BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Transportasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari sarana dan prasarana yang
didukung oleh tata laksana dan sumber daya manusia. Dalam interaksi kesisteman
tersebut, transportasi membentuk suatu jaringan pelayanan dan jaringan prasarana.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, transportasi merupakan aspek vital yang
mempunyai fungsi penggerak, pendorong, dan penunjang pembangunan sebagaimana
telah digariskan dalam program pembangunan nasional.
Salah satu isu penting dalam perekonomian wilayah adalah perlunya dukungan sarana
dan prasarana yang memadai. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto secara nasional
secara signifikan dipengaruhi oleh pembangunan infrastruktur dan sebaliknya. Perlu
dipahami, bahwa dukungan sarana dan prasarana transportasi tidak saja dalam bentuk
pembangunan jalan baru, jembatan atau terminal, tetapi juga peningkatan
pelayanannya.
Kabupaten Tangerang dengan luas wilayah 77.764,122 hektar atau sekitar 2,9 persen
dari luas wilayah provinsi Banten ( 3.254 ribu hektar), dengan jumlah penduduk
871.840 jiwa. Batas administrasi wilayah adalah sisi utara adalah Laut Jawa, sisi timur
dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang, sisi selatan dengan Kabupaten
Bogor dan Kota Tangerang Selatan serta sisi barat berbatasan dengan Kabupaten
Serang dan Kabupaten Lebak. Kabupaten Tangerang merupakan salah satu daerah
strategis, karena berada pada jalur transportasi yang menjadi daerah penghubung jalur
pantai utara. Posisi ini sangat menguntungkan bagi pendistribusian barang maupun
jasa ke berbagai wilayah Pulau Jawa.
Tidak efektif dan tidak efisiennya sistem transportasi pada dasarnya lebih disebabkan
karena tidak adanya keterpaduan antara perencanaan wilayah dan perencanaan
transportasi. Ketidakterpaduan dimaksud diungkapkan dengan berbagai kenyataan
empiris berikut ini:
1. Banyak dijumpai perubahan pola dan intensitas tata guna lahan (misalnya
pembangunan pemukiman pada lahan-lahan konversi atau menjamurnya
kantor dan ritel di daerah pemukiman) yang tidak diikuti dengan pembangunan
prasarana transportasi yang memadai, sehingga terjadi kesenjangan antara
sediaan transportasi (transport supply) dan kebutuhan transportasi (transport
demand)
2. Terdapat kenyataan, pembangunan prasarana dan sarana transportasi tidak
diikuti dengan pengelolaan dan pembinaan kawasan di sekitarnya (koridor),
sehingga pembangunan lalu lintas pada prasarana transportasi dimaksud
melampaui pembebanan lalu lintas direncanakan sebelumnya.
3. Ditemukan kondisi prasarana transportasi difungsikan tidak sesuai dengan apa
yang direncanakan (misalnya jalan arteri difungsikan sebagai jalan kolektor).
Perubahan fungsi ini salah satunya disebabkan karena tidak adanya pembinaan dan
pengawasan pola dan intensitas tata guna lahan disekitar prasarana transportasi
dimaksud. Hal-hal diatas terjadi, karena belum dimilikinya pedoman arahan
pengaturan dan pengendalian lalu lintas angkutan jalan yang termasuk dalam
Masterplan Transportasi Kabupaten Tangerang.
Dengan adanya hal itu, maka perlu adanya Penyusunan Masterplan Transportasi
Kabupaten Tangerang yang wajib dipatuhi oleh pemerintah, pengelola transportasi
(operator) serta masyarakat penggunaan jasa transportasi.
3. SASARAN
4. REFERENSI HUKUM
1. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan
Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
7. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2014 tentang Rambu
Lalu Lintas;
8. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 34 Tahun 2014 tentang Marka
Jalan;
9. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 49 Tahun 2014 tentang Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
10. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 96 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;
11. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 132 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan Jalan;
12. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 11 Tahun 2017, Perubahan ketiga
atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 75 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Analisis Dampak Lalu Lintas;
13. Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten
Tangerang Tahun 2016 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Tangerang Tahun 2016 Nomor 1611);
14. Peraturan Bupati Tangerang Nomor 93 Tahun 2016 tentang Kedudukan,
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Perhubungan;
15. Peraturan Bupati Tangerang Nomor 35 Tahun 2018 Tentang Standar Biaya
Kegiatan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran
2019;
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah
Dalam riwayat diceritakan, bahwa saat Kesultanan Banten terdesak oleh Agresi
Militer Belanda pada pertengahan abad ke-16, diutuslah tiga maulana yang berpangkat
Tumenggung untuk membuat perkampungan pertahanan di wilayah yang berbatasan
dengan Batavia. Ketiga Tumenggung itu adalah, Tumenggung Aria Yudhanegara,
Aria Wangsakara, dan Aria Jaya Santika. Mereka segera membangun basis pertahanan
dan pemerintahan di wilayah yang kini dikenal sebagai kawasan Tigaraksa.
Jika merunut kepada legenda rakyat dapat disimpulkan bahwa cikal-bakal Kabupaten
Tangerang adalah Tigaraksa. Nama Tigaraksa itu sendiri berarti Tiang Tiga atau Tilu
Tanglu, sebuah pemberian nama sebagai wujud penghormatan kepada tiga
Tumenggung yang menjadi tiga pimpinan ketika itu. Seorang putra Sultan Ageng
Tirtayasa dari Kesultanan Banten membangun tugu prasasti di bagian Barat Sungai
Cisadane, saat ini diyakini berada di Kampung Gerendeng. Waktu itu, tugu yang
dibangun Pangeran Soegri dinamakan sebagai Tangerang, yang dalam bahasa Sunda
berarti tanda. Prasasti yang tertera di tugu tersebut ditulis dalam huruf Arab ”gundul”
berbahasa Jawa kuno yang berbunyi ”Bismillah pget Ingkang Gusti/Diningsun juput
parenah kala Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun Wau/Rengsena perang netek
Nangaran/Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian/Sakabeh Angraksa Sitingsun
Parahyang”. Yang berarti ”Dengan nama Allah Yang Maha Kuasa/Dari Kami
mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang
kita memancangkan tugu/untuk mempertahankan batas Timur Cipamungas
(Cisadane) dan Barat Cidurian/Semua menjaga tanah kaum Parahyang. Sebutan
”Tangeran” yang berarti ”tanda” itu lama-kelamaan berubah sebutan menjadi
Tangerang sebagaimana yang dikenal sekarang ini.
Setelah keturunan Aria Soetadilaga dinilai tidak mampu lagi memerintah Kabupaten
Tangerang, Belanda menghapus pemerintahan ini dan memindahkannya ke Batavia.
Kemudian Belanda membuat kebijakan, sebagian tanah di Tangerang dijual kepada
orang-orang kaya di Batavia, yang merekrut pemuda-pemuda Indonesia untuk
membantu usaha pertahanannya, terutama sejak kekalahan armadanya di dekat
Kepulauan Midway dan Kepulauan Solomon. Kemudian pada tanggal 29 April 1943
dibentuklah beberapa organisasi militer, di antaranya yang terpenting ialah Keibodan
(barisan bantu polisi) dan Seinendan (barisan pemuda). Disusul pemindahan
kedudukan Pemerintahan Jakarta ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M. Atik Soeardi
dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa Madoera.
Secara hirarkis, pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (wedana), Sonco (camat) dan
Kuco (kepala desa). Pada tanggal 8 Desember 1942 bertepatan dengan peringatan Hari
Pembangunan Asia Raya, pemerintah Jepang mengganti nama Batavia menjadi
Jakarta. Pada akhir 1943, jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan, dari
18 menjadi 19 kabupaten. Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang telah mengubah
status Tangerang dari kewedanaan menjadi kabupaten. Perubahan status ini
didasarkan pada dua hal:
Sejalan dengan keluarnya surat keputusan tersebut, Atik Soeardi yang menjabat
sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat, Raden Pandu Suradiningrat,
diangkat menjadi Bupati Tangerang (1943-1944). Semasa Bupati Kabupaten
Tangerang dijabat, H. Tadjus Sobirin (1983-1988 dan 1988-1993) bersama DPRD
Kabupaten Tangerang pada masa itu, menetapkan hari jadi Kabupaten Tangerang
tanggal 27 Desember 1943 (Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 1984 tanggal 25
Oktober 1984). Seiring dengan pemekaran wilayah dengan terbentuknya pemerintah
Kota Tangerang tanggal 28 Februari 1993 berdasarkan Undang-undang Nomor 2
Tahun 1993, maka pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pindah ke Tigaraksa.
