A. LATAR BELAKANG
Tulang merupakan salah satu organ penting tubuh manusia yang memiliki
banyak fungsi. Fungsi tulang dibagi menjadi sebagai struktur anatomik, dan
struktur organ. Sebagai struktur anatomik fungsi tulang antara lain menunjang
tubuh manusia, sebagai anggota gerak, dan melindungi organ dalam. Sebagai
organ tulang memproduksi sel darah dan berperan dalam metabolisme
kalsium dan fosfat. (Salter, 1999)
Secara kontinyu seumur hidup sel tulang akan mengalami proses
remodelling, penyerapan, dan pembentukan tulang. Proses ini terjadi secara
seimbang. Salah satu penyakit akibat ketidakseimbangan proses remodelling
adalah osteoporosis. Selain itu, masalah yang dapat terjadi pada tulang bisa
disebabkan oleh fraktur..
B. DEFENISI
Menurut Santoso Herman (2000:144) Fraktur adalah terputusnya
hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh
kekerasan.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Sjamsuhidayat, 2005).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2007).
Fraktur antebrachii yaitu terputusnya jaringan ektremitas distal bawah
secara bersamaan yaitu pada tulang radius dan ulnaris (Putri, 2008)
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan
cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen.
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
1) At axim : membentuk sudut.
2) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
3) At longitudinal : berjauhan memanjang.
4) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
8. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
9. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
10. Fraktur Patologi : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang. (Suddarth, 2002:2354-2356)
Klasifikasi fraktur antebrachii :
1. Fraktur antebrachii, yaitu perpatahan yang terjadi pada tulang radius dan
ulnaris.
2. Fraktur ulna (nighstick fractur), yaitu fraktur hanya pada tulang ulna.
3. Fraktur montegia, yaitu fraktur hanya pada tulang ulna proksimal yang
disertai dengan dislokasi sendi radioulna.
4. Fraktur galeazzi, yaitu fraktur radius distal disertai dengan dislokasi sendi
radioulna distal.
D. ETIOLOGI
Menurut (Doenges, 2000: 627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik).
E. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur
adalah:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
F. PATOFISIOLOGI
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau
trauma. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-
sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur)
dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati Carpenito (2000: 50)
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges, 2000:629).
G. KOMPLIKASI
1. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar
akibat trauma.
2. Mal union.
Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal
union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit
diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi
dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
3. Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu.
Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat
seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat
pembuluh darah kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi
ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.
8. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia,
dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau
keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau
pemasangan traksi. (Brunner & Suddarth, 2002: 2390).
H. PATHWAY
TRAUMA
Fraktur terbuka/tertutup
Cemas
Sindrom kompartemen
Pemasangan ORIF (Pucat, nyeri, pati rasa)
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X.Ray
2. Foto Ronsen
3. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
4. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
5. CCT kalau banyak kerusakan otot. (Carpenito 2000: 50)
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. B1 (Breathing) : Napas pendek
2. B2 (Blood) : Hipotensi, bradikardi,
3. B3 (Brain) : Pusing saat melakukan perubahan posisi, nyeri tekan otot,
hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan mengalami deformitas pada
daerah trauma.
4. B4 (Bleader) : Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi
perut dan peristaltic hilang
5. B5 (Bowel) : Mengalami distensi perut dan peristaltik usus hilang
6. B6 (Bone) : Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal,
hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot dan hilangnya reflek.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
dan muskuloskeletal, nyeri post operasi.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik, medikasi,
bedah perbaikan, perubahan pigmentasi dan perubahan sensasi.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kehancuran jaringan
(kehilangan barier kulit) dan kerusakan respon imun.
5. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, adanya ancaman terhadap
konsep diri, gambaran diri, adanya ancaman kematian (tersedak atau sulit
bernafas).
6. Kurang perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi, traksi atau gips
pada ekstremitas.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen yang menyebabkan cidera
fisik (cidera jaringan lunak).
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang
Kriteria hasil : Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang,
menunjukkan tindakan santai, dapat beraktivitas, tidur, istirahat,
menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik
sesuai indikasi.
Intervensi :
a. Evaluasi keluhan nyeri atau ketidaknyamanan, perhatikan lokasi,
karakteristik nyeri dan kaji tingkat nyeri dengan standar PQRST
Rasional : Untuk memulihkan pengawasan keefektifan intervensi,
tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi atau reaksi terhadap
nyeri.
b. Monitor tanda-tanda vital, observasi kondisi umum pasien dan
keluhan pasien.
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan kesehatan klien.
c. Ajarkan teknik relaksasi.
Rasional : Mengurangi nyeri.
d. Atur posisi yang nyaman dan aman.
Rasional : Mengurangi nyeri dan pergerakan.
e. Pertahankan imobilisasi pada bagian yang sakit.
Rasional : Nyeri dan spasme dikontrol dengan imobilisasi.
f. Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan nyeri atau spasme otot.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler dan muskuloskeletal, nyeri post operasi.
Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri.
Kriteria hasil : Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada
tingkat yang paling tinggi yang mungkin, mempertahankan posisi
fungsional, meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien dalam rentang gerak, latih dan bantu ROM (Range Of
Motion) pasif/aktif.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot, tulang dan mencegah
kontraktur.
b. Bantu dan dorong pasien dalam aktivitas perawatan diri.
Rasional : Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi serta kesehatan
diri.
c. Bantu dan dorong pasien dalam mobilisasi.
Rasional : Menurunkan risiko komplikasi tirah baring (decubitus).
d. Observasi tekanan darah dan atur posisi elevasi tungkai.
Rasional : Mengawasi adanya hipotensi postural karena tirah baring,
posisi elevasi dapat mengurangi edema.
e. Ubah posisi secara periodik dan dorong pasien untuk latihan batuk
efektif dan nafas dalam.
Rasional : Mencegah atau menurunkan insiden komplikasi kulit dan
pernafasan.
f. Pertahankan tirah baring dan melatih tangan serta ekstremitas yang
sakit dengan lembut.
Rasional : Meminimalkan nyeri dan mencegah salah posisi.
g. Beri bantuan dalam menggunakan alat gerak.
Rasional : Mobilisasi menurunkan komplikasi.
h. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk melatih pasien.
Rasional : Berguna dalam pembuatan aktivitas program latihan
mobilisasi.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik,
medikasi, bedah perbaikan, perubahan pigmentasi dan perubahan
sensasi.
Tujuan : Meminimalkan terjadinya kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil : Pasien menyatakan ketidaknyamanan hilang dan
mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Intervensi :
a. Kaji/catat ukuran, warna, kedalaman luka, perhatikan jaringan
nekrotik dan kondisi di sekitar luka.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2000), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius