Para polisi berserikat dalam Inlandsche Politie Bond (IPB). Raden Said Soekanto
Tjokrodiatmodjo, Kapolri pertama, ikut di dalamnya. Sementara itu, para pegawai di
departemen dalam negeri berkumpul dalam Persatuan Pegawai Binnenlandsch Bestuur (PPBB).
Pemimpinnya adalah Soetardjo Kartohadikoesoemo—terkenal dengan petisinya yang
menginginkan otonomi Hindia Belanda.
Setelah zaman kolonial berlalu, lalu melewati zaman Jepang, kemudian di masa Sukarno
menjadi presiden, para pegawai negeri masih belum disatukan. Mereka tetap tergabung dalam
perkumpulan di departemennya masing-masing. Setelah Soeharto naik menjadi presiden, para
pegawai negeri disatukan dalam sebuah wadah resmi.
Peran Amirmachmud
Orang-orang yang ditunjuk Soeharto sebagai Menteri Dalam Negeri adalah para jenderal yang
ikut serta mendirikan Orde Baru. Jabatan ini sempat diisi Mayor Jenderal Basuki Rachmat dan
Mayor Jenderal Amirmachmud. Kedua orang inilah yang membujuk Sukarno untuk
menandatangani Supersemar.
Gebrakan lain Amirmachmud adalah merilis Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
nomor 12 tahun 1969 yang kemudian dikenal sebagai Permen 12. Permen ini melarang PNS
terlibat aktif dalam partai politik. Tentu saja peraturan tersebut tidak disukai partai-partai.
Akbar Tandjung dalam The Golkar Way (2007) menyebut, “Kebijakan kontroversial ini [Permen
12] kemudian dikenal sebagai bulldozer Amirmachmud, untuk menggambarkan kebijakan
Mendagri Amirmachmud yang memihak pada Golkar dan menggilas partai-partai politik” (hlm.
155).
Menurut David Reeve dalam Golkar: Sejarah yang Hilang (2013), pada November 1969
sebenarnya sudah ada organisasi bernama Musyawarah Perserikatan Buruh Indonesia (MPBI)
sebagai wadah para pegawai. Tapi organisasi ini bersikap mbalelo dengan membela ormas-
ormas yang melawan Sekber Golkar (hlm. 303).
Organisasi pegawai negeri pengganti telah disiapkan Amirmachmud. Presiden Soeharto pun
merestuinya. Pada 29 November 1971, tepat hari ini 47 tahun lalu, Soeharto menetapkan
berdirinya Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sebagai wadah tunggal pegawai negeri.
Pendirian Korpri disahkan secara hukum lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor
82 tahun 1971. Organisasi ini juga diharapkan bisa menggantikan MPBI.
Golkar tentu saja selalu menang. Menurut Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan
dalam Negara Orde Baru (2003), “Orde baru memanfaatkan Golkar sebagai ujung tombak
politiknya terutama sebagai mesin politik pemilihan umum dengan birokrasi sipil, birokrasi
militer dan Golongan karya sendiri sebagai partai” (hlm. 261).
Sebaliknya Golkar pun memanfaatkan Korpri yang hanya boleh taat kepada pemerintah.
“Dengan memasukkan seluruh PNS, Korpri pasti menyediakan pengikut terorganisasi, yang
besar bagi Golkar,” tulis David Reeve (hlm. 318).
Maka bukan hal mengherankan jika para PNS yang bernaung di bawah Korpri ramai-ramai
(banyak pula yang terpaksa) mencoblos Golkar dalam Pemilu.
Biasanya tidak hanya para PNS, tapi juga anggota keluarga mereka. Pada 1993 jumlah PNS
sekitar 3,95 juta personel. Maka bayangkanlah seberapa besar perolehan suara Golkar jika tiap
PNS bisa menarik 2 hingga 6 pemilih ketika Pemilu; entah dari istri, anak, orang tua, maupun
kerabatnya.
Wajar saja Soeharto bisa bertahan selama 32 tahun, ini bukan lain karena kebijakan Soeharto
yang memaksa para Pegawai Negeri untuk memilih Golkar yang mana Golkar sebagai kendaraan
politiknya Soeharto. Tentu saja ini adalah masalah besar dalam demokrasi. Kasus ini telah
mencederai demokrasi dan menjadi sejarah kelam Indonesia sebagai Negara demokrasi.
Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, landasan dari hukum demokrasi Pancasila juga
tercantum pada UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang berisi “kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang – undang dasar”. Sekali lagi konstitusi negara ini menjunjung
tinggi nilai kerakyatan dalam sistem politik. Hal ini karena Indonesia sangat mengutamakan
kepentingan rakyat dibanding kepentingan pemimpin. Pemimpin hanyalah orang bertugas
menjalankan keputusan – keputusan yang dibuat atau dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain,
pemimpin juga merupakan abdi masyarakat.
Sudah jelas dari beberapa pasal di atas bahwa di Era Orde Baru ada beberapa kasus yang mana
di dalamnya telah melanggar demokrasi seperti pemaksaan pegawai negeri sipil untuk memilih
golkar di dalam setiap pemilunya. Ini melanggar pasal 28E UUD 1945 ayat 3 yang berbunyi
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.