Bulbousbow


Tahanan tambahan dari Bulbousbow adalah tahanan yang terjadi akibat penambahan
bulbousbow pada kapal walaupun, penerapan bulbousbow pada kapal dapat mengurangi
tahanan gelombang namun, tahanan yang teratasi akan lebih besar dibandingkan tahanan yang
muncul.Tahanan tambahan dari bulbousbow dapat dicari dengan menggunakan rumus J.Holtrop
dan G. G. J. Mennen (1978) (hal168)

0,11 exp(−3𝑃𝐵 −2 )𝐹𝑛𝑖 3 𝐴𝐵𝑇 1,5 𝜌𝑔


𝑅𝐵 = (2.14)
(1+𝐹𝑛𝑖 2 )
2.1.11 Tahanan Tambahan dari Transom
Tahanan tambahan dari Transom adalah tahanan yang terjadi akibat penambahan
transom pada buritan kapal.. Tahanan tambahan dari bulbousbow dapat dicari dengan
emnggunakan rumus Holtrop dan Mennen (1978) (hal168)
𝑅𝑇𝑅 = 0,5𝜌𝑉 2 𝐴 𝑇 𝐶6 (2.15)
2.1.12 Tahanan Corelasi dari model kapal
Tahanan corelasi seharusnya menggambarkan effek utama dari kekasaran lambung
kapal dan hambatan udara. Tahanan corelasi mode kapal dapat dicari dengan menggunakan
rumus Holtrop dan Mennen (1978) (hal168)

𝑅𝐴 = 1⁄2 𝜌𝑉 2 𝑆𝐶𝐴 (2.16)

𝐶𝐴 = 0.006(𝐿 + 100)−0.16 − 0.00205 + 0.003√𝐿⁄7.5 𝐶𝐵 4 𝐶2 (0.04 − 𝐶4)


Dimana

𝑇 Ketika Tf/L < 0.04


𝐶4 = 𝐹⁄𝐿
Atau
𝐶4 = 0.04 Ketika Tf/l > 0.04

2.1.13 Tahanan Total Kapal


Tahanan total kapal adalah sejumlah komponen tahananyang diakibat oleh berbagai
macam penyebab dan saling berinteraksi terhadap kapal. Seperti yang sudah diuraikan sebelum-
sebelumnya, tahanan total kapal terdiri dari tahanang gesek, tahanan tambahan, tahanan
gelombang, tahanan tambahan dari bulbousbow maupun transom, dan tahaan corelasi dari
model kapal., Tahanan Total dapat dicari dengan rumus Lewis (1988) (hal 58)
𝑅𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝑅𝐹 (1 + 𝐾1 )𝑅𝐴𝑃𝑃 𝑅𝑊 𝑅𝐵 𝑅𝑇𝑅 𝑅𝐴 (2.17)
2.2 Perhitungan Kebutuhan Power Main Engine
Kapal yang bergerak diair dengan kecepatan tertentu maka akan menghasilkan tahanan
(Resistance) yang gayanya berlawanan dengan arah gerak kapal. Bersarnya gaya berlawanan
tersebut haus mampu diatasi oleh gaya dorong kapal (Thrust) yang dihasilkan oleh komponen
penggerak kapal (propulsor). Daya yang disalurkan ke propulsor (Delivered Horse Power) berasal
dari daya poros (Shaft Power), daya yang ada pada poros berasal dari daya rem (Brake Power)
yang merupakan daya keluaran dari motor induk (main engine).

Untuk menghitung nilai daya motor induk (main engine), perhitungan Delivere Horse
Power hingga Pembacaan Diagram mengikuti kaidah Lewis. Yang di hitung Harvald (1972).
.
2.2.1 Daya Efektif Kapal (Effective Horse Power)
Daya efektif kapal (EHP) adalah daya yang diperlukan untuk menggerakan kapal
dengan kecepatan tertentu. Daya efektif kapal dapat dicari dengan menggunakan rumus:
Halvard (1972) (hal 133)
𝐸𝐻𝑃 = 𝑅𝑇 𝑉𝑠 (2.18)
2.2.2 Delivered Horse Power
Delivered Horse Power (DHP) adalah daya yang diserap oleh propeller dari sistem
perporosan atau daya yang dihantarkan oleh sistem perporosan ke propeller untuk diubah
menjadi daya dorong (Thrust). Delivered Horse Power dapat dicari dengan menggunakan rumus
Lewis (1988) (hal 130)

𝐷𝐻𝑃 = 𝐸𝐻𝑃⁄𝑃 (2.19)


𝐶

Sebelum menghitung Delivered Horse Power ada beberapa komponen yang


berkaitan dengan rumus dari Delivered Horse Power yang harus ditentukan terlebih
dahulu,antara lain:
2.2.2.1 Koefisien Arus Ikut
Wake friction adalah perbedaan antara kecepatan kapal dengan
kecepatan aliran air yang mengarah ke propeller, perbedaan antara kecepatan
kapal dengan kecepatan aliran air akan menghasilkan koefisisen arus ikut.
Didalam perencanaan menggunakan single screw propeller, sehingga didapatkan
rumus:
𝑤 = 0,5𝐶𝑏 − 0,05 (2.20)
2.2.2.2 Fraksi Deduksi Gaya Dorong
Gaya dorong diperlukan untuk mendorong kapal pada kecepatan yang
ditentukan, tentunya gaya dorong harus lebih besar dari tahanan yang dihasilkan
kapal. Selisih antara gaya dorong dengan tahanan disebut dengan penambahan
tahanan yang pada kondisi real dianggap sebagai pengurangan atau deduksi
dalam gaya dorong propeller. Selisih gaya dorong dan tahanan ini dinyatakan
dengan fraksi deduksi gaya dorong, sehingga didapatkan pendekatan
menggunakan rumus:
𝑡 = 𝑘𝑤 (2.21)
Umtuk mencari nilai k dapat ditentukan dengan metode Lewis (1988) (hal
159)

Gambar 3. Nilai k
2.2.2.3 Speed of Advance
Adanya lambung kapal didepan propeller mengubah rata-rata kecepatan
kapal dari propeller. Ketika kapal bergerak dengan kecepatan Vs maka akselerasi
air akan bergerak kurang dari kecepatan kapal. Akselerasi air tersebut bergerak
dengan kecepatan Va (speed of advance). Nilai Va dapat ditentukan dengan
menggunakan rumus:
𝑉𝑎 = (1 − 𝑤)𝑉𝑠 (2.22)
2.2.2.4 Propulsif Efisiensi (Propulsive Efficiency)
Koefisien propulsive adalah perkalian antara efisiensi lambung, efisiensi
relative rotatif dan efisiensi propeller.
a) Efisiensi Relatif Rotatif (Relative Rotative Efficiency)
Menentukan nilai dari ηrr untuk single screw ship antara 1,0 – 1,1 dan
sedangkan untuk twin screw antara 0,95 - 1,0. Lewis (1988) (hal 152)
b) Efisiensi Lambung (Hull Efficiency)
Efisiensi lambung merupakan suatu bentuk ukuran ketepatan rancangan
lambung terhadap Propulsor arrangement, sehingga efisiensi ini bukanlah bentuk
daya yang sebenarnya, dan nilai efisiensi lambung ini dapat bernilai lebih dari 1.
Nilai efisiensi lambung dapat dicari dengan rumus:
(1 − 𝑡)
𝜂𝐻 = ⁄(1 − 𝑤) (2.23)

c) Efisiensi Propeller (Propeller Efficiency)


Efisien propeller dilakukan pada saat dilakukannya open water test.
Biasanya nilainya antara 40%-70%.
2.2.3 Daya Dorong Kapal (Thrust Horse Power)
Daya dorong kapal adalah daya yang dikirimkan propeller ke air.
Ketika shaft mengirimkan daya ke propeller, daya iu diubah menjadi daya
dorong kapal yang akan menggerakan kapal dengan kecepatan yang telh
ditentukan. Daya dorong kapal dapat dicari dengan rumus Lewis (1988) (hal
152) :

𝑇𝐻𝑃 = 𝐸𝐻𝑃⁄𝜂𝐻 (2.25)

2.2.4 Daya Poros Kapal (Shaft Horse Power)


Daya poros kapal merupakan perhitungan dari daya montor induk
yang fungsinya untuk meletakan kamar mesinnya terletak di bagian
belakang akan mengalami losses sebesar 2%, sedangkan pada kapal
yang kamar mesinnya pada daerah midship kapal mengalami losses
sebesar 3%. Maka nilai daya poros kapal dapat dicari dengan rumus Lewis
(1988) (hal 131)

𝑆𝐻𝑃 = 𝐷𝐻𝑃⁄𝜂𝑠𝜂𝑏 (2.26)

2.2.5 Perhitungan Main Engine


2.2.5.1 BHP - scr
BHP – scr adalah daya output dari motor penggerak pada kondisi
Continues Service Rating (scr). Ketika kapal memiliki reduction gear,
losses pada sistem gigi transmisi (ηG) ditentukan sebesar 2%. Jika kapal
tidak memiliki reduction gear makan losses dianggap 0%.

𝐵𝐻𝑃𝑠𝑐𝑟 = 𝑆𝐻𝑃⁄𝜂𝐺 (2.26)

2.2.6 Pemilihan Motor Induk


Dalam pemilihan motor induk (main engine) dilakukan setelah
didapatkan daya mesin yang diperlukan. Pertimbangan dalam pemilihan motor
induk (main engine) dapat dilakukan dengan mempertimbangkan dimensi mesin,
berat mesin, daya yang dihasilkan, SFOC, dan lain-lain. Perlu diperhatikan juga
putaran yang dihasilkan dari motor induk yang dipilih, karena akan
mempengaruhi dibutuhkannya reduction gear atau tidak. Jenis mesin yang dipilih
juga akan memberikan pengaruh pada kemungkinan kecocokan yang
baik.(Stapersma & Woud 2005))
Referensi
Carlton J (2007) .Marine Propeller and Propultion

Harvald, SV. AA. (1972) (1983) “Resistance and Propulsion of Ships,” A Wiley-Interscience
Publication. New York, USA.

Hotrop J &. Mennen, G.G.J. (1982) “An Proximate Power Prediction Method,” International
Shipbuilding Progress. New Castle,UK.
Lewis, E. V (1988) “Principal of Naval Architecture Second Revision; Volume II:Resistance,
Propulsion, and Vibration,” The Society of Naval Architects and Marine Engineers. Jersey
City, USA.
Stapersma D & Woud HK. (2005) “Matching Propulsion Engine With Propulsor,” Journal of
Marine Engineering & Technology. The Hague, Germany.
Summary

 Perhitungan Tahanan Total

Dari perhitungan tahanan total kapal, didapatkan data sebagai berikut:

Tabel 1. Summary perhitungan tahanan total kapal.

No. Komponen Perhitungan Nilai Satuan


1. ▼ 27506.785 m3
2. ∆ 28194.45506 Ton
3. Tahanan Gesek 491.517 kN
4. Form Factor 1.2035
5. Tahanan Tambahan 54.546 kN
6. Tahanan Gelombang 277.4992 kN
7. Tahanan Bulbousbow 0 kN
8. Tahanan Transom 0 kN
9. Tahanan Corelasi Model Kapal 39.21608 kN
10. Tahanan Total Kapal 1004.604 kN
11. Tahanan Total Kapal (SeaMargin) 1226.457 kN

 Perhitungan Kebutuhan Motor Induk

Dari perhitungan kebutuhan power motor induk (main engine), didapatkan data sebagai
berikut:

Tabel 2. Summary perhitungan kebutuhan motor induk

No. Komponen Perhitungan Hasil Satuan

1. EHP 12608.01 KW

2. Wake Friction 0.262

3. Thrust Deduction Factor 0.184

4. Pc 0.657

5. DHP 19180.19 KW

6. SHP 19571.6259 KW

7. BHPSCR 19971 KW
 Perhitungan Pemilihan Motor Induk
Dari perhitungan kebutuhan power motor induk (main engine), dapat ditentukan motor induk
yang akan dipilih sebagai berikut:

Tabel 3. Spesifikasi motor induk utama

Merk = MAN B&W


Daya = 21,600 kW
= 29367.77702 HP
Type = MAN 18V48/60CR
Cylinder bore = 480 mm
Piston Stroke = 600 mm
Num of cylinders = 18
Cylinder output = 1900 kW/cyl
Speed = 514 rpm
SFOC = 173 g/kWh
Weight = 265 ton

Tabel 4. Sepsifikasi Utama Motor Induk 2

Merk = Wärtsilä
Daya = 21870 kW
= 29734.87 HP
Type = wartsila 64 Technology 8L64
Cylinder bore = 640 mm
Piston Stroke = 900 mm
Num of cylinders = 8
Cylinder output = 2010 kW/cyl
Speed = 526 rpm
SFOC = 169 g/kWh
Weight = 292 ton
Tabel 5. Sepsifikasi Utama Motor Induk 2

PEMILIHAN MAIN ENGINE 3


Merk = Caterpillar
Daya = 21000 kW
= 28552.00544 HP
Type = C18 ACERT
Cylinder bore = 600 mm
Piston Stroke = 800 mm
Num of cylinders = 6
Cylinder output = 1800 kW/cyl
Speed = 600 rpm
SFOC = 177 g/kWh
Weight = 258 ton
2.3 PEMILIHAN PROPELLER

Propeller adalah penggerak kapal yang sangat vital. Propeller memerlukan daya putar
dari engine sehingga dapat bergerak. Di dalam desain pemilihan propeller ini, menggambar
ulang propeller yang telah ada di pasar dan memilihnya menggunakan metode yang sudah
dibuat oleh Wageningen. Dalam melakukan perhitungan propeller, pertama kali yang harus
dipahami adalah segala hal yang mempunyai korelasi terhadap perhitungan propeller itu
sendiri. Hal-hal tersebut antara lain power, velocities, forces, dan efficincies. Selain hal-hal
tersebut, harus dipahami juga definisi beberapa parameter yang penting, yang menghubungan
antara kapal, mesin dan propeller, misalnya seperti gaya dorong propeller (thrust) dan
kecepatan air yang mengalir ke propeller atau kecepatan maju propeller (Va). Pada perhitungan
kali ini menggunakan buku Tahanan dan Propulsi Kapal (Harvald, 1992), Prinpciples of Naval
Architecture II (Lewis1988),

2.3.1. Menghitung Diameter Maksimum Propeller


Perhitungan diameter maksimum propeller dibutuhkan untuk menghindari
terpaparnya propeller ke atas air. Perhitungan diameter maksimum propeller dapat
ditentukan dari perhitungan sarat kosong kapal. Sarat kosong sendiri adalah tinggi
permukaan air disaat kapal dalam keadaan kosong. Jadi bisa kita asumsikan
diameter maksimum propeller = Sarat kosong kapal. Dalam perhitungan perencanaan
dengan menggunakan BP-δ ini, dikembangkan oleh Taylor.
Perhitungan dan Pembacaam BP- δ Diagram
2.3.2.1. Perhitungan Rate of Rotation
Rate of Rotation (N) adalah putaran propeller. Dalam menentukan
Rate of Rotation dipengaruhi oleh digunakan atau tidaknya dari reduction
gear. Rate of Rotation dapat ditentukan dengan rumus:
𝑆𝑝𝑒𝑒𝑑 𝐸𝑛𝑔𝑖𝑛𝑒⁄
𝑁𝑃𝑟𝑜𝑝𝑒𝑙𝑙𝑒𝑟 = 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 𝐺𝑒𝑎𝑟𝑏𝑜𝑥 (2.28)

2.3.2.2. Perhitungan BP1, δ0 dan D0

Perhitungan BP1 yang nantinya dapat ditentukan nilai 0,1739√𝐵𝑃1 yang


digunakan untuk pembacaan grafik dan nantinya akan dapat menentukan
nilai dari P/D, 1/J0, serta Efisiensi dari pada propeller masing-masih tipe.
Untuk menentukan nilai-nilai dari P/D, 1/J0, serta Efisiensi dapat dilakukan
dengan cara memotong nilai 0,1739√𝐵𝑃1 dengan haris optimum. BP1
dapat ditentukan dengan rumus:
(𝐷𝐻𝑃0,5 )
𝐵𝑃1 = N𝑃𝑟𝑜𝑝𝑒𝑙𝑙𝑒𝑟 (𝑉𝑎 2,5 )
(2.29)

Tipe propeller pada Lewis bertuliskan B5-75, B5-90, B5-105, dan lain-lain.
Propeller tersebut adlaah B series, memiliki 4 daun, dan memiliki nilai
Ae/Ao adalah 0,75/0,90/1,05.
Grafik 1. Tipe Propeller berdaun 5, jenis Wageningen B5-105
Lewis,(1988) (Hal 193)

Ketika nilai 0,1739√𝐵𝑃1 sudah ditentukan, tariklah garis keatas hingga


batas optimum. Selanjutnya kita bisa mendapatkan nilai P/Do dengan garis
kearah kiri, menariknya menuju timur laut searah dengan garus yang sudah
tersedia untuk mendapatkan 1/Jo. Dan pada garis optimum itu sendiri
dapat ditentukan effisiensi dari tipe propeller.

Setelah nilai P/Do dan 1/Jo ditentukan, selanjutnya menentukan nilai


dari δo dan Do untuk digunakan dalam penentuan nilai Db (Diameter
Propeller desain).
1⁄
𝐽𝑜
𝛿𝑜 = 0,009875 (2.30)
𝐷𝑜 = 𝛿0 𝑉𝑎⁄𝑁 (2.31)

Db adalah diameter propeller yang direncanakan. Besarnya Db


bergantung pada jenis propeller yang digunakan. Nilai Db dapat ditentukan
dengan rumus:
𝐷𝑏 = 0,96𝐷0 (2.32)
Setelah mendapatkan nilai dari Db, perhatikan nilai dari pada diameter
maximum propeller yang diperbolehkan digunakan pada kapal yang
direncanakan.
Pada tahap ini penentuan nilai δb dan 1/Jb digunakan untuk
menentukan perpotongan nilai 1/Jb dengan garis optimum pada diagram.
Dari perpotongan akan didapatkan nilai dari P/Db dan effisiensi propeller.
Untuk mencari nilai δb dan 1/Jb dapat menggunakan rumus:
(𝐷𝑏 𝑁)
𝛿𝑏 = (2.33)
𝑉𝑎
1
𝐽𝑏
= 𝛿𝑏 0,009875
(2.34)

Grafik 2. Tipe Propeller berdaun 5, jenis Wageningen B5-105 Lewis(1988) (Hal 193)
2.4 Perhitungan Resiko Kavitasi
Munculnya gelembung-gelembung uap air pada permukaan daun propeller yang
diakibatkan oleh perbedaan tekanan yang besar pada bagian face dan back adalah peristiwa
dari kavitasi. Kavitasi umumnya terjadi pada bagian back propeller, karena bentuk back
propeller yang cembung yang mengakibatkan kecepatan air semakin cepat dan tekanan
semakin menurun. Perhitungan kavitasi perlu dilakukan untuk memastikan sebuah propeller
bebas dari kavitasi yang akan menyebabkan kerusakan fatal terhadap propeller. Perhitungan
kavitasi sendiri dapat dilakukan dengan menggunakan diagram Burril’s Lewis(1988) (Hal
182)
Dalam perhitungan kavitasi pada propeller pada perhitungan luasan permukaan propeller
hingga menentukan nilai kavitasi. Perhitungan mengikuti kaidah Lewis (1988). Yang di hitung
Harvald (1972).

2.4.1. Perhitungan A0, Ae/A0 ,dan Ae


A0 adalah luasan optimum dari propeller yang akan direncanakan. Luasan
optimum dapat ditentukan dengan rumus:
1
𝐴0 = 4 𝜋𝐷𝑏 2 (2.35)

Ae/A0 dapat ditentukan dari tipe propeller yang akan digunakan. Seperti yang
sudah diketahui diatas, Propeller dengan tipe B4-55 memiliki 4 Daun dan memiliki
nilai Ae/A0 0,55. Dari tipe propeller dapat diketahui Ae/A0 pada setiap propeller. Nilai
dari Ae (Expanded Area) dapat ditentukan dengan rumus:
𝐴 1
𝐴𝐸 = ( 𝐸⁄𝐴 ) 4 𝜋𝐷𝑏 2 (2.36)
0

2.4.2. Perhitungan Nilai AP


AP (Projected Area) adalah luasan proyeksi dari propeller. Nilai dari AP (Projected
Area) dapat ditentukan dengan rumus Lewis,(1988) (Hal 182)

𝐴𝑃 = 𝐴𝐷 + (1,067 − 0,0229(𝑃⁄𝐷 )) (2.37)

2.4.3. Perhitungan Nilai 𝑽𝑹 𝟐

𝑉𝑅 2 adalah kecepatan relative dari air pada saat radius 0,7 m/s.

Nilai 𝑉𝑅 2 dapat ditentukan dengan rumus Lewis,(1988) (Hal 182)

𝑉𝑅 2 = 𝑉𝐴 2 + (0,7𝐷𝑁)2 (2.38)
2.4.4. Perhitungan Nilai T
T (Thrust) adalah gaya dorong yang diakibatkan oleh propeller Nilai T dapat
ditentukan dengan rumus Lewis,(1988) (Hal 182)

𝑇 = 𝐸𝐻𝑃⁄(1 − 𝑡)𝑉𝑠 (2.39)

2.4.5. Perhitungan Nilai 𝝉𝒄

𝜏𝑐 adalah koefisien gaya dorong. Kegunaan dari koefisien daya dorong adalah
untuk mengetahui apakah propeller yang dirancang akan mengalami kavitasi atau
tidak. Dengan adanya kavitasi effisiensi dari propeller akan berkurang, nilai koefisien
gaya dorong dapat ditentukan dengan rumus:
𝑇
𝐴𝑃⁄
𝜏𝐶 = (2.40)
0,5𝜌(𝑉𝑅 )2

2.4.6. Perhitungan Nilai 𝝈𝟎, 𝟕𝑹


𝜎0,7𝑅 adalah nilai kavitasi dari propeller yang dirancang. Nilai 𝜎0,7𝑅 dapat
ditentukan dengan rumus:
188,2+19,62ℎ
𝜎0,7𝑅 = 𝑉𝑎2 +(4,836𝑁2 𝐷2 ) (2.41)

Ketika nilai dari 𝜎0,7𝑅 telah didapatkan, maka nilai 𝜏𝑐 bisa didapatkan dari
pembacaan diagram Burril’s (Principles naval architecture, hal 182, pers 61). Nilai dari
𝜎0,7𝑅 terdapat dibawah dan ditarik ke atas hingga memotong garis putus-putus
sesuai dengan kapal yang dirancang. Dari perpotongan tersebut dapat ditarik garis
vertical ke kiri untuk mendapatkan nilai dari 𝜏𝑐 . Apabila nilai perhitungan 𝜏𝑐 lebih kecil
dari nilai 𝜏𝑐 pada pembacaan diagram Burril’s, maka propeller bisa dikatakan tidak
akan tarjadi kavitasi.

Grafik 3. Diagram Burril’s. Lewis(1988) (Hal 182)


Refrensi
Harvald, SV. AA. (1972) “Resistance and Propulsion of Ships,” A Wiley-Interscience
Publication. New York, USA.

Lewis, E. V (1988) “Principal of Naval Architecture Second Revision; Volume II:Resistance,


Propulsion, and Vibration,” The Society of Naval Architects and Marine Engineers. Jersey
City, USA.

Stoye,T (2011) “Propeller Design and Propulsion Concept for Ship Operation in Off-Design
Conditions,” Flensburger Schiffbau-Gesellschaft. Flensburg, German.
Summary

 Perhitungan Pemilihan Propeller


Setelah melakukan perhitungan untuk pemilihan propeller, maka didapatkan propeller terpilih
untuk sementara dengan 5 daun, jenis Wageningen B5-105. .
Tabel 6. Summary Pemilihan Propeller
nprop
Tipe Db (m) P/Db ηb (RPS)
0 5.251168 0.89 0.55 2.819372

 Perhitungan Resiko Kavitasi


Setelah melakukan perhitungan untuk mengurangi resiko kavitasi, didapatkan jenis propeller
B5-105 tidak mengalami kavitasi pada proses perancangan. Nilai dan data lengkap dapat dilihat
pada table 7 .
Tabel 7. Summary Perhitungan Resiko Kavitasi

No. Komponen Perhitungan Hasil Satuan


1. Ao 233.210 ft2
2. Ae/Ao 1.05
3. Ae 244.870 ft2
4. Ap 19.663 ft2
5. Vr2 1065.029
6. T 1502.232 kN
7. Tc 0.140
8. σ0,7R 0.297
9. Tc Diagram 0.140
2.5 Engine Propeller Matching
Setelah kita menyelsaikan pemilihan motor induk dan pemilihan propeller,Langkah
selanjutnya adalah Engine Propeller Matching. Dimana Engine Propeller Matching adalah
proses pengecekan kecocokan antara mesin dan propeller yang kita piih sebelumnya.
Pencocokan yang tepat dari mesin dan propeller penting untuk mendapatkan gaya yang
dapat diterima dari kapal dan sistem propulsinya. (Stapersma & Woud 2005))
Pada proses pengecekan ada bebarapa komponen yang perlu diperhatikan. Putaran
propeller, diameter propeller, tahanan total, Speed of Advance. Dimana komponen tersebut
sudah didapatkan dari perhitungan-perhitungan yang telah dilakukan diatas. Engine
Propeller Matching pada dasarnya bekerja dengan karakteristik power (rpm) atau Torsi (rpm)
dari mesin dan propeller. (B. John, 1973)
2.5.1. Perhitungan Koefisien β
Pada perhitungan koefisien β, koefisien β dihitung dengan 2 kondisi yaitu, kondisi
service (Rough Hull) dan kondisi trial (Clean Hull). Nilai dari β dapat di tentukan
dengan rumus:
0,5𝐶𝑇𝑠𝑒𝑟𝑣𝑖𝑐𝑒 𝑆
𝛽 𝑠𝑒𝑟𝑣𝑖𝑐𝑒 = (2.42)
{(1−𝑡)(1−𝑤)2 𝐷 2

0,5𝐶𝑇𝑡𝑟𝑖𝑎𝑙 𝑆
𝛽 𝑡𝑟𝑖𝑎𝑙 = (2.43)
{(1−𝑡)(1−𝑤)2 𝐷 2

2.5.2. Perhitungan dan Pembuatan Kurva KT-J


Pada perhitungan KT akan didapatkan dengan menggunakan rumus:

𝐾𝑇 = 𝛽𝐽2 (2.44)
Dikarenakan nilai J belom dapat ditentukan, J dapat divariasikan dengan nilai 0
hingga 1 pada keliapatan 0,1. Setelah mendapatkan nilai dari KT-J, dapat dibuat kuva
KT-J dari nilai-nilai yang didapat pada setiap variasi kecepatan. Selanjutnya kurva ini
akan diplotkan ke kurva open water propeller untuk mendapatkan titik operasi
propeller.

KT-J Trial
0.7
0.6
14.5
0.5
0.4 13.5
0.3 12.5
0.2 11.5
0.1
10.5
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Grafik 4. Contoh Kurva KT-J


2.5.3. Pembacaan Grafik Kurva Open Water
Sudah disebutkan pada perhitungan sebelumnya, pada langkah ini dibutuhkan
grafik dari open water untuk propeller yang telah terpilih. Pada perhitungan ini
dibutuhkan nilai KT, 10KQ dan η yang nantinya di interpolasi. Nilai-nilai tersebut
didapatkan dengan pembacaan grafik open water yang sudah diketahui terlebih
dahulu nilai P/Do dan Ae/Ao.

Grafik 5. Kurva KT, KQ and η Wageningen.


2.5.4. Pembuatan Grafik Kurva KT KQ η
Dari pengamatan dan perhitungan dari grafik kurva diatas, bisa didapatkan nilai
dari KT KQ dan η dengan interpolasi.

Grafik 6. Grafik Kurva KT KQ η (Stapersma & Woud 2005))


Selanjutnya hasil Grafik Kurva KT KQ η yang sudah terbentuk, diplotkan dengan
Grafik KT-J untuk mendapatkan nilai dari KT KQ dan η yang nantinya akan menjadi
acuan dari cocok atau tidaknya propeller dengan motor induk yang dipilih. Grafik akan
berjumlah sesuai dengan variasi kecepatan yang suda ditentukan di awal.

Grafik 7. Open Water Diagram (Stapersma & Woud 2005)


2.5.5. Tabel Kondisi Servis dan Trial
Pada tabel ini akan ditentukan BHP dan putaran motor induk saat titik beroprasi
yang sudah ditentukan. Pada tabel ini diperlukan beberapa komponen nilai
perhitungan antara lain; putaran propeller, Thrust, Torque, Delivered Horse Power,
Shaft Horse Power, dan Brake Horse Power (Stapersma & Woud 2005).
Dalam perhitungan Engine Propeller Matching pada putaran propeller hingga Brake
Horse Power. Matching Propulsion Engine With Propulsor. Perhitungan mengikuti kaidah
Stapersma & Woud 2005
Nilai dari putaran propeller dapat ditentukan dengan rumus:
𝑉𝑎
𝑛= 𝐽𝐷
(2.45)

Nilai dari Thrust (T) dapat ditentukan dengan rumus:


𝑇 = 𝐾𝑇𝜌𝑛2 𝐷 4 (2.46)
Nilai dari Torque (Q) dapat ditentukan dengan rumus:
𝑄 = 𝐾𝑄𝜌𝑛2 𝐷4 (2.47)
Nilai dari Delivered Horse Power (DHP) dapat ditentukan dengan rumus:
DHP = 2πQn (2.48)
Nilai dari Shaft Horse Power (SHP) dapat ditentukan dengan rumus:
SHP = DHP/(ηsηb) (2.49)
Nilai dari Brake Horse Power (BHP) dapat ditentukan dengan rumus:
BHP = SHP/ηG (2.50)
2.5.6. Pembuatan Grafik Kurva Perbandingan Power Vs Putaran Mesin dan Power vs
Kecepatan
Setelah mendapatkan data dari tabel yang sudah dibuat sebelumnya. Perlu
dibuatnya grafik kurva perbandingan P – Ne dan P – Vs untuk diplotkan pada Engine
Envelope yang nantinya akan menunjukan cocok atau tidaknya propeller dan motor
induk yang dipilih.
2.5.7. Engine Envelope
Engine evelope merupakan diagram yang menunjukan kinerja dari motor induk.
Engine envelope bisa didapatkan pada setiap Project Guide dari sebuah mesin yang
dipilih. Engine Envelope setip mesin memiliki bentuk yang berbeda sesuai dengan
makers yang dipilih.

Grafik 8. Contoh Grafik Engine Envelope (Stapersma & Woud 2005))


Setelah engine envelope sudah ditentukan, selanjutnya adalah menggabungkan
kurva Engine Envelope dengan kurva P – Ne. Propeller dan motor induk akan
dikatakan cocok jika kurva P – Ne pada kondisi servis memotong titik maximum
continues rating (MCR) dari motor induk tersebut.
Grafik 9. Engine Propeller Matching (Stapersma & Woud 2005).
Refrensi

Stapersma, D.& Woud, HK. (2005) “Matching Propulsion Engine With Propulsor,”
Journal of Marine Engineering & Technology. The Hague, Germany.
Woodward, J. B. (1973) “Matching Engine and Propeller,” Department of Naval Architecture
and Marine Engineering. Ann Arbor, Michigan.
Summary

 Perhitungan Pemilihan Engine Propeller Matching

Langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan untuk Komponen Engine Propeller


Matching, maka didapatkan nilai β dan KT. Nilai dan data lengkap data dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Summary Perhitungan Engine Propeller Matching

No. Komponen Perhitungan Hasil Satuan


2.626824
1. Β Trial Rps
2.778371
2. Β Servis Rps

 Perhitungan Kurva KT-J

KT Trial
0.9

0.8

0.7

0.6 21 knot
0.5 20 knot
KT

0.4 19 knot

0.3 18 knot
17 knot
0.2
16 knot
0.1

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
J

Gambar 4 (a) KT-J Trial


KT Service
1.2

0.8 21.1 knot


20.1 knot
KT

0.6
19.1 knot

0.4 18.1 knot


17.1 knot
0.2 16.1 knot

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
J

Gambar 5 (b) KT-J Service

 Pembuatan Grafik Kurva Open Watter Test KT KQ η

Grafik 10 Grafik Kurva Open Watter Test Trial KT KQ η


Open Water Test pada KT Service
1.2

1 KT
10 KQ
0.8
ηo
KT

0.6 21 knot
20 knot
0.4
19 knot
0.2 18 knot
17 knot
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 16 knot

Grafik 10 Grafik Kurva Open Watter Test Service KT KQ η

 Perhitungan Komponen Engine Propeller Matching

Tabel 9. Summary Perhitungan KT (Koefisien Thrust) Trial

𝑉𝑎
J = =1.022673 𝐾𝑡 =β× 𝐽2 =0.821729
𝑛𝐷
Trial
KT pada Vs
J
21 20 19 18 17 16
0 0 0 0 0 0 0
0.1 0.008272 0.007858 0.007578 0.007377 0.007212 0.007096
0.2 0.03309 0.031432 0.03031 0.029506 0.028847 0.028384
0.3 0.074452 0.070721 0.068198 0.066389 0.064906 0.063864
0.4 0.132359 0.125727 0.12124 0.118024 0.115388 0.113535
0.5 0.206811 0.196448 0.189438 0.184413 0.180294 0.177399
0.6 0.297807 0.282885 0.27279 0.265554 0.259624 0.255454
0.7 0.405349 0.385038 0.371298 0.361449 0.353377 0.347702
0.8 0.529435 0.502907 0.48496 0.472096 0.461554 0.454141
0.9 0.670066 0.636491 0.613778 0.597497 0.584154 0.574772
1 0.827242 0.785792 0.75775 0.73765 0.721178 0.709596
Tabel 10. Summary Perhitungan KT (Koefisien Thrust) Rough Hull

𝑉𝑎
J = =1.022673 𝐾𝑡 =β× 𝐽2 =0.821829
𝑛𝐷
Rough Hull (22% Sea Margin)
KT pada Vs
J
21 20 19 18 17 16
0 0 0 0 0 0 0
0.1 0.010092 0.009587 0.009245 0.008999 0.008798 0.008657
0.2 0.040369 0.038347 0.036978 0.035997 0.035193 0.034628
0.3 0.090831 0.08628 0.083201 0.080994 0.079185 0.077914
0.4 0.161478 0.153387 0.147913 0.143989 0.140774 0.138513
0.5 0.252309 0.239666 0.231114 0.224983 0.219959 0.216427
0.6 0.363325 0.34512 0.332804 0.323976 0.316741 0.311654
0.7 0.494525 0.469746 0.452983 0.440967 0.43112 0.424196
0.8 0.645911 0.613546 0.591651 0.575957 0.563095 0.554052
0.9 0.817481 0.776519 0.748809 0.728946 0.712668 0.701222
1 1.009235 0.958666 0.924455 0.899933 0.879837 0.865707

Tabel 11. Summary Perhitungan Berdasarkan grafik KT KQ J Propeller B5-105,


didapatkan data-data sebagai berikut guna mengambarkan diagram KT KQ J dengan
nilai P/D = 0.885

J KT 10KQ ηo
0 0 0 0
0.1 0.54215 0.55300 0.114985
0.2 0.4803 0.50800 0.226148
0.3 0.4215 0.45600 0.332528
0.4 0.35214 0.39900 0.431978
0.5 0.28431 0.34000 0.519414
0.6 0.21234 0.27800 0.584605
0.7 0.13562 0.21600 0.604562
0.8 0.065312 0.15500 0.520427
0.9 0 0.09700 0.138091
1 0 0 0
Tabel 11. Summary Perhitungan Kondisi Trial (Clean Hull)
Kondisi Trial (Clean Hull)

Vs (knot) Vs (m/s) Va (m/s) J KT KQ η Np (rpm) % N engine


21 10.79400 7.96597 0.54 0.25 0.029 0.52 168.5545 102.25%
20 10.28000 7.58664 0.55 0.24 0.03 0.5 157.6094 95.61%
19 9.76600 7.20731 0.56 0.24 0.028 0.49 147.0552 89.20%
18 9.25200 6.82798 0.57 0.23 0.0275 0.48 136.8713 83.03%
17 8.73800 6.44864 0.575 0.24 0.027 0.47 128.1433 77.73%
16 8.22400 6.44864 0.58 0.243 0.0265 0.465 127.0386 77.06%

BHPSCR
Vs Q (kNm) DHP SHP (kW)
Np (rps) % BHP
(knot)
KQ.ρ.n2.D5 2π.Q.n DHP/ɳsɳb SHP/ɳG
21 2.809242 936.6548 16539.54 16877.08 17221.51 79.73%
20 2.626824 847.2008 13988.52 14274 14565.31 67.43%
19 2.45092 688.3664 10604.82 10821.25 11042.09 51.12%
18 2.281189 585.6774 8397.971 8569.358 8744.243 40.48%
17 2.135722 504.03 6766.37 6904.459 7045.366 32.62%
16 2.11731 486.2037 6470.791 6602.848 6737.6 31.19%

Tabel 11. Summary Perhitungan Kondisi Service (Rough Hull)


Kondisi Service (Rough Hull)

Vs (knot) Vs (m/s) Va (m/s) J KT KQ η Np (rpm) % N engine


21 10.79400 7.96597 0.515 0.26 0.033 0.57 176.7368 104.3%
20 10.28000 7.58664 0.52 0.25 0.032 0.56 166.7023 98.4%
19 9.76600 7.20731 0.53 0.26 0.031 0.55 155.3791 91.686%
18 9.25200 6.82798 0.535 0.265 0.03 0.54 145.8255 86.048%
17 8.73800 6.44864 0.54 0.27 0.0295 0.53 136.4489 80.515%
16 8.22400 6.44864 0.535 0.273 0.03 0.525 137.7241 81.268%
BHPSCR
Vs Q (kNm) DHP SHP (kW)
Np (rps) % BHP
(knot)
KQ.ρ.n2.D5 2π.Q.n DHP/ɳsɳb SHP/ɳG
21 2.945613 1171.841 21696.96 22139.75 22591.59 104.59%
20 2.778371 1010.96 17655.44 18015.76 18383.43 85.11%
19 2.589652 850.8395 13849.8 14132.45 14420.87 66.76%
18 2.430426 725.2524 11079.65 11305.77 11536.5 53.41%
17 2.274148 624.3999 8925.575 9107.73 9293.602 43.03%
16 2.295402 646.9073 9333.733 9524.218 9718.59 44.99%

Tabel 9. Summary Perhitungan Komponen EPM Trial

No. Komponen Perhitungan Hasil Satuan


2.626824
1. N Rps
847.2008
2. Q kNm
1015.29
3. T kNm
13988.52
4. DHP Kw
14274
5. SHP Kw

6. BHP 14565.31 kW

Tabel 10. Summary Perhitungan Komponen EPM Service

No. Komponen Perhitungan Hasil Satuan


2.778371
1. N Rps
1010.96
2. Q kNm
1082.99
3. T kNm
17655.44
4. DHP kW
18015.76
5. SHP kW
18383.43
6. BHP kW
 Enggine Propeller Matching

Engine Envelope

110

100

90

80
MCR
70
rough hull
clean hull
60
series 2
50 series 3
4
40
Service

30 design

20

10

0
40 50 60 70 80 90 100 110
BAB III
Perencanaan Propeller

Untuk menilai keakuratan teori baling-baling yang dikembangkan sejumlah perhitungan


kinerja yang dibuat aliran seragam (air terbuka). Perhitungan ini dilakukan untuk baling-baling
dari B-seri Wageningen untuk memperkirakan keakuratan teori untuk berbagai bilangan pisau
dan bidang pisau,dan untuk seri baling-baling tinggi yang dikembangkan di Angkatan Laut Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kapal untuk menilai keakuratan memprediksi pengaruh miring.
3.1 Goemetri Propeller
Dimensi dari seri B-baling-baling Wageningen pada (table 11) memberikan sifat geometris
keseluruhan dari aslinya B-series Wageningen. Koordinat yang diperlukan dari profil dihitung
dengan menggunakan rumus, analog dengan rumus diberikan oleh Gent dan Oossanen (1989
hal 130) [5-2] ,yaitu:

𝑦𝑓𝑎𝑐𝑒 = 𝑉1 (𝑡𝑚𝑎𝑥 − 𝑡𝑡.𝑒. ) } for P<0 (5-1)

𝑦𝑏𝑎𝑐𝑘 = (𝑉1 + 𝑉2 ) (𝑡𝑚𝑎𝑥 − 𝑡𝑡.𝑒. ) + 𝑡𝑡.𝑒. } for P<0 (5-1)

𝑦𝑓𝑎𝑐𝑒 = 𝑉1 (𝑡𝑚𝑎𝑥 − 𝑡𝑡.𝑒. ) } for P>0 (5-2)

𝑦𝑏𝑎𝑐𝑘 = (𝑉1 + 𝑉2 ) (𝑡𝑚𝑎𝑥 − 𝑡𝑡.𝑒. ) + 𝑡𝑡.𝑒. } for P>0 (5-2) (3.1)

Dari Gambar. 5, berikut ini:


Yf, ras „» Anda, „ciK, = ordinat vertikal dari suatu titik pada bilah bagian pada face dan back
dengan mengikuti garis Kententuan,

Gambar 5 Definisi Parameter Bagian Geometrik Wageningen B dan BB Seri Propeller.


LE = Leading Edge
TE =Trailing Edge
MT = Location Of Maximum Thicknes
Dl = Location Of Directix

3.2 Pehitungan Goemetri Propeller

Ada pun ketetapan dalam menentukan titik ordinat dalam suatu face dan back
guna utuk mempermudah dalam penggambaran dan table perhitungan dimensi dari seri
B-baling-baling Wageningen sudah di uji coba dan rumuskan oleh Gent dan Oossanen
(1989 hal 137)

Dimensions of four-, five-, six- and seven bladed B-screw series.


𝑠𝑟
⁄𝐷 =𝐴𝑟 − 𝐵𝑟 𝑧
𝐶𝑟 𝑍
𝑟⁄ . 𝑎𝑟 𝑏𝑟⁄
𝐷 𝐴𝐸⁄ ⁄𝑐𝑟 𝐴𝑟 𝐵𝑟
𝑅 𝐴0 𝑐𝑟
0.2 1.662 0.617 0.35 0.0526 0.004
0.3 1.882 0.613 0.35 0.0464 0.0035
0.4 2.05 0.601 0.351 0.0402 0.003
0.5 2. 152 0.586 0.355 0.034 0.0025
0.6 2.187 0.561 0.389 0.0278 0.002
0.7 2. 144 0.524 0.443 0.0216 0.0015
0.8 1.97 0.463 0.479 0.0154 0.001
0.9 1.582 0.351 0.5 0.0092 0.0005
1 0 0 0 0.003 0
Dimensions of three bladed B-screw series.
𝑠𝑟
⁄𝐷 =𝐴𝑟 − 𝐵𝑟 𝑧
𝐶𝑟 𝑍
𝑟⁄ . 𝑎𝑟 𝑏𝑟⁄
𝐷 𝐴𝐸⁄ ⁄𝑐𝑟 𝑐𝑟 𝐴𝑟 𝐵𝑟
𝑅 𝐴0
0.2 1.633 0.616 0.35 0.0526 0.004
0.3 1.832 0.611 0.35 0.0464 0.0035
0.4 2 0.599 0.35 0.0402 0.003
0.5 2. 120 0.583 0.355 0.034 0.0025
0.6 2. 186 0.558 0.389 0.0278 0.002
0.7 2. 168 0.526 0.442 0.0216 0.0015
0.8 2. 127 0.481 0.478 0.0154 0.001
0.9 1.657 0.4 0.5 0.0092 0.0005
1 0 0 0 0.003 0

𝑠
𝐴𝑟 , 𝐵𝑟 = konstanta dalam persamaan untuk 𝑟⁄𝐷
𝑎𝑟 = jarak antara leading edge dan generator line pada r
𝑏𝑟 = jarak antara leading edge dan lokasi ketebalan maksimum
𝑐𝑟 = akor panjang bagian pisau pada jari-jari r
𝑠𝑟 = ketebalan bagian pisau maksimum pada radius r.

Tabel 11. Dimensi dari seri B-baling-baling Wageningen

3.3 Menggambar Propeller

Menggambar Propeller memiliki tahapan dimana berfungsi untuk mempermudah


perhitungan sebelumnya adapun beberapa komponen gabungan perhitungan dari beberapa
gambar dan ketetapan (Harvald 1972) yaitu:
 Centerline ke Leading Edge
 Jarak Ordinat Tebal Maksimum dari Leading Edge
 Ordinat back leading edge
 Ordinat back trailling edge
 Ordinat face trailling edge
 Ordinat face leading edge
3.3.1 Centerline ke Leading Edge

Memproyeksikan garis dari center line ke bagian lengkungan blade


3.3.2 Jarak Ordinat Tebal Maksimum dari Leading Edge

Setelah menemukan garis lengkungan Leading Edge maka mendapat kan tebal maksimum dari
leading Edge dengan menarim garis

3.3.3 Ordinat back leading edge


Membuat Garis lenkung atas kanan menggunakan data yang telah kita dapat barulah di buat
Ordinat Back Leading yang dimana garis lengkung atas yang tujuannya untuk memproyeksikan
Propeller pada bagian lengkungan belakang Propeller

Gambar 6. Ordinat Back Leading Edge A


3.3.4 Ordinat back trailling edge
Membuat Garis lenkung atas kiri menggunakan data yang telah kita dapat barulah di buat
Ordinat Leading Edge yang dimana garis lengkung atas yang tujuannya untuk
memproyeksikan Propeller pada bagian lengkungan belakang Propeller

Gambar 7. Ordinat Back Trailling Edge B


3.3.5 Ordinat face trailling edge
Membuat Garis lenkung fondasi dari Ordinat Back Leading dan Ordinat Back Trailing dengan
menggunakan data yang telah kita dapat dari sebelumnya barulah di buat Ordinat Leading
Edge yang dimana garis lengkung atas yang tujuannya untuk memproyeksikan Propeller pada
bagian lengkungan depan Propeller ini juga di berlakukan sama dengan 3.3.6 Ordinat Face
Leading Edge

Gambar 8. Ordinat Face Trailling Edge C


3.3.6 Ordinat face leading edge

Gambar 9.Ordinat Face Leading Edge D

Dari gambar distribusi pitch diatas, selanjutnya dibuat garis-garis yang memotong masing-masing
elemen blade, dan dari garis tersebut dibuat garis tegak lurus dan diplotkan pada gambar
expanded.

Gambar 10. Expanded Area


Untuk gambar developed dan projected diperoleh dengan memproyeksikan masingmasing
panjang A, B, C, D, dan E berturut-turut untuk masinhg-masing r/R propeller.Sedangkan untuk
gambar side view, diperoleh dengan memproyeksikan panjang garis F dan H.

Gambar 11. Projected & Devloped


Refrensi

Oossanen, PV. (1989) “Calculation Of Performance And Cavitation Characteristic Of Propeller Indcluding
Effects Of Non-Uniform Flow And Viscositiy Publication No. 457 Netherlands Ship Model Basin
Wageningen,The Netherlands

Anda mungkin juga menyukai