Anda di halaman 1dari 12

Nasehat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.

Abu Bakar Ash-Shiddiq, nama aslinya adalah Abdullah, putra dari Abi Quhafah Utsman bin
Amir. Adapun nama ibunya adalah Ummul Khair Salma binti Shakhr bin Akir.

Ia adalah sahabat terdekat Rasulullah saw. Ia juga menjadi mertua Rasulullah karena putrinya
yang bernama Aisyah r.ha. dinikahi oleh beliau saw.

Sedari mula ketika Islam diajarkan oleh Rasulullah, dialah orang pertama dari golongan laki-laki
dewasa yang membenarkan/menerima ajaran tersebut. Karena itulah ia diberi gelar Ash-Shiddiq,
yang berarti orang yang selalu membenarkan.

Masa kepemimpinan Abu Bakar sebagai khalifah terbilang sangat singkat, yakni hanya 2 tahun.
Walaupun sangat singkat, prestasi yang ditorehkannya sungguh luar biasa. Di antaranya adalah
dialah yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an sehingga menjadi satu mushaf. Dia pula
yang berhasil memperluas dakwah Islam hingga Irak dan Syam.

Sahabat Rasul SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, berkata, ”Kegelapan itu ada lima dan pelitanya
pun ada lima. Jika tidak waspada, lima kegelapan itu akan menyesatkan dan memerosokkan kita
ke dalam panasnya api neraka. Tetapi, barangsiapa teguh memegang lima pelita itu maka ia akan
selamat di dunia dan akhirat.”

Kegelapan pertama adalah cinta dunia (hubb al-dunya). Rasulullah bersabda, ”Cinta dunia adalah
biang segala kesalahan.” (HR Baihaqi). Manusia yang berorientasi duniawi, ia akan melegalkan
segala cara untuk meraih keinginannya. Untuk memeranginya, Abu Bakar memberikan pelita
berupa takwa. Dengan takwa, manusia lebih terarah secara positif menuju jalan Allah, yakni
jalan kebenaran.

Kedua, berbuat dosa. Kegelapan ini akan tercerahkan oleh taubat nashuha (tobat yang sungguh-
sungguh). Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya bila seorang hamba melakukan dosa satu kali, di
dalam hatinya timbul satu titik noda. Apabila ia berhenti dari berbuat dosa dan memohon ampun
serta bertobat, maka bersihlah hatinya. Jika ia kembali berbuat dosa, bertambah hitamlah titik
nodanya itu sampai memenuhi hatinya.” (HR Ahmad). Inilah al-roon (penutup hati) sebagaimana
disebutkan dalam QS Al-Muthaffifin (83) ayat 14.
Ketiga, kegelapan kubur akan benderang dengan adanya siraj (lampu penerang) berupa bacaan
laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah. Sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa membaca dengan
ikhlas kalimat laa ilaaha illallah, ia akan masuk surga.” Para sahabat bertanya, ”Wahai
Rasulallah, apa wujud keikhlasannya?” Beliau menjawab, ”Kalimat tersebut dapat mencegah
dari segala sesuatu yang diharamkan Allah kepada kalian.”

Keempat, alam akhirat sangatlah gelap. Untuk meneranginya, manusia harus memperbanyak
amal shaleh. QS Al-Bayyinah (98) ayat 7-8 menyebutkan, orang yang beramal shaleh adalah
sebaik-baik makhluk, dan balasan bagi mereka adalah surga ‘Adn. Mereka kekal di dalamnya.

Kegelapan kelima adalah shirath (jembatan penyeberangan di atas neraka) dan yaqin adalah
penerangnya. Yaitu, meyakini dan membenarkan dengan sepenuh hati segala hal yang gaib,
termasuk kehidupan setelah mati (eskatologis). Dengan keyakinan itu, kita akan lebih aktif
mempersiapkan bekal sebanyak mungkin menuju alam abadi (akhirat). Demikian lima wasiat
Abu Bakar. Semoga kita termasuk pemegang kuat lima pelita itu, sehingga menyibak kegelapan
dan mengantarkan kita ke kebahagiaan abadi di surga. Amin.

"Daratan adalah Lisan,sedangkan Lautan adalah Hati,maka apabila Lisan seseorang rusak,maka rusaklah
pribadi-pribadi orang itu,dan apabila Hati seseorang yang rusak,maka para Malaikat menangisinya".
Rusaknya Lisan itu dikarnakan suka memaki dan rusaknya Hati adalah suka pamer diri.

Nasehat Asy-Syibli Radhiyallahu Anhu:

"Apabila kamu telah mencicipi manisnya dekat dengan ALLAH,niscaya kamu akan mengetahui tentang
pahitnya putus hubungan dengan ALLAH swt".
"Syair Sayyidina Ali bin Abu Thalib
=====================
Aku kuatir dengan suatu masa yang rodanya dapat menggilas keimanan

Keyakinan tinggal pemikiran, yang tak berbekas dalam perbuatan

Banyak orang baik tapi tidak berakal,

Ada orang berakal tapi tidak beriman.

Ada lidah fasih tapi berhati lalai,

Ada yang khusuk tapi sibuk dalan kesendirian.

Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis.

Ada ahli maksiat tapi bagai sufi,

Ada yang banyak tertawa tapi hatinya berkarat,

Ada yang banyak menangis tapi kufur nikmat,

Ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat,

Ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut,

Ada yang berlisan bijak namun tak memberi teladan,

Ada pezina yang tampil menjadi figur,

Ada yang berilmu tapi tak faham,

Ada yang faham tapi tak menjalankan,

Ada yang pintar tapi membodohi,

Ada yang bodoh tak tau diri,

Ada yang beragama tapi tak berahlak,

Ada yang berahlak tapi tak bertuhan,

Lalu diantara semua itu dimanakah aku berada?


Kisah Isra’ Mi’raj

Kategori: Aqidah, Bahasan Utama

20 Komentar // 6 Juni 2012

Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa yang agung dalam perjalanan hidup Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian orang meyakini kisah yang menakjubkan ini
terjadi pada Bulan Rajab. Benarkah demikian? Bagaimanakah cerita kisah ini? Kapan
sebenarnya terjadinya kisah ini? Bagaimana pula hukum merayakan perayaan Isra’ Mi’raj?
Simak pembahasannya dalam tulisan yang ringkas ini.

Pengertian Isra’ Mi’raj

Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara
istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari
Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :

َ ‫س ْب َحانَ الَّذِي أَس َْرى بِعَ ْب ِد ِه لَ ْيالً ِ ِّمنَ ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام إِلَى ْال َمس ِْج ِد األ َ ْق‬
‫صى‬ ُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)

Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, Mi’raj
bermakna tangga khusus yang digunakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik
dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman Allah dalam surat An Najm ayat 1-18.[1]

Kisah Isra’ Mi’raj

Secara umum, kisah yang menakjubkan ini disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-
Qur`an dalam firman-Nya:

ِ َ‫ار ْكنَا َح ْولَهُ ِلنُ ِريَهُ ِم ْن َءايَاتِنَا إِنَّه ه َُو الس َِّمي ُع ْالب‬
‫صير‬ َ ‫س ْب َحانَ الَّذِي أَس َْرى بِعَ ْب ِد ِه لَي ًْال ِمنَ ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام إِلَى ْال َمس ِْج ِد ْاأل َ ْق‬
َ َ‫صى الَّذِي ب‬ ُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)

Juga dalam firman-Nya:

.‫ ذُو ِم َّرةٍ فَا ْست ََوى‬.‫ش ِديد ُ ْالقُ َوى‬ َ ُ‫ َعلَّ َمه‬.‫ي يُو َحى‬ ٌ ْ‫ ِإ ْن ه َُو ِإ ََّّل َوح‬.‫ َو َما يَ ْن ِط ُق َع ِن ْال َه َوى‬.‫احبُ ُك ْم َو َما غ ََوى‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ض َّل‬ َ ‫ َما‬.‫َوالنَّجْ ِم ِإذَا ه ََوى‬
ُ‫ارونَه‬ ُ َ ‫م‬ ُ ‫ت‬َ ‫ف‬َ ‫أ‬ .‫ى‬َ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫م‬ ُ
َ َ َ َ ‫د‬ ‫ا‬ ‫ؤ‬ُ ‫ف‬ ْ
‫ال‬ ‫ب‬ َ ‫ذ‬ َ
‫ك‬ ‫ا‬ ‫م‬ .‫ى‬ ‫ح‬ ‫و‬َ ‫أ‬
َ َ ْ َ ِِ َ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ه‬‫د‬ ‫ب‬
ْ ‫ع‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ى‬ ‫ح‬
ِ َ ْ‫و‬َ ‫أ‬ َ ‫ف‬ .‫َى‬ ‫ن‬ْ ‫د‬َ ‫أ‬ ‫و‬َ ‫أ‬ ‫ْن‬
‫ي‬ ‫س‬‫و‬ َ
ْ ِ َ ْ َ َ‫ان‬‫ق‬ ‫اب‬ َ ‫ق‬ َ
‫ك‬ َ ‫ف‬ .‫ى‬ َّ ‫ل‬َ ‫د‬َ ‫ت‬َ ‫ف‬ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫د‬ ‫م‬
َ َّ ُ ‫ث‬ .‫ى‬ ِ ُ‫َوه َُو ِب ْاألُف‬
َ‫ق ْاأل َ ْعل‬
َ َ‫غ ْالب‬
‫ص ُر َو َما‬ ِّ ِ ‫ ِإذْ يَ ْغشَى ال‬.‫ ِع ْندَهَا َجنَّةُ ْال َمأ ْ َوى‬.‫ ِع ْندَ ِسد َْرةِ ْال ُم ْنت َ َهى‬.‫ َولَقَدْ َرآهُ ن َْزلَةً أ ُ ْخ َرى‬.‫َعلَى َما يَ َرى‬
َ ‫ َما زَ ا‬.‫سد َْرةَ َما يَ ْغشَى‬
‫ت َربِِّ ِه ْال ُكب َْرى‬
ِ ‫ لَقَدْ َرأَى ِم ْن َءايَا‬.‫طغَى‬ َ

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh
(Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri
dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu
bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah
atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang
telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah
kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang
lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling
besar”. (QS. An-Najm : 1-18)

Adapun rincian dan urutan kejadiannya banyak terdapat dalam hadits yang shahih dengan
berbagai riwayat. Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Al Isra` wal
Mi’raj menyebutkan 16 shahabat yang meriwayatkan kisah ini. Mereka adalah: Anas bin Malik,
Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Buraidah
ibnul Hushaib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin Aus, Shuhaib, Abdurrahman
bin Qurath, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhum ajma’in.

Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam shahihnya , dari sahabat Anas bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih yang panjang, lebih besar dari
keledai dan lebih kecil dari baghal, dia meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya
(maksudnya langkahnya sejauh pandangannya). Maka sayapun menungganginya sampai tiba di
Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat tunggangan
para Nabi. Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar . Kemudian
datang kepadaku Jibril ‘alaihis salaam dengan membawa bejana berisi khamar dan bejana
berisi air susu. Aku memilih bejana yang berisi air susu. Jibril kemudian berkata : “ Engkau
telah memilih (yang sesuai) fitrah”.

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit (pertama) dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka
dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang
bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu
dengan Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke
langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis salaam meminta dibukakan pintu, maka dikatakan
(kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang
bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan saya bertemu
dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa, Beliau
berdua menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka
dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang
bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya
bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau telah diberi separuh dari kebagusan(wajah).
Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke
langit keempat dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa
engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:
“Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab: “Dia telah diutus”.
Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan Idris alaihis salaam.
Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan
Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam:57).

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka
dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang
bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kelima) dan saya
bertemu dengan Harun ‘alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan
untukku.

Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka
dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang
bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu
dengan Musa. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik
bersamaku ke langit ketujuh dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):
“Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab, “Muhammad” Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab, “Dia telah
diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim.
Beliau sedang menyandarkan punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke Baitul
Ma’muur tujuh puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi. Kemudian Ibrahim pergi
bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-telinga gajah dan
buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi oleh perintah Allah, diapun berubah
sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya

Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50
shalat sehari semalam. Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam. Lalu dia bertanya:
“Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab: “50 shalat”. Dia berkata:
“Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak
akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”.
Beliau bersabda :“Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata: “Wahai Tuhanku,
ringankanlah untuk ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 shalat. Kemudian saya kembali kepada
Musa dan berkata:“Allah mengurangi untukku 5 shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu
tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah
keringanan”. Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan
Musa ‘alaihis salaam, sampai pada akhirnya Allah berfirman:“Wahai Muhammad,
sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya
50 shalat. Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak
ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka ditulis(baginya) satu
kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu dengan Musa’alaihis salaam seraya aku
ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah
keringanan”, maka sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai
sayapun malu kepada-Nya”. (H.R Muslim 162)

Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke kitab Shahih Bukhari hadits nomor 2968 dan 3598
dan Shahih Muslim nomor 162-168 dan juga kitab-kitab hadits lainnya yang menyebutkan kisah
ini. Terdapat pula tambahan riwayat tentang kisah ini yang tidak disebutkan dalam hadits di atas.

Kapankah Isra` dan Mi’raj?

Sebagian orang meyakini bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab. Padahal, para ulama
ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal kejadian kisah ini. Ada beberapa perbedaan
pendapat mengenai penetapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj , yaitu[2] :

1. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun tatkala Allah memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan nubuwah (kenabian). Ini adalah pendapat Imam Ath Thabari rahimahullah.
2. Perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah diutus sebagai rasul. Ini adalah pendapat yang
dirajihkan oleh Imam An Nawawi dan Al Qurthubi rahimahumallah.
3. Peristiwa tersebut terjadi pada malam tanggal dua puluh tujuh Bulan Rajab tahun kesepuluh
kenabian. Ini adalah pendapat Al Allamah Al Manshurfuri rahimahullah.
4. Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi enam bulan sebelum hijrah, atau pada bulan
Muharram tahun ketiga belas setelah kenabian.
5. Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun dua bulan sebelum hijrah, tepatnya
pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah kenabian.
6. Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun sebelum hijrah, atau pada bulan
Rabi’ul Awwal tahun ketiga belas setelah kenabian.

Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri hafidzahullah menjelaskan : “Tiga pendapat pertama


tertolak. Alasannya karena Khadijah radhiyallahu ‘anha meninggal dunia pada bulan Ramadhan
tahun kesepuluh setelah kenabian, sementara ketika beliau meninggal belum ada kewajiban
shalat lima waktu. Juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa diwajibkannya shalat lima waktu
adalah pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Sedangakan tiga pendapat lainnya, aku tidak
mengetahui mana yang lebih rajih. Namun jika dilihat dari kandungan surat Al Isra’
menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada masa-masa akhir sebelum hijrah.”

Dapat kita simpulkan dari penjelasan di atas bahwa Isra` dan Mi’raj tidak diketahui secara pasti
pada kapan waktu terjadinya. Ini menunjukkan bahwa mengetahui kapan waktu terjadinya Isra’
Mi’raj bukanlah suatu hal yang penting. Lagipula, tidak terdapat sedikitpun faedah keagamaan
dengan mengetahuinya. Seandainya ada faidahnya maka pasti Allah akan menjelaskannya
kepada kita. Maka memastikan kejadian Isra’ Mi’raj terjadi pada Bulan Rajab adalah suatu
kekeliruan. Wallahu ‘alam..

Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’ Mi’raj

Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’ Miraj seperti sampainya beliau ke Baitul Maqdis,
kemudian berjumpa dengan para nabi dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain
yang terdapat dalam hadits- hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah wal
jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :

1. Menerima berita tersebut.


2. Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
3. Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai dengan kenyataannya.

Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita yang datang terhadap seluruh perkara-
perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita atau dikabarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

Hendaknya kita meneladani sifat para sahabt radhiyallahu ‘anhum terhadap berita dari Allah dan
rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang
musyrikin datang menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka mengatakan :
“Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam)!” Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-orang musyrik berkata : “Dia
menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan
peristiwa tersebut hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau
yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan karena
sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang musyrik kembali bertanya:
“Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab: “Aku membenarkan seandainya berita tersebut
lebih dari yang kalian kabarkan. Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau,
bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?”
(Hadits diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah
radhiyallahu’anha).[4]

Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu terhadap berita yang datang dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau langsung membenarkan dan mempercayai berita
tersebut. Beliau tidak banyak bertanya, meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan
teknologi pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap setiap berita
yang shahih dari Allah dan rasul-Nya.

Hikmah Terjadinya Isra`

Apakah hikmah terjadinya Isra`, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak Mi’raj
langsung dari Mekkah padahal hal tersebut memungkinkan? Para ulama menyebutkan ada
beberapa hikmah terjadinya peristiwa Isra`, yaitu:
1. Perjalanan Isra’ di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih memperkuat hujjah bagi orang-
orang musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke langit, seandainya ditanya oleh orang-orang
musyrik maka beliau tidak mempunyai alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau
alami. Oleh karena itu ketika orang-orang musyrik datang dan bertanya kepada beliau, beliau
menceritakan tentang kafilah yang beliau temui selama perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut
pulang dan orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru
mengetahui benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan Baitul Maqdis yang keduanya merupakan
kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut para nabi menghadapkan wajah mereka untuk
beribadah keculali ke Baitul Maqdis dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan
keutamaan beliau melihat kedua kiblat dalam satu malam.
3. Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan para nabi yang
lainnya. Beliau berjumpa dengan mereka di Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami
mereka.[5]

Faedah Kisah

Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di antaranya :

1. Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.
2. Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu wa salaam
3. Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka
meyakini kebenaran berita tentang kisah ini, tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir
Quraisy.
4. Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat
jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di
kalangan para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci Allah, yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)

Penyebutan kata ‘hamba’ digunakan untuk ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang terdapat
dalam hadits-hadits Bukhari dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau
shallallahu ‘alaihi wa salaam melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad beliau dalam keadaan
terjaga.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Lum’atul I’tiqad “… Contohnya hadits Isra`
dan Mi’raj, beliau mengalaminya dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena
(kafir) Quraisy mengingkari dan sombong terhadapnya (peristiwa itu), padahal mereka tidak
mengingkari mimpi”[6]

Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata : “Mi’raj adalah benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salaam telah melakukan Isra` dan Mi’raj dengan tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas
langit…”[7]
1. Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan ketinggian zat-Nya dengan sebenar-benarnya
sesuai dengan keagungan Allah, yakni Allah tinggi berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-
Nya. Ini merupakan akidah kaum muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
2. Mengimani perkara-perkara ghaib yang disebutkan dalam hadits di atas, seperti: Buraaq, Mi’raj,
para malaikat penjaga langit, adanya pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha
beserta sifat-sifatnya, surga, dan selainnya.
3. Penetapan tentang hidupnya para Nabi ‘alaihimus salaam di kubur-kubur mereka, akan tetapi
dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti kehidupan mereka di dunia. Oleh karena itulah, di
sini tidak ada dalil yang membolehkan seseorang untuk berdoa, bertawasul, atau meminta
syafa’at kepada para Nabi dengan alasan mereka masih hidup. Syaikh Shalih Alu Syaikh
rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salaam dalam Mi’raj
menemui ruh para Nabi kecuali Nabi Isa ‘alaihis salaam. Nabi menemui jasad Nabi Isa karena
jasad dan ruh beliau dibawa ke langit dan beliau belum wafat.[8]
4. Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
5. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah kalimur Rahman (orang yang diajak
bicara langsung oleh Ar Rahman).
6. Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan yang sebenar-benarnya.
7. Tingginya kedudukan shalat wajib dalam Islam, karena Allah langsung yang memerintahkan
kewajiban ini.
8. Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis salaam terhadap umat Islam, ketika beliau
menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diringankan kewajiban shalat.
9. Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syariat Islam, serta bolehnya me-
nasakh suatu perintah walaupun belum sempat dikerjakan sebelumnya, yakni tentang
kewajiban shalat yang awalnya lima puluh rakaat menjadi lima rakaat.
10. Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat
keduanya ketika Mi’raj.
11. Para ulama berbeda pendapat apakah Nabi melihat Allah pada saat Mi’raj. Ada tiga pendapat
yang populer : Nabi melihat Allah dengan penglihatan, Nabi melihat Allah dengan hati, dan Nabi
tidak melihat Allah namun hanya mendengar kalam Allah.
12. Pendapat yang benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj hanya berlangusng satu kali saja dan tidak
berulang.
13. Barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia telah kafir, karena dia berarti menganggap Allah
berdusta. Barangsiapa yang mengingkari Mi’raj maka tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan
padanya hujjah serta dijelaskan padanya kebenaran.

Hukum Mengadakan Perayaan Isra` Mi’raj

Bagaimana hukum mengadakan perayaan Isra’ Mi’raj? Berdasarkan dari penjelasan di atas,
nampak jelas bagi kita bahwa perayaan Isra` Mi’raj tidak boleh dikerjakan, bahkan merupakan
perkara bid’ah, karena dua alasan :

1. Malam Isra` Mi’raj tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya. Banyaknya perselisihan di
kalangan para ulama, bahkan para sahabat dalam penentuan kapan terjadinya Isra` dan Mi’raj,
merupakan dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka tidaklah menaruh perhatian
yang besar tentang waktu terjadinya. Jika waktu terjadinya saja tidak disepakati, bagaimana
mungkin bisa dilakukan perayaan Isra’ Mi’raj?
2. Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan. Seandainya perayaan tersebut
adalah bagian dari syariat Allah, maka pasti akan dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya, atau minimal beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya
beliau dan para sahabat mengerjakannya atau menyampaikannya, maka ajaran tersebut akan
sampai kepada kita.

Jadi, tatkala tidak ada sedikitpun dalil tentang hal tersebut, maka perayaan Isra’ Mi’raj bukan
bagian dari ajaran Islam. Jika dia bukan bagian dari agama Islam, maka tidak boleh bagi kita
untuk beribadah dan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan tersebut. Bahkan
merayakannya termasuk perbuatan bid’ah yang tercela.

Berikut di antara fatwa ulama dalam masalah ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah pernah ditanya : ”Pertanyaan ini tentang perayaan malam Isra’ Mi’raj yang terjadi
di Sudan. Kami merayakan malam Isra’ Mi’raj rutin setiap tahun, Apakah perayaan tersebut
memiliki sumber dari Al Qur’an dan As Sunnah atau pernah terjadi di masa Khulafaur Rasyidin
atau pada zaman tabi’in? Berilah petunjuk kepadaku karena saya bingung dalam masalah ini.
Terimakasih atas jawaban Anda.”

Jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Perayaan seperti itu tidak memiliki dasar dari
Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak pula pada zaman Khulafaur Rasyidin . Petunjuk yang ada
dalam Al Qur’an dan sunnah rasul-Nya justru menolak perbuatn bid’ah tersebut karena Allah
Ta’ala mengingkari orang-orang yang menjadikan syariat bagi mereka selain syariat Allah
termasuk perbuatan syirik, sebagaimana firman Allah :

َّ ‫ِّين َما لَ ْم يَأْذَن بِ ِه‬


‫َللا‬ ُ ‫أ َ ْم لَ ُه ْم‬
ِ ‫ش َركَاء ش ََرعُوا لَ ُهم ِ ِّمنَ ال ِد‬

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk


mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syuura:21)

Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫من عمل عمالً ليس عليه أمرنا فهو رد‬

“ Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari Allah dan rasul-
Nya maka amalan tersebut tertolak “.

Perayaan malam Isra’ Mi’raj bukan merupakan perintah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dalam setiap khutbah
Jum’at melalui sabda beliau :

‫أما بعد فإن خير الحديث كتاب هللا وخير الهدي هدي محمد وشر األمور محدثاتها وكل بدعة ضاللة‬

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara
adalah perkara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[9]
Semoga paparan ringkas ini dapat menambah ilmu dan wawsan kita, serta dapat menambah
keimanan kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad

Dari artikel 'Kisah Isra’ Mi’raj — Muslim.Or.Id'

Anda mungkin juga menyukai