Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

Sebanding dengan meningkatnya prevalensi penderita diabetes melitus, angka


kejadian kaki diabetik, seperti: ulkus, infeksi dan gangren kaki serta artropati Charcot
semakin meningkat. Diperkirakan sekitar 15% penderita diabetes melitus (DM)
dalam perjalanan penyakitnya akan mengalami komplikasi ulkus diabetika terutama
ulkus kaki diabetika. Sekitar 14-24% di antara penderita kaki diabetika tersebut
memerlukan tindakan amputasi.(ADA,2015)
Kaki diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang
disebabkan oleh diabetes mellitus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya
kaki diabetik merupakan kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik,
insufisiensi vaskuler, serta infeksi. Penderita kaki diabetik yang masuk rumah sakit
umumnya disebabkan oleh trauma kecil yang tidak dirasakan oleh
penderita.(ADA,2015)
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetik sering mengecewakan, baik bagi dokter
pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Seringkali kaki diabetik
berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetik
masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena
selain kurangnya minat untuk mendalami masalah kaki diabetik, ketidaktahuan
masyarakat mengenai kaki diabetik juga masih sangat menyolok. Sebagai tambahan,
masalah biaya pengobatan yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada
umumnya juga menambah peliknya masalah kaki diabetik.(AHRQ,2011)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFENISI

Ulkus kaki diabetik merupakan komplikasi yang signifikan pada DM


dan paling sering menjadi faktor utama terjadinya amputasi pada ektremitas
bawah pada pasien DM (Frykberg, et al, 2006). Menurut Tambun dan Gultom
dalam Purwanti (2013) kaki diabetik merupakan kelainan pada tungkai bawah
akibat diabetes mellitus yang tidak terkendali.(Agoes,2010)
Dapat disimpulkan bahwa ulkus kaki diabetik merupakan kelainan atau
luka yang kompleks pada pasien DM yang dapat mengakibatkan amputasi
ekstremitas bawah, sehingga membutuhkan penanganan yang terbaik.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Hasil laporan lembaga penelitian kesehatan dan kualitas dunia pada
penderita DM yang menerima pelayanan medis prevalensi penderita ulkus kaki
diabetik berdasarkan usia pada tahun 2008 paling banyak pada interval usia >95
tahun (15,0%), berdasarkan jenis kelamin paling banyak diderita laki-laki (8,2%)
dibandingkan dengan perempuan (7,2%), sedangkan berdasarkan etnik, yang
paling banyak terdapat pada etnik Indian Amerika/Alaska (9,6%). (AHRQ, 2011)
Penderita DM lebih berisiko amputasi 15 kali dibandingkan non DM.
Diperkirakan 65 amputasi kaki disebabkan oleh diabetes setiap minggu di
Australia, selain itu penyakit kaki diabetik adalah penyebab paling umum
penderita diabetes masuk rumah sakit. Kemungkinan 38 kali lebih berisiko pada
2
orang Aborigin dibandingkan non-orang Aborigin (umur 25-49 tahun). Hingga 85
persen dari semua komplikasi kaki diabetik dapat dicegah dengan pendidikan dan
peningkatan kesadaran perawatan kaki diabetes (NDSS, 2011).
Berdasarkan laporan American Diabetes Association pada tahun 2010 di
Amerika, sekitar 60% dari 73.000 penderita diabetes non-traumatik mengalami
amputasi tungkai bawah pada usia >20 tahun.

2.3 FAKTOR RESIKO

Faktor risiko terjadinya kaki diabetik terdiri atas:


a. usia
Umur ≥ 60 tahun berkaitan dengan terjadinya ulkus diabetika
karena pada usia tua, fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena
proses aging terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga
kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian glukosa darah yang
tinggi kurang optimal (Hastuti, 2008).
b. Durasi penyakit Diabetes Melitus yang lama
Lamanya durasi DM menyebabkan keadaan hiperglikemia yang
lama. Keadaan hiperglikemia yang terus menerus menginisiasi
terjadinya hiperglisolia yaitu keadaan sel yang kebanjiran glukosa.
Hiperglosia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut
yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar
terbentuknya komplikasi kronik DM. Seratus pasien penyakit DM
dengan ulkus diabetikum, ditemukan 58% adalah pasien penyakit DM
yang telah menderita penyakit DM lebih dari 10 tahun (Roza, dkk,
2015).
c. Neuropati
3
Neuropati menyebabkan gangguan saraf motorik, sensorik dan
otonom. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki,
perubahan biomekanika kaki dan distribusi tekanan kaki terganggu
sehingga menyebabkan kejadian ulkus meningkat. Gangguan sensorik
disadari saat pasien mengeluhkan kaki kehilangan sensasi atau merasa
kebas. Rasa kebas menyebabkan trauma yang terjadi pada pasien
penyakit DM sering kali tidak diketahui. Gangguan otonom
menyebabkan bagian kaki mengalami penurunan ekskresi keringat
sehingga kulit kaki menjadi kering dan mudah terbentuk fissura. Saat
terjadi mikrotrauma keadaan kaki yang mudah retak meningkatkan
risiko terjadinya ulkus diabetikum. Menurut Boulton AJ pasien penyakit
DM dengan neuropati meningkatkan risiko terjadinya ulkus diabetikum
tujuh kali dibanding dengan pasien penyakit DM tidak neuropati (Roza,
dkk, 2015).
d. Penyakit arteri perifer
Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di
ektremitas bawah yang disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis
yang sering ditemui pada pasien PAD adalah klaudikasio intermitten
yang disebabkan oleh iskemia otot dan iskemia yang menimbulkan
nyeri saat istirahat. Iskemia berat akan mencapai klimaks sebagai
ulserasi dan gangren. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan
untuk deteksi PAD adalah dengan menilai Ankle Brachial Indeks (ABI)
yaitu pemeriksaan sistolik brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai
sistolik yang paling tinggi dibandingkan dengan nilai sistolik yang
paling tinggi di tungkai. Nilai normalnya dalah O,9 - 1,3. Nilai dibawah
0,9 itu diindikasikan bawah pasien penderita DM memiliki penyakit

4
arteri perifer (Roza, dkk, 2015).

e. Kontrol glikemik buruk


Kadar glukosa darah tidak terkontrol ( GDP > 100 mg/dl dan
GD2JPP >144 mg/dl) akan mengakibatkan komplikasi kronik jangka
panjang, baik makrovaskuler maupun mikrovaskuler salah satunya yaitu
ulkus diabetika (Hastuti, 2008).

f. Penggunaan alas kaki yang tidak tepat


Penderita diabetes tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena
tanpa menggunakan alas kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma
yang mengakibatkan ulkus diabetika, terutama apabila terjadi neuropati
yang mengakibatkan sensasi rasa berkurang atau hilang (Hastuti, 2008).

2.5 PATOFISIOLOGI

Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin


lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel
yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci
pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang
kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena
lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan
sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di
dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama
dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 disamping kadar
glukosa tinggi juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut
resistensi insulin.( Suyono, 2005, hlm 3).

5
Gambar 2.1 Anatomi pankreas
Sumber: Markus, 2018, Intestinal stem cell and the Na+-D-glucose transporter
SGLT1

sel endokrin bersatu bersama sel eksokrin menbentuk pulau kecil yang
disebut pulau Langerhans. Ada lima tipe sel yang menghasilkan berbagai
hormone dari system endokrin: glucagon diproduksi oleh sel α yang hadir 15-
20% dari total sel islet; amylin, C-peptida dan insulin diproduksi oleh sel β
yang hadir 65-80% dari total sel; pancreas polipeptida (PP) diproduksi oleh
sel γ yang hadir 3-5% dari total sel islet; somatostatin diproduksi oleh sel δ
yang hadir 3-10% dari total sel; dan ghrelin diproduksi oleh sel ε yang hadir
<1% dari selurh total sel islet. (Benjamin,2012)
Setiap hormon mempunyai fungs yang berbeda. Glukagon
meningkatkan kadar gula darah, sedangkan insulin menurunkannya.
Somatostatin menghambat pengeluaran glucagon dan insulin. PP meregulasi
aktivitas pancreas dalam mensekresi endokrin dan eksokrin. Ghrelin berperan
dalam meningkatkan nafsu makan saat tubuh kekurangan energy dengan

6
memberi sinyal lapar kepada hipotalamus dan mengurangi pengeluaran energi
dengan menurunkan katabolisme lemak. Pancreas mempertahankan kadar
gula darah dalam batas 4-6 mM dengan regulasi hemostasis glukosa oleh
hormone insulin dan glucagon. Selama tidur dan puasa, ketika gula darah
rendah, glukagon dilepaskan untuk merangsang gluconeogenesis untuk
meningkatkan gula darah endogen selama puasa. Sedangkan insulin
dilepaskan oleh sel β distimulasi oleh kadar gula darah eksogen. Insulin juga
menyebabkan glikogenesis, lipogenesis, dan perubahan asam amino menjadi
protein. (Benjamin,2012)

Gambar 2.2 regulasi hemostasis glukosa


Sumber: Markus, 2018, Intestinal stem cell and the Na+-D-glucose transporter
SGLT1

Ulkus diabetik disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut


trias yaitu : Iskemik, Neuropati, dan Infeksi. Pada penderita DM apabila

7
kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik
yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena adanya
penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson
menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya
reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa,
apabila diabetisi tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan menjadi
ulkus diabetika.(Benjamin,2012)

1. Vaskulopati
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh
karena kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan
kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi
jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya
denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya
terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya
dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi DM terjadi
ketidakrataan permukaan lapisan dalam arteri sehingga aliran
lamelar berubah menjadi turbulen yang berakibat pada
mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh
lumen arteri akan tersumbat dan manakala aliran kolateral tidak
cukup, akan terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas.12
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri
menebal dan menyempit karena penumpukan lemak pada bagian

8
dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat
mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah,
sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan
dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian
jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus diabetika. Proses
angiopati pada penderita Diabetes mellitus berupa penyempitan
dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada
tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian
distal dari tungkai menjadi berkurang kemudian timbul ulkus
diabetika.
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM
antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh
darah perifer yang terutama sering terjadi pada tungkai bawah.
Pada penderita muda, pembuluh darah yang paling awal
mengalami angiopati adalah arteri tibialis. Kelainan arteri akibat
diabetes juga sering mengenai bagian distal dari arteri femoralis
profunda, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri digitalis pedis.
Akibatnya perfusi jaringan distal dari tungkai menjadi kurang
baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang
menjadi nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak
jarang memerlukan amputasi.
Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit,
penebalan membrana basalis serta penurunan produksi
prostasiklin (vasodilator dan anti platelet aggregating agent)
akan memacu terbentuknya mikrotrombus dan penyumbatan
mikrovaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan timbulnya iskemia

9
organ dan/atau jaringan yang bersangkutan, termasuk serabut
saraf perifernya.
Pada penderita DM yang tidak terkendali akan
menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram
basalis arteri) pada pembuluh darah besar dan pembuluh kapiler
bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler sehingga
mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis
jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada
penderita DM yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C
yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan
oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi
penyumbatan yang menggangu sirkulasi jaringan dan
kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya timbul ulkus diabetika.
Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya
reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah
merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan
memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh
darah yang akan mengganggu sirkulasi darah. Penderita
Diabetes mellitus biasanya kadar kolesterol total, LDL,
trigliserida plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar
jaringan akan menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan,
merangsang reaksi peradangan yang akan merangsang terjadinya
aterosklerosis. Perubahan/inflamasi pada dinding pembuluh
darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh
darah, konsentrasi HDL (highdensity-lipoprotein) sebagai

10
pembersih plak biasanya rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu
hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap
aterosklerosis. Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi
jaringan menurun sehingga kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku
menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki
atau tungkai.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan vaskulopati
berupa disfungsi endotel melalui berbagai mekanisme antara
lain:
a) Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non
enzimatik dari protein dan makromolekul seperti DNA, yang
akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik dari protein
dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan
tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan NO
dan prostaglandin.
b) Hiperglikemia meningkatkan aktivasi PKC intraselular
sehingga akan menyebabkan gangguan NADPH pool yang
akan menghambat produksi NO.
c) Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel
endotel dan otot polos pembuluh darah sehingga akan
terjadi neovaskularisasi.
d) Hiperglikemia akan meningkatkan sintesis diacylglycerol
(DAG) melalui jalur glikolitik. Peningkatan kadar DAG
akan meningkatkan aktivitas PKC. Baik DAG maupun PKC
berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.

11
e) Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif.
Keadaan hiperglikemia akan meningkatkan tendensi untuk
terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oxidized
lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol (oxidized
LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Di samping itu
peningkatan kadar asam lemak bebas dan keadaan
hiperglikemia dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan
protein.
f) Hiperglikemia akan disertai dengan tendensi protrombotik
dan agregasi platelet. Keadaan ini berhubungan dengan
beberapa faktor antara lain penurunan produksi NO dan
penurunan aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan kadar
PAI-1. Di samping itu, pada DM tipe 2 terjadi peningkatan
aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti
pembentukan advanced glycosylation end products (AGEs)
dan penurunan sintesis heparin sulfat.
g) Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi
koagulasi dengan disfungsi endotel, namun aktivasi
koagulasi yang berulang dapat menyebabkan stimulasi yang
berlebihan dari sel-sel endotel sehingga akan terjadi
disfungsi endotel.
h) Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang
berlangsung secara kronik hingga menimbulkan gejala klinik
yang menurut Fontaine dibagi menjadi stadium sebagai
berikut: I. rasa kram/kebal, II. claudicatio intermitten,
III.resting pain, IV. iskemia/infark dan/atau gangren.

