Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Maraknya kasus kejahatan seksual pada anak (child abuse) yang


dilakukan oleh orang orang terdekat termasuk keluarga, serta banyak
bermunculannya fenomena seks bebas (free sex) di kalangan remaja
patut menjadi perhatian besar bagi semua kalangan. Kekerasan
seksual anak (child sexual abuse) memiliki dampak secara fisik
maupun psikologis bagi anak. Dampak secara fisik dapat meliputi
kesulitan dalam berjalan maupun duduk, rasa sakit pada bagian atau
organ genital, sedangkan dampak secara psikologis mencakup
perubahan perilaku atau mood, depresi, kesulitan konsentrasi,
penurunan prestasi (performance) di sekolah, agresif, kesulitan tidur,
dan perubahan pola makan. menambahkan dampak psikologis
berupa post-traumatic stress disorder, bunuh diri, kecenderungan
reviktimisasi ketika dewasa, dan penyalahgunaan obat-obatan
terlarang ketika dewasa. (Goldman, 2007; Hornor (2010))

Kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia relatif


meningkat dari tahun ke tahun. Data yang diungkapkan oleh Komisi
Perlindungan Anak (diakses melalui http://bankdata.kpai.go.id pada
tanggal 27 Februari 2017) menunjukkan bahwa menyatakan bahwa
terdapat lebih dari 100 kasus kekerasan seksual pada anak yang
tercatat setiap tahunnya. Pada tahun 2011 kasus kekerasan seksual
mencapai angka 216, tahun 2012 sebanyak 412 kasus, tahun 2013
sebanyak 343 kasus, tahun 2014 sebanyak 656 kasus, tahun 2015
sebanyak 218 kasus, dan tahun 2016 terdapat 120 kasus. Namun
jumlah kasus yang tercatat Komisi Perlindungan Anak Indonesia
tersebut jauh melebihi kenyataannya karena masih banyak keluarga
korban yang enggan melaporkan, sehingga masih dimungkinkan

1
adanya kenaikan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak setiap
tahunnya.

Para orang tua, pendidik dan masyarakat, masing-masing


memiliki kewajiban untuk memberikan pengawasan dan pencegahan
terhadap perilaku menyimpang tersebut. Salah satu bentuk
pencegahan preventif yang dapat dilakukan dalam menanggulangi
munculnya penyimpangan perilaku di atas adalah dengan
memberikan pemahaman akan pendidikan seks sejak dini terhadap
anak.. Pendidikan seks merupakan bentuk upaya memberikan
pendidikan dan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis
dan psikososial sebagi akibat pertumbuhan dan perkembangan
manusia. Pendidikan ini juga memberikan pemahaman tentang
fungsi organ seksual (kelamin) pada anak dan menanamkan moral
etika serta komitmen agama supaya tidak terjadi penyalahgunaan
organ reproduksi tersebut.(Roqib, 2018)

B. Rumusan Masalah
Penulis bermaksud mengkaji lebih jauh tentang kekerasan
seksual yang terjadi pada anak serta maraknya sex bebas yang terjadi
pada remja yang semakin lama akan menjadi budaya bangsa ini.
Adapun masalah pokok yang dapat dikaji dalam makalah ini yaitu
Bagaimana konsep pendidikan seks, mengapa pendidikan seks
penting diajarkan sejak usia dini, serta Bagaimana strategi orangtua
dalam memberikan pendidikan seks untuk anak usia dini.
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan anak serta untuk meningkatkan
wawasan dan ilmu pengetahuan kami tentang bagaimana upaya
melakukan pendidikan sex un tuk anak usia dini.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2
A. Sex Bebas

Seks bebas (free sex) merupakan perilaku penyimpangan seksual.


Seks bebas berkembang dari suatu budaya barat yang menekankan
pada kebebasan. Di dalamnya terdapat unsur-unsur kebebasan,
seperti bebas melakukan hubungan seksual sebelum menikah, bebas
berganti-ganti pasangan, dan bebas melakukan hubungan seksual
usia dini. Jadi dapat disimpulkan bahwa seks bebas adalah suatu
perilaku seks yang menyimpang dengan melakukan hubungan seks
secara bebas baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis tanpa
dibatasi oleh aturan dan tujuan yang jelas. Banyak hal yang
melatarbelakangi terjadinya perilaku seks bebas. Dari berbagai
penelitian terdahulun dapat disimpulkan bahwa faktor pemicu
perilaku bebas adalah minimnya pemahaman akan bahaya
melakukan hubungan seks bebas, pernah jadi korban pemerkosaan
dan pelecehan seksual hingga akhirnya menjadi ketagihan,
sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah Orang tua
yang tidak memberikan pendidikan seks untuk anak, Pergaulan
bebas, Narkoba dan alkhohol dan Kebiasaan melanggar norma yg
berlaku, Penyalahgunaan teknologi dan informasi yang semakin
canggih sehinngga mudah mengakses situs porno di internet.
Irwansyah (2010:186)

B. Pendidikan Sex
Pendidikan merupakan suatu proses mengubah sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2001). Seks secara umum adalah sesuatu yang berkaitan
dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara
hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan.
Pendidikan seks merupakan upaya transfer pengetahuan dan
nilai (knowledge and values) tentang fisik-genetik dan fungsinya

3
khususnya yang terkait dengan jenis (sex) laki-laki dan perempuan
sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif makhluk hewan dan
manusia yang tertarik dan mencintai lain jenisnya (Roqib, 2008).
Pendidikan seks untuk anak usia dini lebih kepada upaya pengajaran,
penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang
diberikan pada anak. Pengarahan dan pemahaman yang sehat tentang
seks dari berbagai aspek, di mana selain menerangkan tentang aspek-
aspek anatomi dan biologis juga menerangkan aspek-aspek psikologis
dan moral.

Sedangkan mengenai pengertian pendidikan seks bagi anak, Surtiretna


dalam Muslik Nawita (2013: 6) menyatakan bahwa pendidikan seks
sebagai upaya memberikan pendidikan dan pengetahuan tentang
perubahan biologis, psikologis dan psikososial sebagi akibat
pertumbuhan dan perkembangan manusia. Definisi ini secara tidak
langsung mengatakan bahwa pendidikan seks pada dasarnya merupakan
upaya memberikan pengetahuan tentang fungsi organ seksual (kelamin)
pada anak dan menanamkan moral etika serta komitmen agama supaya
tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut.

Pendidikan seks telah menunjukkan beberapa manfaat untuk


orang muda, umumnya pada masa depan hidupnya. Sebagai contoh, anak
muda yang telah memperoleh pendidikan seks yang komprehensif akan
terhindar dari resiko kekerasan seksual, memiliki pasangan seks yang
sedikit, lebih sesuai dalam menggunakan perlindungan diri, dan jarang
hamil pada usia remaja (Robinson, Smith, & Davies, 2017).

C. Pentingnya Pendidikan Sex Untuk Anak Usia Dini


Pendidikan seks perlu dilakukan sejak usia dini dengan cara yang
benar dan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Anak yang secara
naluriah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, lambat laun akan bertanya
tentang bagian-bagian tubuhnya. Tidak mungkin, seorang anak tidak
ingin mengetahui tentang beberapa organ vital tersebut sejak dini,

4
padahal anak telah melalui proses-proses seksual tersebut secara alami
sesuai dengan tahapan dari Sigmund Freud (1856-1939).
Menurut Sigmund Freud (1856-1939) fase-fase perkembangan
individu didorong oleh energi psikis yang disebut libido. Libido ini
merupakan energi yang bersifat seksual (diartikan secara luas sebagi
dorongan kehidupan) dan sudah ada sejak bayi. Setiap tahap
perkembangan ditandai dengan berfungsinya dengan dorongan-dorongan
tersebut pada daerah tubuh tertentu. Sejalan dengan perkembangan
psikoseksual, berkembang pula struktur kepribadian id, ego, dan
superego.
Tahapan Psikoseksual ( Sigmund Freud ) meliputi :
1. Fase Oral (0 – 1 Tahun) Sumber kenikmatan utama bayi
melibatkan aktifitas berorientasi mulut, seperti menelan (makan,
minum ) dan menghisap ( menyusu, memasukkan jari-jari tanagn ke
mulut ).
2. Fase Anal (1 – 3 Tahun) Anak mendapatkan kepusan seksual
dengan menahan atau melepaskan feces. Zona kepuasnnya adalh
daerah anal dan toilet training merupakan aktivitas penting.
3. Fase Falik (3 – 6 Tahun) Anak menjadi lengket dengan ornag
tua dari jenis kelamin berlainan dan kemudian mengidentifikasinya
dengan orang tua berjenis kelamin sama. Superego berkembang.
Zona kepuasannya bergeser ke daerah genital.
4. Periode Laten (6 – 12 Tahun) Masa yang relative tenang
diantara tahapan-tahapan yang lebih bergelora.
5. Fase Genital (12 Tahun ke atas) Kemunculan kembali
dorongan seksual tahap falik, disalurkan kepada kematangan
seksualitas masa dewasa.

Secara edukatif, anak dapat diberikan pendidikan seks sesuai


dengan tahapan perkembangan yang telah ia capai. Pendidikan seks dapat
diberikan sejak anak mulai bertanya tentang seks. Misalnya ketika
bertanya tentang perbedaan alat kelaminnya dengan alat kelamin milik
adik.

5
Secara garis besar, terdapat beberapa alasan dan tujuan mengapa
pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini. Penelitian yang
dilakukan oleh Kakavoulis (1998) menyatakan bahwa melalui pendidikan
seks, anak akan memiliki pengetahuan mengenai tubuhnya, kesadaran
yang baik, dan hubungan interpersonal yang tepat, mampu membedakan
identitas diri dan peran seks, pengetahuan tentang fungsi generatif, dapat
melindungi diri dari kekerasan, meningkatkan stabilitas emosi dan
kesehatan, dan kepribadian yang saling menghormati. Pendidikan seks
juga membantu anak untuk memahami struktur tubuh dari laki-laki dan
perempuan serta memperoleh pengetahuan mengenai kelahiran. Selain
itu, pendidikan seks mengajarkan anak untuk membangun dan menerima
peran serta tanggungjawab dari gender dirinya. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan dan persamaan antara dua gender jika dilihat dari tubuh dan
pemikiran akan mendorong perkembangan ke depannya ketika
berkenalan dengan teman dan hubungan interpersonal. Pendidikan seks
merupakan sebuah pendidikan holistik, di mana mengajarkan individu
mengenai penerimaan diri, sikap, dan keterampilan.
Di sisi lain, mengacu pendapat Roqib (2008) bahwa tujuan
diberikannya pendidikan seks sejak usia dini, yaitu sebagai berikut:
1. membantu anak mengetahui topik-topik biologis seperti
bagian-bagian tubuh, pertumbuhan, serta perkembanganbiakan,
2. mencegah anak-anak dari tindak kekerasan,
3. mengurangi rasa bersalah, rasa malu, dan kecemasan akibat
tindakan seksual;
4. mendorong hubungan yang baik, dan
5. membantu anak mengetahui peran gender sesuai dengan jenis
kelamin (seks) mereka.

D. Strategi Orangtua dalam Pendidikan Seks untuk Anak


Usia Dini Menurut Sigmun Freud

6
1. Fase Oral
Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi terjadi melalui
mulut, sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat
penting. Mulut sangat penting untuk makan, dan bayi berasal
kesenangan dari rangsangan oral melalui kegiatan memuaskan
seperti mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya
tergantung pada pengasuh (yang bertanggung jawab untuk
memberi makan anak), bayi juga mengembangkan rasa
kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi oral.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak
harus menjadi kurang bergantung pada para pengasuh. Jika fiksasi
terjadi pada tahap ini, Freud percaya individu akan memiliki
masalah dengan ketergantungan atau agresi. fiksasi oral dapat
mengakibatkan masalah dengan minum, merokok makan, atau
menggigit kuku.

2. Fase Anal

Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido
adalah pada pengendalian kandung kemih dan buang air besar.
Konflik utama pada tahap ini adalah pelatihan toilet – anak harus
belajar untuk mengendalikan kebutuhan tubuhnya.
Mengembangkan kontrol ini menyebabkan rasa prestasi dan
kemandirian.
Menurut Sigmund Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung
pada cara di mana orang tua pendekatan pelatihan toilet. Orang
tua yang memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk
menggunakan toilet pada saat yang tepat mendorong hasil positif

7
dan membantu anak-anak merasa mampu dan produktif. Freud
percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini menjabat
sebagai dasar orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten,
produktif dan kreatif.
Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan dan
dorongan bahwa anak-anak perlukan selama tahap ini. Beberapa
orang tua ‘bukan menghukum, mengejek atau malu seorang anak
untuk kecelakaan. Menurut Freud, respon orangtua tidak sesuai
dapat mengakibatkan hasil negatif. Jika orangtua mengambil
pendekatan yang terlalu longgar, Freud menyarankan bahwa-yg
mengusir kepribadian dubur dapat berkembang di mana individu
memiliki, boros atau merusak kepribadian berantakan. Jika orang
tua terlalu ketat atau mulai toilet training terlalu dini, Freud
percaya bahwa kepribadian kuat-analberkembang di mana
individu tersebut ketat, tertib, kaku dan obsesif.

3. Fase Phalic

Pada tahap phallic , fokus utama dari libido adalah pada alat
kelamin. Anak-anak juga menemukan perbedaan antara pria dan
wanita. Freud juga percaya bahwa anak laki-laki mulai melihat
ayah mereka sebagai saingan untuk ibu kasih sayang itu.
Kompleks Oedipusmenggambarkan perasaan ini ingin memiliki
ibu dan keinginan untuk menggantikan ayah.Namun, anak juga
kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah untuk perasaan
ini, takut Freud disebut pengebirian kecemasan.
Istilah Electra kompleks telah digunakan untuk menggambarkan
satu set sama perasaan yang dialami oleh gadis-gadis muda.

8
Freud, bagaimanapun, percaya bahwa gadis-gadis bukan iri
pengalaman penis.
Akhirnya, anak menyadari mulai mengidentifikasi dengan induk
yang sama-seks sebagai alat vicariously memiliki orang tua
lainnya. Untuk anak perempuan, Namun, Freud percaya bahwa
penis iri tidak pernah sepenuhnya terselesaikan dan bahwa semua
wanita tetap agak terpaku pada tahap ini. Psikolog seperti Karen
Horney sengketa teori ini, menyebutnya baik tidak akurat dan
merendahkan perempuan. Sebaliknya, Horney mengusulkan
bahwa laki-laki mengalami perasaan rendah diri karena mereka
tidak bisa melahirkan anak-anak.

4. Fase Latent

Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap


ada, tetapi diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual
dan interaksi sosial. Tahap ini sangat penting dalam
pengembangan keterampilan sosial dan komunikasi dan
kepercayaan diri.
Freud menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif
stabil. Tidak ada organisasi baru seksualitas berkembang, dan dia
tidak membayar banyak perhatian untuk itu. Untuk alasan ini,
fase ini tidak selalu disebutkan dalam deskripsi teori sebagai salah
satu tahap, tetapi sebagai suatu periode terpisah.

5. Fase Genital

9
Pada tahap akhir perkembangan psikoseksual, individu
mengembangkan minat seksual yang kuat pada lawan jenis.
Dimana dalam tahap-tahap awal fokus hanya pada kebutuhan
individu, kepentingan kesejahteraan orang lain tumbuh selama
tahap ini. Jika tahap lainnya telah selesai dengan sukses, individu
sekarang harus seimbang, hangat dan peduli. Tujuan dari tahap ini
adalah untuk menetapkan keseimbangan antara berbagai bidang
kehidupan.

E. Analisis Jurnal
Menurut hasil hasil penelitian (Suwarni, 2009) menunjukkan
bahwa perilaku seksual dapat terbentuk melalui 4 jalur. Pertama
yaitu melalui pengaruh monitoring parental secara langsung (sebesar
10,6%). Kedua yaitu pengaruh monitoring parental secara tidak
langsung melalui sikap tentang perilaku seksual pranikah dan niat
berperilaku seksual (9,28%). Ketiga yaitu pengaruh perilaku seksual
teman sebaya secara langsung (sebesar 20,2%). Keempat yaitu
pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara tidak langsung
melalui niat berperilaku seksual (sebesar 14,24%). Bila
dibandingkan pengaruh monitoring parental dengan perilaku teman
sebaya terhadap perilaku seksual remaja ternyata pengaruh perilaku
teman sebaya mempunyai pengaruh yang lebih kuat, sehingga jalur
yang paling kuat mempengaruhi variabel perilaku seksual remaja
adalah jalur dari perilaku seksual teman sebaya ke perilaku seksual
remaja baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hasil analisis dalam sebuah penelitian menyimpulkan bahwa
Kualitas komunikasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
perilaku seks bebas. Pengaruh negatif menunjukkan bahwa semakin
baik kualitas komunikasi akan semakin menurunkan perilaku seks
bebas. Artinya jika kualitas komunikasi antara orang tua dan anak

10
semakin baik maka perilaku seks bebas akan semakin berkurang.
(Evidanika Nifa Mertia, Thulus Hidayat, 2014)
Pada era modernisasi seperti ini keluarga terutama orang tua harus
bisa membagi peran dan waktu untuk anak-anaknya. Untuk menekan
pergaulan bebas di kalangan remaja tidak cukup hanya berupa
penanaman nilai keagamaan yang kuat. Akan tetapi dibutuhkan pen-
dampingan orang tua dalam segala hal, dengan tidak mengurangi
kebebasan dari seorang anak. Fungsi sosialisasi dan afeksi dalam
keluarga perlu ditumbuhkan kembali, mengingat keluarga adalah
salah satu lembaga sosial yang paling dasar yang berperan
membentuk karakter anak.

BAB III

11
PENUTUP

A. Kesimpulan
Meskipun diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan
dengan seks seringkali dianggap tabu, akan tetapi pendidikan seks
perlu dilakukan sejak usia dini dengan cara yang benar dan sesuai
dengan tahapan perkembangan anak. Pendidikan seks dapat
diberikan sejak anak mulai bertanya tentang seks. Misalnya ketika
bertanya tentang perbedaan alat kelaminnya dengan alat kelamin
milik adik. Ada beberapa alasan dan tujuan mengapa pendidikan
seks penting diajarkan sejak usia dini, di antaranya melalui
pendidikan seks. Strategi pendidikan seks oleh orangtua kepada anak
usia dini sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan dan
menyesuaikan kemampuan serta pemahaman anak sehingga bahasa
dan penyampaian juga perlu dipertimbangkan.
B. Saran
Pada era modernisasi seperti ini keluarga terutama orang tua harus
bisa membagi peran dan waktu untuk anak-anaknya. Untuk
menghindari periku kekerasan seksual anak dan pergaulan bebas
dikalangan remaja tidak cukup hanya berupa penanaman nilai
keagamaan yang kuat. Akan tetapi dibutuhkan pen-dampingan orang
tua dalam segala hal, dengan tidak mengurangi kebebasan dari
seorang anak. Fungsi sosialisasi dan afeksi dalam keluarga perlu
ditumbuhkan kembali, mengingat keluarga adalah salah satu
lembaga sosial yang paling dasar yang berperan membentuk karakter
anak.

DAFTAR PUSTAKA

12
Asekun-Olarinmoye, E. O., Dairo, M. D., & Adeomi, A. A. (2011). Parental
attitudes and practice of sex education of children in Nigeria.
International Journal of Child Health & Human Development, 4(3),
301–307 7p. Retrieved fromhttp://search.ebscohost.com/login.aspx?
direct=true&db=jlh&AN=108207368&site=ehost-live.

Crain, William. (2014). Teori perkembangan: Konsep dan aplikasi.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Evidanika Nifa Mertia, Thulus Hidayat, I. Y. (2014). Cluster Random


Sampling ., 51–52.

Goldman, J. D. G. (2007). Primary school student-teachers ’ knowledge and


understandings of child sexual abuse and its mandatory reporting.
International Journal of Eduational Research, 46, 368–381.
https://doi.org/10.1016/j.ijer.2007.09.002.

Hornor, G. (2010). Child Sexual Abuse : Consequences and Implications.


Journal of Pediatric Health Care, 24(6), 358–364.
https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2009.07.003

Irwansyah. 2010. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan untuk


Kelas X. Grafindo Media Pratama

Jatmikowati, T. E., Angin, R., & Ernawati. (2015). A Model And Material of
Sex Education For Early- Aged- Children. Cakrawala Pendidikan, (3),
434–448.

Kakavoulis, A. (1998). Early childhood sexual development and sex


education: A survey of attitudes of nursery school teachers. European
Early Childhood Education Research Journal, 37–41.
https://doi.org/10.1080/13502939885208241

Kenny, M. C., Reena, R., Ryan, E. E., & Runyon, M. K. (2008). Child
sexual abuse: From prevention to self-protection. Child Abuse Review,
17, 36–54. https://doi.org/10.1002/car.

Miller, D.F. (2010). Positive child guidance. Cengage: London.

MiltenBerger, R. G., & Thiesse-Duffy, E. (1988). Evaluation of Home-based


Programs for Teaching Personal Safety Skills to Children. Journal of
Applied Behavior Analysis, 1(1), 81–87.

Morawska, A., Walsh, A., Grabski, M., & Fletcher, R. (2015). Parental
confidence and preferences for communicating with their child about
sexuality. Sex Education, 15(3), 235–248.

13
https://doi.org/10.1080/14681811.2014.996213

Muslik Nawita, (2013), Bunda, Seks itu Apa ? Bagaimana Menjelaskan


Seks Pada Anak, Bandung: Yrama Widya.

Pop, M. V., & Rusu, A. S. (2015). The role of parents in shaping and
improving the sexual healtg of children-lines of developing parental
sexuality education programmes. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 395–401. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.210

Robinson, K. H., Smith, E., & Davies, C. (2017). Responsibilities, tensions


and ways forward: parents’ perspectives on children’s sexuality education.
Sex Education, 1–15. https://doi.org/10.1080/14681811.2017.1301904

Roqib, M. (2008). Pendidikan seks pada anak usia dini. Jurnal Pemikiran
Alternatif Pendidikan, 13(2), 1–12.

Roqib, M. (2018). Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini. INSANIA : Jurnal
Pemikiran Alternatif Kependidikan, 13(2), 271–286.
https://doi.org/10.24090/insania.v13i2.298

Services, N. C. (2004). Protecting God’s Children. United States of


America.XSuwarni, L. (2009). Monitoring Parental dan Perilaku
Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksual Remaja SMA di Kota
Pontianak. The Indonesian Journal of Health Promotion (Jurnal
Promosi Kesehatan Indonesia), 4(2), 127–133. Retrieved from
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jpki/article/view/2350/2072

http://bankdata.kpai.go.id. Diakses pada tanggal 27 Februari 2017

14

Anda mungkin juga menyukai