Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, sebelum Belanda dan dengan berbagai institut
yang dibawanya masuk ke Indonesia di abad ketujuh belas, negeri ini sudah mengenal tatanan
sosial dan kehidupan yang telah berkembang, Belanda tidak menemukan suatu komunitas
yang primitif, melainkan berbagai kerajaan dan karya-karya budaya fisik maupun non fisik
yang terkadang berkualitas dunia, seperti candi Borobudur.
Daniel S Lev, menggambarkan kondisi hukum di Indonesia sebelum bertemu dengan
barat sebagai berikut: “Before then many different legal orders existed, independently within
a wide variety of social and political -tatanan hukum telah ada di Indonesia jauh sebelum
bertemu dengan hukum modern.
Masyarakat Indonesia telah hidup dengannya selama beratus-ratus tahun. Tatanan lokal
tersebut, sebagaimana ditulis Lev, ada tersebar dengan beraneka ragam dalam masing-masing
sistem politik dan sosial. Tatanan hukum yang dimaksud Lev tersebut kemudian dikenal
sebagai hukum adat. Istilah hukum adat (Inggris: adat law ; Belanda: adat recht) sendiri
dikenalkan pertamakalinya oleh orientalis Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) dalam
buku De Atjehers/The Acehnese yang diterbitkan 1893. Sejak Belanda ‘berbaik hati’
meninggalkan hukum modern untuk Indonesia, bangsa Indonesia kemudian mulai berhukum
dengan dua jalan: hukum modern dan hukum adat yang masyarakat Indonesia telah
berhukum dengannya jauh sebelum Belanda datang.
Usaha-usaha, keinginan dan rekomendasi untuk menggali dan menggunakan hukum
asli yang dimiliki Indonesia pada dasarnya telah ada sejak pasca kemerdekaan Indonesia.
Usaha tersebut dapat ditelusuri dari tulisan para ahli hukum dan dokumen seminar hukum
nasional juga Rancangan Undang Undang (RUU) mengenai Asas-asas dan Dasar Pokok Tata
Hukum Pidana.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Relevansi Hukum Adat Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Guna Pembangunan


Hukum Nasional
Pentingnya penggalian hukum adat sebelumnya pernah diingatkan oleh Cornelis Van
Vollenhoven dalam mengakhiri bukunya yang berjudul penemuan hukum adat:
Jadi, tugas untuk melanjutkan penemuan hukum adat, khususnya mengenai orang
Indonesia untuk sementara waktu harus ditanggung oleh mereka (orang Indonesia) yang
bertempat tinggal di Hindia Belanda. Hal ini masuk akal, bukan saja mereka merupakan
49.000.000 dari 66.000.000 yang mendiami wilayah Indonesia dari Formosa sampai
Madagascar, tetapi pekerjaan pendahuluan sebagian besar telah dilakukan. Papan untuk
meloncat telah tersedia bagi mereka
Barda Nawawi Arief kemudian dalam pidato pengukuhan guru besarnya menyatakan
bahwa penggalian dan pengembangan nilai-nilai hukum pidana yang hidup di dalam
masyarakat bertumpu pada dunia akademik/keilmuan. Barda Nawawi Arief menyebut nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai “batang terandam” yang belum banyak
terangkat ke permukaan. Upaya mengangkat batang terandam ini penting dilakukan untuk
dikaji secara mendalam sebagai bahan penyusunan hukum nasional. Apa yang disampaikan
Barda Nawawi Arief (pengkajian hukum adat sebagai bahan penyusunan hukum nasional)
tersebut senada dengan pernyataan Soekanto dalam pidato pengukuhan guru besarnya.
Soekanto mengingatkan bahwa sebenarnya kita (Indonesia) belum mempunyai Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Nasional sendiri, Soekanto dengan jelas menyampaikan
pentingnya menggali hukum adat:
Kita belum mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Nasional, belum
memutuskan apakah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang ini dapat dijadikan
Kitab Undang- Undang Pidana Nasional, dsb. Untuk melaksanakan pekerjaanpekerjaan itu
kita memerlukan beberapa kaum sarjana yang dapat bekerja dalam kalangan hukum adat kita,
yang bisa membandingkan hukum adat dengan hukum-hukum lain supaya dengan cara
sedemikian kita dapat suatu hukum Nasional yang modern.
Cita-cita untuk membangun hukum nasional yang kokoh dan berakar pada hukum adat
juga dikemukakan oleh Soenaryati Hartono. Menurutnya hukum adat sesungguhnya tidak
lain dari pada hukum asli bangsa kita, maka dengan sendirinya hukum nasional yang bersama
sama dibentuk itu harus berakar pada hukum adat.
Soenaryati mengibaratkan hukum adat sebagai tanah dan hukum nasional sebagai
bangunan diatasnya. Soenaryati menambahkan, bahwa ‘bangunan’ tersebut haruslah kokoh
berdiri dan mampu memenuhi kebutuhan manusia Indonesia di zaman ini. Satu hal yang
perlu mendapat catatan bahwa hukum adat yang dijadikan pijakan tersebut tentunya yang
masih bersesuaian dengan martabat bangsa berlandaskan pancasila sebagaimana resolusi
butir ke-4 seminar hukum nasional 1963. Hal ini berarti tidak semua nilai-nilai hukum adat
dapat dijadikan pijakan bagi hukum nasional, sebab ada beberapa nilai-nilai hukum adat yang
tak dapat berlaku universal seperti misalnya tradisi otiv-bombari pada suku Marind di
Merauke Papua . Menurut I.G.N Sugangga, hukum adat yang dipakai sebagai azas-azas atau
landasan pembinaan hukum nasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan hukum nasional
dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa;
b. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan negara Indonesia yang
berfalsafah pancasila
c. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dengan peraturan-peraturan
tertulis (undang-undang)
d. Hukum adat yang bersih dari sifat-sifat feodalisme, kapitalisme serta
penghisapan manusia atas manusia;
e. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan unsur-unsur agama.

Syarat-syarat yang dituliskan I.G.N Sugangga tersebut pada hakikatnya merupakan


penjabaran lebih lanjut dari Lampiran A paragraf 402 dalam Ketetapan MPRS
No.II/MPRS/1960 yang menyatakan asasasas pembinaan hukum nasional agar dilandaskan
pada haluan negara dan hukum adat yang tidak menghambat perkembangan rakyat adil
makmur.
Pada asasnya, secara substansial sistem hukum pidana adat berlandaskan pada nilai-
nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas kekeluargaan, religius
magis, komunal dengan bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individu akan tetapi keadilan
secara bersama. Konsekuensi logis dimensi demikian maka penyelesaian dalam suatu
masyarakat adat berlandaskan pada dimensi penyelesaian yang membawa keselarasan,
kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya, hukum pidana adat lebih mengkedepankan eksistensi
pemulihan kembali keadaan terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku.
Soepomo menyebutkan dalam sistem hukum pidana adat tujuan dijatuhkannya sanksi adat
sebagaimana berlaku dan dipertahankan pada suatu masyarakat adat bukanlah sebagai suatu
pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan tetapi adalah untuk memulihkan perimbangan
hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu pelanggaran adat. Perimbangan hukum itu
meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib.
Penjatuhan pidana yang dijatuhkan hakim adalah sebuah proses mengadili dengan
bertitik tolak alat bukti, proses pembuktian, hukum pembuktian dan ketentuan hukum acara
pidana. Pada proses ini hakim memegang peranan penting untuk mengkonkritkan sanksi
pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan penjatuhan pidana
terhadap pelaku melalui putusan. Penjatuhan pidana oleh hakim mempertimbangkan segala
aspek baik perbuatannya, pelakunya (daad-dader strafrecht), tujuan pemidanaan serta
mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara pelaku, bangsa dan negara, korban,
ilmu hukum dan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Pada asasnya, konsep RUU KUHP Tahun 2008 merumuskan tujuan pemidanaan.
Aspek dan dimensi ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup representatif dalam hukum
pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU KUHP menentukan,
“pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”, sehingga agar
dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktik penegakan hukum telah
ditentukan pula adanya eksistensi pidana tambahan sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1)
huruf e berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat”. Asasnya, hakim menjatuhkan pidana “pemenuhan kewajiban
adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” apabila
pelaku telah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP yang disebut sebagai
tindak pidana adat. Kemudian, penjatuhan pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-
sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
Konsepsi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak dapat
dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya
penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan
dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam menentukan pidana
tambahan baik bersama dengan pidana pokok atau sebagai pidana berdiri sendiri atau juga
dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain, meskipun tidak dicantumkan sebagai
ancaman dalam rumusan tindak pidana.
