Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN PUSTAKA

INFEKSI ASCARIS LUMBRICOIDES

Oleh
dr. Ni Luh Ariwati

BAGIAN PARASITOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2017

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi ...........................................................................................................................................ii

Bab 1.PENDAHULUAN..................................................................................................................1

Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Askariasis ....................................................................................................................................3

2.1.1 Epidemiologi Askariasis ...................................................................................................3

2.1.2 Morfologi dan Daur Hidup Ascaris lumbricoides ...........................................................3

2.1.3 Patogenesis dan Gejala Askariasis ..................................................................................6

2.1.4 Diagnosis Askariasis .........................................................................................................6

2.1.5 Tatalaksana Askariasis .....................................................................................................7

2.2 Respon imun pada infeksi cacing usus .....................................................................................9

2.3 Peran IgE Pada Infeksi Cacing Usus .......................................................................................10

Bab 3. Penutup

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................................11

Daftar Pustaka

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Infeksi cacing usus merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuknya
1
cacing usus ke dalam tubuh manusia. Infeksi ini disebabkan oleh soil-transmitted
helminths (STH) spesies Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator
2
americanus, dan Trichuris trichiura pada anak-anak di negara berkembang. Pada
anak-anak, penyakit ini dapat menimbulkan malaise yang bisa mempengaruhi
kemampuan belajar, serta dapat menyebabkan malnutrisi yang bisa mengganggu
1
pertumbuhan.
Infeksi cacing usus yang ditransmisikan melalui tanah (STH) menyebar
1
luas pada daerah tropis dan merupakan masalah kesehatan umum di Indonesia.
3
Prevalensi terbanyak ditemukan pada anak balita dan usia SD. Hasil Survei
Subdit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan
4
prevalensi 2,2%- 96,3%. Penelitian yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2008
menunjukkan tingginya prevalensi infeksi kecacingan pada anak SD, yaitu 70-
5
80% untuk Askariasis, dan 25,3-68,4% untuk Trikuriasis.
Menurut Oetomo (1985), angka morbiditas kecacingan dapat dipengaruhi
oleh faktor sosial-ekonomi individu dan keluarga. Rendahnya tingkat ekonomi
kerap menyebabkan kurangnya akses terhadap fasilitas dasar. Kepemilikan air
keran dan kamar mandi masih sedikit ditemukan pada keluarga miskin di
6
Indonesia , padahal infeksi kecacingan berhubungan erat dengan sanitasi yang
7
buruk dan kurangnya air bersih. Hasil survei kesehatan rumah tangga tahun 1997
menyebutkan bahwa sebagian besar rumah tangga (62,43%) belum mempunyai
8
fasilitas buang air besar yang tidak mencemari lingkungan. Data dari Badan Pusat
Statistik pada bulan Maret 2009 menunjukkan sekitar 323.200 penduduk miskin

3
9
di DKI Jakarta.
Penelitian yang dilakukan di Cirebon, Jawa Barat menunjukkan prevalensi
kecacingan berhubungan dengan status sosial ekonomi dan kebersihan
lingkungan, yaitu tingginya angka infeksi pada kelompok sosial ekonomi kurang
dan lingkungan buruk dibandingkan kelompok sosial ekonomi dan kebersihan
lingkungan sedang dan baik. Didapatkan angka 80% untuk askariasis, 92,4%
untuk trikuriasis, dan 82,4% untuk infeksi cacing tambang pada status sosial
10
ekonomi kurang. Sedangkan menurut penelitian Nurlila (2002), anak yang
berada pada status ekonomi rendah memiliki risiko 4,75 kali lebih besar untuk
8
terinfeksi kecacingan dibandingkan anak dengan status ekonomi tinggi. Kondisi
ekonomi yang buruk merupakan faktor yang menguntungkan bagi infeksi
kecacingan, mungkin berkaitan dengan kurangnya sarana yang memadai untuk
menciptakan lingkungan yang sehat dan persediaan air bersih serta jamban yang
8
memenuhi syarat kesehatan.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Askariasis
2.1.1 Epidemiologi Askariasis
Terdapat lebih dari 1 milyar orang di dunia dengan infeksi askariasis.
Infeksi askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang, ditemukan di seluruh
area tropis di dunia, dan hampir di seluruh populasi dengan sanitasi yang buruk.
Telur cacing bisa didapatkan pada tanah yang terkontaminasi feses, karena itu
infeksi askariasis lebih banyak terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan
12
jari yang terkena tanah ke dalam mulut. Kurangnya pemakaian jamban
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah
11
pohon, di tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Telur bisa hidup
hingga bertahun-tahun pada feses, selokan, tanah yang lembab, bahkan pada
12
larutan formalin 10% yang digunakan sebagai pengawet feses. Di Jakarta, angka
infeksi askariasis pada tahun 2000 adalah sekitar 62,2%, dan telah mencapai
5
74,4%-80% pada tahun 2008 .

