Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini sampai selesai. Sholawat dan salam senantiasa terucapkan kepada Nabi
Muhammad SAW., yang telah membawa Islam dari zaman Jahiliyah menuju
zaman Islamiyah.
Makalah ini disusun dan diuraikan secara efektif dengan landasan
pengetahuan yang diambil dari buku untuk menambah wawasan.kemudian
makalah ini disusun berdasarkan hasil diskusi kelompok.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari semua
pihak demi perbaikan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

Halaman Cover ..................................................................................................... i

Kata Pengantar ...................................................................................................... ii

Daftar Isi ............................................................................................................... iii

Bab I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Islam adalah ajaran agama yang paling sempurna karena Islam mengatur hal- hal
yang paling sederhana sampai yang kompleks. Bukti kesempurnaan Islam itu tercermin
dari ajaran dan tuntunan kehidupan yang komprehensif dan bersumber dari kebenaran
wahyu.

Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama
adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sumber ajaran lainnya yaitu ijtihad yang terbagi lagi
menjadi beberapa sumber diantaranya: Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Mashali’ul
Mursalah, al-‘Urf, Syar’u Man Qoblana, Saddudz Dzari’ah, dan Dalalatul Iqtiran.

Dalam makalah ini yang berjudul “Sumber-sumber ajaran Islam” diuraikan


mengenai definisi, kedudukan sebagai sumber hukum, dan nash yang terkait dengan
sumber-sumber tersebut.

1
BAB II

PEMBAHASAN

SUMBER AJARAN ISLAM I

A. AL QURAN
1. Definisi

Al Quran merupakan sumber hukum utama dan menempati kedudukan


pertama dari sumber-sumber hukum yang lain, dan merupakan aturan dasar yang
paling tinggi. Sumber hokum maupun ketentuan norma yang ada tidak boleh
bertentangan dengan isi Al Quran.

‫اناانزلنااليك لكتبب بالحق لتحكم بين‬


Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penentang karena membela orang orang yang khianat.” (an-Nisa’: 105)
2. Keotentikan Al Quran

‫انا نحن نزلنا الذكر و انا له لحفظون‬


“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami (pula)
yang memeliharanya.” (QS. al-Hijr [15]: 9)

Sejak diturunkan hingga akhir zaman kelak kemurnian dan kautentikan


al-Qur’an akan senantiasa terjaga. Hal ini disebabkan karena kemu’jizatan
yang terkandung di dalam al-Qur’an itu sendiri, baik dari aspek bahasa dan
uslubnya maupun dari aspek isi kandungannya yang memang terbukti tak
satupun manusia yang dapat meniru atau mendatang semisal-nya.
3. Fungsi Al Quran
a. Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia

‫ذ لك لكتاب ال زيب فيه هد للمتقين‬


“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa,” (QS. al-Baqarah [2]:2)

2
Al Quran sebagai sumber pokok ajaran Islam Ajaran Islam yang
bersumber dari al-Qur’an mutlak kebenarannya dan ajaran yang paling
sempurna. Ajaran al-Qur’an di samping membenarkan ajaran ajaran
kitab suci sebelumnya, juga menyempurnakan ajaran kitab kitab
sebelumnya tersebut.
b. Al-Qur’an sebagai Peringatan dan Pelajaran bagi Manusia

‫كتاب انزل اليك فل يكن في صدرك حرخ منه لتنذر به و‬


‫ذكرى للمؤمنين‬
"(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Muhammad saw.); maka
janganlah engkau sesak dada karenanya, agar engkau memberi peringatan
dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang yang beriman." (QS.
Al-A’raf [7]:2)
c. Al-Qur’an sebagai Sumber Pokok Ajaran Islam
Ajaran-ajaran tersebut ada yang bersifat mujmal, yakni hanya
memberikan prinsip-prinsip umumnya saja, dan ada juga yang bersifat
tafshil yakni ajaran yang terperinci dan khusus.

‫انا انزلنا اليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما اراك هللا‬
‫وال تكن للخاءنين خصيما‬
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu
(Muhammad saw.) membawa kebenaran, agar engkau mengadili
antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah Swt.
kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat,”
(QS. an-Nisa’[4]: 105)
B. HADITS SEBAGAI SUMBER ISLAM KEDUA
1. Definisi
Secara etimologi, hadits mempunyai beberapa arti, yaitu baru (‫)جديد‬, dekat

