Anda di halaman 1dari 48

Suku Baduy, Bersinergi Dengan Alam Menjaga

Aturan Adat
Home Tradisi Banten
Sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya, Indonesia dihuni berbagai macam suku yang menetap
di segala pelosok nusantara. Kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga kelestarian alam Indonesia
hingga mampu terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. Nama Baduy terlesip diantara
banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup bersama alam di Pegunungan
Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan
adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat
dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar.
Masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang
elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar
Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy
Luar.
Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam
keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya bagian
celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua.
Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy
Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas.
Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan
semua masyarakat Suku Baduy. Tugas ini dipimpin oleh Pu'un selaku ketua adat tertinggi dibantu
dengan Jaro sebagai wakilnya. Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo adalah tiga kampung
tempat Suku Baduy tinggal, sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung
lainnya yang berada di bukit-bukit Gunung Kendeng.
Sebutan Baduy merupakan pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini
dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab. Kemiripan ini karena dahulu, masyarakat di sini
sering berpindah-pindah mencari tempat yang sempurna untuk mereka tinggali. Namun ada versi lain
yang menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa
Kanekes.
Mata pencaharian mayarakat Suku Baduy umumnya berladang dan bertani. Alamnya yang subur dan
berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa kopi, padi,
dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy.
Namun dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak menggunakan kerbau atau sapi dalam
mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat selain anjing sangat dilarang masuk ke Desa Kanekes
demi menjaga kelestarian alam.
Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu
dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi menjaga alam yang
sudah memberi mereka kehidupan.
Rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang -tiang
penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya.
Terdapat 3 ruangan dalam rumah adat Baduy dengan fungsinya yang masing-masing berbeda. Bagian
depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah
berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur, dan ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang
digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil ladang dan padi. Semua ruangan dilapisi
dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, serat ijuk atau
daun pohon kelapa. Rumah suku Baduy dibangun saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara
atau selatan. Faktor sinar matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan menjadi pemilihan
mengapa rumah di sini dibangun hanya pada dua arah saja.
Layaknya suku kebanyakan di nusantara, tradisi kesenian di Suku Baduy juga mengenal budaya
menenun yang telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya dilakukan oleh kaum
perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos yang berlaku bila pihak laki-laki tersentuh
alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai
tingkah laku perempuan.
Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku Baduy. Kain
ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar
biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.
Selain digunakan dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang
berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang
menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni. Tas yang bernama koja atau jarog ini
digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat
beraktivitas atau perjalanan.
Suku Baduy percaya, mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang
diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang
pertama. Menurut kepercayaan mereka, warga Kanekes mempunyai tugas untuk menjaga harmoni
dunia. Kepercayaan ini disebut juga dengan Sunda Wiwitan. Kepercayaan yang memuja nenek moyang
sebagai bentuk penghormatan.
Wilayah Suku Baduy telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah Lebak pada tahun
1990. Kawasan yang melintas dari Desa Ciboleger hingga Rangkasbitung ini telah menjadi tempat
bermukimnya Suku Baduy yang menjadi suku asli Provinsi Banten. Wisatawan juga bisa mengunjungi
suku ini melalui Terminal Ciboleger sebagai pemberhentian terakhir kendaraan bermotor.
Dari sini pemandu akan mengajak wisatawan melintasi bukit masuk ke dalam hutan hingga
menemukan kampung terluar Desa Baduy Luar. Waktu yang ditempuh mencapai 1 jam dengan jalan
mendaki dan menurun. Namun bagi wisatawan yang ingin mengunjungi wilayah Baduy Dalam bisa
berjalan hingga waktu 7 jam sebelum tiba di Kampung Cibeo, salah satu kampung dari 3 kampung
Baduy Dalam. [Riky/IndonesiaKaya]
Artikel menarik lainnya dari Banten

Rumah Berkonsep Aturan Adat Khas Suku Baduy

Menjelajahi Pulau Sangiang di Selat Sunda

Pesona Pulau Peucang di Timur Taman Nasional Ujung Kulon

Menikmati Senja di Pantai Tanjung Layar Desa Sawarna

Menikmati Gua dan Pantai di Pantai Gua Langir

Mercusuar Cikoneng, Menara Sejarah di Sudut Anyer

Gua Lalay, Gua Kelelawar di Desa Sawarna

Lebih Dekat dengan Ratusan Kelelawar di Gua Kelelawar, Pulau Sangiang

Tradisi Menenun Baduy Peninggalan Nenek Moyang

Rumah Berkonsep Aturan Adat Khas Suku Baduy

Menjelajahi Pulau Sangiang di Selat Sunda

Pesona Pulau Peucang di Timur Taman Nasional Ujung Kulon

Menikmati Senja di Pantai Tanjung Layar Desa Sawarna

Menikmati Gua dan Pantai di Pantai Gua Langir

Mercusuar Cikoneng, Menara Sejarah di Sudut Anyer

Gua Lalay, Gua Kelelawar di Desa Sawarna

Lebih Dekat dengan Ratusan Kelelawar di Gua Kelelawar, Pulau Sangiang
Rumah Berkonsep Aturan Adat Khas Suku
Baduy

Anda mungkin juga menyukai