12
2. Neuropati
Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan
yang erat dengan patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik
pada fase awal menyerang saraf halus terutama di ujung-ujung
kaki. Hal ini disebut sebagai fenomena dying back, di mana ada
teori yang menyatakan bahwa semakin panjang saraf maka
semakin rentan untuk diserang. Jadi dibandingkan dengan
ekstremitas atas, ternyata ekstremitas bawah yang lebih dulu
terkena.
Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan aliran darah
dan hantaran oksigen pada serabut saraf (keadaan ini bersama
dengan proses jalur sorbitol dan mekanisme lain akan
mengakibatkan neuropati) juga akan menurunkan aliran darah ke
perifer sehingga aliran tidak cukup dan menyebabkan iskemia
dan bahkan gangren.
Neuropati diabetik disebabkan oleh gangguan jalur poliol
(glukosa  sorbitol  fruktosa) akibat kekurangan insulin.
Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa
serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati.
Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu
kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan
hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang
pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri,
parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan
gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon

13
dalam, kelemahan otot, dan atrofi. Neuropati dapat menyerang
saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf
saraf kranial, atau sistem saraf otonom. Terserangnya system
saraf otonom dapat disertai diare nokturnal, keterlambatan
pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural,
dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat
menderita infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga
dapat kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia
dan tidak menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia.

a) Neuropati motorik
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi
otot-otot intrinsik yang menimbulkan kelemahan pada
kaki dan keterbatasan gerak sendi akibat akumulasi
kolagen di bawah dermis hingga terjadi kekakuan
periartikuler. Deformitas akibat atrofi otot dan
keterbatasan gerak sendi menyebabkan perubahan
keseimbangan pada sendi kaki, perubahan cara berjalan,
dan menimbulkan titik tumpu baru pada telapak kaki
serta berakibat pada mudahnya terbentuk kalus yang
tebal (claw foot ). Seiring dengan berlanjutnya trauma,
di bagian dalam kalus tersebut mudah terjadi infeksi
yang kemudian berubah jadi ulkus dan akhirnya gangren.
Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik
akibat neuropati yang klasik dengan 4 tahap
perkembangan. Pertama, adanya riwayat trauma ringan

14
disertai kaki panas, merah dan bengkak. Kedua, terjadi
disolusi, fragmentasi, dan fraktur pada persendian
tarsometatarsal. ketiga, terjadi fraktur dan kolaps
persendian. Keempat, timbul ulserasi plantaris pedis.

b) Neuropati sensorik
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan
penderita kehilangan daya kewaspadaan proteksi kaki
terhadap rangsangan dari luar. Nilai ambang proteksi
dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf
sensoris kaki. Pada keadaan normal sensasi yang
diterima menimbulkan refleks untuk meningkatkan
reaksi pertahanan dan menghindarkan diri dari
rangsangan yang menyakitkan dengan cara mengubah
posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang
lebih besar. Sebagian impuls akan diteruskan ke otak dan
di sini sinyal diolah kemudian respon dikirim melalui
saraf motorik.
Pada penderita DM yang telah mengalami
neuropati perifer saraf sensorik (karena gangguan
pengantaran impuls), pasien tidak merasakan dan tidak
menyadari adanya trauma kecil namun sering. Pasien
tidak merasakan adanya tekanan yang besar pada telapak
kaki. Semuanya baru diketahui setelah timbul infeksi,
nekrosis, atau ulkus yang sudah tahap lanjut dan dapat
membahayakan keselamatan pasien.

15
Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat
terjadi pada pasien DM, seperti: (1)Tekanan rendah
tetapi terus menerus dan berkelanjutan (luka pada tumit
karena lama berbaring, dekubitus). (2) Tekanan tinggi
dalam waktu pendek (luka, tertusuk jarum/paku). (3)
Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas
pada kaki).
c) Neuropati otonom
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang
berperan terutama adalah akibat kerusakan saraf
simpatik. Gangguan saraf otonom ini mengakibatkan
perubahan aliran darah, produksi keringat berkurang atau
tidak ada, hilangnya tonus vasomotor, dan lain-lain. 12
Neuropati otonom mengakibatkan produksi
keringat berkurang terutama pada tungkai yang
menyebabkan kulit penderita mengalami dehidrasi,
kering, dan pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi
lalu selanjutnya timbul selulitis, ulkus, maupun gangren.
Selain itu neuropati otonom juga menyebabkan
terjadinya pintas arteriovenosa sehingga terjadi
penurunan nutrisi jaringan yang berakibat pada
perubahan komposisi, fungsi, dan sifat viskoelastisitas
sehingga daya tahan jaringan lunak dari kaki akan
menurun dengan akibat mudah terjadi ulkus.

16
3. Fokus infeksi
Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat
menyebar melalui jalur muskulofasial. Selanjutnya infeksi
menyerang kapsul/sarung tendon dan otot, baik pada kaki
maupun pada tungkai hingga terjadi selulitis. Kaki diabetik
klasik biasanya timbul di atas kaput metatarsal pada sisi plantar
pedis. Sebelumnya, di atas lokasi tersebut terdapat kalus yang
tebal dan kemudian menyebar lebih dalam dan dapat mengenai
tulang. Akibatnya terjadi osteomielitis sekunder. Sedangkan
kuman penyebab infeksi pada penderita diabetes biasanya
multibakterial yaitu gram negatif, gram positif, dan anaerob
yang bekerja secara sinergi.
Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta
mudah terbentuk gangren yang selanjutnya merupakan ancaman
hilangnya kaki. Di samping itu, 50% dari kasus ulkus/gangren
diabetes akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan
gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri patogen.
Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan
jadi lebih serius. Hal ini disebabkan karena pada infeksi akan
disekresi hormon kontra insulin (seperti katekolamin, kortisol,
homon pertumbuhan, dan glukagon) yang menyebabkan
meningkatnya kadar gula darah. Peningkatan kadar gula darah
juga menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan gangguan
sistem imunologi. Sebagaimana diketahui, dalam melaksanakan
fagositosis sel PMN membutuhkan energi dari glukosa eksogen
untuk mempertahankan aktivitasnya. Dengan bantuan insulin

17
yang melekat erat pada sel PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai
sebagai sumber energi. Sumber energi ini akan berkurang pada
pasien diabetes yang mengalami kekurangan insulin.

2.6 GEJALA KLINIS


Gejala-gejala yang diakibatkan oleh adanya neuropati perifer antara
lain: (Waspadji,20019)
1. Hypesthesia
2. Hyperesthesia
3. Paraesthesia
4. Dysesthesia
5. Radicular pain
6. Anhydrosis

Gejala akibat insufisiensi arteri perifer berupa nyeri iskemik pada saat
istirahat, ulkus yang tidak sembuh. Rasa kram arau kelelahan pada otot-otot
besar pada salah satu atau kedua ekstremitas bawah yang timbul pada saat
berjalan dalam jarak tertentu, yang mengindikasikan adanya klaudikasio
intermitten. Gejala ini bertambah pada saat beraktivitas dan membaik dengan
istirahat selama beberapa menit. Onset dari klaudikasio dapat terjadi lebih
dini apabila pasien sering berjalan cepat atau menaiki tangga. Rasa tidak
nyaman, kram atau kelemahan pada betis atau kaki sering terjadi pada
penderita kaki diabetis, karena cenderung terjadi oklusi aterosklerosis
tibioperoneal. Atrofi otot-otot betis mungkin juga terjadi. Gejala-gejala yang
timbul pada paha, mengindikasikan adanya oklusi aorta iliaca.
(Waspadji,20019)

18
Nyeri pada saat beristirahat jarang terjadi pada penderita diabetes.
Pada beberapa kasus, fissure, ulkus atau kulit pecah-pecah merupakan tanda
awal telah terjadinya penurunan perfusi. Ketika penderita diabetes datang
dengan gangren hal tersebut sering merupakan akibat dari infeksi.
(Waspadji,20019)

2.7 KLASIFIKASI

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dengan yang


sederhana seperti klasifikasi Edmonds dari Kings’s College Hospital
London, klasifikasi Liverpool yang sedikit lebih rewet, sampai klasifikasi
Wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan kaki diabetes, dan juga
klasifikasi Texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu kepada
pengelolaan kaki diabetes (Waspadjl, 2009).
1. Klasifikasi wagner

Gambar 2.3
derajat wagner kaki diabetes
Sumber: Quraysh, 2018, risk factor in amputation in diabetic foot
infections

19
Derajat 0 : Kulit utuh
Derajat 1: Ulkus superficial
Derajat 2 : Ulkus dalam sampai tendon, tulang
Derajat 3 : ulkus dalam dengan osteomielitis
Derajat 4 : Ulkus dengan gangren pada 1-2 jari kaki (distal)
Derajat 5 : Ulkus dengan gangren luas seluruh kaki

2. Klasifikasi PEDIS

P : Perfusi terganggu
1. Tidak ada gangguan perfusi
2. Ada perifer arterial disease tetapi tak kritis
3. Ishemia yang membuat perfusi kaki kritis
E : Extent in mm2 : luas yang terkena mm2
D : Depth : jaringan yang hilang
1. Superficial tak mencapai dermis.
2. Ulkus dalam, dibawah dermis, fascia, otot atau tendon.
3. Semua jaringan, tulang dan sendi.

I : Infeksi
1. tak ada tanda infeksi
2. Infeksi di kulit
3. Eritema > 2 cm, infeksi subcutan. Tidak ada infeksi
sistemik
4. Infeksi sistemik
S : Sensasi

20
1. Tak ada gangguan sensasi
2. Ada gangguan sensasi

3. Klasifikasi TEXAS

STADIUM 0 1 2 3
A tanpa tukak Luka luka sampai luka sampai
atau pasca superfisial, tendon atau tulang/
tukak, kulit Tidak kapsul sendi sendi
intak/utuh Sampai
Tulang tendon atau
kapsul sendi
B --------------------DENGAN INFEKSI-------------------
C --------------------DENGAN ISKEMIA------------------
D ---------DENGAN INFEKSI DAN ISKEMIA----------

2.8 DIAGNOSA

Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti. Diagnosis kaki


diabetik ditegakkan oleh riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang (Sari, 2012).
a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi : lama diabetes;
managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet, olahraga dan obat-
obatan; evaluasi dari jantung, ginjal dan mata; alergi; pola hidup,
medikasi terakhir; kebiasaan merokok dan minum alkohol. Selain itu,
yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki, pernah
21
terekspos dengan zat kimia, adanya kallus dan deformitas, gejala
neuropati dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah
adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman,
penampakan ulkus, temperatur dan bau.

b. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status
kulit seperti warna, turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat;
adanya infeksi dan ulserasi; ada kalus atau bula; bentuk kuku;
adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap dan
postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk
clawtoe atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon;
cara berjalan; kekuatan kaki.
2. Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen
ditambah dengan tunningfork 128-Hz, pinprick sensation, reflek
kaki untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi.
3. Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut
nadi pada arteri kaki, capillary refilingl time, perubahan warna,
atropi kuit dan kuku dan pengukuran ankle-brankhial index
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status
klinis pasien, yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa
atau sewaktu, glycohemoglobin (HbA1c), Complete blood Count (CBC),
urinalisis, dan lain- lain.
d. Pemeriksaan penunjang

22
Pemeriksaan penunjang meliputi X-ray, EMG dan pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi
dan menentukan kuman penyebabnya.

2.9 DIAGNOSA BANDING

Infeksi skeletal dan jaringan lunak kaki tidak terbatas hanya


disebabkan oleh diabetes mellitus. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan
beberapa kondisi yang dapat menjadi diagnosis banding, sehubungan dengan
infeksi dan struktur yang mengenainya. (Bilous,2014)
a. Buerger Disease (Thromboangiitis Obliterans)
b. Trombophlebitis superficial  selulitis
c. Sarcoid arthritis  OM akut
d. Ca sel skuamosa  OM kronis

2.10 PENATALAKSANAAN
DM jika tidak dikelola dengan baik akan dapat menyebabkan
terjadinya berbagai komplikasi kronik diabetes salah satunya adalah
terjadinya ulkus diabetik. Jika keadaan gula darah selalu dapat dikendalikan
dengan baik diharapkan semua komplikasi yang akan terjadi dapat dicegah
paling tidak dihambat.(Soegondo,2013)
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki
diabetik dan terjadinya ulkus, bertujuan untuk mencegah
timbulnya perlukaan pada kulit. Pencegahan primer ini juga
merupakan suatu upaya edukasi kepada para penyandang DM baik

23
yang belum terkena kaki diabetik, maupun penderita kaki diabetik
untuk mencegah timbulnya luka lain pada kulit.
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkna
risiko terjadinya dan risiko besarnya masalah yang mungkin
timbul. Penggolongan kaki diabetik berdasarkan risiko terjadinya
masalah (Frykberg) yaitu:
1) Sensasi normal tanpa deformitas
2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3) Insensitivitas tanpa deformitas
4) Iskemia tanpa deformitas
5) Kombinasi/complicated
a) Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas
b) Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.

Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut.


Untuk kaki yang insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar,
untuk melindungi kaki yang insensitif tersebut. Jika sudah ada
deformitas, perlu perhatian khusus mengenai alas kaki yang
dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk
kasus dengan permasalahan vaskular, latihan kaki perlu
diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk
ulkus yang complicated, akan dibahas lebih lanjut pada upaya
pencegahan sekunder.

2. Pencegahan Sekunder

24
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-
disipliner sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani
dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal
dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola
bersama.
a) Kontrol Mekanik
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya
perubahan weight-bearing area pada plantar pedis.
Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar
tersebut. akan rentan terhadap timbulnya luka. Berbagai
cara untuk mencapai keadaan weight-bearing dapat
dilakukan antara lain dengan removable cast walker,
total contant casting, temporary shoes, felt padding,
crutches, wheelchair, electric carts, maupun cradled
insoles.
Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk
mengurangi tekanan pada luka, seperti dekompresi
ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi
bedah (misalnya operasi untuk hammer toe, metatarsal
head resection , Achilles tendon lengthening, dan
partial calcanectomy).
b) Kontrol Luka
Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan
untuk mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan
salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer,
senyawa perak sebagai bagian dari dressing, dll.

25
Demikian pula berbagai cara debridement non surgikal
dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan
jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim.
Selama proses inflamasi masih ada, proses
penyembuhan luka tidak akan beranjak pada proses
selanjutnya, yaitu proses granulasi dan epitelisasi.
Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan
luka, dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan
salin. Cara tersebut saat ini umum dipakai di berbagai
tempat perawatan kaki diabetik.
c) Kontrol Mikrobiologik
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki
secara berkala untuk setiap daerah yang berbeda.
Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan
dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai
acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman
yang polimikrobial, campuran Gram positif dan Gram
negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan
berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian
antibiotik harus diberikan antibiotik spektrum luas,
mencakup kuman Gram positif dan negatif (misalnya
golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat
yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (misalnya
metronidazol).

26
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil
kultur kuman. Namun sebelum hasil kultur dan
sensitifitas kuman tersedia antibiotika harus segera
diberikan secara empiris pada kaki diabetik yang
terinfeksi. Antibiotika yang disarankan pada kaki
diabetik terinfeksi. Pada ulkus diabetika ringan/sedang
antibiotika yang diberikan di fokuskan pada patogen
gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or
life threatening infection) kuman lebih bersifat
polimikrobial (mencakup bakteri gram positif
berbentuk coccus, gram negatif berbentuk batang, dan
bakteri anaerob) antibiotika harus bersifat
broadspectrum, diberikan secara injeksi. Pada infeksi
berat yang bersifat limb threatening infection dapat
diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti:
ampicillin/sulbactam, ticarcillin/clavulanate,
piperacillin/tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime +
clindamycin,fluoroquinolone + clindamycin.
d) Kontrol Vaskular
Jika mengacu pada berbagai penelitian yang
sudah dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis di
tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti
aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan
bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh
darah kaki penyandang DM; tetapi sampai saat ini
belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan

27
pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi
pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM.
e) Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan
diperbaiki. Kadar glukosa darah diusahakan agar selalu
senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor
terkait hiperglikemia yang dapat menghambat
penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk
menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus
diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan
membantu kesembuhan uka. Berbagai hal lain juga
harus diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar
albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi
jaringan serta fungsi ginjal.

2.11 PROGNOSIS
Ada tiga faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi
pada kaki diabetik. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang
menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik hingga mekanisme radang
menjadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang
subur untuk perkembangan bakteri patogen; dan faktor ketiga ialah karena
adanya pintas arteriovenosa di subkutis yang terbuka hingga aliran nutrien
tidak sampai ke tempat infeksi. (Purwanti,2013)
Selain ketiga faktor di atas, masih banyak faktor lain yang ikut
berpengaruh dalam terbentuknya kaki diabetik. Waspadji menyatakan
bahwa faktor pendidikan, sosioekonomi, dan gizi juga punya andil cukup

28
besar. Pendidikan dan sosioekonomi yang rendah terkait dengan
pengetahuan yang kurang mengenai diabetes mellitus dan pencegahan
komplikasinya serta kemampuan finansial akan mempengaruhi pengelolaan
diabetes mellitus yang dideritanya. Status gizi yang rendah memiliki
keterkaitan dengan rendahnya respon imun sehingga mempermudah
terjadinya infeksi. (Purwanti,2013)
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Syamdiah

Umur : 49 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS

No.RM : 117037

Alamat : Kute Panang, Aceh Tengah

Tanggal Masuk : 20-05-2019

3.2 ANAMNESIS
29
a. Keluhan Utama
Bejolan berisi cairan di kaki kanan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Datu Beru Takengon dengan keluhan adanya
benjolan yang berisi cairan di punggung kaki kanan sejak kurang lebih 3
minggu lalu. Awalnya, benjolan berisi cairan muncul di bawah jari kelingking
kaki kanan sebesar biji jagung, namun lama-kelamaan benjolan tersebut
membesar hingga saat ini hampir menutupi seluruh punggung kaki kanan.
Riwayat trauma sebelumya pada bagian kaki tersebut tidak ada. Warna
benjolan tersebut kemerahan dan berkulit tipis. Benjolan berisi cairan tersebut
tidak terasa sakit maupun gatal. Jari keempat kaki kanan pasien juga tampak
membiru sejak 2 minggu Sensasi raba pada jari tersebut juga tidak terasa.
Pasien mengaku mengalami demam 4 hari yang lalu. Demam tinggi serta
menggigil dan turun dengan pemberian paracetamol. Sejak 10 tahun terakhir,
pasien sering merasakan BAK lebih sering pada malam hari, sering merasa
haus meskipun sudah banyak minum, dan cepat merasa lapar walau sudah
makan dengan cukup. Pasien juga sering merasakan kebas serta kesemutan
pada kedua kaki dan ujung jari tangan yang hilang timbul. Saat kaki pasien
menapak ke lantai yang kasar, pasien kurang merasakan tekstur lantai. Pasien
juga mengalami penurunan berat badan selama kurang lebih 5 tahun ini,
sebelumnya pasien mempunyai berat badan sekitar 60 kg dan sekarang bedan
badan sekitar 45 kg. Saat melakukan aktifitas sehari-hari pasien merasa lemah
dan tidak bertenaga. BAB dalam batas normal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

30
Sebelumnya pasien pernah di diagnose diabetes mellitus 10 tahun lalu saat
periksa kesehatan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah kandung pasien mengalami diabetes mellitus
e. Riwayat Penggunaan Obat
Pada 10 tahun lalu pasien pernah mengonsumsi obat oral DM dari dokter
selama sebulan lalu pasien mengonsumsi obat herbal sampai sekarang.
f. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien mempunyai kebiasaan mengonsumsi teh manis setiap pagi hari, dan
suka mengonsumsi makanan dan minuman manis lainnya tanpa terkontrol.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, dan tampak lemas saat dilakukan
anamnesis. Pasien cukup kooperatif dan komunikatif dalam menjawab
pertanyaan.
2. Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 118/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Laju Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,4 oC
Skala Nyeri :0

3. Status Generalis

31
Kepala : Normochepali
Mata : Cekung (-), RCL(+/+), RCTL (+/+), konjuntiva
palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Tanda radang (-/-), pengeluaran secret (-/-), fungsi
pendengaran dalam batas normal
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), rhinorrhea (-/-), nyeri tekan
sinus (-), deformitas septum nasi (-)

Mulut
 Bibir : Sianosis (-)
 Gigi geligi : Karies (-)
 Lidah : Atrofi papil (-), tremor (-)
 Mukosa : Basah (+)
 Tenggorokan : Tonsil T1/T1
 Faring : Hiperemis (-)

Leher : Kesan simetris (+), pembesaran KGB (-), pembesaran


okelenjar tiroid (-), peningkatan TVJ (-)

Thorax

Paru Dextra Sinistra

Depan

Inspeksi Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis


Palpasi Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Pelebaran ICS (-) Pelebaran ICS (-)

32
Stem fremitus dekstra = Stem fremitus dekstra =
Perkusi sinistra sinistra
Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang
paru paru
Auskultasi
Suara dasar vesikuler Suara dasar vesikuler
Ronki (-), Wheezing (-) Ronki (-), Wheezing (-)

Belakang

Inspeksi Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis


Palpasi Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Pelebaran ICS (-) Pelebaran ICS (-)
Stem fremitus dekstra = Stem fremitus dekstra =
sinistra sinistra

Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang


Perkusi
paru paru

Auskultasi Suara dasar vesikuler Suara dasar vesikuler


Ronki (-), Wheezing (-) Ronki (-), Wheezing (-)

Cor

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat


Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi Batas atas : ICS IIIlinea midclavicula sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra

33
Batas Kiri : ICS V linea midclaviula sinistra
Auskultasi BJ I > BJ II, reguler, gallop(-)

Abdomen

Inspeksi Simetris, distensi (-), collateral vein (-), caput medusa (-)
Auskultasi Peristaltik usus (+) dalam batas normal (4-6 kali/menit)
Palpasi Nyeri tekan (+), soepel (+), hepar, lien, ren tidak teraba
Perkusi Timpani (+)

Ekstremitas
 Ekstremitas Atas
Warna : kuning langsat
Edema : (-/-)
Sendi : nyeri (-/-)
Suhu : teraba hangat
Pucat : (-/-)
Eritema palmar : (-/-)
Jari tabuh : (-/-)
Tremor : (-/-)
Deformitas : (-/-)
Kekuatan : 5/5
 Ekstremitas Bawah
Warna : kuning langsat
Edema : (-/-)

34
Sendi : nyeri (-/-)
Suhu : teraba hangat
Pucat : (-/-)
Eritema palmar : (-/-)
Jari tabuh : (-/-)
Tremor : (-/-)
Deformitas : (-/-)
Kekuatan : 5/5

Genitalia dan Anus


Tidak dilakukan pemeriksaan

4. Status Lokalis
Status lokalis a/r dorsum pedis dextra
Look : bulla ukuran 5x10cm, eritema
Feel : nyeri tekan (-)

Status lokalis a/r digiti IV pedis dextra


Look : sianosis
Feel : sensasi raba (-)

35
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin (20-05-2019)

Darah Rutin Hasil Nilai Normal

HGB 10.4 g/Dl 12,3-15,3 g/Dl

RBC 3.69.106/Ul 4,1-5,1.106/Ul

HCT 29.8 % 34,0-47,0 %

MCV 80.7 Fl 80,0-97,0

MCH 28.2 pg 26,5-33,5

MCHC 34.9 g/Dl 31,5-35,0

RDW 10.0 % 11,5-14,5

WBC 5,51.103/Ul 5,0-10,03/Ul

EO 0,9 % 1-6

BASO 0,5 % 0-1

NEUT 54,0% 50-70

LYMPH 1.56 % 25-40

MONO 1.81 % 2-8

36
PLT 308 103/ Ul 150- 450. 103/ Ul

Cloting time 6 4-15

Bleeding time 3 3-7

Golongan Darah AB

Fungsi ginjal
Ureum : 85 mg/dl
Kreatinin : 1.4 mg/dl

3.5 DIAGNOSIS BANDING


 Burger disease
 Senile gangren

3.6 DIAGNOSIS UTAMA


Ulcus diabeticum pedis dextra wagner III – V + DM tipe II + sepsis

3.7 TERAPI
- IVFD Nacl 0,9% I
- IVFD Assering III
- inj ketorolac 1 gr/12 jam
- inj ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
- inj ranitidine 1 amp/12 jam

37
- inj meropenem 1 gr/24 jam
-inf metronidazole 00mg/8 jam
- inj ondancentron 1 amp/ 12 jam
- inj lapibial 1 amp/ 12 jam
-sp insulin 2 unit/jam
-transfusi WB 2 bag
-transfusi PRC 1 bag

3.8 PROGNOSIS
Dubia ad malam

3.9 FOLLOW UP HARIAN

21/5/19 S: benjolan pada kaki kanan Th:


H-1 demam Diet DM
IVFD Assering 20 gtt/i
O: ku: baik Inj meropenem 1 gr/24 jam
GCS: 15 Inj ketorolac 1gr/12 jam
TD : 100/70 mmHg Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
HR: 87 x/i Inf metronidazole 500mg/8jam
RR: 22x/i Inj ondansentron 1 amp/12 jam
T : 39,4 °C Inj ranitidine 1 amp/12 jam
Inj lapibial 500mg/8 jam
KGD: 215 mg/dl Insulin Humalog 6-6-6

38
Status lokalis a/r dorsum pedis
dextra
Look : bulla ukuran 5x10cm,
eritema
Feel : nyeri tekan (-)

Status lokalis a/r digiti IV pedis


dextra
Look : sianosis
Feel : sensasi raba (-)

A: Ulcus diabeticum pedis dextra


wagner III – V + DM tipe II +
sepsis

22/5/19 S: benjolan pada kaki kanan Th:


H-2 Demam (-) Diet DM
IVFD Assering 20 gtt/i
O: ku: baik Inj meropenem 1 gr/24 jam
GCS: 15 Inj ketorolac 1gr/12 jam
TD : 110/80 mmHg Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
HR: 86 x/i Inf metronidazole 500mg/8jam
RR: 20x/i Inj ondansentron 1 amp/12 jam
T : 36,6 °C Inj ranitidine 1 amp/12 jam
Inj lapibal 500mg/8 jam
39
KGD: 555 mg/dl Insulin Humalog 12-12-12

Status lokalis a/r dorsum pedis


dextra
Look : bulla ukuran 5x10cm,
eritema
Feel : nyeri tekan (-)

Status lokalis a/r digiti IV pedis


dextra
Look : sianosis
Feel : sensasi raba (-)

A: Ulcus diabeticum pedis dextra


wagner III – V + DM tipe II +
sepsis

23/5/19 S: benjolan pada kaki kanan pecah Th:


H-3 Demam (-) Diet DM
IVFD Assering 20 gtt/i
O: ku: baik Inj meropenem 1 gr/24 jam
GCS: 15 Inj ketorolac 1gr/12 jam
TD : 100/80 mmHg Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
HR: 84 x/i Inf metronidazole 500mg/8jam
RR: 20x/i Inj ondansentron 1 amp/12 jam
T : 36,3 °C Inj ranitidine 1 amp/12 jam
40
Inj lapibal 500mg/8 jam
KGD: 450 mg/dl Insulin Humalog 12-12-12

Rawat luka dengan necrotomi,


Status lokalis a/r dorsum pedis tabor nebacitin, tutup, kompres
metronidazole
dextra
Look : bulla ukuran 5x10cm,
eritema
Feel : nyeri tekan (-)

Status lokalis a/r digiti IV pedis


dextra
Look : sianosis
Feel : sensasi raba (-)

A: Ulcus diabeticum pedis dextra


wagner III – V + DM tipe II +
sepsis

24/5/19 S: benjolan pada kaki kanan mulai Th:


H-4 kempes Diet DM
Demam (-) IVFD Assering 20 gtt/i
Inj meropenem 1 gr/24 jam
O: ku: baik Inj ketorolac 1gr/12 jam
GCS: 15 Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD : 100/80 mmHg Inf metronidazole 500mg/8jam
HR: 84 x/i Inj ondansentron 1 amp/12 jam
41
RR: 20x/i Inj ranitidine 1 amp/12 jam
T : 36,3 °C Inj lapibal 500mg/8 jam
Insulin Humalog 12-12-12
KGD: 207 mg/dl
Debridement besok jika gula
terkendali
Status lokalis a/r dorsum pedis
dextra
Look : ulcus
Feel : nyeri tekan (-)

Status lokalis a/r digiti IV pedis


dextra
Look : sianosis
Feel : sensasi raba (-)

A: Ulcus diabeticum pedis dextra


wagner III – V + DM tipe II +
sepsis

25/5/19 S: benjolan pada kaki kanan mulai Th:


H-5 kempes Diet DM
Demam (-) IVFD Assering 20 gtt/i
Inj meropenem 1 gr/24 jam
O: ku: baik Inj ketorolac 1gr/12 jam
GCS: 15 Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD : 110/70 mmHg Inf metronidazole 500mg/8jam
42
HR: 80 x/i Inj ondansentron 1 amp/12 jam
RR: 20x/i Inj ranitidine 1 amp/12 jam
T : 36,3 °C Inj lapibal 500mg/8 jam
Insulin Humalog 12-12-12
KGD: 201 mg/dl
GV per hari dengan kassa
campur betadine, burnazine,
NACL
Status lokalis a/r dorsum pedis
dextra
Look : ulcus
Feel : nyeri tekan (-)

Status lokalis a/r digiti IV pedis


dextra
Look : sianosis
Feel : sensasi raba (-)

A: Ulcus diabeticum pedis dextra


wagner III – V + DM tipe II +
sepsis

26/5/19 S: luka pada kaki kanan Th:


H-6 Demam (-) Diet DM
IVFD Assering 20 gtt/i
O: ku: baik Inj meropenem 1 gr/24 jam
GCS: 15 Inj ketorolac 1gr/12 jam
TD : 100/80 mmHg Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
43
HR: 84 x/i Inf metronidazole 500mg/8jam
RR: 20x/i Inj ondansentron 1 amp/12 jam
T : 36,3 °C Inj ranitidine 1 amp/12 jam
Inj lapibal 500mg/8 jam
KGD: 207 mg/dl Insulin Humalog 12-12-12

Status lokalis a/r dorsum pedis


dextra
Look : ulcus
Feel : nyeri tekan (-)

Status lokalis a/r digiti IV pedis


dextra
Look : sianosis
Feel : sensasi raba (-)

A: Ulcus diabeticum pedis dextra


wagner III – V + DM tipe II +
sepsis

26/5/19 S: luka pada kaki kanan Th


Diet DM
H-6 Demam (-)
IVFD Assering 20 gtt/i
Inj meropenem 1 gr/24 jam
O: ku: baik
Inj ketorolac 1gr/12 jam
GCS: 15
Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD : 110/70 mmHg
44
HR: 80 x/i Inf metronidazole 500mg/8jam
RR: 20x/i Inj ondansentron 1 amp/12 jam
T : 36,3 °C Inj ranitidine 1 amp/12 jam
Inj lapibal 500mg/8 jam
KGD: 201 mg/dl Insulin Humalog 8-8-8

Amputasi digiti IV pedis


Status lokalis a/r dorsum pedis dextra besok
dextra
Look : ulcus
Feel : nyeri tekan (-)

Status lokalis a/r digiti IV pedis


dextra
Look : sianosis
Feel : sensasi raba (-)

A: Ulcus diabeticum pedis dextra


wagner III – V + DM tipe II +
sepsis

27/5/19 S: luka pada kaki kanan Th


Diet DM
H-7 Demam (-)
IVFD Assering 20 gtt/i
Inj meropenem 1 gr/24 jam
O: ku: baik
Inj ketorolac 1gr/12 jam
GCS: 15
Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD : 110/70 mmHg
45
HR: 80 x/i Inf metronidazole 500mg/8jam
RR: 20x/i Inj ondansentron 1 amp/12 jam
T : 36,3 °C Inj ranitidine 1 amp/12 jam
Inj lapibal 500mg/8 jam
KGD: 201 mg/dl Insulin Humalog 8-8-8

Status lokalis a/r dorsum pedis


dextra
Look : ulcus
Feel : nyeri tekan (-)

