Anda di halaman 1dari 20

Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan
ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.

Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-
harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun
2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran
utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar
yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai
stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan
kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk
mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan


moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga)
dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara
operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen,
antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan
tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau
pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan
Prinsip Syariah.

Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia

Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang
dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal
sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang
primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.

Apa itu ITF

Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan
kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut.
Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan
stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih
sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga
ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance
kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan
memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit
perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi.

Mengapa ITF

Dengan telah dilepaskannya sistem nilai tukar dengan band intervensi nilai tukar (crawling band)
di tahun 1997, Bank Indonesia memerlukan jangkar nominal (nominal anchor) baru dalam
rangka menjalankan kebijakan moneter. Jangkar nominal adalah variabel nominal (seperti
indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar) yang ditargetkan secara eksplisit oleh bank sentral
sebagai dasar/patokan bagi pembentukan harga lainnya. Misalnya kalau nilai tukar dijadikan
target, maka inflasi luar negeri akan menjadi inflasi domestik.

Mengapa kebijakan moneter memerlukan jangkar nominal? Karena tanpa adanya jangkar
nominal, tidak ada kejelasan kemana kebijakan moneter akan diarahkan sehingga masyarakat
tidak memiliki pedoman dalam membuat ekspektasi inflasi. Ibarat kapal yang mengapung di
lautan tanpa kejelasan kearah mana kapal dilabuhkan. Sebaliknya, dengan adanya jangkar
nominal masyarakat akan membuat ekspektasi inflasi yang diperlukan dalam kalkulasi usahanya
sesuai dengan jangkar nominal tersebut. Dengan mengumumkan sasaran inflasi dan Bank
Indonesia secara konsisten dapat mencapainya akan meningkatkan kredibilitas kebijaan moneter
yang pada gilirannya ekspektasi inflasi masyarakat sesuai dengan sasaran yang ditetapkan BI.

Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF.

 ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi secara eksplisit
masyarakat akan memahami arah inflasi. Sebaliknya dengan sasaran base money, apalagi
jika hubungannya dengan inflasi tidak jelas, masyarakat lebih sulit mengetahui arah
inflasi kedepan.
 ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan
mandat yang diberikan kepada Bank Indonesia.
 ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang
memerlukan time lag.
 ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong
kredibilitas kebijakan moneter. Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan
tujuan ini merupakan aspek-aspek good governance dari sebuah bank yang telah
diberikan independensi.
 ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan
inflasi. Sebaliknya, ITF merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan
mempertimbangkan sejumlah variabel informasi tentang kondisi perekonomian.

Bagaimana ITF diterapkan?

Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode
tertentu. Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih
sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan
sejumlah informasi yang dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan. Jika proyeksi inflasi
sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan
instrumen yang dimiliki. Misalnya jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank
Indonesia akan cenderung melakukan pengetatan moneter.

Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi
inflasi dan outlook ke depan serta keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai
maka diperlukan penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk
mengembalikan inflasi sesuai dengan sasarannya.
Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila
kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari
inflasi disebut deflasi.

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen
(IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang
dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang
IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang
dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern
terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:

1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu
komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama
dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas
suatu komoditas. [Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web site
Badan Pusat Statistik www.bps.go.id]
2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga
barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri).
Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB
atas dasar harga konstan.

Pengelompokan Inflasi

Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran
(berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :

1. Kelompok Bahan Makanan


2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
3. Kelompok Perumahan
4. Kelompok Sandang
5. Kelompok Kesehatan
6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan
inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi.
Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih
menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent
component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
o Interaksi permintaan-penawaran
o Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra
dagang
o Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena
dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :
o Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan
makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga
komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan
internasional.
o Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga
Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan
(demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation
dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara
partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price),
dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa
relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh
output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih
besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi
oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi
dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung
bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di
tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran,
natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR). Meskipun ketersediaan
barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun
harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari komdisi
supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula
meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam
mendorong peningkatan permintaan.
Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan
tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun
sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama
orang miskin, bertambah miskin.

Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku
ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang
tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan
produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara
tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat
memberikan tekanan pada nilai rupiah.

Inflasi sebagai ‘single objective’


Melalui amanat yang tercakup di Undang Undang tentang Bank Indonesia, tujuan Bank
Indonesia fokus pada pencapaian sasaran tunggal atau ‘single objective-nya’, yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu
kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara
lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin
pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang Negara lain.

Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai oleh
Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya
tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah. Dalam upaya pencapaian
tujuannya, Bank Indonesia menyadari bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi dan
pengendalian inflasi perlu diselaraskan untuk mencapai hasil yang optimal dan
berkesinambungan dalam jangka panjang.

Pengendalian Inflasi

Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari
sisi permintaan aggregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran.
Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespon kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor
yang bersifat kejutan yang bersifat sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya
seiring dengan berjalannya waktu.

Sementara inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun
yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen
atau banjir Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor kejutan
diwakili oleh kelompok volatile food dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40%
dari bobot IHK.

Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi sangat terbatas
apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di
tahun 2005 dan 2008 sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi.

Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan
tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara
pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik dari kebijakan fiskal,
moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap
kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk
permasalahan tersebut.

Dalam tataran teknis, koordinasi antara pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk
Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat
sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di
Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian,
Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari
pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI diperluas hingga ke level
daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan
dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan
stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

Penetapan Target Inflasi

Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia,
berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank
Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank
Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri
Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun 2013,
2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012 sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
periode 2013 – 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing dengan
deviasi ±1%.

Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat
dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada
tingkat yang rendah dan stabil. Pemerintah dan Bank Indonesia akan senantiasa berkomitmen
untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi kebijakan yang
konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya pengendalian inflasi menuju inflasi
yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi
masyarakat agar mengacu (anchor) pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Lihat Peraturan
Menteri Keuangan tentang sasaran inflasi 2013, 2014, dan 2015)

Angka target atau sasaran inflasi dapat dilihat pada web site Bank Indonesia atau web site
instansi Pemerintah lainnya seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, atau
Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Sementara setelah UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas
Bank Indonesia maka sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.

Tabel perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi

Inflasi Aktual
Tahun Target Inflasi
(%, yoy)
2001 4% - 6% 12,55
2002 9% - 10% 10,03
2003 9 +1% 5,06
2004 5,5 +1% 6,40
2005 6 +1% 17,11
2006 8 +1% 6,60
2007 6 +1% 6,59
2008 5 +1% 11,06
2009 4,5 +1% 2,78
2010 5+1% 6,96
2011 5+1% 3,79
2012 4.5+1% 4,30
2013* 4.5+1% -
2014* 4.5+1% -
2015* 4+1% -

LAPORAN INFLASI (Indeks Harga Konsumen)


Berdasarkan perhitungan inflasi tahunan

Grafik Timeseries

Bulan Tahun Tingkat Inflasi


September 2013 8.40 %
Agustus 2013 8.79 %
Juli 2013 8.61 %
Juni 2013 5.90 %
Mei 2013 5.47 %
April 2013 5.57 %
Maret 2013 5.90 %
Februari 2013 5.31 %
Januari 2013 4.57 %
Desember 2012 4.30 %
November 2012 4.32 %
Oktober 2012 4.61 %
September 2012 4.31 %
Agustus 2012 4.58 %
Juli 2012 4.56 %
Juni 2012 4.53 %
Mei 2012 4.45 %
April 2012 4.50 %
Maret 2012 3.97 %
Februari 2012 3.56 %

BI Rate
Penjelasan BI Rate sebagai Suku Bunga Acuan
Definisi

BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter
yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik.

Fungsi

BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur
bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui
pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional
kebijakan moneter.

Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang
Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan
diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit
perbankan.

Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada
umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran
yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke
depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.

Operasi Moneter
Penjelasan Operasi Moneter yang dilakukan Bank Indonesia

Kerangka Operasi Moneter I Proses Operasi Moneter I Penyempurnaan Operasi


Moneter

Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka
kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Stance kebijakan
moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate). Dalam tataran operasional,
BI Rate tercermin dari suku bunga pasar uang jangka pendek yang merupakan sasaran
operasional kebijakan moneter. Sejak 9 Juni 2008, BI menggunakan suku bunga Pasar Uang
Antara Bank (PUAB)1 overnight (o/n) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.

Agar pergerakan suku bunga PUAB o/n tidak terlalu melebar dari anchor-nya (BI Rate), Bank
Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara
seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui pelaksanaan operasi
moneter (OM).

Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka
pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi Pasar
Terbuka yang selanjutnya disebut OPT merupakan kegiatan transaksi di pasar uang yang
dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas suku
bunga PUAB o/n. Sementara instrumen Standing Facilities merupakan penyediaan dana rupiah
(lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit
facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka membentuk koridor suku bunga di PUAB
o/n. OPT dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities dilakukan atas
inisiatif bank.

Grafik Kerangka Operasional Kebijakan Moneter

Keterangan :
PUAB atau Pasar Uang Antar Bank adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank
dengan Bank Lainnya. Suku bunga PUAB merupakan harga yang terbentuk dari kesepakatan
pihak yang meminjam dan meminjamkan dana. Kegiatan di PUAB dilakukan melalui mekanisme
over the counter (OTC) yaitu terciptanya kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana yang
dilakukan tidak melalui lantai bursa. Transaksi PUAB dapat berjangka waktu dari satu hari
kerja (overnight) sampai dengan satu tahun, namun pada praktiknya mayoritas transaksi PUAB
berjangka waktu kurang dari 3 bulan.

Operasi Moneter
Penjelasan Operasi Moneter yang dilakukan Bank Indonesia

Kerangka Operasi Moneter I Proses Operasi Moneter I Penyempurnaan Operasi


Moneter

A. Instrumen Operasi Moneter


Operasi Moneter dilakukan dengan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities (SF) .

Data Posisi Outstanding Operasi Moneter: SBI | SBIS | TD | Repo | RR SUN | DF | LF

>> Operasi Moneter: Operasi Pasar Terbuka

Kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT) meliputi:


1. Absorpsi Likuiditas:
- Penerbitan SBI
- Term Deposit
- Reverse Repo
- Penerbitan SBIS

2. Injeksi Likuiditas:
- Transaksi Repo

Berikut ini adalah tabel jenis instrumen OPT dan dampaknya terhadap likuiditas serta
karakteristiknya :

Keterangan:
- VRT (Variable Rate Tender)
- FRT (Fixed Rate Tender)
- FX (foreign exchange)
- SBI (Sertifikat Bank Indonesia)
- SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah)
- SUN (Surat Utang Negara)

Kembali keatas

>> Operasi Moneter : Standing Facilities


Standing facilities meliputi:
- Penyediaan dana rupiah (lending facility)
- Dilakukan dengan mekanisme repurchase agreement (repo) surat berharga
- Penempatan dana rupiah oleh bank di Bank Indonesia (deposit facility)
- Dilakukan dengan menempatkan dana rupiah oleh bank secara berjangka di Bank Indonesia

Berikut adalah tabel jenis instrumen standing facilities dan dampaknya terhadap likuiditas serta
karakteristiknya:

Instrumen dan Penempatan Dana Penyediaan Dana


Keterangan Deposit Facility FASBIS Lending Facility Repo SBIS/SBSN

Dampak likuiditas Mengurangi likuiditas Mengurangi likuiditas Menambah likuiditas Menambah likuiditas

Frekuensi transaksi Setiap hari kerja Setiap hari kerja Setiap hari kerja Setiap hari kerja

Jangka waktu overnight overnight overnight overnight

Nominal pengajuan Rp1.000jt Rp1.000jt - -


minimal

Nominal kelipatan Rp100jt Rp100jt 1 unit surat berharga 1 unit surat berharga

Mekanisme transaksi FRT FRT FRT FRT

Setelmen T+0 T+0 T+0 T+0

Suku bunga BI Rate – 175bps BI Rate – 175bps BI Rate + 100bps BI Rate + 100bps

Peserta Bank Bank Bank Bank

Keterangan : FASBIS (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah)

>> Operasi Moneter : Syariah

Operasi Moneter Syariah adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam
rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing
facilities berdasarkan prinsip syariah. Tujuan dari Operasi Moneter Syariah adalah:

 Mencapai target operasional pengendalian operasi moneter syariah d.r. mendukung


pencapaian akhir kebijakan moneter BI;
 Target operasional berupa kecukupan likuiditas perbankan syariah atau variabel lain yang
ditetapkan BI.

Kegiatan Operasi Moneter Syariah (OMS)

Dilakukan dalam bentuk antara lain:


- OPT Syariah; dan
- Standing Facilities Syariah.

Sesuai dengan Pasal 26 UU Perbankan Syariah No.21 Tahun 2008 dan PBI tentang OMS Pasal 4
No.10/36/PBI/2008 : kegiatan-kegiatan tersebut harus memenuhi prinsip syariah yang
dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas fatwa (MUI -
DSN) yang berwenang.

b. Proyeksi Likuiditas

Untuk menentukan berapa jumlah likuiditas yang harus diserap (absorpsi) maupun disediakan
(injeksi) dalam rangka menjaga keseimbangan supply dan demand, Bank Indonesia melakukan
estimasi kebutuhan likuiditas perbankan sehingga dapat ditetapkan target operasi moneter setiap
harinya. Estimasi likuiditas perbankan dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
otonom (autonomous factor) seperti operasi keuangan Pemerintah dan mutasi uang kartal.

Efektivitas operasi moneter berbasis suku bunga tidak terlepas dari adanya informasi yang
handal dan sama kepada seluruh pelaku pasar, sehingga tercipta persepsi yang sama untuk
mencapai tujuannya, yaitu terbentuknya suku bunga yang wajar. Oleh karena itu, sejak Oktober
2008 Bank Indonesia mulai mengumumkan kondisi likuiditas perbankan kepada pelaku pasar
dan masyarakat sebanyak dua kali setiap harinya melalui website Bank Indonesia, BI-SSSS dan
sarana lainnya. Dengan adanya informasi mengenai kondisi likuiditas, diharapkan dapat
membantu treasury bank dalam mengelola kebutuhan likuiditasnya dan meningkatkan efektifitas
pelaksanaan Operasi Moneter.
Pengumuman proyeksi likuiditas meliputi 2 (dua) materi utama yaitu:

 Proyeksi Total Likuiditas Tersedia


Proyeksi Total Likuiditas adalah perkiraan ketersediaan likuiditas rupiah di pasar dan
merupakan hasil proyeksi dari net perubahan faktor otonomus yang berperan dalam
menambah/mengurangi ketersediaan likuiditas rupiah. Ketersediaan likuiditas rupiah
antara lain dipengaruhi oleh net aliran masuk/keluar uang kartal dari/ke sistem perbankan
dan mutasi rekening pemerintah di Bank Indonesia, net instrumen Operasi Moneter jatuh
waktu, dan net perubahan saldo giro perbankan di Bank Indonesia.

 Proyeksi Excess Reserve


Proyeksi Excess Reserve adalah perkiraan selisih antara saldo giro perbankan di Bank
Indonesia dengan kewajiban pemeliharaan Giro Wajib Minimum (GWM).

Penyempurnaan Operasi Moneter

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan operasi moneter dan mendorong perkembangan


pasar uang domestik, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan operasi moneter yang mulai
dilakukan sejak Maret 2010. Penyempurnaan operasi moneter tersebut dilakukan melalui upaya
penyerapan ekses likuiditas rupiah dengan lebih mengutamakan penggunaan instrumen Operasi
Pasar Terbuka (OPT) tenor yang lebih panjang.

Secara umum, pasar uang domestik berada pada kondisi ekses likuiditas yang bersifat
permanen/struktural yang ditunjukkan dengan meningkatnya posisi Operasi Moneter dari waktu
ke waktu. Kondisi ekses likuiditas menyebabkan secara harian penawaran (supply) likuiditas
umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat permintaannya (demand). Hal tersebut
mendorong suku bunga pasar uang jangka pendek, dalam hal ini suku bunga PUAB o/n, berada
di level yang rendah.

Di sisi lain, sebagai sasaran operasional kebijakan moneter, Bank Indonesia menjaga agar suku
bunga pasar uang jangka pendek tersebut tidak terlalu melebar dari suku bunga kebijakan (BI
Rate) untuk mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Dengan kondisi supply
likuiditas harian di pasar uang yang masih tinggi, dan untuk menjaga agar suku bunga pasar uang
jangka pendek bergerak tidak terlalu jauh dari BI Rate, maka Bank Indonesia akan melakukan
operasi pasar terbuka dengan berbagai variasi tenor.

1. Perpanjangan Profil Jatuh Waktu Sertifikat Bank Indonesia

Dalam rangka menyempurnakan operasi moneter, Bank Indonesia memperpanjang profil jatuh
waktu Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Perubahan tersebut dilakukan melalui perubahan
pelaksanaan lelang SBI dari mingguan menjadi bulanan, dan melakukan penyerapan ekses
likuiditas rupiah dengan lebih mengutamakan kepada SBI. dengan tenor yang lebih panjang.

Pelaksanaan lelang dari mingguan menjadi bulanan diharapkan dapat mendorong bank
mengelola likuiditasnya dalam rentang waktu yang lebih panjang. Adapun penyerapan ekses
likuiditas yang mengutamakan SBI dengan tenor yang lebih panjang diharapkan dapat
mendorong berkembangnya transaksi di pasar uang dan pelaksanaan operasi moneter yang lebih
efektif.

Penyempurnaan operasi moneter diimplementasikan mulai Juni 2010, dengan masa transisi
selama 3 (tiga) bulan mulai 10 Maret 2010. Pada masa transisi, BI mengatur tenor penyerapan
likuiditas sehingga jatuh waktunya dapat disesuaikan pada minggu kedua setiap bulannya. Pada
masa transisi tersebut lelang SBI dapat memiliki tenor di luar kebiasaan dan target indikatif yang
lebih besar dari biasanya. Secara bertahap lelang SBI yang masih dilaksanakan mingguan akan
menjadi dwi-mingguan dan kemudian bulanan. Pada masa transisi, upaya penyerapan ekses
likuiditas sudah mulai diarahkan ke SBI 3 dan 6 bulan. Untuk memudahkan pelaku pasar uang
dalam mengelola likuiditasnya di masa transisi, BI menetapkan kalender lelang SBI. Dalam
rangka menjaga kecukupan likuiditas agar stabilitas suku bunga tetap terjaga, BI tetap
mengoptimalkan penggunaan instrumen operasi moneter lainnya, seperti Term Deposit, Standing
Facility, Repo dan Reverse Repo. Dengan demikian, tidak ada perubahan struktur instrumen
operasi moneter yang ada saat ini. Sementara itu, pelaksanaan lelang SBI Syariah (SBIS)
mengikuti jadwal lelang dan tenor SBI terpendek.

Penjelasan resmi mengenai hal ini dapat dilihat dalam Siaran Pers No.12/12/PSHM/Humas
tanggal 5 Maret 2010

Dokumen terkait:
a. FAQ - Penyempurnaan Operasi Moneter: Perpanjangan Profil Jatuh Waktu SBI.
b. Sosialisasi Penyempurnaan Operasi Moneter: Perpanjangan Profil Jatuh Waktu SBI.
c. Jadwal lelang SBI dan SBIS periode bulan Maret – Juni 2010 (updated)

Kembali keatas

2. Paket Kebijakan Penguatan Manajemen Moneter dan Pengembangan Pasar Keuangan

Untuk merespon dan mengantisipasi berbagai dinamika pasar keuangan domestik maupun global,
Bank Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan efektivitas transmisi
kebijakan moneter, memperkuat stabilitas sistem keuangan, serta mendorong pendalaman pasar
keuangan, pada Selasa, 15 Juni 2010, di Jakarta. “Kebijakan ini bukan merupakan kontrol devisa
dan tetap dalam koridor sistem devisa bebas yang secara konsisten dianut Indonesia selama ini.
Pada gilirannya kebijakan tersebut juga akan mendukung kesinambungan stabilitas makro
ekonomi dan memperkuat momentum pemulihan ekonomi.

Paket kebijakan yang diambil secara umum berupa kebijakan untuk memperkuat operasi moneter
dan menyempurnakan aspek prudential perbankan, terdiri dari penambahan instrumen dan
penyempurnaan beberapa ketentuan baik di pasar uang rupiah maupun valas, yang terdiri dari:

1. Pelebaran koridor suku bunga PUAB O/N; diimplementasikan mulai 17 Juni 2010.
2. Penerapan minimum one month holding period Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
diimplementasikan mulai 7 Juli 2010.
3. Penambahan instrumen moneter non-securities dalam bentuk term deposit; berlaku mulai
7 Juli 2010.
4. Penyempurnaan ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto (PDN); berlaku mulai 1 Juli
2010.
5. Penerbitan SBI berjangka waktu 9 dan 12 bulan; yang diimplementasikan pada minggu
ke-II Agustus 2010 (SBI 9 Bulan)
6. Penerapan mekanisme triparty repurchase (repo) Surat Berharga Negara (SBN);

Sebagai tindak lanjut dari beberapa penyempurnaan Operasi Moneter dimaksud, Bank Indonesia
juga telah menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan ketentuan pelaksanaanya (Surat
Edaran Bank Indonesia), yaitu PBI No. 12/11/PBI/2010 tanggal 2 Juli 2010 tentang Operasi
Moneter dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 12/16/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter,
SE BI No. 12/17/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) dan
SE BI No. 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka

Operasi Moneter
Operasi Moneter : Operasi Pasar Terbuka

Operasi Pasar Terbuka (OPT) merupakan bagian dari kegiatan Operasi Moneter (OM) yang
dilakukan untuk mencapai target suku bunga PUAB O/N sebagai sasaran operasional kebijakan
moneter. OPT terdiri dari 2 jenis, yaitu:

1. OPT Absorpsi
OPT absorpsi dilakukan apabila dari perkiraan perhitungan likuiditas maupun dari
indikator suku bunga di PUAB, pasar uang diperkirakan mengalami kelebihan likuiditas.
Salah satu indikatornya adalah suku bunga PUAB yang turun tajam. Instrumen yang
digunakan dalam OPT absorpsi ini adalah (i) Penerbitan SBI dan SBIS, (ii) Transaksi
Reverse Repo SBN, (iii) Transaksi Penjualan SBN secara outright, (iv) Penempatan
berjangka (Term Deposit) di Bank Indonesia dan (v) Jual Valuta Asing terhadap Rupiah.
Peserta pada OPT Absorpsi adalah bank dan/atau lembaga perantara yang melakukan
transaksi untuk kepentingan bank.
2. OPT Injeksi
OPT injeksi dilakukan apabila dari perkiraan perhitungan likuiditas maupun dari
indikator suku bunga di PUAB, pasar uang diperkirakan mengalami kekurangan
likuiditas. Salah satu indikatornya adalah suku bunga PUAB yang naik tajam. Instrumen
yang digunakan dalam OPT injeksi ini adalah (i) Transaksi Repo, (ii) Transaksi
Pembelian SBN secara outright dan (iii) Beli Valuta Asing terhadap Rupiah. Peserta pada
OPT Injeksi adalah bank dan/atau lembaga perantara yang melakukan transaksi untuk
kepentingan bank.

Selain operasi pasar terbuka, instrumen lain yang dapat digunakan untuk menyerap likuiditas di
pasar adalah sterilisasi valuta asing dan penerapan Giro Wajib Minimum (GWM). Sterilisasi
valas adalah kegiatan yang dilakukan oleh Bank Indonesia di pasar forex untuk menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah, sementara GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib
dipelihara oleh bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu
dari DPK.

Operasi Moneter :Standing Facilities

Penyediaan Standing Facility (SF) merupakan bagian dari kegiatan OM yang berfungsi untuk
membatasi volatilitas suku bunga PUAB O/N.

Seperti halnya OPT, standing facilities juga terbagi 2, yaitu:

1. Penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank (lending facility), yaitu
fasilitas bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas dengan cara merepokan
SBI/SUN/SBN yang dimilikinya kepada Bank Indonesia; dan
2. Penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia (deposit facility), yaitu fasilitas
bagi bank yang memiliki kelebihan likuiditas dengan cara menempatkan dana yang
dimilikinya kepada Bank Indonesia.

Sebagaimana diatur dalam undang-undang Bank Indonesia, maka operasi moneter juga dapat
dilakukan melalui mekanisme syariah, seperti yang tergambar pada kotak area warna hijau.
Transmisi Kebijakan Moneter
Bagaimana Bekerjanya Kebijakan Moneter?

Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang
salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu
Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama
untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian
inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran
inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut
sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan
Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya
mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke
tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan
dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai
jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur
ekspektasi.
Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga
kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat
menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk
mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit
sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan
suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan
investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas
perekonomian semakin bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan,
Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas
perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering
disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih
antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku
bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-
instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan
mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor
lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif
sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan
berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga
aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga
mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan
mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.

Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik
akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong
aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan
inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh
produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). Time lag
masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih
cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi
sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan
moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan
terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang
melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan
meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di
sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh
meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang
lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat
berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.

Anda mungkin juga menyukai