Apabila dikaji secara intens, detail dan terperinci sebagai dasar kewenangan hakim
untuk menjatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” ditegaskan oleh ketentuan Pasal
100 ayat (1) RUU yang menentukan, “dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4)
hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat”, kemudian jika perbuatan pelaku merupakan tindak
pidana adat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) maka penjatuhan pidana oleh hakim
berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang
diutamakan.
Konsekuensi logis dimensi konteks di atas dapat disebutkan bahwa apabila hakim
mengadili tindak pidana adat maka agar pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan
dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh masyarakat maupun pelaku, hakim harus
mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan tujuan pemidanaan.
Ketentuan Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 tentang pedoman pemidanaan
dimana disebutkan dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
h. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
i. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
j. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Kemudian ketentuan Pasal 54 ayat (1) menentukan tujuan pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman mesyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak
pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat adalah dimensi yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan
putusan. Apabila anasir ini diperhatikan maka putusan hakim juga secara menyeluruh
mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice.
Pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat dianggap setara atau sebanding dengan pidana denda Kategori
I dengan besaran sejumlah Rp. 1. 500.000, 00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan jikalau
pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang
hidup dalam masyarakat tidak dilaksanakan terpidana maka dapat dikenakan pidana
pengganti untuk pidana denda yang dapat berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi
Arief menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat
dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam konsep RUU
KUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban dimana jenis pidana ini
pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya
saja yang menjadi korban di sini adalah masyarakat adat.
Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang
hidup (hukum pidana adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih
berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat. Hakim harus benar-benar memahami perasaan masyarakat, keadaan
masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat
istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang
hidup. Soedarto menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk
dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak
kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas
kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil.
Pada asasnya, hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan
dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan
ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk
memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk
wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk
meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat suatu pelanggaran adat.
Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik
sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-
kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh
masyarakat adat bersangkutan. Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat
adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.
Dikaji dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan
eksistensi keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat
(3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, ketentuan Pasal 5 ayat (1) Pasal 10
ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (3), (4)
RUU KUHP Tahun 2008, pendapat doktrina dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Pada
praktik peradilan, hukum pidana adat terdapat dalam beberapa putusan seperti delik adat
“lokika sanggraha” di Bali berdasarkan Pasal 359 Kitab Adigama jo ketentuan Pasal 5 ayat
(3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dengan adanya sanksi adat sekaligus
pemulihan keseimbangan kosmis di dalamnya. Terhadap prospek dan dimensi delik adat
Lokika Sanggraha dalam konteks pembentukan hukum pidana nasional maka tergantung
aspek apakah unsur-unsur delik yang terdapat dalam Lokika Sanggraha juga ada dan dikenal
pada masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Pada RUU KUHP Tahun 2008 sebagai ius constituendum diatur eksistensi pidana
tambahan berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat” dimana hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan tujuan pemidanaan. Pedoman pemidanaan
khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan
tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
sehingga putusan hakim secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral
justice dan social justice.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Relevansi hukum pidana dan pembaharuan hukum pidana dalam sistem hukum
nasional pada dasarnya sama sama memberikan nilai-nilai luhur dalam budaya yang memang
sesuai dengan budaya dan nilai nilai luhur bangsa Indonesia. Pada RUU KUHP Tahun 2008
sebagai ius constituendum diatur eksistensi pidana tambahan berupa, “pemenuhan kewajiban
adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” dimana
hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan
tujuan pemidanaan. Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat
terhadap tindak pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat sehingga putusan hakim secara menyeluruh
mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice
B. Saran
Nilai nilai luhur bangsa Indonesia telah sesuai apabila dijadikan landasan dasar suatu
hukum. KUHP merupakan hukum Belanda yang sampai saat ini belum dirubah, dan tentunya
masih banyak kekurangan, sehingga nilai nilai hukum pidana adat pada dasarnya perlu
diadopsi dalam sistem hukum pidana nasional di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai