Dosen Pengajar :
Endah Budi Permana Putri, S.TP., M.PH.
Nadia Farhani, S.T.P., M.Sc.
Viera Nuriza Pratiwi, S. TP., M.Sc.
Disusun oleh :
Orielsta Novelia G.R.I.G.S. (2330018012)
PEGAGAN
Pegagan (Centella Asiatica) merupakan tanaman liar yang hidup di daerah tropis
yang banyak dijumpai di pekarangan rumah, ladang, kebun, pinggiran sawah dan
tempat-tempat lainnya yang teduh dan banyak mengandung air atau tempat lembab.
Tanaman ini berasal dari daerah Asia yang kebanyakan bercuaca tropis seperti di
Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan negara-negara seperti India, China, Jepang
dan Australia kemudian menyebar ke berbagai negara-negara lain. Tanaman
pegagan bisa dikonsumsi dalam bentuk masih segar, diramu, dimasak, atau juga
bisa dijadikan jus. Masyarakat Indonesia sendiri mengenal tanaman ini secara
tradisional dan turun temurun yang dimanfaatkan untuk pengobatan.
Dari batang tumbuh stolon yang menjalar horizontal di atas permukaan tanah dan
berbuku-buku. Dari buku-buku yang menyentuh tanah akan keluar akar dan tunas
yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Daun pegagan tersusun secara basalis
(roset) dengan 2-10 daun tunggal per tanaman berbentuk seperti ginjal berukuran
2-5 cm x 3-7 cm. Tangkai daun tegak dan sangat panjang berukuran 9-17 cm dengan
bagian dalam berlubang serta bagian pangkal melekuk ke dalam dan melebar seperti
pelepah. Pembungaan berbentuk seperti payung tunggal (umberella) dan biasanya
tersusun dari 3 bunga. Bunga bersifat aktinomorf dan biseksual dengan kelopak
berwarna hijau berjumlah lima. Buah berukuran kecil berwarna kuning coklat.
Gambar 2. Jenis aksesi daun pegagan.
Bermawie et al. (2006) telah melakukan karakterisasi dan evaluasi terhadap sifat-
sifat kuantitatif plasma nutfah/aksesi pegagan dari beberapa wilayah, yakni aksesi
Cibodas, Cianjur, Banjaran, Cicurug, Bali, Bengkulu, Manoko, Malaysia, Ciwidey,
Sumedang, Majalengka, dan Gunung Putri. Hasil analisis sifat morfologi tanaman
menunjukkan adanya keragaman dalam tinggi tanaman, jumlah vena, jumlah daun
induk, jumlah daun anakan, jumlah akar pada anakan, panjang daun, lebar daun,
panjang ruas terpanjang, panjang runner, jumlah runner, diameter tangkai daun,
diameter runner, jumlah anakan yang berbunga, jumlah bunga per runner, panjang
tangkai bunga, bobot segar, dan bobot kering tanaman. Namun, hasil analisis
terhadap parameter tebal daun, jumlah buku, dan jumlah akar induk tidak
menunjukkan keragaman yang cukup signifikan. Jumlah vena terbanyak dimiliki
oleh aksesi Malaysia karena aksesi ini memiliki daun terpanjang dan terlebar.
Demikian halnya dengan diameter tangkai daun dan diameter runner. Secara umum,
aksesi Malaysia memiliki daun yang tebal, lebar dan panjang, dengan jumlah vena
yang cukup banyak serta diameter batang cukup besar sehingga penampilannya
tampak kokoh. Jumlah daun induk paling banyak dimiliki oleh aksesi Manoko dan
Bengkulu, namun jumlah daun anakan tidak menunjukkan perbedaan dengan
nomor-nomor lainnya. Jumlah bunga terbanyak dihasilkan oleh nomor Cianjur
karena jumlah buku yang memiliki bunga juga banyak. Panjang tangkai bunga
terpanjang dimiliki oleh aksesi dari Malaysia.
Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban.) merupakan tanaman kosmopolit yang dapat
ditemukan didataran rendah hingga dataran tinggi, pada tanah lembap maupun
berpasir, ternaungi maupun di lahan terbuka, sehingga terbentuk genotip yang
memperkaya keragaman genetik pegagan di alam. Naungan secara tidak langsung
mempengaruhi kelembapan dan kandungan air tanah, sehingga dapat
mempengaruhi perluasan daun maupun distribusi stomata pada permukaannya. Sri
haryanti dalam penelitiannya mengungkapnya bahwa naungan yang berbeda dapat
menurunkan jumlah stomata dan berpengaruh terhadap lebar porus stomata
permukaan atas daun. Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban.) mempunyai batang
yang pendek, sehingga dianggap tidak mempunyai batang, dari batang tersebut
tumbuh geragih atau stolon yang tumbuh horizontal diatas tanah dan berbuku-buku.
Dari buku yang menyentuh tanah tersebut keluar akar dan tunas yang akan tumbuh
menjadi tanaman baru.
Menurut Gupta and Kumar (2006), kandungan bahan aktif yang ditemukan dalam
pegagan antara lain triterpenoid saponin, triterpenoid genin, minyak esensial,
flavonoid, fitosterol, dan bahan aktif lainnya. Menurut Dasuki (1991), bahan- bahan
aktif tersebut secara umum terdapat pada organ daun tepatnya pada jaringan
palisade parenkim. Menurut Prabowo (2002), pegagan mengandung senyawa
triterpenoid. Triterpenoid merupakan senyawa aktif yang paling penting dari
tanaman pegagan. Kandungan triterpenoid pegagan dapat merevitalisasi pembuluh
darah sehingga peredaran darah ke otak menjadi lancar, memberikan efek
menenangkan dan meningkatkan fungsi mental menjadi lebih baik. Kandungan
triterpenoid saponin dalam pegagan berkisar 1-8%. Unsur utama dalam triterpenoid
saponin adalah asiatikosida dan madekassosida (Gupta and Kumar, 2006).
Asiatikosida mampu bekerja sebagai detoksifikasi pada hati dan merupakan marker
dalam penentuan standar bahan baku pada pegagan (Selfitri, 2008). Madekassosida
memiliki peran penting karena mampu memperbaiki keruskan sel dengan
merangsang sintesis kolagen. Kolagen sangat penting sebagai bahan dasar
pembentuk serat fibroblas, diketahui bahwa korteks ovarium (tempat
perkembangan folikel) tersusun atas serat-serat fibroblas (Bonte et al., 1994).
Triterpenoid saponin selain mengandung asiatikosida dan madekassosida juga
mengandung beberapa unsur lain, yaitu centellosida, brahmosida, brahminosida
serta B, C, dan D centellasaonin yang saling bekerjasama dalam proses sintesa
kolagen. Triterpenoid genin terdiri atas beberapa unsur asam. Unsur yang paling
dominan adalah asam asiatik. Asam asiatik berperan penting dalam proses
apoptosis sel kanker (Hsu and Ya-Ling, 2004). Pegagan selain mengandung
golongan senyawa triterpenoid juga mengandung minyak esensial sebesar 0,1%
dari seluruh kandungan bahan aktif di dalamnya. Minyak esensial ini terbagi
menjadi 2 jenis yaitu monoterpen dan sesquiterpen (Gupta and Kumar, 2006).
Monoterpen dan sesquiterpen banyak terdapat pada jaringan parenkim daun
pegagan. Minyak esensial memberikan wangi yang khas pada tumbuhan pegagan
(Dasuki, 1991).
Flavonoid merupakan salah satu kandungan gizi yang terdapat dalam pegagan.
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbanyak terdapat di alam.
Senyawa ini bertanggung jawab terhadap zat warna merah, ungu, biru, dan zat
warna kuning dalam tumbuhan (Jayanti, 2007). Flavonoid termasuk senyawa
fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan. Selain flavonoid, kandungan lain
dalam pegagan adalah fitosterol. Fitosterol merupakan turunan senyawa sterol,
yang dahulu hanya ditemukan pada hewan dalam bentuk kolesterol sebagai bahan
baku pembentuk hormon seks. Senyawa-senyawa fitosterol yang terdapat pada
tumbuhan antara lain sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Ketiga senyawa
fitosterol tersebut terbukti mampu bekerja baik untuk mengurangi kolesterol total
dan LDL kolesterol dalam darah (Tisnajaya et al., 2005).
Menurut Sutardi (2016), Tanaman pegagan termasuk dalam 50 jenis tanaman obat
utama. Kebutuhan simplisia pegagan untuk industri jamu mencapai 126 ton per
tahun dan berada pada urutan ke-13 dari 152 jenis simplisia.
Kebutuhan industri akan bahan baku pegagan mencapai 100 t th -1, namun sampai
saat ini baru dapat dipasok 4 t th -1 (IPB, 2005). Upaya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut perlu dilakukan, salah satunya melalui perbaikan budidaya tanaman
dengan pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA). Sementara Januwati et al.
(2002) melaporkan bahwa dengan 125.000 tanaman/ha, potensi produksi biomas
kering dapat mencapai 1,27- 2,05 t/ha. Selanjutnya Sutardi (2008) melaporkan
produksi pegagan mencapai 6,94 t/ha, biomassa kering 1,85 t/ha, dan mengandung
asiatikosida 845 mg/ha. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pegagan mempunyai
peluang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Pegagan (Centella
asiatica (L.) Urban) merupakan salah satu tanaman obat yang potensial untuk
dikembangkan. Hal ini sejalan dengan peryataan Gabungan Pengusaha Jamu
Indonesia (2008), yang menyebutkan pegagan merupakan salah satu dari lima
komoditi unggulan (jahe, temulawak, sambiloto, pegagan dan kencur) yang sedang
dikembangkan dan diteliti di Indonesia.
PENANGANAN PASCAPANEN
PENANGANAN PANEN
Daun pegagan umumnya dikonsumsi sebagai lalapan segar atau dilumatkan sebagai
salep kulit dan jamu. Menurut BPPT (2010) melalui website resminya (ipteknet.id),
seluruh bagian tanaman pegagan dapat diolah sebagai berikut :
PEMAKAIAN: 15 - 30 gram pegagan segar, direbus, minum. Atau
dilumatkan, peras, minum airnya.
CARA PEMAKAIAN :
30 gram pegagan segar direbus dengan air cucian beras dari bilasan
kedua.
2. Susah kencing:
3. Demam:
4. Darah tinggi:
5. Wasir:
240 gram - 600 gram pegagan segar direbus, minum secara rutin.
7. Campak:
8. Bisul :
30 gram - 60 gram pegagan segar direbus, diminum. Pegagan segar dicuci bersih,
dilumatkan ditempelkan ke yang sakit.
Pegagan segar dicuci bersih, dilumatkan, diperas, airnya disaring. Teteskan ke mata
yang sakit 3 - 4 kali sehari.
segenggam penuh pegagan segar dilumatkan, peras. Ditambah air dan gula batu
secukupnya. Minum.
12. Lepra :
3/4 genggam pegagan dicuci lalu direbus dengan 3 gelas air, sampai menjadi 3/4 -
nya. Saring, diminum setelah dingin, sehari 3 x 3/4 gelas.
1 genggam daun pegagan segar direbus dengan 2 gelas air sampai menjadi 1 gelas.
Minum sehari 1 gelas.
Anfiandy. Venty. 2013 . "Uji Teratogenik Infusa Daun Pegagan (Centella asiatica
[L.] Urban) pada Mencit Betina (Max musculus)" dalam Jurnal ilmiah
Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 2 no. 1 (2013) . Surabaya.
Universitas Surabaya, Surabaya.
Ramadhan. Nelvita Sari., Roslaili. Rasyid., Elmatris. Sri . 2015 . "Daya Hambat
Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica) yang diambil di Batusangkar
terhadap Pertumbuhan Kuman Vibrio cholerae secara In Vitro" dalam
Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(1) . Padang . Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang. Di akses melalui jurnal.fk.unand.ac.id pada 14
Februari 2019 pukul 09:24
Wu. Tiancong., Ji. Geng., Wenjie. Guo., Jing. Gao., Xixu. Zhu. 2016 . "Asiatic acid
inhibits lung cancer cell growth in vitro and in vivo by destroying
mitochondria" dalam Acta Pharmaceutica Sinica B 2017;7(1):65–72.
Nanjing, China. Doi : http://dx.doi.org/10.1016/j.apsb.2016.04.003