Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini lebih dari 150 negara dilaporkan telah terjadi infeksi HIV-
AIDS dari berbagai penjuru dunia. Data tahun 2000 dilaporkan 58 juta
penduduk dunia terinfeksi HIV, 22 juta diantaranya meninggal akibat AIDS.
Transmisi masih terus berlangsung dengan 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap
harinya. Didapatkan sedikitnya 40 juta manusia hidup dengan AIDS di akhir
tahun 2005. Diperkirakan 4,9 juta manusia terdiagnosis infeksi HIV di tahun
2005 dengan 95% terjadi di Afrika, Eropa Timur dan Asia.
Penyakit infeksi masih menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia,
termasuk infeksi jamur atau mikosis. Pneumocystis pneumonia (PCP)
merupakan penyakit oportunistik pada infeksi HIV (human immunodeficiency
virus) yang disebabkan oleh Pneumocystis jiroveci. Infeksi oportunistik adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh
seseorang ODHA. Infeksi Pneumocystis pneumonia terjadi bila kadar CD4
penderita kurang dari 200 sel/mm3.
Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang
disebut Pneumocystis jiroveci, sebelumnya dikenal dengan nama
Pneumocystis carinii. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab kematian
penderita immunocompromised, antara lain pada Acquired Immunodefi ciency
Syndrome (AIDS).
Pneumocystis pertama kali dikemukakan oleh Chagas pada tahun 1909
dan digolongkan sebagai protozoa. Analisis DNA tahun 1988 menjelaskan
bahwa Pneumocystis adalah jamur. Terdapat perbedaan DNA antara P.
Jiroveci (derivat manusia) dan P. Carinii (derivat tikus percobaan) sehingga
untuk manusia dinamakan menjadi P. Jirovecii pada tahun 2002.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari PCP ?
2. Apa etiologi PCP ?

1
3. Apa saja manifestasi klinis dari PCP ?
4. Bagaimana patofisiologi PCP ?
5. Bagaimana pathway dari PCP ?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada PCP ?
7. Bagaimana pencegahan untuk PCP ?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang pada PCP ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pasien AIDS (ODHA) dengan PCP ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep teori yang
berkaitan dengan PCP.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mahasiswa dapat mengaplikasikan konsep askep AIDS
(ODHA) dengan PCP dalam menyusun asuhan keperawatan nantinya
saat melakukan asuhan keperawatan kepada klien.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi oportunistik
pada infeksi HIV (human immunodeficiency virus) yang disebabkan oleh
Pneumocystis jiroveci. Infeksi Pneumocystis carinii pneumonia terjadi bila
kadar CD4 penderita kurang dari 200 sel/mm3.
Pneumocystis carinii pneumonia diklasifikasikan sebagai jamur. Lebih
dari separuh (70-80%), penderita AIDS paling sedikit mendapatkan paling
sedikit satu episode PCP pada perjalanan klinisnya, dengan mortalitas berkisar
10-40%. Cara penularan/transmisi pada manusia melalui rute respirasi
(pernapasan).

2.2 Etiologi
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi pada paru
yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan
nama Pneumocystis jiroveci.
Infeksi Pneumocystis carinii pneumonia terjadi bila kadar CD4
penderita kurang dari 200 sel/mm3. (Fajar YM, 2013)
Nomenklatur terbaru Pneumocystis jiroveci:
Kingdom : Fungi
Subkingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Taphrinomycotina
Class : Pneumocystidomycetes
Order : Pneumocystidales
Family : Pneumocystidaceae
Genus : GePneumocystis (Delanoë & Delanoë 1912)
Species : P. Jiroveci

3
Morfologi Siklus hidup
Vavra dan Kucera (1970) membagi Pneumocystis jiroveci menjadi 3
stadium, yaitu:
a. Stadium trofozoit
Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1- 5 µ dan memperbanyak
diri secara mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat
ultrastrukturnya sebagai berikut: berdinding tipis (20- 40 µ) dengan
beberapa ekspansi tubular yang disebut sebagai filopodium; umumnya
mempunyai 1 inti tetapi kadang dapat lebih dari 2 inti;
mitokondria,retikulum endoplasmik yang kasar; benda-benda bulat (round
bodies dan vakuol-akuol). Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna ungu
gelap dan sitoplasma biru terang tetapi tidak ada ciri lain yang khas.
Juga dapat dilihat dengan pewarnaan “acridine orange”.
Trofozoit yang kecil (1-1,5 µ) ditemukan di dekat kista yang berdinding
tebal, berbentuk bulan sabit menyerupai “intracystic bodies”
(beberapa sumber menyatakan “intracystic bodies” sebagai trofozoit
yang sedang berkembang). Trofozoit yang besar menempel pada
dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama dengan
trofozoit yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseudopodium
sehingga berbentuk ameboid.
b. Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan kista. Bentuk oval,
ukuran 3-5 µ dan dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40-120 µ)
dengan jumlah inti 1-8. Dengan mikroskop, bentuk ini sukar di
bedahkan dari stadium lainnya tetapi dinding yang lebih tebal dari
stadium prakista dapat diwarnai dengan “methenamine silver”
(Matsumoto dan Yoshida, 1986)
c. Stadium kista
Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis
(Matsumoto dan Yoshida,1986), juga diduga sebagai bentuk infektif
pada manusia. Dengan mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat,
bentuknya bulat dengan diameter 3,5-12 µ (kurang lebih 6 µ),

4
mengandung 8 sporozoit atau trofozoit yang sedang berkembang
(“intracystic bodies”) yang berdiameter 1-1,5µ. Sporozoit tersebut dapat
berbentuk seperti buah peer, bulan sabit atau kadang-kadang terlihat kista
berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang homogen atau
bervakuol. Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa atau
dengan cara Gram- Weiger. Pewarnaan dengan Giemsa baik untuk
melihat bagian- bagian dari parasit. Kapsul berwarna ungu merah,
sitoplasma ungu dan inti ungu biru. Kista yang tidak mengambil warna
dianggap sebagai kista yang berdegenerasi. Untuk menemukan kista,
pewarnaan yang paling cocok adalah Gomori- Silver. Tapi dengan warna
ini tidak mungkin diperiksa susunan dalam kista secara detail. Kista
dapat juga dilihat dengan teknik fluoresen dilabel dengan antibodi (Arean,
1971).

Gambar 1. Kista Pneumocystis jiroveci


Siklus Hidup
Siklus hidup yang komplit dari Pneumocystis jiroveci belum
sepenuhnya dimengerti, karena organisme ini belum berhasil diisolasi
secara in-vitro dan sangatlah sulit mengobservasi siklus hidupnya hanya
dari klinis. Secara umum siklus hidup dari berbagai variasi spesies
Pneumocystis digambarkan oleh John J. Ruffolo , Ph. D. (Cushion, MT,
1988) seperti pada gambar 1.Jamur ini ditemukan pada paru- paru
mamalia tempat jamur ini tinggal tanpa menyebabkan infeksi yang
nyata sampai sistem imun hospes melemah. Hal inilah yang kemudian
menimbulkan pneumonia yang sering fatal.

5
Gambar 2. Pneumocystis stages were reproduced from a drawing by Dr.
John J. Ruffolo, South Dakota State University, USA published in
Cushion M. Pneumocystis carinii. In: Collier L, Balows A, Sussman M,
editors. Topley and Wilson's Microbiology and Microbial Infections:
Volume 4 Medical Mycology, 9th ed. New York: Arnold Publishing;
1998. p. 674.
Keterangan gambar :
Fase aseksual: bentuk trofozoit (1) bereplikasi secara mitosis (2) ke (3). Fase
seksual: bentuk trofozoit yang haploid berkonjugasi (1) dan menghasilkan
zigot (early cyst, kista muda) yang diploid (2). Zigot membelah diri secara
meiosis dan dilanjutkan dengan membelah diri secara mitosis untuk
menghasilkan 8 nukleus yang haploid (late phase cyst, kista stadium lanjut)
(3). Kista stadium lanjut mengandung 8 sporozoit yang berisi spora
yang kemudian akan keluar setelah terjadi ekskistasi (diyakini bahwa
pelepasan spora terjadi saat terjadi pembelahan pada dinding sel)
( 4 ) . Stadium trofozoit, dimana organisme ini mungkin berkembang
biak melalui binary fission juga diketahui ada.

2.3 Manifestasi Klinis


Gejala klinis pada Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) yaitu,
demam, sesak napas (dispnea) dan batuk non produktif. Progesitivitas gejala
biasanya perlahan, dapat berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan.

6
Semakin lama disnpea akan bertambah hebat disertai takipnea, frekuensi
pernapasan meningkat sampai 90-120 x/menit dan bisa sampai terjadi sianosis.
Pada pasien bukan AIDS onsetnya tidak jelas dengan masa inkubasi
sampai 2 bulan. Pada pasien dengan AIDS, masa inkubasinya lebih lama, rata-
rata sekitar 40 hari tetapi dapat sampai setahun dengan berat badan menurun,
malaise, diare, batuk nonproduktif, dispnea progresif dan demam ringan.

Tabel 1. Derajat Tingkat Keparahan Pneumocystis Carinii Pneumonia


Derajat Kriteria Klinis
Ringan  Sesak napas saat beraktivitas ringan, batuk, berkeringat.
 PaO2 > 80 mmHg, SaO2 > 96%.
 Gambaran foto toraks dapat normal atau terdapat infiltrat di
perihiler yang minimal.
Sedang  Sedang sesak napas saat beraktivitas sedang, demam dengan
atau tanpa berkeringat.
 PaO2 60-80 mmHg, SaO2 91-96%.
 Gambaran foto thoraks terdapat infiltrat interstitial bersifat
difus.
Berat  Berat sesak napas saat beristirahat, demam dan batuk yang
persisten.
 PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 91%
 Gambaran foto thoraks terdapat infiltrat yang ekstensif
dengan atau tanpa infiltrat alveolar. (Adler MW, Miller R,
2001)

2.4 Patofisiologi
Untuk mengontrol PCP terjadi respon inflamasi yang efektif pada
pejamu. Namun demikian inflamasi yang berlebihan juga dapat menyebabkan
jejas paru selama infeksi. PCP yang berat ditandai dengan infiltrasi neutrofil
pada paru yang menyebabkan kerusakan alveolar difus, gangguan pertukaran
gas dan gagal napas. Jadi sesungguhnya, gangguan napas dan kematian lebih

7
berkorelasi dengan beratnya inflamasi dibandingkan dengan organisme yang
masuk.
Respon imun melawan P. Carinii melibatkan interaksi kompleks antara
limfosit T CD4+, makrofag alveolar, neutrofil dan mediator terlarut yang
memfasilitasi pembersihan kuman. Makrofag alveolar berperan sebagai alat
pertahanan paru dengan memakan dan menghancurkan organisme yang masuk
ke dalam paru. Jika tidak ada opsonin pada cairan di permukaan epitel, maka
makrofag berperan memakan P. Carinii ini. Setelah dimakan makrofag,
organisme dimasukkan dalam fagolisosom dan akhirnya dihancurkan.
Fungsi makrofag terganggu pada kasus AIDS, keganasan atau
keduanya, sehingga pembersihan P. Carinii menjadi berkurang. Makrofag
memproduksi berbagai ragam sitokin proinflamasi, kemokin dan metabolit
eicosanoid sebagai respon untuk memfagositosis P. Carinii. Mediator
proinflamasi berperan dalam eradikasi P. Carinii, namun juga menyebabkan
kerusakan jaringan paru.
Pada infeksi P. Carinii, peran sel T CD4+ paling penting, baik pada
manusia maupun binatang. Risiko terjadinya infeksi meningkat jika jumlah sel
T CD4+ di bawah 200 sel/mm3. Sel CD4+ berfungsi sebagai sel memori untuk
menumbuhkan respon inflamasi pada pejamu dengan cara menarik dan
mengaktivasi sel-sel imun efektor, seperti monosit dan makrofag.
Bagaimana mekanisme sel T CD4+ sebagai respon terhadap infeksi P.
Carinii baru dipelajari dalam beberapa tahun terakhir. Mediator proinflamasi
TNFα dan IL-1 yang dilepaskan makrofag diduga memegang peran penting
mengenali respon imun yang dimediasi oleh sel T CD4+. Sel ini berproliferasi
sebagai respon terhadap antigen P. Carinii kemudian melepaskan mediator
sitokin, seperti limfotaktin dan interferon gamma (INFγ). Limfotaktin adalah
suatu kemokin yang berfungsi sebagai penarik sel-sel limfosit pada PCP.
Diikuti oleh INFγ merangsang makrofag melepaskan TNFα, superoksida dan
spesies nitrogen reaktif yang semuanya berperan untuk menghancurkan
organisme.

8
2.5 Pathway
+
Pneumocystis carinii pneumonia
Virus HIV Sistem Imun Menurun
(PCP) dgn kadar CD4 <200 sel/mm3

Menginfeksi paru-paru

Pengeluaran Toksin

Respons Inflamasi

Obstruksi Jalan Pelepasan Sitokin Pelepasan Pirogen


Napas
Fagositosis Patogen Peningkatan
Bersihan Jalan Napas Metabolisme
Tidak Efektif
Akumulasi Cairan
di Alveoli Deman

Gangguan Difusi O2 Gangguan Termoregulasi


Peningkatan Suhu Tubuh

Gangguan Pertukaran Gas

2.6 Penatalaksanaan
Tata laksana kasus PCP sama dengan tata laksana penyakit lain, terdiri
dari tata laksana umum dan spesifik. Tata laksana umum berupa pemberian
terapi suportif seperti pemberian oksigen dan makanan. Oksigen diberikan
untuk menjaga tekanan oksigen arteri (PaO2) diatas 70 mmHg. Ventilator
diperlukan bila PaO2 kurang dari 60 mmHg. Pemberian bronkodilator dapat
dicoba walaupun tidak banyak membantu. Pasien harus dirawat dalam kamar
terisolasi. Penanganan spesifik adalah pemberian obat-obatan.

9
Tabel 2. Daftar dan dosis obat untuk PCP
Nama Obat Dosis Cara Pemberian
Trimetoprim- 5-20 mg/kg Oral atau intravena
Sulfametoksazol 75-100 mg/kg
Sehari dibagi dalam 4
dosis
Pentamidin 4 mg/kg perhari Intravena
600 mg per hari Aerosol
Primakuin plus 30 mg setiap hari Peroral
Klindamisin 600 mg tiga kali sehari Aerosol
Atovakuon 750 mg dua kali sehari Peroral

Pemberian kortikosteroid sebagai tambahan terapi dipercaya dapat


meningkatkan harapan hidup pada pasien dengan PCP derajat sedang dan
berat. Kortikosteroid bermanfaat untuk pasien PCP dengan HIV yang
mengalami hipoksemia (PaO2 arteri <70 mmHg atau gradien alveolar-arteri
>35). Pada keadaan ini, pasien harus diberikan prednison 60 mg/hari 2 kali
sehari selama 5 hari, selanjutnya 40 mg/hari pada hari ke-6 sampai hari ke-11,
lalu 20 mg/hari pada hari ke-13 sampai hari ke-21. Pada pasien tanpa AIDS,
namun dengan PCP yang berat, pemberian prednison 60 mg/lebih per hari
memberikan hasil lebih baik dibandingkan pemberian dosis rendah.
1. Trimetoprim-Sulfametoksazol
Merupakan obat pilihan terapi PCP. Penetrasinya baik di jaringan. Studi
prospektif membandingkan pemberian trimetoprim-sulfametoksazol
dengan pentamidin menunjukkan bahwa obat tersebut memperbaiki
oksigenasi serta daya tahan hidup lebih baik. Pemberian oral pada PCP
derajat ringan sampai sedang. Efek samping yang dapat terjadi adalah skin
rash dan gangguan fungsi hati pada 20% penderita. Tidak dilaporkan efek
samping yang dapat menyebabkan penderita sampai dirawat di rumah
sakit. Lama pengobatan 3 minggu untuk kasus AIDS dan 2 minggu untuk
kasus bukan AIDS.

10
2. Pentamidin
Pentamidin digunakan sebagai terapi lini kedua; merupakan antiprotozoa
yang mekanismenya dalam melawan Pneumocystis belum jelas diketahui.
Pentamidin merupakan obat toksik dengan efek samping antara lain
hipotensi, aritmia, hipoglikemia, gangguan fungsi ginjal, peningkatan
kadar kreatinin dan trombositopenia.
3. Klindamisin dan Primakuin
Terapi kombinasi dua obat ini efektif mengobati PCP derajat ringan
sampai sedang. Kombinasi ini digunakan pada pasien yang tidak toleran
atau gagal pada pengobatan trimetoprimsulfametoksasol atau pentamidin.
Efek samping yang dapat terjadi antara lain rash, demam, neutropenia,
gangguan gastrointestinal dan methemoglobinemia.
4. Atovakuon
Merupakan antimalaria yang merupakan terapi lini kedua pengobatan PCP.
Walaupun ditoleransi lebih baik dibanding trimetoprim-sulfametoksazol,
obat ini kurang efektif. Efek samping yang terjadi yaitu rash, demam,
gangguan gastrointestinal dan gangguan fungsi hati.

 Pengobatan Berdasarkan Derajat Penyakit PCP


1. PCP Berat
Penderita perlu dirawat dirumah sakit dengan bantuan ventilator. Obat
lini pertama yang diberikan adalah kotrimoksazol dosis tinggi intravena
(trimetoprim 15 mg/kgBB/hari dan sulfametoksazol 75 mg/kgBB/hari
selama 21 hari). Bila tidak ada respons dapat diberi lini kedua yaitu
pentamidin intravena (3-4 mg/kgBB selama 21 hari). Lini ke tiga adalah
klindamisin (600 mg IV tiap 8 jam) dengan primakuin (15 mg/oral/hari).
Pemberian kortikosteroid direkomendasikan 40 mg secara peroral dua kali
sehari pada hari pertama sampai kelima, 40 mg satu kali per hari selama
6-10 hari, 20 mg setiap hari sampai lengkap 21 hari.

11
2. PCP Sedang
Penderita dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah Trimetoprim-sulfametoksazol 480 mg dua tablet
tiga kali sehari selama 21 hari.
3. PCP Ringan
Penderita dapat diberi kotrimoksazol peroral 480 mg dua tablet sehari
selama 21 hari atau cukup 14 hari jika respons membaik.

Tabel 3. Pengobatan PCP pada kasus sedang hingga berat dengan


kombinasi kortikosteorid
Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian

Trimethoprim- TMP 15-20 mg/kgBB/hari dan SMZ 75-100

sulfametoksazol mg/kgBB/hari peroral dalam 3 dosis selama 21 hari.

Kortikosteroid Prednison 2 x 40 mg peroral dalam 5 hari pertama,

(Prednison atau dilanjutkan 1 x 40 mg dalam 5 hari selanjutnya,

Metilprednisolon) kemudian 20 mg/hari sampai terapi selesai.

Metilprednisolon 4 x 100 mg secara intravena.

(Castro G, Bryant, Morrison M, 2010)

2.7 Pencegahan
Profilaksis PCP
Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada
CD4 lebih dari 200 sel/mm3. Pemberian highly active antiretroviral therapy
(HAART) pada penderita HIV dapat menurunkan kejadian infeksi
oportunistik. Profilaksis dapat diberikan jika CD4 kurang dari 200 sel/mm3
atau limfosit total kurang dari 14% dengan kandidiasis oral atau demam yang
tidak jelas penyebabnya dan berlangsung lebih dari dua minggu. Regimen
yang diberikan adalah kotrimoksazol dua kali sehari, seminggu dua kali atau
dapsone 100 mg peroral per hari atau atavaquone 750 mg peroral dua kali per

12
hari. Profilaksis dihentikan bila CD4 lebih dari 200 sel/mm3 atau limfosit total
lebih dari 14% yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan.
Profilaksis primer pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Pasien HIV
yang sebelumnya pernah menderita PCP harus mendapat profilaksis sekunder
jangka panjang, kecuali telah terjadi rekonstitusi dari sistem imun sebagai
hasil pemberian terapi anti retrovirus aktif, yaitu dengan jumlah sel CD4 >
200 sel/mm3. Profilaksis diberikan kembali jika jumlah sel CD4 kembali
menurun di bawah 200 sel/mm3.

Tabel 4. Profilaksis PCP


Nama Obat Dosis Cara Pemberian
Trimetoprim – 1 x 2 tablet setiap hari atau Peroral
Sulfamtoksazol 1 x 1 tablet setiap hari
1 x 2 tablet 3 kali seminggu (alternatif)
Dapson 50 mg sekali sehari atau Peroral
100 mg setiap hari
Dapson plus 50 mg setiap hari Peroral
Pirimetamin plus 50 mg setiap minggu
Leukovorin 25 mg setiap minggu
Pentamidin 300 mg setiap bulan Aerosol
Atovakuon 1500 mg setiap hari Peroral

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan BAL (Broncho Alveolar Lavage)
Pemeriksaan BAL memiliki sensitivitas lebih dari 90%. Terdapat dua
bentuk PCP, yaitu tropik dan kistik. Bentuk tropik dapat dilihat dengan
pewarnaan modifi kasi Papaniculaou, Wright-Giemsa, atau Gram-
Weigert. Bentuk kista dilihat dengan pewarnaan Gomori methenamin
silver, cresyl each violet, toluidin blue O, atau calcofl uor white.

13
Gambar 3. Pemeriksaan BAL Gambar 4. Pewarnaan dengan
Gomori methenamin silver
2. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi asam nukleat pneumocystis memiliki
sensitivitas serta spesifi sitas tinggi (88% dan 85%) dari bahan yang
diambil dari induksi sputum dan BAL. Diagnosis defi nitif ditegakkan jika
pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan kista Pneumocystis jirovecii.
3. Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks memperlihatkan infiltrat bilateral difus yang dapat meningkat
menjadi homogen. Infiltrat bilateral dapat simetris mulai dari hilus hingga
ke perifer dan dapat pula meliputi seluruh lapangan paru.
Pada pemeriksaan HRCT (High Resolution Computed Tomography) untuk
kasus pneumocystis carinii pneumonia seringkali ditemukan gambaran
ground glass opacity yang difus atau patchy yaitu sebanyak 92%.

Gambar 5. Infiltrat interstitial bilateral yang homogen

(Castro G, Bryant, Morrison M, 2010)

14
4. Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan penelitian terbaru pemeriksaan serum Beta-D-glucan
merupakan pemeriksaan yang potensial dan dapat digunakan sebagai
sarana untuk mendiagnosis Pneumocystis jirovecii. Sensitivitas
pemeriksaan Beta-D-glucan dalam mendiagnosis pneumocystis jirovecii
mencapai 92% serta spesifitasnya mencapai 65%. Pemeriksaan Beta-D-
glucan berdasarkan reaksi antigen-antibodi untuk mendeteksi suatu infeksi
jamur di dalam darah manusia telah diakui oleh Food and Drug
Administration (Gripaldo R, Lippmann M, 2012).
Pemeriksaan laboratorium lainnya adalah pemeriksaan kadar serum lactate
dehydrogenase (LDH) dalam darah. LDH hasilnya adalah pada pasien
HIV-AIDS sensitivitasnya mencapai 100% dan spesifitasnya mencapai
47%. Sedangkan pada pasien non HIV sensitivitasnya mencapai 63% dan
spesifitasnya mencapai 43%. Secara keseluruhan keakuratan pemeriksaan
LDH untuk mendiagnosis Pneumocystis carinii pneumonia adalah 52%,
pada pasien non HIV 51% sedangkan pada pasien HIV 58%. (Vogel M,
Weissgerber P, Goeppert B, Hetzel J. 2011)

15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Identitas Pasien : Nama, umur, TTL, jenis kelamin, alamat, suku,
pekerjaan, pendidikan, TMRS, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2. Identitas Penanggung Jawab : Nama, umur, jenis kelamin, alamat,
hubungan dengan pasien.
3. Riwayat Kesehatan dan Keperawatan : Keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan keluarga.
4. Pemeriksaan Fisik Head to toe
1) Keluhan utama
2) Tanda-tanda Vital (TTV)
3) Data Dasar Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya GJK kronis
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat
c. Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes
mellitus
Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk,
penampilan kakeksia (malnutrisi)
d. Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perusakan mental (bingung)
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia,
artralgi.

16
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit
untuk membatasi gerakan)
f. Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas),
dispnea.
Tanda : sputum: merah muda, berkarat
1 Ispeksi:
 Amati bentuk thoraks
 Amati Frekuensi napas, irama, kedalamannya
 Amati tipe pernapasan: Pursed lip breathing, pernapasan
diafragma, penggunaan otot bantu pernapasan
 Tanda-tanda reteraksi intercostalis , retraksi suprastenal
 Gerakan dada
 Adakah tarikan di dinding dada, cuping hidung, takhipnea
 Apakah ada tanda-tanda kesadaran meenurun
2 Palpasi
 Gerakan pernapasan
 Raba apakah dinding dada panas
 Kaji vocal premitus
 Penurunan ekspansi dada
3 Auskultasi
 Adakah terdenganr stridor
 Adakah terdengar wheezing
 Evaluasi bunyi napas, prekuensi, kualitas, tipe dan suara
tambahan
4 Perkusi
 Suara Sonor/Resonans merupakan karakteristik jaringan
paru normal
 Hipersonor, adanya tahanan udara
 Pekak/flatness, adanya cairan dalan rongga pleura
 Redup/Dullnes, adanya jaringan padat
 Timpani, terisi udara

17
g. Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan
steroid, demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar

3.2 Diagnosis Keperawatan


1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan
napas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan difusi oksigen.
3. Gangguan termoregulasi peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan
peningkatan metabolisme; demam.

3.3 Intervensi Keperawatan


Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil Keperawatan
1. Bersihan jalan Setalah 1. Kaji 1. Takipnea,
napas tidak dilakukan frekuensi/kedala pernafasan
efektif tindakan man pernafasan dangkal dan
berhubungan keperawatan dan gerakan gerakan dada tak
dengan 3x24 jam dada. simetris sering
obstruksi jalan diharapkan 2. Auskultasi area terjadi karena
napas bersihan jalan paru, catat area ketidaknyamana
nafas tidak penurunan 1 kali n.
efektif dapat ada aliran udara 2. Penurunan aliran
hilang dengan dan bunyi nafas.. darah terjadi
kriteria hasil : 3. Auskultasi bunyi pada area
 Batuk napas. konsolidasi
teratasi 4. Berikan posisi dengan cairan.
 Nafas semi fowler 3. Dapat
normal pada pasien. mendengarkan
 Bunyi nafas 5. Kolaborasi bunyi nafas

18
bersih dengan dokter normal atau
 Tidak untuk pemberian tidak.
terjadi obat sesuai 4. Memberikan
Sianosis indikasi: kenyamanan
mukolitik. pada pasien.
5. Alat untuk
menurunkan
spasme bronkus
dengan
mobilisasi
sekret, analgetik
diberikan untuk
memperbaiki
batuk dengan
menurunkan
ketidaknyamana
n tetapi harus
digunakan secara
hati-hati, karena
dapat
menurunkan
upaya
batuk/menekan
pernafasan.
2. Gangguan Setalah 1. Kaji 1. Manifestasi
pertukaran gas dilakukan frekuensi/kedala distress
berhubungan tindakan man dan pernafasan
dengan keperawatan kemudahan tergantung pada
gangguan 3x24 jam bernafas. indikasi derajat
difusi oksigen diharapkan 2. Observasi warna keterlibatan paru
gangguan kulit, membran dan status
pertukaran gas mukosa dan kesehatan umum.

19
dapat kuku. Catat 2. sianosis kuku
teratasi dengan adanya sianosis menunjukkan
kriteria hasil : perifer (kuku) vasokontriksi
 Tidak atau sianosis respon tubuh
nampak sentral. terhadap
sianosis 3. Tinggikan demam/menggigil
 Nafas kepala dan namun sianosis
normal dorong sering pada daun telinga,
 Tidak mengubah membran mukosa
terjadi posisi, nafas dan kulit sekitar
sesak dalam dan batuk mulut
 Tidak efektif. menunjukkan
terjadi 4. Kolaborasi hipoksemia
hipoksia Berikan terapi sistemik.
 Klien oksigen dengan 3. tindakan ini
tampak benar misal meningkat
tenang dengan nasal inspirasi
 GDA dalam plong master, maksimal,
rentang master venturi.. meningkat
normal pengeluaran
secret untuk
memperbaiki
ventilasi tak
efektif.
4. mempertahankan
PaO2 di atas 60
mmHg. O2
diberikan dengan
metode yang
memberikan
pengiriman tepat
dalam toleransi

20
pernapasan.

3. Gangguan Setalah 1. Pantau suhu 1. Suhu 38,9oC-


termoregulasi dilakukan tubuh pasien, 41,1oC
peningkatan tindakan perhatikan menunjukkan
suhu tubuh keperawatan menggigil/diafor proses penyakit
berhubungan 3x24 jam esis. infeksius akut.
dengan diharapkan 2. Pantau suhu 2. Suhu ruangan
peningkatan gangguan lingkungan, atau jumlah
metabolisme; termoregulasi batasi/tambahka selimut harus
demam peningkatan n linen tempat diubah untuk
suhu tubuh tidur, sesuai mempertahankan
dapat indikasi. suhu mendekati
teratasi dengan 3. Berikan normal.
kriteria hasil : kompres air 3. Kompres air
 Suhu tubuh hangat, hindari hangat dapat
normal penggunaan membantu
(36,5oC- alkohol. mengurangi
37oC) 4. Koreksi demam,
 Tidak keseimbangan penggunaan
mengalami asam basa. alkohol dapat
komplikasi 5. Berikan obat menyebabkan
yang antipiretik, kedinginan, selain
berhubunga misalnya: itu, alkohol dapat
n. Aspirin. mengeringkan
kulit..
4. Antipiretik dapat
digunakan untuk
mengurangi
demam.

21
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Pneumocystis carinii pneumonia merupakan penyakit oportunistik HIV
yang disebabkan oleh Pneumocystis jiroveci.
2. Infeksi Pneumocystis carinii pneumonia terjadi bila kadar CD4 penderita
kurang dari 200/mm3.
3. Profilaksis diberikan bila kadar CD4 pada penderita HIV kurang dari 200
sel/mm3.
4. Obat untuk pengobatan PCP antara lain trimetoprim-sulfametoksazol,
primakuin, klindamisin, atovakuon, dan pentamidin.

4.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Dan
sebagai seorang perawat, kita diharapkan dapat mengaplikasikan asuhan
keperawatan kepada klien dengan baik dan benar.

22
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer C, Suzanne & Bare G, Brenda. 2001. BUKU AJAR Keperawatan


Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 1 & 3. Jakarta: EGC

Price A, Sylvia & Wilson M, Lorraine. 2005. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. EDISI 6 Volume 1 & Volume 2. Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn. Moorhouse, Mary & Geissler, Alice. 2012. RENCANA


ASUHAN KEPERAWATAN Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta: EGC

Pratiwi, Chici. 2011. PREVALENSI PENYAKIT KOMORBID INFEKSI PARU


PADA PASIEN HIV/AIDS RAWAT INAP RSCM TAHUN 2010 SERTA
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20355539-5-chici%20pratiwi.pdf ,
Diakses tanggal 27 Februari 2017)

Helmi, Rikayu. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN


KLIEN PNEUMONIA
(https://rikayuhelmi116.wordpress.com/2012/12/09/asuhan-keperawatan-
dengan-klien-pneumonia/ , Diakses tanggal 27 Februari 2017)

Kipas, Pisang. 2009. Pneumocystis carinii pneumonia (PCP)


(https://pisangkipas.wordpress.com/2009/06/05/pneumocystis-pneumonia-
pcp/ , Diakses tanggal 27 Februari 2017)

Fajar, M. Yanuar. 2013. Pneumocystis Pneumonia pada Infeksi Human


Immunodeficiency Virus
(http://www.kalbemed.com/portals/6/06_203Pneumocytis%20pneumonia%
20pada%20infeksi%20Human%20immunodeficiency%20virus.pdf ,
Diakses tanggal 27 Februari 2017)

Gustawan, I Wayan. 2008. Pneumonia Pneumosistis


(https://saripediatri.org//index.php/sari-pediatri/article/download/716/651 ,
Diakses tanggal 27 Februari 2017)

23
Hutagalung, Sunna. 2008. PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1899/1/132317264.pdf ,
Diakses tanggal 27 Februari 2017)

http://lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/metadata-69959.pdf

24

Anda mungkin juga menyukai