Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG

Indonesia mempunyai permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap

kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu masalah gizi yang menjadi

perhatian utama adalah angka anak balita pendek (stunting). Hasil dari South East

Asian Nutrition Survey (SEANUTS) pada tahun 2010-2011 menempatkan

Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah anak balita pendek terbesar, jauh

diatas Malaysia, Thailand serta Vietnam. WHO membagi masalah kesehatan

masyarakat menjadi 4 yaitu rendah <20%, medium 20-29%, tinggi 30-39%, sangat

tinggi ≥40%. Hasil RISKESDAS untuk data stunting di Indonesia pada tahun 2013

adalah 37,2% dan tahun 2018 turun menjadi 30,8%. Sehingga permasalahan angka

stunting di Indonesia sekarang masih tergolong tinggi.1,2,3,4

Saat ini di Indonesia, setiap 100 balita terdapat 12 balita yang kurus, 5 balita

kegemukan, dan 30 balita stunting. Pada tahun 2017, status gizi anak balita umur

0-23 bulan di provinsi Kalimantan Selatan yaitu 75,8% normal dan 24,2% stunting.

Prevalensi stunting (TB/U) balita usia 0-59 bulan pada tahun 2017 Provinsi

Kalimantan Selatan berdasarkan angka prevalensi yang paling rendah yaitu

kabupaten Tanah Bumbu (17,9%), Banjar (26,1%), Kota Banjarbaru (29,1%), Kota

Banjarmasin (31,5%), Balangan (35,3%), Barito Kuala (36,3%), Tabalong (36,5%),

Hulu Sungai Tengah (39,1%), Hulu Sungai Utara (39,4%), Hulu Sungai Selatan

(39,9%), Tanah Laut (40,6%), Tapin (45,7%), dan Kota Baru (46,7%). Sehingga

Kota Banjarbaru termasuk dalam kategori medium. Apabila dibandingkan dengan


angka prevalesi stunting Kota Banjarbaru pada tahun 2015 (21,5%) dan tahun 2016

(21,0%), pada tahun 2017 terjadi peningkatan. Sedangkan target nasional

penurunan prevalensi stunting pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah

28%.5,6,7,8,9

Status ekonomi secara tidak langsung mempengaruhi kejadian stunting. Data

UNICEF, terdapat sekitar 195 juta anak yang hidup di negara miskin dan

berkembang mengalami stunting. Rumah tangga miskin cenderung mempunyai

jumlah anggota rumah tangga yang lebih banyak karena rumah tangga miskin

cenderung mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi. Anak pada keluarga dengan

tingkat ekonomi rendah lebih berisiko mengalami stunting karena kemampuan

pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi.10,11

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, untuk dapat

memberikan gambaran dan pemahaman yang lebih jelas, maka rumusan masalah

pada penelitian ini meliputi hubungan antara status ekonomi keluarga dengan

kejadian stunting pada anak usia 0-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Cempaka

Banjarbaru.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Umum

Mengetahui hubungan antara pendidikan ibu, sikap ibu, status ekonomi

keluarga, BBLR dan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak

usia 0-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Banjarbaru.


1.3.2 Khusus

1. Mengetahui gambaran status gizi anak usia 0-59 bulan berdasarkan indikator

panjang badan menurut umur (PB/U) di wilayah kerja Puskesmas Cempaka

Banjarbaru.

2. Mengetahui hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian

stunting pada anak usia 0-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Cempaka

Banjarbaru.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Dinas Kesehatan dan Puskesmas

Sebagai masukan bagi tenaga kesehatan dan pihak yang terkait dalam

mengambil kebijakan penanggulangan stunting pada anak usia 0 – 59 bulan

di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Banjarbaru.

2. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hal-hal yang

menyebabkan gangguan pada perkembangan anak terutama usia 0-59 bulan.

3. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian hubungan

stunting dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya.

Anda mungkin juga menyukai