Anda di halaman 1dari 6

Khadijah binti Khuwailid 2

Halaman 13-19

Oleh: Zulaifatul khusna dan Himmatul Ulya

Setelah rentang waktu yang singkat, Sayyidah Khadijah mengirim surat


kepada nabi Muhammad Saw untuk mengundang baginda. Kemudian baginda nabi
pun bergegas memenuhi undangan Khadijah dengan ditemani Abi Thalib dan
Hamzah yakni kedua putra Abdul Muthalib.

Di sana, di kediaman Sayyidah Khadijah, kedatangan mereka telah dinanti


oleh keluarga Khadijah. Segala sesuatu pun telah dipersiapkan untuk melangsungkan
pernikahan nabi Muhammad Saw dan Sayyidah Khadijah yang akan segera
dilaksanakan. Abu Thalib pun memulai pembicaraan....’ammaba’du “sesungguhnya
Muhammad tidak tertandingi dengan pemuda Qurasy lain Ia akan mengungguli
mereka dari segi kemuliaan, keagungan, keutamaan, dan akalnya, meski dari segi
harta sangatlah sedikit. Tapi tak apalah karena harta hanyalah bayangan yang akan
sirna, dan hanya pinjaman yang suatu saat harus di kembalikan. Nabi Muhammad ini
mencintai Khadijah, dan begitu pula sebaliknya Khadijah juga mencintai Nabi
Muhammad.

Pamannya Khadijah, Amr bin Asad bin Abdil Izzi bin Qushay memuji nabi
Muhammad Saw, dan mengumumkan atas diterimanya pernikahan dengan mahar 20
ekor unta.

Setelah akad usai, hewan ternak telah disembelih, rebana pun juga telah
dimainkan, pintu kediaman Khadijah pun telah di buka untuk segenap keluarga dan
para sahabat. Di sana juga ada Halimah as-Sa’diyyah yang datang dari perkampungan
Bani Sa’ad untuk sekedar menyaksikan pernikahan putra susuannya. kemudian
Halimah pulang dengan membawa 40 kepala kambing hadiah yang diberikan
Khadijah untuk ibu yang telah menyusui suaminya tercinta.

1
Bagaimana Khadijah tidak memuliakan Halimah, padahal Ia melihat
suaminya yang agung menyambut kedatangan ibu susunya dengan rasa gembira, nabi
pun berkata: ibu...ibu...dengan rasa hormat melebarkan selendang untuknya sehingga
Halimah duduk di dekatnya. Kemesraan itu, menyentuh perasaan Khadijah sehingga
kedua matanya berlinang air mata. Itulah sebabnya Khadijah tak sungkan-sungkan
memberi hadiah untuk ibu yang telah menyusui suaminya dengan hadiah yang
tergolong banyak.

Khadijah menikahi nabi Muhammad sa’at ia berumur 40-tahun, sedangkan


nabi baru berumur 25-tahun. Kedua mempelai pun hidup bersahaja dengan penuh
cinta dan kasih sayang yang tumbuh dan menancap di keduanya. Khadijah pun
semakin tahu, bahwa nabi Muhammad Saw adalah sosok suami yang sempurna
melebihi suami yang pernah ada, sebagai mana Khadijah telah mengenal sebelumnya
sebagai orang yang paling terpercaya melebihi siapa pun.

Selama 15-tahun mereka berdua menikmati cinta dan kesetiaan sehingga


tenggelam dalam kebahagiaan. Allah pun melengkapi kebahagiaan mereka dengan
menganugerahi keduanya putra dan putri, yaitu: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah,
Ummu Kultsum, dan Fatimah RA. Tetapi sepasang suami istri ini kehilangan dua
putra tercintanya (Qasim, dan Abdullah) sa’at masih balita. Mereka berdua pun
akhirnya mengikhlaskan kepergiannya. Yang tersisa hanyalah keempat putrinya saja.

Dan dari sebagian bentuk cinta kasih di antara keduanya, Khadijah selalu
memberi kebebasan kepada baginda nabi Muhammad Saw untuk beribadah sesuka
hati. Hingga nabi bisa pergi ke Gua Hira untuk berkhalwat dan mentafakuri ciptaan
Allah yang telah menciptakan segala sesuatu. Dan di sana juga nabi mengingkari
penyembahan berhala yang memenuhi Ka’bah oleh orang-orang yang tak berpikir
dan tidak pula mendapat petunjuk.

2
Kelembutan Khadijah selalu menyelimuti suaminya dalam setiap langkah
hidupnya. Khadijah tak pernah menentang kebiasaan nabi berkhalwat yang jauh dari
rumahnya sepanjang Ramadan yang hari-hari nya dipilih nabi untuk berkhalwat.
Tetapi sebaliknya Khadijah selalu mengutus orang untuk menjaga nabi dari belakang.
Nabi pergi ke Gua Hira agar dapat menenangkan hati dalam khalwatnya. Nabi
memilih Allah dan meninggalkan keluarganaya, agar dapat menenangkan diri nya
bersama Allah.

Setelah wahyu turun padanya di malam lailatulqadar pada saat baginda berada
di Gua Hira. Pagi-pagi baginda nabi bergegas pulang ke rumah dalam keadaan takut,
wajahnya pucat, dan hatinya bergejolak. Tapi saat baginda tiba di pelukan Khadijah
rasa takut itu seketika hilang darinya entah ke mana. Lalu nabi menceritakan pada
Khadijah segala sesuatu yang terjadi pada malam itu dengan suara yang menggigil.
Dan hilanglah sudah rasa takutnya di samping Khadijah. “sungguh aku sangat
mengkhwatirkan diriku” dan nabi pun mendekapkan dirinya ke pelukan Khadijah.
Khadijah pun membisikan rasa percaya diri dan keyakinan. “Allah pasti akan
menjaga kita wahai Abu Qasim, maka berbahagialah ! Demi tuhan yang mana jiwa
Khadijah ada di tangannya sesungguhnya aku berharap engkau menjadi nabi umat ini.
Demi Allah, selamanya Allah tidak akan mempermalukanmu.. sesungguhnya engkau
akan menyampaikan kasih sayang, benarkanlah ucapan, dan pikullah semuanya,
buatlah tamu percaya, dan bantulah para penyampai kebenaran!.”

Nabi Muhammad Saw pun telah merasa lega dan tenang. Khadijah
menuntunnya perlahan menuju kasurnya. Khadijah memperlakukan baginda secara
lembut sebagaimana ibu terhadap anaknya. Tatkala nabi telah beristirahat dalam tidur
yang lelap. Khadijah merangkak dari sisinya, dan pergi menemui anak pamannya
(Waraqah bin Naufal) ia termasuk orang yang mengingkari penyembahan berhala dan
ia juga mempelajari kitab-kitab samawi. Kepadanya Khadijah menceritakan apa yang
terjadi pada hari itu. Waraqah bin Naufal seketika berdiri sambil berkata dengan
penuh semangat “Qudus Qudus.. demi tuhan yang jiwa waraqah ada di tangannya.
Wahai Khadijah jika kau percaya padaku sesungguhnya telah datang padanya

3
Namusal-Akbar yang pernah mendatangi Musa dan Isa. Katakanlah padanya dan
tegarkanlah dia!.”

Sebelum memperhatikan selebihnya ucapan Waraqah, dan sebelum


menyiapkan sepatah kata pun darinya, Khadijah langsung pergi menemui suaminya
untuk memberi kabar gembira. Sebelum Khadijah menuntaskan kabar gembira dari
anak pamannya. Baginda nabi mendadak pening. Ia pun melihat tempat tidur dan
berkata pada Khadijah “siap-siaplah tidur dan istirahat! Sesungguhnya Jibril telah
memberiku mandat untuk memberi peringatan kepada orang-orang, dan mengajak
mereka kepada Allah agar menyembahnya. Siapa yang akan aku ajak, dan siapa yang
akan memenuhi ajakanku?” . Seketika Khadijah menjawabnya dengan perangai
wanita mukmin yang jujur “aku akan memenuhi ajakanmu wahai Muhammad..! maka
ajaklah aku sebelum engkau mengajak orang lain. Sungguh aku akan menyerahkan
diri padamu dan membenarkan kerasulanmu dan beriman pada tuhanmu”.

Lalu nabi Muhammad Saw beranjak menemui Waraqah bin Naufal. Saat
Waraqah melihatnya ia berteriak “demi tuhan yang jiwaku ada di tangannya sungguh
engkau adalah nabi umat ini yang akan menganggapmu bohong, menyakiti, mengusir,
dan memerangimu. Jika saja aku masih bertemu hari esok aku pasti akan menolong
Allah dengan pertolongan yang ia tahu”. Nabi mendekatkan kepalanya pada Waraqah
dan mengecup ubun-ubunnya, nabi pun berkata‘atau aku yang akan mengeluarkan
mereka’ (mengeluarkan mereka dari kekafiran). Waraqah menjawab ‘iya, tak seorang
pun membawa apa yang kau bawa terkecuali dia harus berdakwah’, andaikan aku
masih sempat berdakwah, dan andaikan aku masih hidup’.

Hati nabi Saw akhirnya menjadi tenteram atas apa yang ia dengar dari
Waraqah. Nabi pun tak ragu untuk menyebarkan dakwahnya. Walau kaumnya sendiri
memusuhi, baginda nabi tidaklah peduli dengan rasa sakit yang mereka lemparkan
padanya di jalan dakwah. Sedikit pun tak ada rasa ujub dalam berdakwah. Dialah nabi
yang bergelar ulul-azmi,yakni nabi yang senantiasa selalu bersabar atas cobaan dalam

4
menyampaikan risalah yang bisa mengeluarkan umat manusia dari gelapnya
kemusyrikan menuju terangnya keimanan dengan ijin tuhannya.

Sayyidah Khadijah sang istri tercinta selalu setia di sisi nabi Saw untuk
menolong dan menguatkan hatinya. Tidak hanya itu Khadijah ikut andil pula
menanggung kerasnya bermacam-macam cobaan dan penganiayaan yang di lakukan
mereka selama beberapa tahun. Orang Quraisy selalu bersikap kasar pada Bani
Hasyim dan Bani Abdil Muthalib yang mengikuti ajakan nabi Muhammad Saw.
Mereka selalu mendiskriminasi pengikut nabi dengan mendesak orang-orang yang
beriman agar keluar dari kota Makkah. Mereka pun memboikot golongan Abi Thalib
di pojok kota. Kafir Quraisy mengumumkan pemboikotan terhadap mereka dalam
selembar surat yang digantungkan di tengah Ka’bah. Dalam surat itu tertulis agar
orang-orang Quraisy tidak berniaga dengan pengikut nabi, tidak membeli sesuatu apa
pun dari mereka, dan tidak menikah dengan mereka.

Ibu kita Sayyidah Khadijah dan suaminya yang mulia tidak dapat keluar
menuju daerah teritorial golongan Abi Thalib. Tapi keadaan sangat mendesak,
sehingga mereka harus meninggalkan rumah tercinta yang telah dihuni olehnya
selama beberapa tahun. Ketika itu Khadijah telah memasuki masa tua yang tak
sanggup menahan penganiayaan dan kekerasan mereka. Jika tak bukanlah Khadijah
lantas siapa lagi yang akan melakukannya.Selama masih hidup Khadijah adalah
seorang istri yang tak jemu-jemu menguatkan suaminya, dengan motivasi kejujuran
dan keikhlasan. Itulah yang selalu diingat oleh baginda disetip saat dan selamanya tak
akan pernah terlupakan.

Masa sulit ini berlangsung selama tiga tahun lamanya. Tetapi kesulitan itu
gagal dihadapan kesabaran dan keimanan yang sungguh-sungguh. Setalah masa itu
berakhir nabi Saw pulang kembali kerumahnya di tanah haram Makkah bersama
istrinya, wanita mukmin yang penyabar yang senantiasa mengerahkan jiwa raganya
bagi nabi di setiap cobaan. Waktu tidak lagi memberi kekuatan bagi Khadijah pada
umurnya yang ke-65 tahun.

5
Setelah usainya masa pemboikotan enam bulan kemudian pamannya
nabi(Abu Thalib) meninggal dunia. Abu Thalib adalah paman yang menjadi bapak
angkat, teman, penanggung jawab, sekaligus penjaga nabi dari kejahatan kaum kafir
Quraisy. Sayyidah Khadijah tidak terlihat saat pemakaman Abu Thalib. Ternyata
Khadijah sedang berpamitan pada dunia (sakaratul-maut) di tempat tidurnya.
Semenjak itu baginda nabi terus berada di samping Khadijah untuk menjaga dan
memberi ketenangan baginya dalam menghadapi sakaratul-maut dengan
mengabarkan kebahagiaan yang akan Khadijah dapatkan di akhirat. Tiga hari
lamanya Khadijah dalam keadaan sekarat dan akhirnya ruh melepaskan diri dari
jasadnya di hadapan suami yang ia cintai sejak pertama kali berjumpa. Dan di
hadapan nabi yang Khadijah benarkan pertama kalidan mengimaninya pertama kali
sejak malam lailatul-qadar, dan berjuang bersama sampai hembusan nafas terakhir
dalam hidup, dialah yang memberi ketenangan dan perlindungan bagi nabi Saw
hingga jiwanya yang tenteram kembali pada tuhannya dalam keadaan ridho dan
diridhoi. Akhirnya nabi mengebumikan Khadijah Ra dengan penuh kesedihan.
Diperkirakan Khadijah wafat tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah dan nabi
menamakan tahun ini dengan nama ‘ammul-huzniyang artinya tahun kesedihan.

Anda mungkin juga menyukai