Anda di halaman 1dari 8

TUGAS ANALISIS PASAL 112 - 120

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

Nama Anggota Kelompok :


1. Cynityas Scandi Sant (E0017109)
2. Fadhila Adiamara (E0017166)
3. Fitri Awalia (E0017195)
4. Gresa Salsabila (E0017210)
5. Karenina Maria T. (E0017248)

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEEBELAS MARET
2019
PASAL 112 :

Pasal 112 UU Nomor 28 Tahun 2014 memuat tentang sanksi pidana bagi siapa saja yang
tidak punya hak tetapi sengaja melakukan perbuatan menghilangkan, mengubah, merusak,
memusnahkan, atau bahkan membuat tidak berfungsi Informasi Manajemen Hak Cipta, Informasi
Elektronik Hak Cipta, dan Sarana Kontrol Teknologi sebagai pelindung serta pengaman produk
atau Hak Ciptaan. Adapun sanksi pidana yang tertera dalam aturan tersebut adalah pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). Ketentuan tersebut dapat dikecualikan jika untuk kepentingan pertahanan dan keamanan
negara, serta sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau
diperjanjikan lain.

Adapun Informasi Manajemen Hak Cipta meliputi informasi tentang :


a. Metode atau sistem yang dapat mengidentifikasi originalitas substansi Ciptaan dan
Penciptanya; dan
b. Kode informasi dan kode akses.
Adapun Informasi Elektronik Hak Cipta meliputi informasi tentang :
a. Suatu Ciptaan, yang muncul dan melekat secara elektronik dalam hubungan dengan
kegiatan Pengumuman Ciptaan;
b. Nama pencipta, aliasnya atau nama samarannya;
c. Pencipta sebagai Pemegang Hak Cipta;
d. Masa dan kondisi penggunaan Ciptaan;
e. Nomor; dan
f. kode informasi.
Selain itu, yang juga dimaksud dengan Sarana Kontrol Teknologi adalah setiap teknologi,
perangkat, atau komponen yang dirancang untuk mencegah atau membatasi tindakan yang tidak
diizinkan oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait, dan/atau yang dilarang oleh
peraturan perundang-undangan.

Contoh Kasus Tindak Pidana :


Film “Soekarno” garapan sutradara Hanung Bramantyo terancam ditarik dari peredaran
setelah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan sementara terkait adanya dugaan
pelanggaran hak cipta di film tersebut. Penetapan sementara ini diterbitkan setelah Rachmawati
Soekarnoputri, salah satu putri Ir.Soekarno, melayangkan permohonan ke Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat. Pihak PT Tripar Multivision Plus, Raam Jethmal Punjabi, dan Hanung Bramantyo
diperintahkan segera menyerahkan master serta skrip film “Soekarno” kepada Rachmawati.
Alasannya, terdapat pelanggaran hak cipta di film tersebut. Multivision Plus, Raam Punjabi, serta
Hanung juga diperintahkan menghentikan, menyebarluaskan, ataupun mengumumkan hal-hal
yang terkait dengan film Soekarno khusus di adegan yang tercantum di skrip halaman 35. Adegan
dalam skrip itu menampilkan “…dan tangan polisi militer itu melayang ke pipi Sukarno beberapa
kali. Saking kerasnya Sukarno sampai terjatuh ke lantai” dan adegan “popor senapan sang polisi
sudah menghajar wajah Soekarno” yang sebagaimana dibuat tanpa persetujuan dari Rachmawati
Soekarnoputri. Pada akhirnya, Rachmawati Soekarnoputri memenangi gugatan hak cipta
pembuatan naskah film “Soekarno” di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Selasa, 11 Maret 2013.

PASAL 113 :
Pasal 113 UU Nomor 28 Tahun 2014 memuat tentang sanksi pidana bagi siapa saja yang
tidak punya hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran
hak ekonomi untuk Penggunaan Secara Komersial. Adapun sanksi pidana yang tertera dalam
aturan tersebut adalah :
a. Pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) bagi pelanggar penyewaan Ciptaan tanpa izin Pencipta
atau Pemegang Hak Cipta.
b. Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi pelanggar penerjemahan Ciptaan;
pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; pertunjukan Ciptaan;
dan Komunikasi Ciptaan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
c. Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi pelanggar penerbitan Ciptaan; Penggandaan
Ciptaan dalam segala bentuknya; Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; dan
Pengumuman Ciptaan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
d. Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) bagi pelanggar Penggandaan dan/atau
Penggunaan Secara Komersial Ciptaan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.

Contoh Kasus Tindak Pidana :


Anggito Abimanyu diketahui menjiplak sebuah artikel karya Hatbonar Sinaga
berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” yang terbit pada 21 Juli 2006 untuk artikelnya
berjudul “Gagasan Asuransi Bencana” pada surat kabar harian Kompas pada 10 Februari 2014.
Kemudian setelah kasusnya terbongkar, Anggito Abimanyu segera mengundurkan diri dari dosen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pasal 114 :

“Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja
dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta
dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Contoh kasus:

Pengelola gedung pertokoan dan mal yang lalai membiarkan pedagangnya menjual produk
bajakan serta memfasilitasi pedagang menjual software bajakan akan dikenai hukuman denda
hingga Rp 100 juta. Pengelola bisa dianggap berkontribusi terhadap pembajakan tersebut.
Seharusnya, mereka bisa melarang pedagang untuk tidak menjual produk bajakan. Akan tetapi di
Jakarta, baru ada 1 pusat perbelanjaan saja yang menyatakan kesanggupannya untuk memberantas
pedagang yang melakukan penjualannya dengan pembajakan.

Pasal 115 :

Setiap Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya
melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau
Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau
periklanan untuk Penggunaan Secara Komersial baik dalam media elektronik maupun non
elektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Contoh kasus:

Kasus Dadang Mulya dimana fotonya digunakan pada bungkus rokok tanpa
sepengetahuannya karena ia merasa tidak pernah memberikan izin pencantuman foto tersebut,
sehingga ia bisa saja menuntut perusahaan rokok dengan Pasal 115 UU Nomor 28 tahun 2014
tentang Hak Cipta dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Sehingga Dadang sangat mungkin untuk menuntut, baik secara pidana ataupun perdata.
Sebab, Dadang bisa saja mengalami kerugian akibat foto tersebut karena dia bisa dicap tidak
menyayangi anaknya karena berfoto sambil merokok di depan anak. Saat itu ia dihampiri seorang
sales rokok dan memintanya berpose mengembuskan asap rokok sambil menggendong sang anak.
Dadang pun mengaku sempat mengadukan dan mewakilkan pengurusan permasalahan itu kepada
pengacara. Namun, ia mencabutnya karena tidak ingin mempermasalahkan hal tersebut lebih
dalam. Dadang hanya ingin ada perhatian meski sedikit dari pihak terkait.

PASAL 116 :

(1) Tidak boleh untuk penyewaan atas fiksasi pertunjukan atau salinannya kepada publik
contohnya jika ada sesorang yang tidak mempunyai hak ekonomi atas suatu pertunjukan misalnya
karya film lalu dia melakukan penyewaan atas fiksasi atau salinannya kepada publik untuk tujuan
komersial maka akan didenda pidana, pidana penjara paling lama satu tahun dan atau denda paling
banyak seratus juta rupiah.

(2) Dilarang untuk melakukan penyiaran atau komunikasi atas pertunjukan pelaku pertunjukan
pada pihak lain selain pemilik hak ekonomi tersebut contohnya saat film tayang perdana lalu ada
pihak yang melakukan siaran langsung dan berbayar melalui kamera pribadinya dan atau
melakukan rekaman saat film berlangsung lalu dibagikan di sosial media seperti youtube pelaku
mendapatkan keuntungan tetapi film yang ada baru perdana tayang sehingga sangat merugikan
pihak pemilik hak ekonomi tersebut,fiksasi dari pertunjukan yang belum difiksasi contohnya
biasanya film yang baru lambat laun ditanyangkan secara berbayar di aplikasi resmi akan tetapi
sebelum hal tersebut terjadi ada beberapa pihak yang dengan sengaja melakukan fiksasi untuk
mendapatkan keuntungan padahal belum difiksasi, selanjutnya penyediaan atas fiksasi pertunjukan
yang dapat diakses publik contohnya pelaku bukan pemilik hak ekonomi film tetapi pelaku
menyebarluaskan fiksasi tersebut ke publik yaitu dengan menggunakan sosial media yaitu melalui
youtube dan mendapat keuntungan dari contoh tersebut pelaku dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.

(3) Larangan bagi pihak lain untuk penggandaan atau fiksasi dalam bentuk apapun contohnya
melalui rekaman kamera pelaku merekam suatu film lalu disebarluaskan melalui website tertentu
lalu mereka mendapatkan keuntungan, pendistribusian atas fiksasi pertunjukan atau salinannya
yaitu pihak pihak ilegal melakukan fiksasi untuk disebarluaskan contohnya cd suatu album artis
tidak asli dan didistribusikan lalu mereka akan mendapatkan keuntungan maka akan dipidana
penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak satu milliar rupiah.

(4) Sebagaimana mereka yang melakukan penggandaan atau fiksasi dalam bentuk apapun
,pendistribusian atas fiksasi pertunjukan atau salinannya dengan bentuk pembajakan maka mereka
akan dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak empat miliar rupiah.

PASAL 117 :

Dalam Pasal 117 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diatur tentang ketentuan
pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
atas Fonogram untuk penggunaan secara komersial dapat dipidana. Untuk memahami Pasal ini
maka harus mengerti apa itu Fonogram. Namun, sebelum kita memahami Fonogram, baiknya
memahami definisi dari Fiksasi terlebih dahulu, Fiksasi merupakan perwujudan hasil karya cipta
menjadi bentuk nyata termasuk di dalamnya perekaman suara atau gambar atau keduanya yang
dapat di dengar, diliihat, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun. Sedangkan
fonogram adalah Fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya, atau representasi suara, yang tidak
termasuk bentuk Fiksasi yang tergabung dalam sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya.
Fonogram dapat berupa format fisik ataupun digital (Mpeg-1 Layer 3 Audio (Mp3), Wavefrom
Audio Format (WAV), Mpeg-1 Layer 4 Audio (Mp4), atau buku-buku yang di audiokan.

Dari uraian – uraian tersebut di atas, diketahui bahwa salah satu unsur pokok rumusan
tindak pidana pada pasal 117 Ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014 adalah penggunaan secara
komersial, Hal ini berarti pidana hanya dapat diterapkan kepada setiap orang yang dengan sengaja
dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi membuat salinan fonogram. Orang tersebut
dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
Contoh : A meniru sebuah album seorang artis, kemudian menjualnya atau menyebarluasakannya,
dan ia mendapatkan uang dari orang-orang yang membeli album tersebut.

Kemudian selanjutnya, salah satu unsur pokok rumusan tindak pidana pada Pasal 117 Ayat
(2) UU Nomor 28 Tahun 2014 adalah penggunaan secara komersial, Hal ini berarti pidana hanya
dapat diterapkan kepada setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran
hak ekonomi membuat penggandaan atas Fonogram dengan cara atau bentuk apapun meliputi :
perubahan rekaman dari format fisik (compact disc/ video compact disc/ digital video disc)
menjadi format digital. (Mpeg-1 Layer 3 Audio (Mp3), Waveform Audio Format (WAV), Mpeg-1
Layer 4 Audio (Mp4), atau perubahan dari buku menjadi buku audio, pendistribusian atas
Fonogram asli atau salinannya, penyediaan atas Fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat
diakses publik. Maka, dapat dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Contoh : A mempunyai file Mp3 legal yang dia peroleh dari pembelian album seorang artis,
namun A tidak menyimpannya untuk keperluan pribadi, tetapi menggandakannya dan menjualnya
atau menyebarluasakannya di internet, kemudian ia mendapatkan uang dari orang-orang yang
mendownload file tersebut.

Pada ayat selanjutnya Pasal Ayat (3) sangat berkaitan dengan Pasal 17 Ayat (2), dimana
setiap orang yang memenuhi unsur dari Pasal 117 Ayat (2) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, maka dapat dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Contoh : Kasus pembajakan karya cipta lagu 'Cari Jodoh' yang dipopulerkan Band Wali

PASAL 118 :

(1) melarang bagi pihak lain untuk penyiaran ulang siaran, komunikasi siaran, fiksasi siaran,
penggandaan fiksasi siaran contohnya saat ada film perdana tayang lalu ada para pihak ilegal yang
diam diam melakukan fiksasi secara langsung dan mereka mendapat keuntungan maka dapat
didenda pidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda satu miliar rupiah.

(2) Terdapat orang yang melakukan pembajakan lalu menggandakan fiksasi siaran dengan tujuan
komersial maka akan didenda yaitu penjara paling lama 10 tahun dan atau denda 4 miliar rupiah.
PASAL 119 :

Contohnya lembaga manajemen kolektif yang dengan sengaja menarik royalti pihak
pencipta lagu suatu pihak padahal lembaga tersebut tidak terdaftar oleh kementrian maka akan
dihukum pidana paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak 1 miliar rupiah.

PASAL 120 :

Hal yang menarik dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 ini terkait dengan
pemberantasan tindak pidana hak cipta adalah dengan menempatkan seluruh rangkaian tindak
pidana dalam undang-undang ini dikategorikan sebagai delik aduan. Ini menyebabkan tidak ada
lagi kewenangan penyidik untuk melakukan penyidikan tanpa pengaduan dari pihak pencipta atau
pihak yang menerima hak dari pencipta. Tentu saja aspek perlindungan yang lebih baik diharapkan
dari undang-undang sebelumnya tidak dapat terpenuhi, walaupun pasal-pasal yang menjerat para
pelaku tindak pidana hak cipta jauh lebih luas dan ancaman hukumannya juga jauh lebih berat dari
undang-undang sebelumnya. Misalnya saja terhadap pengelola perdagangan atas barang-barang
hasil pelanggaran hak cipta yang selama ini menjadi ujuang tombak pemasaran karya cipta hasil
bajakan tidak mungkin dapat dijangkau oleh aparat penyidik apabila delik yang dikenakan kepada
mereka adalah delik aduan. Tentu saja dengan ditempatkannya tindak pidana pelanggaran hak
cipta tersebut sebagai delik aduan pemasaran DVD dan VCD karya sinematografi hasil bajakan
terkait karya cipta lagu akan semakin meluas.

Adapun contoh dari delik aduan utuk pelanggaran hak cipta yakni Terkait Pembajakan
Film Dilan 1990. Produser Film Dilan 1990 Ody Mulya Hidayat melaporkan tindakan pembajakan
film tersebut yang telah beredar dipasaran yang berbentuk DVD, padahal saat itu film Dilan 1990
masih tayang di bioskop. Akibat dari pembajakan film Dilan 1990 ini pihak produksi mengalami
kerugian besar. Ody Mulya selaku produser melaporkan kasus pembajakan tersebut kepada pihak
kepolisian dan meminta untuk mengusut tuntas kasus ini.

Anda mungkin juga menyukai