Anda di halaman 1dari 18

Rinosinusitis Maxillaris Akut dan Penatalaksanaannya

Ester Cesaria Claudia Sosomar


102016072
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510, Indonesia
Email: ester.2016fk072@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya sering disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Kejadian sinusitis diberi nama sesuai
dengan sinus yang terkena. Pemeriksaan yang mendukung yaitu rinoskopi dan yang menjadi
gold standar yaitu CT-scan. Rinosinusitis dapat dibedakan menjadi yang akut dan kronis.
Yang akut berlangsung kurang lebih 4 minggu dengan gejala ingus purulent dan post-nasal
drip, nyeri wajah , edema periorbita dan demam.pengobatan secara medikamentosa dberikan
antibiotic seperti amoksisilin atau amoksisilin-klavunalat selama 10-14 hari dengan edukasi
lebih banyak minum air, menggunakan uap untuk menenangkan hidung untuk menghindari
komplikasi seperti kelainan orbita dan intracranial. Sehingga terapi yang tepat dapat
menurunkan menurunkan prognosis yang buruk pada rinosinusitis maxillaris akut.

Kata kunci: rinosinusitis maxilla, nyeri pipi

Abstract

Sinusitis is the mucosal inflammation of the paranasal sinuses. Generally it is often


accompanied or triggered by rhinitis so it is often called rhinosinusitis. The occurrence of
sinusitis is named according to the affected sinus. Supportive checks are rhinoscopy and the
gold standard is CT scan. Rhinosinusitis can be divided into acute and chronic. The acute
one lasts approximately 4 weeks with symptoms of purulent snot and post-nasal drip, facial
pain, periorbital edema and fever. medical treatment with antibiotics such as amoxicillin or
amoxicillin-clavunalat for 10-14 days with education to drink more water, use steam to calm
the nose to avoid complications such as orbital and intracranial abnormalities. So that the
right therapy can reduce the poor prognosis of acute maxillary rhinosinusitis

Keywords: maxillary rhinosinusitis, cheek pain


Pendahuluan
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-
hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh
dunia. Sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinus, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus maksila
dan etmoid.1

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar dan disebut juga antrum
Highmore. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk piramid.Sinus maksila disebut juga antrum highmore letaknya dekat agar gigi
rahang atas maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus disebut sinusitis dentogen. Sinusitis
dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial serta
menyebabkan peningkatan asma yang sulit diobati.1

Anatomi Cavum Nasi


Cavum nasi adalah celah irregular yang terdapat diantara palatum dari cavum oris dan
basis cranii. Bagian bawah cavum nasi yang paling lebar dan dalam secara vertikal adalah
regio sentralnya, dipisahkan oleh septum nasi menjadi cavum nasi dextra dan sinistra. Pintu
masuk dari cavum nasi adalah nares, dan di posterior akan masuk ke nasopharynx melalui
choana. Hampir seluruh bagian dari cavum nasi dilapisi oleh mukosa kecuali area vestibulum
nasi yang dilapisi oleh kulit. Mukosa cavum nasi melekat pada periosteum dan perikondrium
dari tulang yang membentuk cavum nasi dan tulang rawan dari hidung. Mukosa cavum nasi
juga melapisi struktur-struktur yang berhubungan dengan cavum nasi seperti: nasopharynx di
posteriornya, sinus paranasales di superior dan lateralnya, dan sacus lacrimalis dan
konjungtiva di superiornya. Bagian 2/3 inferior mukosa cavum nasi adalah area respirasi dan
1/3 superiornya adalah area olfaktori.2 Area respirasi dari cavum nasi mukosanya dilapisi
oleh epitel berlapis semu bersilia dengan sel banyak sel goblet. Ada banyak kelenjar
seromukus dalam lamina propria dari mukosa hidung. Sekresinya membuat permukaannya
menjadi lengket sehingga bisa menjebak partikel-partikel yang terdapat di udara yang
terinspirasi. Film mukosa terus-menerus digerakkan oleh aksi siliar (eskalator mukosiliar) ke
arah posterior ke nasofaring dengan kecepatan 6 mm per menit. Mukosa cavum nasi berlanjut
ke mukosa nasofaring melalui choana, ke konjungtiva melalui ductus nasolacrimalis dan
kanalikuli lakrimalis, dan mukosa dari sinus paranasales melalui muaranya pada meatus nasi.
Mukosa cavum nasi ditemukan paling tebal dan vaskularisasinya paling banyak di atas
conchae, terutama pada ekstremitasnya, dan juga pada bagian anterior dan posterior dari
septum nasi, dan di antara conchae. Ketebalannya mengurangi volume rongga hidung dan
lubangnya secara signifikan. Lamina propria mengandung jaringan vaskular kavernosa
dengan sinusoid-sinusoid yang besar.2Dinding lateral dari cavum nasi tidak rata karena
adanya tiga conchae yaitu: concha nasi superior, medius, dan inferior. Conchae nasi ini
berjalan dengan arah inferimedial. Tiga conchae nasalis ini membentuk 4 celah untuk
jalannya udara yaitu:2,3

1. Recessus sphenoethmoidalis yang terdapat di atas concha nasi superiormenerima


muara dari sinus sphenoidalis.
2. Meatus nasi superior yang terletak diantara concha nasi superior dan medius
menerima muara dari sinus ethomidalis posterior.
3. Meatus nasi medius yang terletak diantara concha nasi medius dan inferior lebih
panjang dan lebar dibandingkan dengan meatus nasi superior.
Bagiananterosupereriornya menuju ke infundibulum ethmoidalis, lubang yang
berhubungan sinus frontalis lewat ductus frontonasalis. Ductus frontonasalis
kemudian bermuara pada suatu celah semisirkular yaitu hiatus semilunaris. Bulla
ethmoidalis, elevasi bulat yang terletak lebih tinggi dari hiatus semilunar (terlihat saat
concha nasi medius diangkat). Bulla dibentuk oleh cellulae etmoidalis medius, yang
membentuk sinus ethmoidal. Sinus maxillaris menuangkan isinya juga kebagian
posterior hiatus semilunar.
4. Meatus nasi inferior yang terletak di bawah concha nasi inferior merupakan saluran
berbentuk horizontal. Ductus nasolacrimalis dari sacus lacrimalis bermuara pada
bagian anterior dari meatus ini.

Gambar 1. Dinding Lateral Cavum Nasi4


Anatomi Sinus Paranasalis

Sinus paranasalis adalah rongga yang terdapat dalam tulang-tulang ethmoidalis,


sphenoidalis, frontalis, dan maxillaris. Nama-nama sinus sesuai dengan nama tulangnya.
Sinus frontalis terletak diantara facies interna dan externa ossis frontalis, posterior dari arcus
superciliaris dan atap dari hidung. Dimensi rata-rata sinus frontal orang dewasa adalah: tinggi
3,2 cm; lebar 2,6 cm; kedalaman 1,8 cm. Masing-masing biasanya memiliki bagian depan
yang membentang ke atas di atas bagian medial alis, dan bagian orbit yang memanjang
kembali ke bagian medial atap orbit. Masing-masing sinus frontalis menuangkan isinya ke
dalam hiatus semilunaris dari meatus nasi medius. Sinus frontalis mendapatkan inervasi dari
nerus supra orbitalis (N. V1).4,5 Sinus ethmoidalis (cellulae) meliputi beberapa cavitas yang
terletak di lateral os ethmoidalis antara cavum nasi dan orbita. Cellulae ethomidalis anterior
menuangkan isinya ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum. Cellulae ethmoidalis
medius bermuara langsung ke meatus nasi medius. Sedangkan cellulae ethmoidalis posterior,
yang membentuk bulla ethmoidalis bermuaralangsung ke meatus nasi superior. Sinus
ethmoidalis mendapatkan innervasi dari rami ethmoidalis anterior dan posterior nervi
nasociliaris (N. V1).1,2Sinus sphenoidalis, terbagi rata dan dipisahkan oleh septum
tulang,menempati corpus os sphenoidalis. Sinus ini terbentang sampai ke ala ossis
sphenoidalis pada usia lanjut. Hanya lempengan tulang tipis yang memisahkannya dengan
struktur-struktur penting yaitu: nervus opticus dan chiasma opticum, kelenjar hipofisis, arteri
carotid internus, dan sinus cavernosus. Sinus ini mendapatkan innervasi dan vaskularisasi
dari nervus dan arteri ethmoidalis posterior.Sinus maxillaris adalah sinus paranasales yang
paling besar. Cavitasnya yang berbentuk piramid memenuhi corpus mandibula. Apex sinus
maxillaris terbentang ke lateral dan sering sampai ke ossis zygomaticus. Basis dari sinus
maxillaris membentuk pars inferior dari dinding lateral dari cavum nasi. Lantai dari sinus
maxillaris dibentuk oleh pars alveolaris ossis maxilla. Radix dari dentes 7 di ossis maxillaris,
terutama molar I dan II menonjol ke dasar dari sinus maxillaris. Masing-masing sinus
maxillaris bermuara ke meatus nasi medius lewat lubang ostium maxillaris melalui hiatus
semilunaris.2,3

Karena lubang muara dari sinus ini terletak di superior, maka tidak mungkin
terjadinya drainase dari sinus jika posisi kepala dalam keadaan tegak kecuali sinus dalam
kondisi penuh. Sinus maxillaris mendapatkan vaskularisasi dari arteri alveolaris superior
cabang dari arteri maxillaris, lantai dari sinus divaskularisasi oleh arteri palatina major.
Mukosa dari sinus ini mendapatkan innervasi dari nervii alveolaris anterior, medius, dan
posterior.2,3

Gambar 2. Sinus Paranasales5

Anamnesis

Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis.
Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarganya atau pengantarnya (allo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan
untuk diwawancarai, misalnya keadaan gawat-darurat, afasia akibat strok dan lain
sebagainya. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan
sistem dan anamnesis pribadi (meliputi riwayat imunisasi, keadaan sosial ekonomi, budaya,
kebiasaan, obat-obatan, lingkungan).6

1. Identitas pasien

Perlu di tanyakan nama lengkap, tempat tanggal lahir, alamat, jenis kelamin, umur, agama,
suku bangsa, dan pendidikan.

2. Keluhan utama

Keluhan yang membuat pasien datang ke dokter dan perlu di tanyakan onsetnya. Dari
khasus keluhan utama pasien adalah pilek tidak sembuh-sembuh sejak 2 minggu yang lalu.

3. Riwayat penyakit sekarang

Pasien juga mengeluh sakit kepala dan nyeri di pipi bila ditekan. Selain itu juga
ditannyakan karekter sekret, apakah purulent atau tidak, apakah turun ke tenggorok (post
nasal drip), tanyakan juga apakah pasien mengalami demam dan lesu, hiposmia/anosmia,
halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

4. Riwayat penyakit dahulu

Sebelumnya pasien sudah pernah mengalami penyakit seperti ini atau tidak. Jika sudah
tanyakan apakah sudah pernah berobat atau belum (riwayat pengobatan)

5. Riwayat penyakit dalam keluarga

Tanyakan pada ibu pasien apakah di keluarga atau teman sebayanya ada yang terkena
penyakit seperti ini atau tidak.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah inspeksi, palapsi, transiluminasi, rhinoskopi


anterior dan posterior. Pada inspeksi diperhatikan adalah pembengkakan di pipi sampai
kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan dapat menunjukkan sinusitis maksila
akut. Pada palpasi, terdapat nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan
adanya sinusitis maksila. Pada pemeriksaan transiluminasi, manfaatnya terbatas sehingga
sudah sangat jarang dilakukan. Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk memeriksa sinus
maksila dan frontal bila tidak tersedia pemeriksaan radiologik. Apabila transiluminasi tampak
gelap di daerah infraorbita, kemungkinan antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal
atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus
maksila, akan tampak terang pada transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak
adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila.6
Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior dan posterior, dan pemeriksaan
naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khasnya
adalah adanya pus di meatus medius. Naso-endoskopi juga dapat mempermudah dan
memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian yang rumit termasuk KOM
(kompleks osteo-meatal).1
Pemeriksaan penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:1

a. Pemeriksaan transluminasi.
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan tampak suram atau gelap. Hal
ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah, karena akan nampak
perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit.

b. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada
sinus yang sakit.Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk
mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
a) Posisi Caldwell

Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja
sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus
lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus
terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15° kraniokaudal dengan titik
keluarnya nasion.

Gambar 3. Posisi Caldwell.7


b) Posisi Waters

Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah
untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum
maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus
medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37° dengan film
proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan pandangan terhadap semua
sinus paranasal.

Gambar 4. Waters Photo Sinusitis Maxillaris dextra7

c). Posisi Lateral

Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak

Gambar 5. Posisi lateral7


c. CT-Scan, terdapat air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan
atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas
dan beratnya sinusitis.
d. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai
sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut.
e. Kultur
Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme penyebab,
maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari meatus medius, meatus
superior, atau aspirasi sinus. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga
ditemukan virus atau jamur.
Diagnosis Banding
Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien yang atopi dimana sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik
tersebut.
Klasifikasi rhinitis Alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiavite ARIA ( Alergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya
dibagi menjadi:
1. Intermitent: bila kurang dari 4 hari atau minggu, atau kurang dari 4 minggu
2. Peresisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu
Untuk Drajat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan: apabila tidak ditemukan gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang-berat: apabila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Rinitis alergi biasanya merupakan kondisi lama yang sering tidak terdeteksi dalam
pengaturan perawatan primer. Pasien yang menderita kelainan sering gagal mengenali
dampak kelainan pada kualitas hidup dan fungsi dan, oleh karena itu, tidak sering mencari
perhatian medis. Selain itu, dokter gagal untuk secara teratur mempertanyakan pasien tentang
gangguan selama kunjungan rutin . Oleh karena itu, skrining untuk rinitis direkomendasikan,
terutama pada pasien asma karena penelitian telah menunjukkan bahwa rinitis hadir hingga
95% dari pasien dengan asma .
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh adalah landasan untuk
menegakkan diagnosis rinitis alergi. Dimana pada anamnesis biasanya ditemukan gejala khas
rhinitis alergi seperti serangan bersin yang berulang. Dan gejala lainnya yang sering
dikeluhkan ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimalis).
Sedangkan untuk pemeriksaan fisik biasanya diilakukan rinoskopi anterior tampak mukosa
edema, basah, berwarna pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak. Tes alergi juga
penting untuk memastikan bahwa alergi yang mendasari menyebabkan rhinitis. Rujukan ke
ahli alergi harus dipertimbangkan jika diagnosis rinitis alergi dipertanyakan.
Meskipun anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh diperlukan untuk menegakkan
diagnosis klinis rinitis, tes diagnostik lebih lanjut biasanya diperlukan untuk memastikan
bahwa alergi yang mendasari menyebabkan rinitis. Pengujian tusukan kulit dianggap sebagai
metode utama untuk mengidentifikasi pemicu alergi spesifik rinitis. Pengujian tusukan kulit
melibatkan menempatkan setetes ekstrak komersial dari alergen tertentu pada kulit lengan
bawah atau belakang, kemudian menusuk kulit melalui tetes untuk memasukkan ekstrak ke
dalam epidermis. Dalam 15-20 menit, respons wheal-and-suar (wheal blansed tidak teratur
yang dikelilingi oleh area kemerahan) akan terjadi jika tes positif. Pengujian biasanya
dilakukan menggunakan alergen yang relevan dengan lingkungan pasien (mis., Serbuk sari,
bulu binatang, jamur dan tungau debu rumah).1,8
Sinusitis Kronik
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari
sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor
predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas. Menurut berbagai penelitian, bakteri
utama yang ditemukan bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan
anaerob, ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik,
kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan,
faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal. Manifestasi klinis gejala subyektif
bervariasi dari ringan sampai berat, seperti . Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di
hidung dan nasofaring (post nasal drip). Sekret di nasofaring secara terus-menerus akan
menyebabkan batuk kronik Gejala faring, berupa rasa tidak nyaman di tenggorok. Gejala
telinga, berupa gangguan pendengaran akibat sumbatan tuba Eustachius . Nyeri kepala,
biasanya pada pagi hari dan berkurang di siang hari. Mungkin akibat penimbunan ingus
dalam rongga hidung dan sinus, serta stasis vena pada malam hari Gejala mata, akibat
penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis Gejala saluran napas, berupa batuk dan
kadang komplikasi di paru. Gejala saluran cerna, dapat terjadi gastroenteritis akibat mukopus
yang tertelarn Hasil pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan di muka. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari
meatus medius atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok.1,9

Diagnosis Kerja
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya sering
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Sinusitis diberi nama
sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila
mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis. Sinusitis akut bila gejalanya
berlangsung beberapa hari sampai kurang dari 3 minggu. Sinusitis subakut bila berlangsung
dari 3 sampai 12 minggu dan sinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 12 minggu. Sinusitis
akut bila terdapat tanda-tanda radang akut, sinusitis subakut bila tanda-tanda radang akut
sudah reda dan sinusitis kronik bila terjadi perubahan histologis mukosa sinus yang
irreversible, sehingga untuk menentukan sinusitis tersebut akut, subakut atau kronik
diperlukan pemeriksaan histopatologis.1
Epidemiologi

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktik sehari – hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Sinusitis menyerang 1 dari 7 orang dewasa di United States, dengan lebih dari 30 juta
individu yang didiagnosis tiap tahunnya. Individu dengan riwayat alergi atau asma berisiko
tinggi terjadinya rhinosinusitis. Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa adalah 18 – 75
tahun dan kemudian anak – anak berusia 15 tahun. Pada anak usia 5 – 10 tahun, infeksi
saluran pernafasan dihubungkan dengan sinusitis akut. Sinusitis jarang pada anak – anak
berusia kurang dari 1 tahun karena sinus belum berkembang dengan baik sebelum usia
tersebut.10

Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi ( penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar dan sinus
maksilaris ikut terangkat), infeksi nasofaring, kelainan imunologik. Menurut berbagai
penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah Streptococcus
pneumonia (30 – 50%), Haemophylus influenza (20 – 40%), dan Moraxella catarrhalis (4%).
Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%). Faktor lain yang juga berpengaruh
adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini
lama – lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1

Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium – ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mucus juga mengandung substansi
antimikroba dan zat – zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Pada saat terjadi infeksi baik infeksi virus dan
bakteri,akan terjadi reaksi radang yang salah satunya berupa edema. Edema tersebut terjadi di
daerah kompleks ostiomeatal yang sempit. Mukosa yang saling berhadapan akan saling
bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi
gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus, lendir yang diproduksi oleh muksa sinus
akan menjadi kental. Lendir yang kental tersebut menjadi media yang baik bagi pertumbuhan
bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus menerus maka akan terjadi hipoksia dan
retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Pada infeksi virus, virus juga
memproduksi enzim dan neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat
difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan
sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik
untuk berkembangnya bakteri pathogen.1,11
Sinusitis maksila paling sering terjadi daripada sinusitis paranasal lainnya karena :
1. Ukuran,
merupakan sinus paranasal yang terbesar
2. Posisi ostium,
posisi ostium sinus maksila lebih tinggi dari dasarnya sehingga aliran secret/drainase
hanya tergantung gerakan silia
3. Letak ostium,
Letak ostium pada sinus maksilaris berada pada meatus nasi medius di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
4. Letak dasar
Letak dasar sinus maksila berbatasan langsung dengan dasar akar gigi (prosesus alveolaris)
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksilaris.Prevalensi sinusitis di bagian
THT Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, pada tahun 1999 didapatkan sekitar
25% anak – anak dengan ISPA menderita sinusitis maksila akut. Sedang pada Departemen
Telinga Hidung dan Tenggorok subbagian Rinologi didapatkan data dari sekitar 496
penderita rawat jalan, 149 orang terkena sinusitis (50%).

Gejala Klinis
Keluhan utama rhinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai rasa nyeri/rasa
tekanan pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip).
Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Serta gejala lain seperti sakit kepala
dan anosmia.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut. Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang
kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan
sinusitis frontalis, dan pada sinusitis sfenoid nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang
bola mata, dan mastoid. Pada sinusitis maksila kadang – kadang ada nyeri alih ke gigi dan
telinga.
Dapat disertai gejala :

 Demam, malaise.
 Nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian aspirin. Sakit
dirasa mulai dari pipi ( di bawah kelopak mata ) dan menjalar ke dahi atau gigi.
Sakit bertambah saat menunduk.
 Wajah terasa bengkak dan penuh.
 Nyeri pipi yang khas : tumpul dan menusuk, serta sakit pada palpasi dan perkusi.
 Kadang ada batuk iritatif non-produktif.
 Sekret mukopurulen yang dapat keluar dari hidung dan kadang berbau busuk.
 Adanya pus atau sekret mukopurulen di dalam hidung, yang berasal dari metus
media, dan nasofaring.
 Penurunan atau gangguan penciuman.
Berdasarkan gejala klinis sesuai dengan kriteria konvensional dalam mendiagnosis
rinosinusitis, didapatkan 2 kriteria mayor atau 1 mayor dan ≥ 2 kriteria minor dari symptom.
Pada pasien ini didapatkan 2 kriteria mayor berupa hidung buntu, sekret serousmukus putih
kekuningan di meatus nasi dan postnasal drip yang mengalir pada hidung posterior dan 2
kriteria minor yaitu demam dan sakit kepala.
Kriteria mayor Kriteria minor
 Sekret purulen dari hidung anterior  Sakit kepala
 Sekret purulen atau postnasal drip  Nyeri telinga, rasa penuh pada telinga
yang mengalir hidung posterior  Halitosis
 Hidung buntu  Sakit pada gigi
 Rasa penuh pada wajah  Batuk
 Nyeri atau penekanan pada pipi  Demam (subakut atau kronik
 Hiposmia atau anosmia sinusitis)
 Demam ( pada sinusitis akut)  Fatique

Penatalaksanaan
Terapi sinusitis maksilaris umumnya terdiri dari :1,10,11
1. Istirahat
Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan sebaiknya beristirahat
ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu dan kelembaban udara tetap.
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relative murah dan aman.
Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa kepustakaan juga bervariasi
tergantung kondisi penderita. Pada kasus akut, antibiotika diberikan selama 5-7 hari
sedangkan pada kasus kronik diberikan selama 2 minggu hingga bebas gejala selama 7 hari.
Antibiotika yang dapat diberikan antara lain:
a. Amoksisilin 3 kali 500 mg
b. Ampicillin 4 kali 500 mg
c. Eritromisin 4 kali 500 mg
d. Sulfametoksasol – TMP
e. Doksisiklin
3. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha adrenergik
agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar drainase sinus
a. Sol efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung
b. Sol.Oksimetasolin HCL 0,05%(semprot hidung untuk dewasa).
c. Oksimetasolin HCL 0,025%(semprot hidung untuk anak-anak)
d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60mg (dewasa)
4. Analgetika dan antipiretik: parasetamol
5. Antihistamin
Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel target.
Bekerja dengan menghambat hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet dan menghambat
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mencegah rinore dan sebagai vasokontriksi
sinusoid untuk mencegah hidung tersumbat. Antihistamin berguna untuk mengurangi
obstruksi KOM pada pasien alergi yang menderita sinusitis akut. Terapi antihistamin ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan sinusitis akut, karena dapat
menimbulkan komplikasi melalui efeknya yang mengentalkan dan mengumpulkan sekresi
sinonasal.
6. Mukolitik
Secara teori, mukolitik seperti bromhexin atau ambroxol hidroklorida memiliki kelebihan
dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase. Namun tidak biasa digunakan dalam
praktek klinis untuk mengobati sinusitis akut.
7. Tindakan operatif
Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out)
Tujuan dilakukan Irigasi antrum adalah

- sebagai tindakan diagnostik untuk memastikan ada tidaknya sekret pada sinus
maksilaris
- untuk mengeluarkan sekret yang terkumpul didalam rongga sinus maksilaris
- memperbaiki aliran mukosiliar
- jika dalam waktu 10 hari, penderita tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan
terapi konservatif, atau telah didapatkan adanya air fluid level dalam antrum
- untuk memperoleh material yang dapat digunakan untuk kultur dan tes sensitifitas.
Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi
berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut,
berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
Komplikasi orbita dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita yang tersering
kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis.
1. Selulitis orbita dan abses
Komplikasi ini terjadi secara langsung melalui atap rongga sinus maksilaris atau karena
penjalaran infeksi melalui sinus etmoid dan sinus frontalis. Rasa nyeri disekitar mata diikuti
pembengkakan kelopak mata dan konjunctiva, gerakan bola mata terbatas. Pasien mengeluh
rasa sakit yang hebat dan bila mengenai N. Optikus akan menyebabkan kebutaan. Apabila
tidak dilakukan perawatan, selulitis orbita ini akan menjadi abses.
2. Meningitis
Biasanya disebabkan karena perluasan langsung dari sinusitis maksilaris atau tromboflebitis
yang menyebar.
3. Abses otak
Merupakan kelanjutan peradangan otak, biasanya ditandai dengan adanya gangguan ingatan,
sikap dan tingkah laku serta sakit kepala yang hebat.
4. Mukokel
Terjadi akibat adanya penimbunan dan retensi sekresi mukus dan mukoid sehingga terjadi
penyumbatan osteum sinus. Jika terdapat pus didalam sinus dikenal sebagai mukokel atau
piokel.
5. Trombosis sinus cavemosus
Keadaan ini terjadi akibat adanya infeksi melalui vena, memiliki tanda yang mirip dengan
abses orbita, biasanya meliputi kedua sisi. Penyebaran infeksi ini berlangsung cepat dan
pasien dapat meninggal.

Prognosis
Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun,
sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang
dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan
tanpa antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan sinusitis
akut, jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat.
Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak
adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali.
Rinosinusitis yang tidak diobati atau diobati dengan tidak adekuat dapat menyebabkan
komplikasi seperti meningitis, tromboflebitis sinus cavernous, selulitis orbita atau abses, dan
abses otak.1,10
Pada pasien dengan rhinitis alergi , pengobatan agresif gejala hidung dan tanda-tanda edema
mukosa yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat mengurangkan
sinusitis sekunder. Jika kelenjar gondok secara kronis terinfeksi, pengangkatan mereka dapat
menghilangkan nidus infeksi dan dapat mengurangi infeksi sinus.1,10

Pencegahan
Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi risiko terkena sinusitis.
Bagi perokok lebih baik menurangi rokok karena asap dapat mengiritasi saluran hidung dan
meningkatkan kemungkinan infeksi. Alergi hidung bisa memicu infeksi sinus, juga. Dengan
mengidentifikasi alergen (zat yang menyebabkan reaksi alergi) dan menghindari hal itu,
Jika memiliki kemacetan dari pilek atau alergi, berikut ini dapat membantu mengurangi risiko
mengembangkan sinusitis:11
 Minum banyak air. Hal ini menipis sekresi hidung dan membuat membran mukosa
lembab.
 Menggunakan uap untuk menenangkan bagian hidung. Tarik napas panjang sambil
berdiri di mandi air panas, atau menghirup uap dari baskom berisi air panas sambil
memegang handuk di atas kepala.
 Hindari membuang ingus dengan kekuatan besar, yang dapat mendorong bakteri ke
dalam sinus.
 Beberapa dokter menyarankan periodik pencucian rumah hidung untuk membersihkan
sekresi. Hal ini dapat membantu mencegah, dan juga mengobati, infeksi sinus.

Kesimpulan
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sinusitis akut dapat disebabkan oleh
rinitis akut, infeksi faring, infeksi gigi rahang atas (dentogen), trauma. Gejala klinis dapat
berupa demam dan rasa lesu. Hidung tersumbat disertai rasa nyeri/rasa tekanan pada muka
dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorok. Penciuman terganggu dan ada
perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Pada pemeriksaan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa
konka hiperemis dan edema. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post
nasal drip). Terapi medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14 hari. Pengobatan lokal
dengan inhalasi, pungsi percobaan dan pencucian.

Daftar pustaka
1. Soepardi, Efiaty Arsyad,dkk. Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepada &
Leher Edisi Keenam. Jakarta : Badan Penerbit FKUI 2011
2. Moore, Keith L., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur. Essential Clinically Oriented
Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2015
3. Susan S, Neil RB, Patricia C, et al. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical
Practice. Churchill Livingstone: Elsevier. 2008. P549-559
4. Netter FH. Atlas of human anatomy. Edisi 6. Philadelphia: Elsevier.2014
5. Drake RL. Gray’s basic anatomy. Philadelphia: Elsevier. 2012
6. Abdurrahman N, dkk. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis. Jakarta : Interna Publishing
FKUI 2007
7. Cummings CW. Radiology of nasal cavities and paranasal. Cumming otolaryngology
head and neck surgery. 4th edition. USA: Mosby; 2006.p.201.
8. George L. Adams, Lawrence R. Boies, Peter H. Higler. Buku Ajar Penyakit THT
Edisi 6.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 2013
9. Soetjipto Damayanti. Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Medik
Sinusitis,disampaikan dalam: Simposium Penatalaksanaan Otitis Media
Supuratifa Kronik,Sinusitis dan Demo Timpanoplasti 22-23 Maret 2003, Denpasar,
Bali
10. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the clinician:
a synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86 (5): 427-43
11. Shames Richard S, Kishiyama Jeffrey L. Disorders of the Immune System, in:
McPhee Stephen J, Lingappa Vishwanath R, Ganong William F, editors.
Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine 4th editions. Mc
Graw Hill, Philadelphia, 2008

Anda mungkin juga menyukai