Pemindahan ibu kota ke Tigaraksa dinilai strategis, karena menggugah kembali cita-
cita dan semangat para pendiri untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan
masyarakat yang bebas dari belenggu penjajahan (kemiskinan, kebodohan dan
ketertinggalan) menuju masyarakat yang mandiri, maju dan sejahtera.
Geografi
Sistem Pemerintahan
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, terhitung sejak Kota Tangerang Selatan
memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang, jumlah kecamatan, kelurahan maupun
desa di Kabupaten Tangerang tetap yaitu 29 kecamatan, 28 kelurahan, dan 246 desa.
Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Tangerang selama periode tahun 2009-2011
cukup berfluktuasi. Meningkat pada tahun 2010 dan menurun cukup signifikan pada
tahun 2011.
Bila diperhatikan komposisi pegawai menurut jenis kelamin, jumlah pegawai laki-laki
lebih banyak dibandingkan pegawai perempuan. Terakhir pada tahun 2011 proporsi
pegawai laki-laki mencapai 53,53 persen.
Total realisasi pendapatan daerah Kabupaten Tangerang pada tahun 2011 mencapai
2,224 triliun rupiah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) menyumbang 29,9 persen atau
tepatnya 665 miliar rupiah.
Sedangkan, dana perimbangan mencapai 1,288 triliun rupiah atau sekitar 57,93 persen
yang terdiri dari:
Dan yang ketiga adalah lain-lain pendapatan daerah yang sah yang menyumbang
sebesar 270,6 miliar rupiah atau sekitar 12,17 persen terhadap pendapatan daerah
wilayah ini. Sementara itu, belanja daerah dalam APBD Kabupaten Tangerang tahun
2012, direncanakan mencapai 2,4 triliun rupiah atau lebih besar dibandingkan dengan
realisasi tahun 2011, sedangkan pendapatan daerah tahun 2012 oleh Pemerintah
Kabupaten Tangerang ditargetkan hanya sebesar 2,2 triliun rupiah.
Master Plan atau Rencana Induk merupakan suatu urutan proses yang merupakan
syarat pembangunan di lingkungan perencanaan Kementrian Perhubungan Republik
Indonesia sesuai dengan arahan dari Menteri Perhubungan Rl, Keputusan Menteri
Perhubungan KM 31 Tahun 2006 tentang Pedoman dan Proses Perencanaan di
Lingkungan Kementerian Perhubungan.
1. Arah pembangunan menjadi jelas, ber-sinergi dan terpadu dengan Tata Ruang
Wilayah;
2. Tahapan pembangunan menjadi lebih terukur, dengan demikian tahapan
pembangunan/pengembangan disesuaikan dengan kebutuhan;
3. Penggunaan anggaran unruk pembangunan menjadi lebih efisien;
4. Kebutuhan lahan dapat diantisipasi lebih awal.
Sebuah masterplan di institusi negara adalah peta perjalanan menuju masa depan. Ia
merupakan dokumen panjang nan komprehensif yang menjadi panduan
pengembangan dan pembangunan yang berdampak pada fasilitas publik di rentang
lebih dari 10 hingga 20 tahun mendatang. (Baca : Proyek Smart City, Bisa jadi
Inspirasi dikembangkan di Indonesia )
Hal yang lebih penting, masterplan sebenarnya hanyalah dokumen kebijakan. Ia tidak
mengatur tentang penggunaan tanah, zonasi, maupun properti. Lagi pula, masterplan
juga tidak punya otoritas. Akan tetapi secara formal dokumen ini diakui oleh
pemerintah terkait sebagai bentuk panduan yang disepakati.
Penerapan anggaran belanja daerah (atau kebijakan lainnya) yang didasari oleh
masterplan umumnya akan menghasilkan keuntungan operasional antara lain:
Di prosesnya, haruslah muncul pertanyaan antara lain: Apa saja yang kita punya? Apa
saja yang kita inginkan? Bagaimana kita mencapainya? Kesemua pertanyaan tersebut
harus sudah ada jawabannya. Jadi di sini jelas bahwa masterplan bukan hanya sebuah
solusi instan. Di dalamnya terdiri dari target, kebijakan, tata kelola penggunaan lahan,
pembangunan hunian masyarakat, pengembangan ekonomi, sumber daya alam, ruang
terbuka, rekreasi, fasilitas publik, pelayanan publik, hingga transportasi. (Baca :
Mengapa Kelola TIK Harus diterapkan di Daerah Anda)
Dengan beragam tujuan penerapan anggaran daerah yang telah ditentukan, masterplan
tetap memungkinkan adanya penyesuaian perubahan berkala. Perubahan itu
ditentukan berdasarkan hasil evaluasi yang tetap berpegang pada “inti” perencanaan
semula.
3. INFRASTRUKTUR PERHUBUNGAN
Mankiw (2003) menyatakan pekerja akan lebih produktif jika mereka mempunyai
alat-alat untuk bekerja. Peralatan dan infrastruktur yang digunakan untuk
menghasilkan barang dan jasa disebut modal fisik. Hal serupa juga dijelaskan dalam
Todaro (2006) bahwa tingkat ketersediaan infrastruktur di suatu negara adalah faktor
penting dan menentukan bagi tingkat kecepatan dan perluasan pembangunan ekonomi.
Infrastruktur mengacu pada fasilitas kapital fisik dan termasuk pula dalam kerangka
kerja organisasional, pengetahuan dan teknologi yang penting untuk organisasi
masyarakat dan pembangunan ekonomi mereka. Infrastruktur meliputi undang-
undang, sistem pendidikan dan kesehatan publik, sistem distribusi dan perawatan air,
pengumpulan sampah dan limbah, pengelolaan dan pembuangannya, sistem
keselamatan publik, seperti pemadam kebakaran dan keamanan, sistem komunikasi,
sistem transportasi, dan utilitas publik (Tatom, 1993).
Infrastruktur merupakan barang barang publik yang bersifat non ekslusif (tidak ada
orang yang dapat dikesampingkan), non rival (konsumsi seorang individu tidak
mengurangi konsumsi individu lainnya) serta umumnya biaya produksi marginal
adalah nol. Infrastruktur umumnya juga tidak dapat diperjualbelikan (non tradable)
(Henner, 2000).
Hal serupa pun diungkapkan oleh Stiglizt (2000) yang mengatakan bahwa beberapa
infrastruktur seperti jalan tol merupakan salah satu barang publik yang disediakan oleh
pemerintah meskipun infrastruktur ini bukanlah barang publik murni. Ciri barang
publik dilihat dari segi penggunaannya yaitu non rivalry dan non-excludable rivalry.
Rivalitas dalam mengkonsumsi suatu barang maknanya adalah jika suatu barang
digunakan oleh seseorang, barang tersebut tidak dapat digunakan oleh orang lain. Jika
sebaliknya, ketika barang tersebut digunakan oleh orang lain dan secara bersama-sama
menggunakan barang tersebut, maka barang tersebut dapat dikatakan sebagai barang
publik. Penggunaan infrastruktur bagi pihak penggunanya tidak dikenakan biaya
secara langsung atas penggunaannya, dikarenakan infrastruktur tersebut disediakan
oleh pemerintah sebagain penunjang kegiatan sosial ekonomi.
Sistem Infrastruktur
Disini, infrastruktur berperan penting sebagai mediator antara sistem ekonomi dan
sosial dalam tatanan kehidupan manusia dan lingkungan. Kondisi itu agar harmonisasi
kehidupan tetap terjaga dalam arti infrastruktur tidak kekurangan (berdampak pada
manusia), tapi juga tidak berlebihan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan
alam karena akan merusak alam dan pada akhirnya berdampak juga kepada manusia
dan makhluk hidup lainnya.
Dalam hal ini, lingkungan alam merupakan pendukung sistem infrastruktur, dan
sistem ekonomi didukung oleh sistem infrastruktur, sistem sosial sebagai obyek dan
sasaran didukung oleh sistem ekonomi. Analoginya seperti gambar dibawah ini :
1. Grup keairan
2. Grup distribusi dan produksi energi
3. Grup komunikasi
5. Grup bangunan
Komponen Infrastruktur
6. Fasilitas transportasi: jalan, rel, bandar udara (termasuk tanda-tanda lalu lintas
dan fasilitas pengontrol
12. Taman kota sebagai daerah resapan, tempat bermain termasuk stadion
13. Komunikasi
1. Perencanaan kota
2. Peremajaan kota
4. Jalan kota
5. Air minum
6. Drainase
7. Air limbah
8. Persampahan
9. Pengendalian banjir
10. Perumahan
Komponen yang dapat dipakai untuk memberi input maupun mengambil output. Jenis
infrastruktur yang termasuk dalam kelompok ini meliputi: prasarana jalan dan telepon.
4. INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI
Jaringan jalan raya dan jalan tol, termasuk jembatan, terowongan, dan
infrastruktur pendukungnya seperti lampu jalan, rambu lalu lintas, saluran air,
trotoar, dan sebagainya.
Jalur sepeda
Transportasi publik massa seperti kereta api, trem
Kanal sebagai transportasi air dalam pulau
Pelabuhan laut sebagai transportasi air antar pulau
Bandar udara
jalan raya, rel kereta api, landasan pesawat, saluran air, kanal, jaringan pipa
dan terminal seperti bandara, stasiun kereta api, halte bus dan pelabuhan.
Perekonomian Indonesia terbukti telah bangkit kembali sejak krisis keuangan global
pada tahun 1990an. Pada tahun 2009, sebagai contoh, Indonesia telah mengalami
pertumbuhan GDP sebesar 4,5 persen, sementara banyak negaranegara lain yang
mengalami kontraksi ekonomi.
Mengacu pada Buku Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) ”Panduan Bagi
Investor Dalam Investasi Di Bidang Infrastruktur” yang dikeluarkan oleh Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, berikut dijelaskan tentang pihak-pihak utama
yang secara umum terlibat dalam proyek infrastruktur KPS dan hubungan yang ada
diantara mereka yang disesuaikan dengan sektor transportasi. Pihak-pihak tersebut
adalah:
1. Badan Usaha yang merupakan badan hukum Indonesia yang dimiliki oleh
para Sponsor Proyek, yang menandatangani Perjanjian Kerjasama (PK)
atau Cooperation Agreement dengan Badan Kontrak Pemerintah atau
Government Contracting Agency (GCA). Badan usaha dalam Panduan ini
dan didalam peraturan-peraturan pemerintah disebut juga sebagai “Badan
Usaha”.
4. Para Sponsor Proyek merupakan para pemegang saham dari Badan usaha.
Sponsor Proyek ini dapat terdiri dari investor lokal ataupun asing dan pada
umumnya mereka bertanggung jawab untuk melakukan pengembangan
proyek selain dari penempatan modal. Mereka biasa disebut juga dalam
Panduan ini sebagai “pelaksana pembangunan” atau disebut “developers.”
12. Unit Pusat Kerjasama Pemerintah dan Swasta atau Public Private
Partnership Central Unit (P3CU), merupakan unit dalam Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dikepalai oleh
Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta. Unit ini
mempunyai sejumlah fungsi termasuk diantaranya: memberikan bantuan
kepada KKPPI untuk menyusun kebijakan dan melakukan penilaian atas
permintaan dukungan bersyarat dari pemerintah, membantu Pemerintah
untuk mempersiapkan penerbitan buku KPS yang memuat daftar proyek
yang berpeluang bagi penanam modal swasta, yang mendukung GCA
untuk melakukan persiapan proyek-proyeknya dan mengembangkan
kemampuan dari badan-badan pemerintah dalam rangka pelaksanaan KPS.
14. Penasehat P3CU dan Kementerian Keuangan, Upaya-upaya dari P3CU dan
Kementerian Keuangan, untuk mengembangkan suatu kerangka KPS yang
baik dan untuk membantu GCA dalam menyiapkan proyekproyek yang
menjanjikan, telah didukung oleh penasehat hukum, keuangan dan
perekayasaan teknik yang pendanaannya dilakukan oleh berbagai badan
multilateral dan bilateral.
Kerangka Hukum
Interaksi antara berbagai pihak diatur oleh tiga perangkat undang-undang dan
beberapa peraturan sebagai berikut dibawah ini: Peraturan dasar KPS, peraturan
khusus sektor transportasi, dan peraturan umum lainnya yang mengatur tentang
berbagai kegiatan usaha yang berkaitan dengan sektor transportasi di Indonesia.
Berdasarkan sistem hukum Indonesia, undang-undang mengatur hal-hal yang bersifat
umum. Pelaksanaan dari suatu ketentuan hukum pada umumnya diatur dalam
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Dalam simpul KPS terdapat pengarah dan pelaksana. Pengarah yang diketuai oleh
Menteri Perhubungan dengan anggota para direktur jenderal teknis. Pengarah
memiliki tugas, yaitu:
Dalam melaksanakan tugasnya pengarah dibantu oleh pelaksana dengan ketua harian
Kepala Pusat Kajian Kemitraan dan Pelayanan Jasa Transportasi. Dalam pelaksana
terdapat koordinator proyek kerjasama, koordinator prastudi kelayakan proyek
kerjasama, koordinator transaksi proyek kerjasama, dan koordinator manajemen
pelaksana. Dalam melaksanakan tugasnya pelaksana mempunyai tugas sebagai
berikut:
a. Perencanaan Proyek
1) Kajian Hukum
a. Analisis Kelembagaan
2) Kajian Teknis
a. Analisis Teknis
b. Penyiapan Tapak
c. Analisis Pasar
d. Analisis Keuangan
e. Analisis Risiko
b. Analisis Sosial
Dukungan pemerintah
Dukungan Langsung
Pembebasan Tanah
Dukungan Bersyarat
Insentif Pajak
Jaminan pemerintah
d. Konsultasi publik
e. Evaluasi Proyek
1) Bentuk Kerjasama
Pembebasan Tanah
Tarif
Permintaan
1) Market sounding
Koordinator : Ditjen Perhubungan Darat, Ditjen
Perkeretaapian, Ditjen Perhubungan Laut, Ditjen
Perhubungan Udara dan Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Perhubungan.
2) Pelelangan
Pembentukan panitia
Pelelangan Pra-kualifikasi
Dokumen Pelelangan
Pembukaan dokumen penawaran
3) Perjanjian/ Konsesi
a) Pembangunan
Pra Konstruksi
Konstruksi
b) Pengoperasian
2. Proyek Berdasarkan Inisiasi Badan Usaha (Unsolicited, merupakan proses
investasi penyelenggaraan proyek sektor transportasi berdasarkan ide
proyek dari Badan Usaha / Swasta, dengan tahapan sebagai berikut:
1) Perencanaan Proyek
b) Konsultasi publik
c) Evaluasi Proyek
3) Transaksi Proyek
a) Pelelangan
b) Perjanjian/ Konsesi
a) Pembangunan
Pra Konstruksi
Konstruksi
b) Pengoperasian
Kriteria Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dan Peluang Investasi
METODOLOGI
1. LOKASI KEGIATAN
2. RUANG LINGKUP
Perencanaan dalam jangka waktu tertentu yang juga fleksibel terhadap perubahan
yang terjadi akan memberikan manfaat yang lebih optimal karena hal itu akan menjadi
semacam payung kebijakan yang memberikan arah kemana perencanaan transportasi
darat akan dibawa Paradigma berpikir yang dipergunakan untuk menyusun
Masterplan Perhubungan secara skematis disajikan dalam Gambar di bawah.
1. birokrasi/kelembagaan,
2. pembiayaan pembangunan,
3. peran serta dan mekanisme partisipasi,
4. kualitas sumber daya manusia, dan,
5. private sector development.
Tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah pemilihan strategi dan tindak lanjut
kegiatan dalam bentuk implementasi di lapangan. Implementasi tersebut dilakukan
monitoring dan evaluasi secara terus menerus sehingga akan menghasilkan keluaran
yang diharapkan.
Hasil produk yang akan dihasilkan dari pengadaan jasa konsultasi Masterplan
Perhubungan Kabupaten Tangerang ini: