Anda di halaman 1dari 11

A.

LANDASAN HUKUM PERAWATAN PALIATIF DI INDONESIA

KEPUTUSAN MENTRI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO


812/MENKES/SK/VII 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERAWATAN PALITIF

1. PENGERTIAN
a. Perawatan palitif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup
pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit
yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan penyediaan melalui
identifikasi dini dan penilian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (sumber referensi WHO, 2002).
b. Kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang dipersiapkan terhadap keadaan
pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan
hidup, harapan, dan niatnya.
c. Palliative Home Care adalah pelayanan perawatan paliatif yang dilakukan di rumah
pasien, oleh tenaga palitif danatau keluarga atas bimbingan/ pengawasan tenaga
palitif.
d. Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakut stadium terminal yang tidak
dapat dirawat sakit namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah
sakit pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit tetapi dapat memberikan
pelayanan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di
rumah sendiri.
e. Sarana Kesehatan adalah tempat yang menyediakan layanan kesehatan secara medis
bagi masyarakat.

2. SASARAN KEBIJAKAN PELAYANAN PALIATIF


a. Seluruh pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang
memerlukan perawatan palitif dimanapun pasien berada di seluruh Indonesia.
b. Pelaksanaan perawatan palitif: dokter, perawat, tenaga kesehatan lainnya dan tenaga
terkait lainnya.
c. Institusi-institusi terkait:
1) Dinas kesehatan provinsi dan kota atau kabupaten
2) Rumah sakit pemerintah dan swata
3) PUSKESMAS
4) Rumah perawatan atau HOSPIS
5) Fasilitas kesehatan pemerintah dan swata lainnya
3. LINGKUP KEGIATAN PERAWATAN PALITIF
a. Jenis kegiatan paliatif meliputi :
1) Penatalaksaan nyeri
2) Penatalaksaan keluhan fisik lainnya
3) Asuhan keperawatan
4) Dukungan psikologis
5) Dukungan sosial
6) Dukungan kultural dan spritual
7) Dukungan persiapan dan selama duka cita ( breavement)
b. Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan/ rawat
rumah
4. ASPEK MEDIKOLEGAL DALAM PERAWATAN PALIATIF
a. Persetujuan tindakan medis atau informed consent untuk pasien paliatif.
Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif
melalui komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan
paliatif dengan pasien dan keluarganya. Pelaksanaan informed consent sebagaimana
telah di atur dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun pada umumnya hanya
tindakan medis yang membutuhkan informed consent tapi sebaiknya setiap tindakan
yang beresiko dilakukan informed consent. Penerima informasi maupun pemberi
persetujuan di utamakan pasien sendiri apabila pasien kompeten dengan saksi
anggota keluarga terdekatnya. Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan
untuk memperoleh pesan atau pernyataan pasien pada saat ia kompeten. Pada
keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat
melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan.
b. Resusitasi / tidak resusitasi
Keputusan dilakukan atau tidaknya dapat dibuat oleh pasien kompeten atau oleh
tim perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah di informasikan
pada saat pasien masuk / mulai perawatan. Keputusan pasien dapat diberikan dalam
bentuk pesan (advanced directive) atau dalam informed consent. Tim perawatan
paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai pedoman
klinis bidang ini.
c. Perawatan paliatif di ICU
Pada dasarnya perawatan paliatif ICU mengikuti ketentuan ketentuan umum yang
berlaku sebagaimana diuraikan diatas. Dalam menghadapi tahap terminal, tim
perawatan paliatif harus mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan
pemberhentian peralatan life-supporting.
5. SUMBER DAYA MANUSIA
a. Pelaksanaan perawatan paliatif adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial,
rohaniawan, keluarga, relawan.
b. Kriteria pelaksana perawatan paliatif adalah telah mengikuti pendidikan atau
pelatihan perawatan paliatif dan telah mendapatkan sertifikat.
c. Pelatihan:
1) Modul pelatihan
2) Pelatih
3) Sertifikasi
d. Pendidikan
Pendidikan formal spesialis paliatif (ilmu kedokteran paliatif, ilmu keperawatan
paliatif).
6. TEMPAT DAN ORGANISASI PERAWATAN PALIATIF
Tempat perawatan paliatif :
a. Rumah sakit : untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan yang memerlukan
pengawasan ketat tindakan khusus atau peralatan khusus.
b. Puskesmas : untuk pasien yang memerlukan perawatan rawat jalan.
c. Rumah singgah / panti (hospis) : untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan
ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus.
d. Rumah pasien : untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan
khusus atau peralatan khusus atau keterampilan perawatan yang tidak mungkun
dilakukan oleh keluarga.

Organisasi perawatan paliatif :

a. Kelompok perawatan paliatif di bentuk di tingkat puskesmas.


b. Unit perawatan paliatif di bentuk di rumah sakit kelas D, C, B non pendidikan.
c. Instalasi perawatan paliatif dibentuk di rumah sakit kelas B pendidikan dan kelas A.
d. Tata kerja organisasi perawatan paliatif bersifat koordinatif dan melibatkan semua
unsur terbaik.
7. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang dengan melibatkan
perhimpunan profesi atau keseminatan terkait. Pembinaan dan pengawasan tertinggi
dilakukan oleh departemen kesehatan.
8. PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN MUTU PERAWATAN PALIATIF
Untuk pengembangan dan peningkatan mutu perawatan paliatif diperlukan :
a. Pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan dan non kesehatan.
b. Pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan/continuing professional defelopment
untuk perawatan paliatif (SDM) untuk jumlah, jenis dan kualitas pelayanan.
c. Menjalankan program keselamatan pasien/patient safety.
9. PENDANAAN
Pendanaan yang diperlukan untuk :
a. Pengembangan sarana dan prasarana
b. Peningkatan kualitas SDM/pelatihan
c. Pembinaan dan pengawasan
d. Peningkatan mutu pelayanan

Sumber pendanaan dapat dibebankan pada APBN/APBD dan sumber sumber lain yang
tidak mengikat. Untuk perawatan pasien miskin dan PNS dapat dimasukkan dalam
skema Askeskin dan Askes.

10. PENUTUP
Untuk pelaksanaan kebiajakan ini masih diperlukan petunjuk pelaksanaan perawatan
paliatif. Untuk pelaksanaan pelatihan pelatihan diperlukan modul pelatihan perawatan
paliatif. Langkah langkah ini akan dilakukan oleh para ahli dan departemen
kesehatan.

B. PERKEMBANGAN PERAWATAN PALIATIF DI INDONESIA


Sejak 2007 pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan telah terbit aturan
berupa kebijakan perawatan paliatif (KEPUTUSAN MENKES No.
812/Menkes/SK/VII/2007). Dimana dasar yang menjadi acuan di terbitkannya peraturan
tersebut yaitu:
1. Kasus penyakit yang belum dapat disembuhkan semakin jumlahnya baik pada
pasien dewasa maupun anak
2. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien dengan penyakit
yang belum dapat disembuhkan selain dengan perawatan kuratif dan
rehabilitative juga diperlukan perawatan paliatif bagi pasien dengan stadium
terminal.(Yodang, 2015).

Pada peraturan tersebut, menjelaskan bahwa kondisi pelayanan kesehatan yang belum
mampu memberikan pelayanan yang dapat menyentuh dan memenuhi kebutuhan pasien
dengan penyakit stadium terminal yang sulit di sembuhkan. pada stadium tersebut prioritas
layanan tidak hanya berfokus pada penyembuhan, akan tetapi juga berfokus pada upaya
peningkatan kualitas hidup yang terbaik pada pasien dan keluarganya. pasien dengan
penyakit kronis pada stadium lanjut maupun terminal dapat mengakses layanan kesehatan
seperti rumah sakit baik umum maupun swasta, puskesmas, rumah perawatan, dan rumah
hospis. Saat peraturan ini di terbitkan ada 5 rumah sakit yang menjadi pusat layanan
perawatan paliatif, dimana rumah sakit tersebut berlokasi di Jakarta, Yogyakarta,
Surabaya, Denpasar, dan Makassar. Akan tetapi, sekalipun perawatan paliatif telah di
perkenalkan dan di terapkan di beberapa rumah sakit yang tersebut diatas, pelayanan
perawatan paliatif belum menunjukkan signifikansi. Hal ini mungkin di akibatkan oleh
minimnya pendidikan dan pelatihan tentang perawatan paliatif untuk tenaga kesehatan,
dan juga jumlah tenaga kesehatan yang belajar secara formal mengenai perawatan paliatif
juga masih sangat sedikit. Karena saat ini, pendidikan untuk level pascasarjana di bidang
perawatan paliatif hanya tersedia di universitas di Negara maju seperti Australia, Amerika
serikat, Inggris.

Sejarah perkembangan perawatan paliatif di Indonesia bermula saat sekelompok


dokter di Rumah sakit Dr Sutomo, Surabaya, membentuk kelompok perawatan paliatif dan
pengontrolan nyeri kanker pada tahun 1990 yang selanjutnya kelompok tersebut menjadi
“Tim perawatan paliatif’ pertama di Indonesia. Saat ini kelompok tersebut dikenal dengan
nama “Pusat pengembangan paliatif dan bebas nyeri”. Pada bulan Februari 1992, secara
resmi pelayanan perawatan paliatif di mulai di Rumah sakit Dr Sutomo, Surabaya.
Pelayanan tersebut didukung 11 orang dokter dan seorang apoteker yang telah menempuh
pendidikan perawatan paliatif untuk level Post Graduate Diploma melalui pendidikan
jarak jauh dari salah satu universitas yang berada di Negara bagian Australia barat, kota
Perth. Atas kepemimpinan Dr. R. Soenarjadi Tedjawinata yang kemudian dikenal sebagai
Bapak Paliatif Indonesia menginisiasi sebuah kegiatan seminar nasional dan workshop
yang bertema “manajemen nyeri kanker”. Tujuan dari kegiatan tersebut untuk
memperkenalkan pelayanan perawatan paliatif kepada peserta seminar dan workshop.
kegiatan tersebut dilakukan pada bulan Oktober 1992 yang pada saat di itu dihadiri oleh
sekitar 14 perwakilan rumah sakit pendidikan di Indoensia.

Pada tahun 2006, sebuah organisasi nirlaba membentuk “Rumah Rachel” yang
menyediakan layanan perawatan paliatif khusus untuk anak yang menderita kanker dan
HIV/AIDS. Rumah Rachel merupakan fasilitas perawatan paliatif yang pertama di
Indonesia yang fokus pada anak-anak berlokasi di Jakarta. Pada tahun 2007, atas
bimbingan dan arahan tim paliatif RS Dr Sutomo, pelayanan paliatif di tingkat puskesmas
di buka, yaitu Puskesmas Balongsari Surabaya. setahun kemudian pihak puskesmas
mengadakan pelatihan perawatan paliatif untuk relawan dengan mendapatkan dukungan
dari pemerintah kota Surabaya.

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, minat para tenaga kesehatan di bidang
perawatan paliatif semakin meningkat, dimana secara rutin seminar maupun workshop
yang bertema perawatan paliatif di selenggarakan secara rutin seperti di Yogyakarta,
Bandung dan di beberapa kota lainnya. Pada tahun 2013 Kementerian Kesehatan melalui
Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan mengeluarkan
panduan teknis pelayanan paliatif kanker. hal ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah
semakin serius untuk memberikan pelayanan perawatan paliaatif bagi masyarakat
Indonesia terkhusus yang menderita kanker.

LINGKUP KEGIATAN PERAWATAN PALIATIF

1. Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi:


a. Penatalaksanaan nyeri
b. Penatalaksanaan keluahan fisik lain
c. Asuhan keperawatan
d. Dukungan psikologis
e. Dukungan social
f. Dukungan kultural dan spiritual
g. Dukungan persiapan dan selama masa duka cita
2. Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan (rawat
rumah)
TANTANGAN DALAM PENERAPAN PERAWATAN PALIATIF

1. Kekurangan pemahaman dimasyarakat tentang asuhan paliatif


2. Hambatan social budaya dimana banyak orang yang tidak mau atau tidak berani
membicarakan nyeri hati (kesedihan) dan fisik atau tentang kematian.
3. Kurangnya keterampilan dan kapasitas tenaga kesehatan
4. Regulasi yang terlalu ketat terkait obat nyeri opioid juga menjadi hambatan
5. Pelayanan paliatif belum mendapat perhatian khusus, umumnya hanya dilakukan oleh
dokter saja .

RUMAH SAKIT YANG MENERAPKAN PERAWATAN PALIATIF DI INDONESIA

Direktur Utama Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin (RSHS) mengatakan sarana
pelayanan paliatif di Indonesia belum merata. Padahal, pasien memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif, dan holistik. Perawatan paliatif
adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan
berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan
perawatan terbaik sampai akhir hayatnya," ujarnya, Senin (28/1/2019). Saat ini, rumah
sakit yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas.
Ditinjau dari besarnya kebutuhan dari pasien, jumlah tenaga kesehatan yang mampu
memberikan pelayanan perawatan paliatif juga masih terbatas. Oleh karena itu, diperlukan
berbagai upaya untuk memenuhi hak pasien khususnya pasien paliatif. Nina menyebutkan
penderita kanker di dunia diperkirakan telah meningkat menjadi 18,1 juta kasus baru dan
9,6 juta kematian pada tahun 2018. Satu dari lima pria dan satu dari enak wanita di seluruh
dunia menderita kanker selama masa hidup mereka. Kemudian, satu dari delapan pria dan
satu dari 11 wanita meninggal akibat penyakit kanker. Di seluruh dunia, jumlah orang
yang hidup dalam 5 tahun diagnosis kanker, yang disebut prevalensi 5 tahun, diperkirakan
43,8 juta jiwa.

Menurut data Globocan 2018, dari jumlah populasi penduduk Indonesia sebanyak
266.794.986 jiwa, terdapat kasus kanker baru sebanyak 348.809 dengan jumlah kematian
akibat kanker sebanyak 207.210 dan prevalensi 5 tahun sebanyak 775.120
jiwa. Sementara pasien kanker di RSHS pada tahun 2016 terdapat 13.918 orang dewasa
dan 2.381 anak yang dirawat inap. Tahun 2017 terdapat 11.926 pasien kanker dewasa dan
2.102 pasien kanker anak yang dirawat inap. Tahun 2018 terdapat 11.711 pasien kanker
dewasa dan 17.090 pasien kanker anak yang di rawat inap. Sementara data pasien paliatif
tahun 2018 di RSUP Dr. Hasan Sadikin sebanyak 86 pasien.

Salah satu rumah sakit yang menyediakan unit layanan paliatif adalah Rumah Sakit
Dharmais, Jakarta. Layanan yang sudah ada sejak 1996 di rumah sakit kanker itu memiliki
26 perawat dan beberapa dokter umum yang sudah berpengetahuan paliatif. Hanya satu
dokter yang sudah memiliki ijazah layanan paliatif, yakni Dr Maria Astheria Witjaksono.
Dia memperoleh ilmu paliatif dari Institute of Palliative Care and Supportive Services,
Flinders University, Australia. Menurut Maria, pasien penderita kanker yang biasa dikirim
ke unit paliatif adalah pasien yang sedang dalam pengobatan tapi ada nyeri yang tidak
terkontrol. Pasien kanker stadium lanjut dan orang dengan HIV/ AIDS pun bisa dilayani
lewat metode paliatif. “Meski tidak bisa disembuhkan, pasien berhak memiliki kualitas
hidup yang baik. Persoalan yang dapat dijawab paliatif adalah bagaimana mencegah dan
mengatasi penderitaan yang muncul akibat penyakit,” kata Maria.

Tim paliatif Dharmais melatih keluarga pasien memberi obat dan makanan secara
benar. Mereka juga diajari cara memberi makanan lewat selang, memakaikan kateter,
mengganti infus secara aman, dan mencegah luka di tubuh pasien. Selain penanggulangan
nyeri dan gejala fisik lain seperti gangguan saluran nafas dan saluran cerna, tim juga
memberi bimbingan psikososial dan spiritual. Dampaknya sungguh besar. Ketika nyeri
ditangani secara baik, ketakutan dan kecemasan ditiadakan, dan pasien dapat menerima
kondisinya, usia pasien bisa lebih panjang dari perkiraan dokter. Namun, Maria
menegaskan perpanjangan usia bukan tujuan utama layanan paliatif. Terpenting adalah
pasien dapat hidup bahagia jelang kematiannya. “Kelahiran dan kematian harus
dipersiapkan. Pasien dan keluarga tidak takut, itu berkualitas. Kami tidak pernah bilang ke
pasien bahwa hidupnya tinggal berapa lama. Ada yang kami kira cepat, ternyata lama dan
sebaliknya,” tutur Maria.

Rata-rata sekitar 300 pasien dalam 1 tahun ditangani tim paliatif Dharmais. Maria
bercita-cita suatu hari nanti Indonesia memiliki asosiasi dokter spesialis paliatif. Saat ini
baru ada Masyarakat Paliatif Indonesia. Di dalamnya ada pasien, dokter, perawat,
psikolog, dan rohaniwan.

C. PERKEMBANGAN PERAWATAN PALIATIF DI NEGARA LAIN


Perkembangan Perawatan Paliatif di Negara Kanada
Kanada merupakan negara yang pertama mengimplementasikan perawatan paliatif
dirumah sakit yaitu di the Royal Victoria Hospital, Montreal pada tahun 1976. Di negara
lain perawatan paliatif lebih dikenal dengan istilah Hospice . “Providing End Of Life
Care Focused On Paliatif Treatment since 1980” “A Journey Of Comfort A
Celebration For Lives Well Lived”.

Ketika seseorang diagnosis penyakit yang serius efek yang ditimbulkan tidak hanya
dirasakan oleh pasien tetapi juga dapat dirasakan keluarga dan orang sekitarnya. Dimana
hal itu dapat menjadi sebuah tantangan dikarenakan pasien akan menjalani hidup dalam
ketidakpastian.

Di Victoria Hospice, mereka mencoba membantu pasien dengan cara menggali emosi
pasien dalam mengatasi penyakit, mereka memberikan bantuan kepada orang yang kita
cintai untuk memanfaatkan waktu yang tersisa. Kebanyakan orang ketika di diagnosis
takut untuk datang kerumah sakit, hal itu dikarenakan ketika mereka datang, maka artinya
mereka menyerah akan hidup mereka. Padahal ketika mereka datang lebih awal itu dapat
memberikan peluang untuk mereka nyaman lebih ada.

Victoria Hospice terletak di lantai 3 RS Royal Jubilee Hospital. Ia memiliki 17 tempat


tidur yang terdiri dari 7 ruangan untuk penyalit akut, 9 ruangan untuk perawatan jangka
panjang dan 1 ruangan jeda. Tujuan dari ruangan akut ialah diharapkan dapat memberikan
manajemen aktif sehingga pasien dapat kembali ke rumah. Sedangkan riangan perawatan
jangka panjang adalah diharapkan agar pasien merasa ua berada di rumah ia sendiri.
Sedangkan 1 ruangan lagi adalah ruangan yang diperlukan bagi pasien yang datang untuk
memeriksakan gejala atau menginap selama seminggu.

Kami membuat ruangan tersebut senyaman mungkin seperti rumah sendiri. Terdiri
dari 11 ruangan private dan 3 ruangan semi private. Kami juga memiliki lounge, dapur,
ruangan meditasi taman dan ruangan bebas asap rokok. Setiap ruangan memiliki kulkas,
televisi. Pasien diizinkan untuk membawa barang yang berasal dari rumah seperti foto
keluarga. Hal itu dilakukan agar pasien merasa nyaman. Pasien yang berasa di Victoria
Hospice tidak hanya pasien kanker tetapi juga pasien yang memiliki diagnosa ASL,
sirkulasi, respiratory dan penyakit kronik lainnya.
Rencana keperawatan

1. Berkomunikasi dengan orang terdekat baik dengan keluarga, teman, dan tenaga
kesehatan lainnya sehingga mereka mengerti pengobatan apa yang diinginkan dan
tidak inginkan dimana hal itu diperlukan ketika pasien tidak dapat memutuskan
sendiri.
2. Di rumah sakit Royal di Victoria ada 17 ruang rawat inap, dimana disini mereka
memberikan pelayanan khusus seperti mengizinkan kunjungan keluarga dan teman
tidak terbatas selama 24 jam, termasuk hewan peliharaan, lounge keluarga dan dapur.
3. Mereka memberikan perawatan di komunitas, mereka menyediakan konsultasi dan
perawatan jangka pendek 24/7. Seorang perawat dan konselor melihat kebutuhan
pasien dan keluarga mereka dengan akses on-call ke dokter perawatan paliatif.
4. Mereka menyediakan pelayanan berkabung setelah kematian orang yang di cintai.
Tim berkabung mereka menawarkan konseling kepada siapapun dikomunitas yang
menderita kehilangan
5. Sukarelawan juga memiliki peran penting dalam kesuksesan perawatan, relawan
mendampingi dan memberi dukungan kepada pasien dan keluarga di unit rawat inap.

Misi

1. Meningkatkan kualitas hidup bagi mereka yang menghadapi penyakit, kematian, dan
kematian yang membatasi kehidupan melaui perawatan, pedidikan, penelitian dan
advokasi yang berpusat pada keluarga.

Visi

1. Perawatan paliatif akhir hidup yang berkualitas untuk semua.


2. Menghormati nilai setiap individu
3. Empati
4. Bertanggung jawab
5. Berkomitmen terhadap perawatan akses kehidupan yang berkualitas
6. Kolaborasi

Departemen

Dokter , Dokter Spesialis , Perawat (RNs) dan (LPNs), Petugas Unit, Sukarelawan

Layanan Psikososial
Konselor, Terapis dan Spesialis Perawatan Spiritual, Departemen Pelayan Psikososial
mendorong Pasien , Keluarga dan Masyarakat.

D. EVIDENCE BASED NURSING TERKINI TERKAIT INTERVENSI


KEPERAWATAN DALAM PERAWATAN PALATIF
Manajemen nyeri : Pemberian Morphin untuk mengurangi Nyeri Kanker
Tatalaksana pengobatan kanker secara medis dapat dilakukan dengan cara kemotrapi.
Kemotrapi adalah pengobatan dengan cara menghambat pertumbuhan sel kanker, contoh
pengobatan kemotrapi yaitu penggunaan morfin untuk mengurangi rasa nyeri. Nyeri
merupakan simptom yang lazim dialami oleh pasien kanker (Christo & Mazloomdoost:
2008: Lee & Ahn, 2008), sedangkan Morfin Adalah jenis obat yang masuk ke dalam
golongan analgesik opium atau narkotik. Obat ini digunakan untuk mengatasi rasa sakit
yang terbilang parah dan berkepanjangan atau kronis, seperti misalnya nyeri pada kanker
stadium lanjut. Morfin bekerja pada saraf dan otak sehingga tubuh tidak merasakan sakit.
WHO sudah menulis pedoman mengurangi sakit berdasarkan tingkat rasa nyeri.
Pemakaian paracetamol, ibu profen adalah obat nyeri dalam tahap ringan namun, bila
nyerinya parah morfin menjadi pilihan. Rasa nyeri pasien kanker adalah nyeri hebat
apalagi ketika sudah dinyatakan paliatif, dosisnya tidak dapat diturunkan. Paliatif tanpa
morfin bukan palitif (Dokter Edi Setiawan RS Kanker Dharmais).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan John Wiley & Sons (2019) mengenai
seberapa baik morfin bekerja didapatkan hasil bahwa 9 dari 10 partisipan yang mengalami
nyeri hebat ketika menggunakan morfin berubah menjadi sedang. Lebih dari 6 dari 10
pasien sangat puas dengan pengobatan morfin atau menganggap hasilnya sangat baik.
Hanya 1 dari 20 orang yang berhenti menggunakan morfin dikarenakan efek samping.
Efek samping yang ditimbulkan seperti sembelit, mual dan muntah .
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Abdul Hakim Ritonga, penggunaan morfin
pada pasien kanker pankreas menunjukkan penuruan Visual Analogue Scale (VAS) ≥ 7
menjadi VAS ≤ 3. Penelitian lainnya Aksu dkk, menunjukkan VAS sebelum pemberian
morfin adalah 7 dan 10 menjadi 4 dan 7 yang secara statistik signifikan (p<0,05).

Anda mungkin juga menyukai