A: Ulcus diabeticum pedis dextra


wagner III – V + DM tipe II +
sepsis

28/5/19 S: luka pada kaki kanan Th


Diet DM
H-8 Demam (-)
IVFD Assering 20 gtt/i
Inj meropenem 1 gr/24 jam
O: ku: baik
Inj ketorolac 1gr/12 jam
GCS: 15
Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD : 110/70 mmHg
Inf metronidazole 500mg/8jam
HR: 80 x/i
Inj ondansentron 1 amp/12 jam
RR: 20x/i
Inj ranitidine 1 amp/12 jam
T : 36,3 °C
Inj lapibal 500mg/8 jam
KGD: 214 mg/dl
Insulin Humalog 8-8-8

46
Status lokalis a/r dorsum pedis Amputasi digiti IV pedis
dextra
Look : ulcus
Feel : nyeri tekan (-)
A: Ulcus diabeticum pedis dextra
wagner III – V + DM tipe II +
sepsis

47
BAB IV
KESIMPULAN

Salah satu komplikasi penyakit diabetes melitus yang sering dijumpai adalah
kaki diabetik, yang dapat bermanifestasikan sebagai ulkus, infeksi dan gangren dan
artropati Charcot. Sekitar 15% penderita diabetes melitus (DM) dalam perjalanan
penyakitnya akan mengalami komplikasi ulkus diabetika terutama ulkus di kaki.
Sekitar 14-24% di antara penderita kaki diabetika tersebut memerlukan tindakan
amputasi. Risiko amputasi terjadi bila ada faktor; neuropati perifer, deformitas tulang,
insufisiensi vaskular, riwayat ulkus/ amputasi dan gangguan patologi kuku berat.

Lebih dari 90% ulkus akan sembuh apabila diterapi secara komprehensif dan
multidisipliner, melalui upaya; mengatasi penyakit komorbid,
menghilangkan/mengurangi tekanan beban (offloading), menjaga luka agar selalu
lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen, revaskularisasi dan tindakan bedah
elektif, profilaktik, kuratif atau emergensi sesuai dengan indikasi,

Pada penatalaksanaan umum pasien diharapkan memperbaiki status gizi,


meletakkan tungkai lebih tinggi dari kepala saat berbaring, hindari dingin dan hindari
rokok. Sedangkan penatalaksanaan khusus terdiri dari pengobatan sistemik dan
topikal.

48
DAFTAR PUSTAKA

ADA, 2015. Diabetes Management Guidelines AIC Diagnosis/NDEI.


Diakses pada tanggal 5 juni 2019 dari www.ndei.org.

AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality), 2011. Prevalence


of Diabetes, Diabetic Foot Ulcer, and Lower Extremity
Amputation Among Medicine Beneficaries 2006 to 2008. Diakses
pada tanggal 5 juni 2019 dari www.effectivehealthcare.ahrq.gov.

Agoes, Azwar, dkk, 2010. Penyakit di Usia Tua. Penerbit EGC, Jakrta.

Anggriawan, Ferry, dkk. 2014. Identifikasi Bakteri Batang Gram Negatif


Penghasil Extended Spectrum β Lactamase (ESBL) Dari Ulkus
Diabetikum Derajat I dan II Waigner Di Bangsal Penyakit Dalam
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Diakses pada 5 juni 2019
dari www.portalgaruda.org.

Aulia, Nanang Fitra, 2008. Pola Kuman Aerob dan Sensitifitas Pada
qqqqqqGanggren Diabetik. Tesis Mahasiswa FK Universitas Sumatera
bbbbb Utara, Medan.

49
Benjamin A. L., dkk. 2012 Infectious Disease Society of America Clinical
Practice Guideline for the Diagnosis and Treatment of Diabetic
Foot Infections. IDSA Guideline. Clinical Inectious Disease
2012:54.

Bilous, R., Richard Donelly, 2014. Buku Pegangan Diabetes Edisi ke 4.


Bumi Medika, Jakarta.

Boru Simamora, Marrylin Tio, 2011. Hubungan antara Kadar Hba1c


dengan Kejadian Ulkus Kaki Diabetik Pada Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2 di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Skripsi
Mahasiswa FK Universitas Hasanuddin, Makassar.

BPS Kab Deli Serdang, 2010. Data Demografi Masyarakat Deli Serdang.
Diakses pada tanggal 2 Juni 2016 dari www.bps.co.id.

Dari, Novelia Wulan, dkk, 2014. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Senam


Kaki Melalui Media Audio Visual Terhadap Pengetahuan
Pelaksanaan Senam Kaki Pada Pasien DM Tipe 2. JOM PSIK,
Volume 1 Nomor 2.

Depkes R.I., 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes Mellitus dan Penyakit


Metabolik, Jakarta.

Waspadji, Sarwono, 2009. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme


Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 3 Edisi V. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
Jakarta.

50
NDSS (National Diabetes Services Schame), 2011. Prevalence Diabetic
wwwwFoot. Diakses pada tanggal 9 juni 2019 dari www.ndss.com.au.

Paputungan, S.R., Harsinen, Sanasi, 2014. Peranan Pemeriksaan


Hemoglobin A1c Pada Pengelolaan Diabetes Mellitus. CDK
Volume 41 Nomor 9.

PERKENI, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Mellitus Tipe 2 di Indonesia, Jakarta.

Purnamasari, Dyah, 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus.


Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

Purwanti, Okti Sri, 2013. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadi Ulkus


Kaki Pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUD DR. Moewardi.
Tesis Mahasiswi FK UI, Jakarta.

Pdpersi (Pusat Data dan Informasi PERSI), 2011. Neurofati Diabetik


Menyerang Lebih dari 50% Penderita DM. Diakses pada tanggal
28 April 2016 dari www.pdpersi.co.id.

Roza, Rizky Loviana, dkk, 2015. Faktor Risiko Terjadinya Ulkus


Diabetikum pada Pasien Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan
dan Inap di RSUP Dr. M. Djamil dan RSI Ibnu Sina Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas Volume 4 Nomor 1

Sari, Citra Windani Mambang, 2012. Pengaruh Program Edukasi


Perawatan Kaki Berbasis Keluarga Terhadap Perilaku Perawatan
Kaki Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja

51
Puskesmas Pasirkali Kota Bandung. Tesis Mahasiswa FK
Universitas Padjadjaran.

Suyono, S., 2013. Patofisiologi Diabetes Mellitus. Dalam Soegendo S,


Soewondo P, dan Subekti I. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Terpadu Cetakan ke 2. Balai Penerbit FK UI, Jakarta.

Soegondo, S, dkk, 2013 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Balai


Penerbit FK UI, Jakarta.

52

Anda mungkin juga menyukai