2.1.2 Morfologi dan Daur Hidup Ascaris lumbricoides


Ascaris lumbricoides memiliki tiga bibir (prominent lips) yang masing-
masing memiliki dentigerous ridge (peninggian bergigi), tetapi tidak memiliki
interlabia atau alae. Ascaris lumbricoides jantan memiliki panjang 15-31 cm dan
lebar 2-4 mm, dengan ujung posterior yang melingkar ke arah ventral, dan ujung
ekor yang tumpul. Ascaris lumbricoides betina memiliki panjang 20-49 cm dan
lebar 3-6 mm, dengan vulva pada sepertiga panjang badan dari ujung anterior.
Ascaris betina memiliki ovarium yang luas dan dapat mengandung 27 juta telur
12
pada satu waktu, dengan 200.000 telur dikeluarkan setiap harinya.

5
Gambar 1. Ascaris lumbricoides, makroskopis
Sumber : Slide Kuliah Prof. Indah Tantular, 2016

Telur yang sudah dibuahi berbentuk oval sampai bulat, dengan panjang
45-75 μm dan lebar 35-50 μm. Dinding uterina cacing menghasilkan lapisan luar
yang tebal dan bergumpal pada telur, sehingga saat telur dikeluarkan melalui
feses, lapisan ini terwarnai oleh cairan empedu sehingga menjadi berwarna
cokelat keemasan. Embrio biasanya belum membelah ketika masih berada di
12
feses.

Telur yang dibuahi Telur yang tidak dibuahi


(fertilised eggs) (unfertilised eggs )

Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides


Sumber : Slide Kuliah Prof. Indah Tantular, 2016

Cacing betina yang belum mengalami inseminasi biasanya mengeluarkan


telur yang belum dibuahi. Telur yang belum dibuahi ini memiliki bentuk yang
lebih panjang dan ramping daripada telur yang telah dibuahi, yaitu sepanjang 88-
94 μm dan lebarnya 44 μm. Lapisan vitelina, kitin, dan lipid pada telur baru

6
terbentuk setelah penetrasi sperma terhadap oosit, karena itu pada telur yang
12
belum dibuahi, hanya dapat terlihat lapisan proteinase.
Embrio membutuhkan waktu 9 sampai 13 hari untuk menjadi telur
matang. Embrio resisten terhadap suhu rendah, kekeringan, dan zat kimia yang
kuat. Namun, embrio bisa mati dalam waktu singkat bila terpapar sinar matahari
12
dan suhu tinggi.

Gambar 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides.


(Sumber : http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Infeksi terjadi ketika telur infektif (telur berisi larva) yang belum menetas
tertelan bersama air dan makanan yang tercemar. Telur akan menetas di
duodenum, menembus mukosa dan submukosa, kemudian memasuki limfe.
Setelah melewati jantung kanan, cacing ini memasuki sirkulasi paru dan
menembus kapiler menuju daerah-daerah yang mengandung udara. Pada paru,
cacing tumbuh hingga mencapai panjang 1,4-1,8 mm dalam 10 hari. Selanjutnya
7
cacing akan naik ke faring dan tertelan. Cacing yang tahan terhadap asam
14
lambung akan masuk ke usus halus dan matang di sana. Dalam 60-65 hari
setelah tertelan, cacing akan menjadi dewasa dan mulai bertelur. Cacing dewasa
memiliki panjang 20-40 cm dan hidup dalam usus halus manusia hingga bertahun-
11
tahun.

2.1.3 Patogenesis dan Gejala Askariasis


11
Kebanyakan infeksi ringan tidak menimbulkan gejala. Cacing yang baru
menetas menembus mukosa usus sehingga terjadi sedikit kerusakan pada daerah
tersebut. Cacing yang tersesat, berkeliaran, dan akhirnya mati di bagian tubuh lain
12
seperti limpa, hati, nodus limfe, dan otak.
Cacing ini juga menyebabkan perdarahan kecil pada kapiler paru yang
mereka tembus. Infeksi yang berat dapat menyebabkan akumulasi perdarahan
sehingga akan terjadi edema dan ruang-ruang udara tersumbat. Akumulasi sel
darah putih dan epitel yang mati akan memperparah sumbatan sehingga akan
terjadi Ascaris lumbricoides pneumonitis (Loeffler’s pneumonia) yang bisa
12
menyebabkan kematian.
Makanan utama A. lumbricoides adalah cairan pada lumen usus. Pada
infeksi sedang hingga berat, dapat terjadi malnutrisi pada anak-anak yang
nutrisinya diambil oleh cacing. Dapat terjadi nyeri abdomen, urtikaria, eosinofilia,
nyeri pada mata, asma dan insomnia sebagai respon alergi terhadap metabolit
11,12
yang dihasilkan cacing.
Jika jumlah cacing terlalu banyak di usus, maka cacing bisa berkeliaran ke
apendiks, anus, pankreas, saluran empedu, hati, lambung, esofagus, trakea, tuba
eustachius, telinga tengah, bahkan keluar melalui hidung dan mulut. Cacing betina
juga bisa berkeliaran di dalam tubuh jika tidak ada cacing jantan. Larva pada
12
dahak dan telur cacing di feses bisa membantu menegakkan diagnosis.

2.1.4 Diagnosis Askariasis

8
Diagnosis pasti askariasis adalah ditemukannya cacing dewasa pada atau
muntahan penderita, atau ditemukannya telur cacing pada tinja atau cairan
15
empedu penderita. Cacing pada saluran empedu dapat terlihat bila dilakukan
16
kolangiografi intravena. Diagnosis juga dapat dilakukan melalui radiografi,
12
dengan mengamati cacing yang memakan barium. Cacing tampak sebagai
16
gambaran memanjang radiolusen.
16
Tinja yang tidak mengandung telur Ascaris lumbricoides dapat didapatkan bila :
- cacing di usus belum menghasilkan telur.
-hanya ada cacing jantan.
- penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat bentuk larva.
16
Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, yaitu :
- telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40 x 60 μm dengan dinding
albuminoid, berbenjol-benjol, berwarna kuning tengguli, dengan lapisan hialin
tebal transparan pada bagian bawahnya.
- telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40 x 90 μm, bentuknya lebih
panjang dan lebih langsing daripada telur yang dibuahi, dan tampak sejumlah
granula di dalamnya.
- telur tanpa korteks (decorticated) tanpa lapisan yang berbenjol-benjol, dibuahi
atau tidak dibuahi. Telur tanpa korteks ini hanya terkadang ditemukan, dan sangat
mungkin merupakan artefak.

2.1.5 Tatalaksana Askariasis


2.1.5.1 Pengobatan
Askariasis dapat ditatalaksana dengan pirantel pamoat, albendazol, mebendazol,

dan piperazin. 15,16


- Dosis tunggal pirantel pamoat 10 mg/kgBB menghasilkan angka penyembuhan
85-100%. Efek samping dapat berupa mual, muntah, diare, dan sakit kepala,
namun jarang terjadi.
- Albendazol diberikan dalam dosis tunggal (400 mg) dan menghasilkan angka