(‫)قريب‬, dan warta/ berita (‫)خبر‬


‫اقواله صلى هللا عليه وسلم و افعا له و احواله‬

3
Segala ucapan Nabi saw., segala perbuatan serta keadaan atau perilaku
beliau.
Menurut Muhadditsin, hadits adalah segala apa yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw., baik itu hadis marfu’(yang disandarkan
kepada Nabi), hadis mauquf (yang disandarkan kepada sahabat), ataupun
hadis maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in). Menurut Ushuliyyin,
hadis adalah segala sesuatu yangdisandarkan kepada Nabi saw., selain al-
Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun takrir Nabi
saw. yang bersangkut-paut dengan hukum syara’. Menurut Fuqaha, hadis
adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi saw. Yang tidak ada kaitannya
dengan masalah-masalah fardu atau wajib. Secara teoritis, hadits Nabi

memiliki makna universal, )‫ )صالح لكل زمان ومكان‬cocok untuk semua


waktu dan tempat)
2. Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum Islam
Semua umat Islam telah sepakat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan
dasar hukum Islam setelah Al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan
mengikuti dan mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan menikuti dan
mengamalkan Al-Qur’an.

‫قل اطيعوا هللا والرسول فان تولوا فان هللا ال يحب الكفرين‬
Artinya: “Katakanlah! Taatlah kaliankepada Allah dan Rasul-Nya jika
kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir. (QS. Ali Imran (3):32)
Al-Qur’an dan Hadits adalah dua sumber hukum pokok syari’at Islam
yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin memahami syari’at Islam
secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada dua sumber Islam
tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulma’pun tidak diperolehkan hanya
mencukupkan didi dengan mengambil salah satu dari keduanya.
3. Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)
Seluruh umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu
dasar hukum Syari’at Islam yang wajib diikuti dan diamalkan, karena
sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits

4
sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya
sama-sama dijadikan sumber hukum syari’at Islam.
Kesepakatan orang-orang Islam dalam mempercayai , menerima dan
mengamalkan semua ketentuan yang terkandung dalam hadits ternyata
sejak Rasulullah masih hidup. Sepeninggal beliau, semenjak Khulafa’ Al
Rasyidin hingga masa-masa kekhalifahan Bani Umayah. Bani Abbasiyah
hingga sekarang tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka
yang tidak memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi
bahkan mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan
menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam pada masa sahabat,
antara lain:
a. Pada saat Abu Bakar ra. dibaiat menjadi khalifah, ia dengan tegas
berkata “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan
atau dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut menjadi
orang apabila meninggalkan perintahnya”.
b. Pada saat Umar bin Khattab ada di depan Hajar Aswad ia berkata “saya
tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya sendiri tidak melihat
Rasulullah mennciummu, maka saya tidak akan menciummu”.
c. Pada saat ditanyakan kepada Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) masalah
ketentuan shalat safar dalam Al-Qur’an. Ia menjawab “Allah SWT
telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak
mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana
duduknya Rasulullah SAW”, saya makan sebagaimana makannya
Rasulullah dan saya mengerjakan sholat sebagaimana shalatnya
Rasulullah”.
d. Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa khalifah Usman bin Affan
berkata “saya duduk sebagaimana mengikuti duduknya Rasulullah
SAW, dan saya mengerjakan shalatsebagaimana shalatnya Rasul.
C. Ijma’
1. Definisi

5
Secara etimologi ijma’ artinya memutuskan dan menyapakati sesuatu.
Menurut Abdul Wahhab Kholaf secra istilah ijma’ adalah kesepakatan
(konsesnsus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya
Rasul atas hukumsyara’ untuk satu peristiwa (kejadian).
2. Dasar Kehujahan dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum

‫ما راه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬


Artinya : apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik, maka baik
(pula) di sisi Allah (HR. Ahmad Di dalam Kitab Sunnahnya).
D. Qiyas
1. Definisi
Secara etimologi berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu
dengan yang lain. Qiyas dapat dirincikan sebagai berikut:
Dalam Ilmu Ushul Fiqih kejadian / peristiwa / perbuatan disebut
Far’un (‫)فزع‬. Seeuatu peristiwa dapat disebut far’un apabila: apabila
kemudian, ada kesamaan illad dalam peristiwa yang akan disamainya.
Kejadian yang telah ada ketentuan hukum baik di Al Qur’an maupun
Hadits disebut Ashal (‫ )اصل‬atau maqqis alaih (‫)مقيس عليه‬, yaitu sesuatu

yang akan diyasskan kepadanya, atau mussyabbah bih (‫ )مشبه بيه‬yaitu


yang akan diserupakan dengannya. Suatu kejadian dapat disebut ashal
apabila:
 Hukumnya adalah hukum syari’ah, amali, dan berdasar nash.
 Illad hukumnya dapat diketahui secara aqli.
 Hukumnya bukan merupakan cabang (far’un) dari ashal mansukh.
 Nash hukum ashal tidak meliputi hukum far’un.
 Hukum ashal adalah hukum yang disepakati dan tidak mansukh.
 Hukum pada ashal tidak mempunyai qiyas rangkap.
 Illat yaitu seuatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat ini
pula yang ada pada far’un. Syarat illad yaitu: jelas, dapat dibatasi secara
pasti antara ashaldengan far’un, serta munasabah yaitu dugaan kuat bahwa
sifat tersebut merupakan alasan hukum pada ashal, sehingga sifat tersebut
menyebabkan ada atau tidak adanya hukum.

6
2. Contoh Qiyas

Al Ashlu Al Far’u Illah Hukum

Khmar Narkoba Memabukkan Haram

3. Kedudukan dan Dasar Kehujjahan Qiyas


Ulama’ yang menjadikan qiyas sebagai sumber huku disebut Musbitul
Qiyas.

‫فا عتبروا ياءولى االبصر‬


Artinya: maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai
oranng-orang uyang mempunyai pandangan.

SUMBER AJARAN ISLAM 2


A. Istihsan
1. Definisi
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik. Sedangkan menurut
istilah ahli ushul fikih ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum
yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki
oleh qiyah khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada
hukum yang bersifat istisna’y (pengecualian).
2. Kekedudukan Sumber Hukum Islam
Para ulama’ berpendapat tentang kehujjahan istihsan:
a) Jumhur ulama’ menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah
dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
b) Golongan hanafiah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut
mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khaf
yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu qiyas dengan
terhadap qiyas lain yang betentangan dengannya berdasarkan dalil
yang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan maslahat untuk
mengecualikan sebagian dari hukum kully.
B. Istishab
1. Definisi

7
Istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada
masalalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya, sebelum ada
hukum yang mengubahnya.
2. Kedudukan Istishab sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istishab :
a) Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum
sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya baik dalam al- quran, as-
sunnah, maupun ijma’.
b) Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum.
C. Mashalihul Mursalah
1. Definisi
Mashalih bentuk jamak dari Maslahah yang artinya kemaslahatan,
kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalih
mursalah berarti kemashlahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan
hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau
menolak kemadharatan atas mereka. Al – khawarizmy mengatakan bahwa
maslahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolak mafsadat
(kerusakan) atau madharat dari makhluk.
2. Kedudukan Masalihul Mursalah
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan masalihul mursalah
sebagai sumber hukum :
a) Jumhur ulama menolak sebagai sumber hukum dengan alasan :
 bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat
senantiasa memperhatikan kemaslahatan manusia. Tak ada satupun
kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui
petunjuknya.
 pembinaan hukum islam yang semata- mata didasarkan maslahat
berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b) Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun
menurut Imam Syafi’i boleh berpegang kepada Masalihul Mursalah
apabila sesuai dengan dalil kully dan Juz’iy dari syara’. Pendapat kedua
ini berdasarkan :

8
 Kemaslahatan manusia selalu berubah- ubah dan tidak ada habisnya.
Jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat- maslahat yang
ada petunjuknya dari syar’i ( Allah), tentu banyak kemaslahatan yang
tidak ada sumber hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-
beda.
 Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan
hukum untuk mewujudkan masalah yang tidak ada petunjuknya dari
syar’i.
3. Syarat- syarat berpegang kepada Masalih Mursalah
a) Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan pada
prasangka.
b) Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
c) Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan
dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nas atau ijma’.
D. Al-‘Urf
a. Definisi
Al-‘urf adalah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan
oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik
berupaperkataan, perbuatan maupun meninggalkan.
b. Macam-macam Al-‘Urf dan hukumnya

a). ‘Urf Shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak
bertentangan dengan syari’at, tidak menghalakan yang hara, dan tidak
menggugurkan kewajiban.

b). ‘Urf Fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan huruf syara.
Orang mengetahui bahwa untuk menduduki suatu jabatan itu dengan
memberikan uang sogokan (rsywah). ‘urf jenis ini hukumnya haram,
sebab bertentangan dengan ajaran agama.

E. Syar’u Man Qablana


1. Definisi

9
Syar’u man Qablana adalah syari’at yang diturunkan kepada orang-
orang sebelum kita.yaitu ajaran agama sebelum datangnya agama Islam.
Pada dasarnya syari’at yang diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup
manusia, sejak dahulu hingga masa-masa selanjutnya bersumber dari satu
yaitu Allah.

2. Pembagian dan Hukumnya


a) apa yang disyariatkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat
Nabi Muhammad, baik penetapannya itu melalui perintah
melaksanakan, seperti puasa.
b) apa yang disyariatkan kepada mereka tidak disyariatkan kepada kita.
Misalnya yang dsyariatkan kepada Nabi Musa, seperti : “ dosa orang
jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan
“pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong bagian
yang terkena najis tersebut”. Para ulama sepakat untuk meninggalkan
kedua jenis syariat ini, karena syariat kita telah menghapusnya.
F. Saddud Dzari’ah
1. Definisi

Dzari’ah artinya jalan. Saddud dzari’ah berarti menutup jalan. Secara


istilah Saddud Dzari’ah yaitu melarang perkara- perkara yang lahirnya
boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada
perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh agama. Contohnya : menjual
miras kepada penjual miras, melarang perbuatan atau permainan judi
tanpa uang.

2. Kedudukannya sebagai Sumber Hukum


a) Menurut Imam Malik saddud Dzari’ah dapat dijadikan sumber hukum,
sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka
perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh agama.
b) Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i saddud dzari’ah tidak
dapat dijadikan sebagai sumber hukum, karena sesuatu yang menurut
hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah.

‫دع ما يريبك الى ما اليريبك‬

10
Artinya : “tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang
tidak meragukan”.
G. Mazhab Shahaby
1. Definisi
Yaitu fatwa- fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang
dinyatakan setelah Rasulullah SAW wafat.
2. Kedudukan Mazhab Shahaby
a) Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dalam perbuatan serta
ketetapan Rosul wajib ditaati sebab hakikatnya ia merupakan sunah
Rosul.
b) Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil istishab tetapi telah mereka
sepakati (ijma’ shahaby) dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati,
sebab mereka dekat dengan Rosul, mereka mengetahui rahasia-
rahasia Tasyri’ dan mengetahui perbedaan pendapat mengenai
peristiwa yang sering terjadi. Contoh : pendapat yang disepakati yakni
pendapatnya Abu Bakar As- shidiq bahwa harta waris bagi nenek yaitu
1/6.
c) Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati yang tidak dijadikan
hujjah dan tidak diikuti. Sebab perkataan sahabat tersebut berdasarkan
ra’yu dan diantara sahabt sendiri juga berbeda pendapat dan mereka
tidak luput dari kesalahan.
H. Dalalatul Iqtiran
1. Definisi
Ialah dalil- dalil yang menunjukkan kesamaan hukum terhadap sesuatu
yang disebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain.

2. Kedudukannya dengan Sumber Hukum


a) Jumhur ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat
dijadikan hujjah, sebab bersamaan dalam satu susunan tidak mesti
persamaan dalam hukum.

11
b) Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah, Ibnu Nashar dari golongan
malikiyah, dan Ibnu Abu Hurairah dari golongan Syafi’iyah
menyatakan dapat dijadikan hujjah. Sebab sesungguhnya ‘athaf itu
menghendaki kebersamaan.

Contoh dalalatul iqtiran : terdapat dalam surat Al- baqarah ayat 196 :

‫واتموا الحج والعمرة هلل‬


Artinya : “ sempurnakanlah haji dan umroh karena Allah SWT”.

Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi’imenyamakan hukum umroh dengan


haji, yaitu fardhu. Sebab kedua ibadah ini disebutkan dalam satu ayat.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

12
Sumber ajaran Islam terbagi menjadi dua. Sumber hukum I meliputi Al-
Quran, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum II meliputi
Istihsan, Istishab, Masalih Mursalah, al-‘Urf, Syar’u Man Qoblana, Saddudz
Dzari’ah, Madzhab Shahaby, Dalalatul Iqtiran.
Yang paling utama adalah A-Qur’an dan Hadits, sementara yang lainnya
termasuk dalam Ijtihad, yaitu mencurahkan segala daya dan kemampuan untuk
menggali sumber hukum yang ada di dalam al-Quran dan Hadits.
B. Saran
Akhir dari penyusunan makalah ini, penulis mengharapkan saran sebagai
berikut :
1. Penulis mengharapkan adanya referensi yang memadai untuk memperkuat
pendapat dan referensi yang lain.
2. Saran dari berbagai pihak demi perbaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

LKS Fiqih kelas 12 Semester Ganjil

13
Kementerian Agama. 2014. Buku Siswa Al-Qur’an Hadits kelas X Semester Ganjil.
Jakarta: Kementerian Agama

Harits, Abdul. (2013). “Hadith Nabi sebagai Sumber Ajaran Islam: dari Makna Lokal-
Temporal Menuju Makna Universal”. Tanpa judul jurnal. 12, (1), 2.

14

Anda mungkin juga menyukai