9
penyembuhan lebih dari 95%, namun tidak boleh diberikan kepada ibu hamil.
Pada infeksi berat, dosis tunggal perlu diberikan selama 2-3 hari.
- Mebendazol diberikan sebanyak 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari. Pada
infeksi ringan, mebendazol dapat diberikan dalam dosis tunggal (200 mg).
- Piperazin merupakan obat antihelmintik yang bersifat fast-acting. Dosis
piperazin adalah 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 gram) selama 2 hari, sebelum atau
sesudah makan pagi. Efek samping yang kadang ditemukan adalah gejala
gastrointestinal dan sakit kepala. Gejala sistem saraf pusat juga bisa ditemukan,
tetapi jarang. Piperazin tidak boleh diberikan pada penderita dengan insufisiensi

hati dan ginjal, kejang atau penyakit saraf menahun. 16

2.1.5.2. PENCEGAHAN
Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya pencegahannya
dapat dilakukan dengan sanitasi yang baik dan tepat guna, hygiene keluarga dan hygiene
pribadi seperti :
a. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
b. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih
dahulu dengan menggunkan sabun dan air mengalir.
c. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci
bersih dengan air mengalir.
d. Mengadakan terapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun daerah
yang rawan terhadap penyakit askariasis.
e. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
f. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing
misalnya memakai jamban/WC.
g. Makan makanan yang dimasak saja.
h. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja
sebagai pupuk.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun- tahun, pencegahan
dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.

10
2.2 RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI CACING USUS (SOIL TRANSMITTED
HELMINTH)
Patogenitas infeksi cacing disebabkan oleh efek parasit secara langsung dan oleh
interaksinya dengan sistem imun hospes. Cacing bisa juga menyebabkan penyakit ketika hospes
sebelumnya terpapar terhadap bagian yang infektif atau ketika hospes mengalami imunosupresi
atau kekurangan nutrisi. Dalam banyak kasus, anak-anak lebih mudah terinfeksi cacing
dibandingkan dengan dewasa. 17
Efek modulasi infeksi cacing terhadap sistem imun ini terjadi akibat perubahan
18,19,20
keseimbangan T helper1/T helper2 (Th1/Th2) ke arah sel Th2 (Th2 polarized). Pada
infeksi cacing usus baik pada manusia maupun secara eksperimen memperlihatkan bahwa infeksi
cacing usus akan condong menstimulasi respon imun hospes ke arah Th2. Pada saat terjadi
infeksi cacing, Antigen Presenting Cell (APC) berupa sel dendrit akan mempresen-tasikan
molekul antigen cacing bersama dengan molekul MHC kelas II pada sel T naive (Th0). Pada
infeksi kronis, selain sel dendrit, terdapat sel lain yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell
yaitu sel NeMac (Nematode Elicite Macrophage) atau sel AAM (Alternatively Activated
Macrophage). Sel NeMac atau sel AAM ini disebut juga sebagai type 2 macrophage. Makrofag
19,20
ini berukuran besar, multivakuolar dan berbeda secara genetik dengan makrofag primitif.
Setelah terpapar dengan antigen cacing, sel NeMac akan melakukan berbagai aktifitas. Sel
NeMac akan bekerja menghambat proliferasi sel T melalui contact dependent mechanism. Proses
ini berbeda dengan mekanisme penghambatan proliferasi sel T yang dilakukan oleh NO,
prostaglandin dan sitokin seperti IL-10 dan TGF-β. Sel NeMac juga berperan dalam
menginduksi terjadinya diferensiasi sel Th0 menjadi Th2. Produk NeMac berupa protein YM1
yang dikenal sebagai eosinophil activating factor akan mengakibatkan infiltrasi lokal
eosinofil.19,20
Proses perkenalan antigen oleh Antigen Presenting Cell kepada sistem imun spesifik ini
terjadi pada mesenterik limfonodus atau pada limfonodus terdekat. Sel Th0 yang telah teraktivasi
akan mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2. Pada infeksi cacing respon
ini terpolarisasi ke arah sel Th2 dan produknya terutama interleukin-4 (IL-4) akan menekan
perkembangan sel Th1.21,22,23 Secara umum, respon imun sejak awal infeksi hingga terjadi proses
eliminasi pada infeksi cacing dapat dibedakan atas respon imun non spesifik dan spesifik.

11
2.3 Peran IgE Pada Infeksi Cacing Usus
Peradangan dikendalikan oleh protein pengatur komplemen PGE2, TGF β,
glukokortikoid, dan IL-10. LPS ditangkap oleh reseptor spesifik, IL-1, IL-8 dan TNF-α terlibat
dalam proses terjadinya peradangan. Sementara itu, ketidakmampuan menyingkirkan penyebab
terjadinya reaksi radang menahun yang biasanya dilakukan oleh makrofag, seringkali membentk
granuloma. 26
Berbagai mekanisme pertahanan dilancarkan oleh pejamu, pada dasarnya dapat
digambarkan bahwa reaksi humoral terbentuk pada organisme yang masuk peredaran darah.
Sedangkan parasit yang hidup di jaringan biasanya merangsang imunitas seluler. Antibodi akibat
infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk yang ditularkan melalui darah. Produksi IgE
sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang
diperantarai oleh sel mastoid. 6
Infeksi cacing yang kronik akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang
meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen-
antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T
independen. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2 yang
menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat
eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan
parasit. Produksi IgE dan eosinofil sering ditemukan pada infeksi cacing. Produksi IgE
disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel CD4+, yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-
4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil
lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebihtoksik
dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang diproduksi neutrofil dan
makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang non-spesifik. Reaksi
inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa
saluran cerna. 27
Cacing biasanya terlalu besar untuk difagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE
dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup.
Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, dan neurotoksin.
PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan
enzim yang membunuh cacing.27

12
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan di beberapa negara berkembang


termasuk Indonesia. Prevalensi penyakit kecacingan ini masih cukup tinggi terutama pada
kelompok masyarakat dengan higienisitas dan sanitasi yang rendah. Penyakit kecacingan ini
disebabkan oleh organisme multi seluler yang mempunyai masa hidup panjang dan siklus hidup
yang kompleks. Prevalensi terbanyak infeksi cacing usus disebabkan oleh Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).
Sepanjang siklus hidupnya, cacing usus mengalami perkembangan stadium yang yang dapat
berpindah, melewati atau memasuki organ tertentu serta mampu memodulasi respon imun yang
kuat dan khas pada hospes.
Efek modulasi infeksi cacing terhadap sistem imun ini terjadi akibat perubahan
keseimbangan T helper1/T helper2 (Th1/Th2) ke arah sel Th2 (Th2 palarized). Pada infeksi akut
cacing usus terjadi stimulasi respon imun hospes yang terpolarisasi ke arah sel Th2 yang dikenal
dengan Th2 response. Polarisasi respon imun ke arah sel Th2 ini ditandai dengan peningkatan
Th2 specific cyokines seperti interleukin-4 (IL-4), interleukin-5 (IL-5), interleukin-13 (IL-13) dan
peningkatan imunoglobulin E (IgE). Pada infeksi cacing kronis terjadi modified Th2 response
yang menekan produksi interleukin-5 (IL-5), mengaktivasi peranan sel Treg. Sel Treg ini
menghasilkan interleukin-10 (IL-10) dan Transforming Growth Factor – β (TGF-β). IL-10
berperan dalam class switching antibody response dimana sel B yang sebelumnya memproduksi
IgE menjadi memproduksi IgG4. TGF-β berperan dalam menekan respon seluler baik sel Th1
maupun Th2.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Soil-transmitted helminths. [homepage on the internet]. Geneva: World


Health Organization; ; c 2011 [cited 2016 September 29]. Available
from:http://www.who.int/intestinal_worms/epidemiology/en/.
2. Widjana DP, Sutisna P. Prevalence of soil-transmitted infections in the
rural populations of Bali, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public
Health. 2000; 31.
3. Sekartini R, Wawolumaya C, Kesume W, Memy YD, Yulianti, Syihabul
S, et al. Pengetahuan, sikap, dan perilaku Ibu yang memiliki anak usia SD
tentang penyakit cacingan di Kelurahan Pisangan Baru, Jaktim. [serial on
the internet]. [cited 2016 September 29 ]. Available from: http://www.
tempo.co.id/medika/arsip/102002/art-1.htm.
4. Yulianto, E. Hubungan higiene sanitasi dengan kejadian penyakit cacingan
pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang
Kota Semarang tahun ajaran 2006/2007. [dissertation]. Semarang:
Universitas Negeri Semarang; 2007.
5. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar
wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah
kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008; 7: 769–
774.
6. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Menurut Provinsi, Maret 2009. [homepage on the internet]. Jakarta :
Badan Pusat Statistik; c2009. [cited 2016 September 28]. Available
from:http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23
&notab=3.
7. Standard of living in the developing world. [homepage on the internet].
New York: GiveWell. [cited 2016 September 29].
Available from:http://www.givewell.org/international/technical/additional/Standard-
of- Living#footnote18_3n78gaw.
8. Hotez PJ, Bundy DAP, Beegle K, Brooker S, Drake L, de Silva N, et al.
Helminth infections: soil-transmitted helminth infections and
schistosomiasis. [serial on the internet]. [cited 2016 September 29]. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11748/.
9. Nurlila. Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi kecacingan murid
Sekolah Dasar Negeri Rawa Badak Utara 23 dan 24 Jakarta Utara tahun
2002. [dissertation]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2007.
10. Tjitra E. Penelitian-penelitian "soil-transmitted helminth" di Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran. 1991; 13.
11. Pohan HT. Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. In : Sudoyo
AW, Setiyohadi B, et al, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th
edition. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2938-42.
12. John DT, Petri WA, Markell EK, Voge M. Markell and Voge’s medical
parasitology. Missouri: Elsevier Health Sciences; 2006. p. 262-7, 270-5,

14
284-6.
13. Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, Diemert D, et
al. Soil-transmitted helminth infections: ascariasis, trichuriasis, and
hookworm. Lancet. 2006; 367: 1521-32.
14. Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern.
[homepage on the internet]. Atlanta: Centers for Disease Control &
Prevention Center for for Global Health; c2004 [cited 2016 September 29].
Available from: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx.
15. Soedarto. Penyakit Menular di Indonesia.1st edition. Jakarta: Sagung Seto;
2009. p. 15-25, 66-8.
16. Hadidjaja P, Margono SS, ed. Dasar parasitologi klinik. 1st edition. Jakarta
: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
17. Mulcahy G, O’Neil, Donnely S, Dalton JP. Helminth at Mucosal Barriers
Interaction with the Immune System. Advanced Drug Delivery Reviews. 2004; 56:
853-868.
18. Yazdanbakhsh M, Kremsner GP, Ree VR. IgE, Eosinophil and Mast Cell in
Helminth Infection. Ned Tijdschr Klin Chem 1996; 21 (4): 213.
19. Yazdanbakhsh M, Biggelaar A, Maizels RM. Th2 Responses without Atopy:
Immunoregulation in Chronic Helminth Infection and Reduced Allergic Disease.
Trends in Immunology 2001; 22: 372-377.
20. Maizels RM, Yazdanbakhsh. Immune Regulation by Helminth Parasites. Cellular
and Molecular Mechanism. Nature Review 2003; 3: 733-44.
21. Wills M, Santeliz J, Karp CL. The germless theory of allergic disease: revisiting
the hygiene hypothesis. Nature Review Immunology 2001;1 (69): 75.
22. Abbas KA. Function and Disorders The Immune System. In Basic Immunology,
Second Edition, Elsevier Inc. 2004
23. Anthony MR, Rutitzky IL, Urban FJ, Stadecker JM, Gause CW. Protective
Immune Mechanisms in Helminth Infection. Nature Review Immunology 2007;
7: 975-987.
24. Sher A, Scott PA. Mechanism of Acquired Immunity against parasites. Blackwell
Scientific Publication Inc 1993; 35-44.
25. Wang JL, Cao Y, Shi NH. Helminth Infection and Intestinal Inflammation. World
Journal Gastroenterology 2008; 14(33): 5125-132.
26. Roitt I, 2000. Imunologi, Essential Immunology. Edisi 8, Penerbit Widya Medika,
Jakarta.
27. Baratawijaya KG, 2004. Imunologi Dasar. Edisi ke-6, Penerbit FKUI, Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai