Anda di halaman 1dari 19

TUGAS INDIVIDU

HUBUNGAN PILKADA SERENTAK DENGAN MANAJEMEN STRATEGIS

Dalam buku “Pilkada Serentak Penguatan Demokrasi di Indonesia”

oleh MB. Zubakhrum Tjenreng

Disusun oleh

Waode Alfiani

27.0627

S1 Manajemen Pemerintahan

FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang penulis sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan.

Dalam makalah ini penulis membahas “Hubungan Pilkada Serentak dan


Manajemen Strategik”, suatu permasalahan yang sangat penting mengingat bahwa
dalam demokrasi di pemerintahan Indonesia pilkada serentak merupakan salah satu
cara demokrasi itu dapat dilihat. Sehingga perlu pembelajaran dan pemehaman tentang
bagaimana manajemen strategik itu mempengaruhi pilkada serentak.

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman dan penerapan


masalah hubungan Pilkada Serentak dan Manajemen Strategik dan sekaligus untuk
menyelesaikan tuga mata kuliah “Manajemen Strategik”.

Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan,


arahan, koreksi dan saran. Semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya. Amin.

Jakarta, 08 Januari 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN MUKA

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 4

BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................................. 6


2.1 Pengertian Manajemen Strategik ...................................................................... 6

2.1 Pengertian Partai Politik .................................................................................... 6

2.1 Pengertian Pilkada ............................................................................................. 6

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................... 13


3.1 Manajemen Strategik Partai Politik dalam Mengusung Anggotanya sebagai calon
Pilkada Serentak ................................................................................................... 13

BAB IV PENUTUP ...................................................................................................... 18


4.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 18

4.2 Saran ............................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 19


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pilkada merupakan pesta demokrasi rakyat dalam memilih kepala daerah


beserta wakilnya yang berasal dari usulan partai politik tertentu, gabungan partai
politik atau secara independen dan yang telah memenuhi persyaratan.

Pasca reformasi, demokrasi Indonesia mengalami perkembangan yang sangat


pesat. Peningkatan partisipasi publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
disalurkan melalui pengaturan mekanisme yang semakin mencerminkan prinsip
keterbukaan dan persamaan bagi segenap warga Negara. Salah satu bentuknya
adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah ( pilkada ).

Dalam pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota sejak
Indonesia merdeka sebelum tahun 2005 hanya dipilih melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat
Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara


Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi
bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat
Pemilukada. Pemilihan umum kepala daerah pertama yang diselenggarakan
berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara


pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-
undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota.
Dari mekanisme demokrasi yang telah dijalankan, pemilukada mendapat
perhatian luas dan masih mengundang pertanyaan. Ada yang mengusulkan
perubahan UUD 1945 dilakukan lagi, antara lain karena pelaksanaan pemilukada
dinilai banyak menimbulkan efek negatif.

Pada tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPR-RI)
mengangkat isu terkait pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Sidang
Paripurna DPR-RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan
Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD.
Putusan pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI
yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang,
dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.

Namun hal tersebut membuat banyak kalangan kecewa bahwa pemilihan kepala
daerah melalui DPRD membuat demokrasi di Indonesia ini menjadi hilang yang
seharusnya pemimpin dipilih oleh rakyat untuk rakyat menjadi kewenangan DPRD.
Pada tanggal 17 Februari 2015 DPR mengesahkan UU No. 1 tahun 2015 tentang
pilkada. Disahkannya UU Pilkada, maka rakyat Indonesia tetap dapat memilih
langsung kepala daerah masing-masing.

Dengan kata lain, saat ini yang menjadi pertanyaan sentralnya adalah strategi
apa yang telah ditetapkan dan harus diimplementasikan parpol sebagai wujud nyata
kontribusinya bagi konsolidasi demokrasi. Secara lebih khusus, apa yang telah dan
harus diperbuatnya bagi kepentingan rakyat banyak melalui fungsionalisasi peran-
peran instrumentalnya dalam konteks kepentingan publik yang luas. Karena itu,
tulisan ini mengelaborasi lebih jauh tantangan, permasalahan dan prospek
penerapan manajemen strategik pada parpol di era demokratisasi

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah; Bagaimana manajemen
strategik partai politik dalam mengkaderisasi anggotanya menjadi calon dalam
pilkada serentak baik pilkada nasional maupun lokal?
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Manajemen Strategik

. Istilah strategic management oleh para ahli diterjemahkan ke dalam Bahasa


Indonesia menjadi beberapa istilah dengan aneka ragam penulisannya, diantaranya
manajemen strategis, manajemen strategi, manajemen strategik, dan manajemen
stratejik. Beberapa ahli telah mengemukakan pendapat atau definisi tentang
manajemen strategik, diantaranya sebagai berikut:

a. Siagian (1995:15), manajemen stratejik adalah serangkaian keputusan dan


tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan
oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi
tersebut.

b. David (2004:5), manajemen strategis adalah seni dan pengetahuan untuk


merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas
fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai objektifnya.

c. Hitt (2001:6), proses manajemen strategis adalah serangkaian penuh komitmen,


keputusan, dan tindakan yang diperlukan oleh sebuah perusahaan untuk
mencapai daya saing strategis dan menghasilkan di atas rata-rata.

Menurut Solihin (2012:70) pada saat melakukan kegiatan manajemen strategik,


para manajer perusahaan akan mengolah input yang diperoleh melalui evaluasi
terhadap misi, tujuan, strategi yang dimiliki perusahaan saat ini serta analisis terhadap
lingkungan internal (melalui analisis ini perusahaan akan dapat mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan sumber daya perusahaan) dan analisis terhadap lingkungan
eksternal (melalui analisis ini dapat mengidentifikasi peluang dan ancaman). Melalui
pengolahan input ini, perusahaan akan dapat merumuskan misi dan tujuan. Selanjutnya
perusahaan dapat memilih alternatif strategi yang dianggap paling baik untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Pada level korporasi, proses manajemen strategik meliputi aktivitas mulai dari
pengamatan/ pemindaian lingkungan sampai evaluasi kinerja. Manajemen mengamati
lingkungan eksternal untuk melihat kesempatan dan ancaman, serta mengamati
lingkungan internal untuk melihat kekuatan dan kelemahan. Faktor-faktor yang paling
penting untuk masa depan perusahaan disebut faktor-faktor strategis, yang diringkas
dengan singkatan SWOT (strengths/ kekuatan, weaknesses/kelemahan, opportunities/
kesempatan dan threats/ancaman). Setelah mengidentifikasi- faktor-faktor strategis,
manajemen mengevaluasi interaksinya dan menentukan misi perusahaan yang sesuai.
Langkah pertama dalam formulasi strategi adalah pernyataan misi, yang berperan
penting dalam menentukan tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Perusahaan
meng- implementasi strategi dan kebijakan tersebut melalui program, anggaran dan
prosedur. Akhirnya evaluasi kinerja dan umpan balik untuk memastikan tepatnya
pengendalian aktivitas perusahaan.

2.2 Pengertian Partai Politik


Beberapa definisi mengenai parpol dari para sarjana, sebagaimana dikutip
Budiardjo (2008:404) diantaranya
a. Carl J. Friedrich bahwa parpol adalah sekelompok manusia yang terorganisir
secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan
terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan
ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta
materiil.
b. Sigmund Neumann mengemukakan bahwa parpol adalah organisasi dari aktivis-
aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta
merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau
golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
3
Pada era reformasi saat ini, parpol secara normatif didefinisikan sebagaimana
tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan dan membela kepentingan anggota, masyarakat, bangsa
dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945

2.3 Pengertian Pilkada Serentak

Dalam sistem politik demokrasi, kehadiran pemilihan umum yang bebas dan adil
(free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan negara manapun sering menjadikan
pemilihan umum sebagai klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya. Di
negara-negara berkembang pemilihan umum seringkali tidak dapat dijadikan
parameter yang akurat dalam mengukur demokrasi atau tidaknya suatu sistem
politik, karena dalam praktiknya pemilu tidak dijalankan dengan menggunakan
prinsip-prinsip

Pemilihan kepala daerah atau yang biasa disebut PILKADA atau Pemilukada
dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang
memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan
wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang antara lain
Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, Bupati dan wakil bupati untuk
kabupaten, serta Wali kota dan wakil wali kota untuk kota.

Pengertian Lain tentang Pilkada adalah Pemilihan Gubernur dan pemilihan


Bupati/Walikota yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi
dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilu serentak (concurrent elections) secara sederhana dapat didefinisikan
sebagai pemilu yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu secara
bersamaan. Jenis-jenis pemilihan tersebut meliputi pemilihan eksekutif dan
pemilihan legislative diberagam tingkatan baik dari tingkat nasional, region hingga
pemilihan tingkat lokal.

Dalam penyelenggaraan PILKADA telah diatur dalam Undang-Undang berikut


adalah Dasar Hukum Penyelenggaraan PILKADA yang antara lain adalah :

1. Undang-undang (UU) Nomor: 32 tentang Pemerintah Daerah

2. Undang-undang (UU) Nomor: 32 tentang Penjelasan Pemerintahan Daerah

3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 17 tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN


PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN
PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA
DAERAH

4. PP Pengganti UU Nomor: 3 tentang PERPU NO 3 TAHUN 2005


BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Manajemen Strategik Partai Politik dalam Mengusung Anggotanya sebagai calon
Pilkada Serentak

Pelaksanaan pilkada serentak merupakan bagian dari langkah mewujudkan


agenda demokrasi secara menyeluruh, atau salah satu perwujudan komitmen Negara
demokrasi sebagimana telah digariskan konstistusi. Pilkada serentak ini diharapkan
dapat mencerminkan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan sesungguhnya
sebagaimana yang tercantum dalam UUD tahun 1945.

Dalam sistem politik demokrasi, kehadiran pemilihan umum yang bebas dan adil
(free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan negara manapun sering menjadikan
pemilihan umum sebagai klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya. Di
negara-negara berkembang pemilihan umum seringkali tidak dapat dijadikan parameter
yang akurat dalam mengukur demokrasi atau tidaknya suatu sistem politik, karena
dalam praktiknya pemilu tidak dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip
demokrasi.

Sejarah mencatat bahwa keran keterbukaan dalam kemasan demokratisasi dan


kemerdekaan berekspresi, telah mendorong kebergairahan sebagian elemen
masyarakat dalam era ini, diantaranya dengan antusiasnya mendirikan parpol. Salah
satu indikasi yang tidak terbantahkan adalah data yang fantastis secara kuantitatif
berupa parpol sebagai badan hukum yang jumlahnya ratusan, dan kemudian diverifikasi
oleh penyelenggara pemilu menjadi parpol peserta pemilu selama kurun waktu era
reformasi yaitu 48 parpol (pemilu 1999), 24 (pemilu 2004), 38 (pemilu 2009) dan 12
(pemilu 2014).

Fakta ini tentu saja menorehkan catatan positif bagi Indonesia yang masih
sedang berkonsolidasi demokrasi. Namun demikian, hal ini patut pula diacungi
pertanyaan mendasar tentang bagaimana kontribusinya bagi kemaslahatan dan
kepentingan bangsa yang lebih besar. Merupakan suatu keniscayaan bahwa dalam
sebuah negara yang mengklaim diri sebagai demokrasi, keberadaan dan fungsionalisasi
perannya akan menjadi parameter kunci, apakah dirinya hanya sekedar asesoris atribut
sistem politik demokrasi atau benar-benar telah bermakna fungsional bagi kepentingan
publik. Sejarah negeri ini dalam berparpol yang telah lebih dari 70 tahun dengan segala
riak dan dinamikanya tentu bakal menjadi fenomena menarik untuk terus menerus
dikaji.

Perkembangan lingkungan strategis organisasi parpol saat ini tentu saja sangat jauh
berbeda bila dibandingkan dengan kondisi politik di awal reformasi. Dalam konteks ini,
segenap jajaran parpol, khususnya yang berada pada level top management dituntut
merancang dan menetapkan keputusan strategis sehingga sebagai organisasi benar-
benar dirinya dapat mencapai tujuan organisasi secara lebih efektif. Dari perspektif
manajemen strategik, bahkan tujuan akhirnya adalah agar organisasi dapat tampil
dengan memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage). Sebagai contoh, makin
diminatinya jalur perseorangan dalam pencalonan pilkada merupakan satu indikasi
bahwa parpol sudah harus segera berbenah diri dengan sangat serius kalau tidak ingin
ditinggalkan pemilihnya.

Pilkada serentak penting dan strategis bagi bangsa Indonesia untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang kompeten, kredibel dan berintegrasi. Paling tidak
terdapat tiga alasan penting mengapa pilkada serentak harus dilaksanakan, yakni
memperkuat efetivitas system pemerintahan, efesiensi pembiayaan penyelenggaraan
pilkada, dan penataan siklus penyelenggaraan pemilu secara nasional.

Banyak organisasi melakukan rapat resmi setiap setengah tahun untuk


mendiskusikan dan memutakhirkan misi perusahaan, peluang/ancaman, kekuatan/
kelemahan, strategi, sasaran, kebijakan dan prestasi. Komunikasi dan umpan balik yang
baik diperlukan dalam seluruh proses manajemen strategis. Untuk memperkecil dampak
ketidakpastian masa depan terkait dengan keputusan yang telah diambil, perlu
diperhatikan dan diperhitungkan berbagai dimensi keputusan stratejik, yaitu dimensi
keterlibatan manajemen puncak (top management), dimensi alokasi dana, sarana dan
prasarana, dimensi waktu keputusan stratejik, dimensi orientasi masa depan, dimensi
isu stratejik yang multifaset, dan dimensi lingkungan eksternal.

Menurut saya inilah yang dibutuhkan dalam pilkada serentak khususnya bagi partai
politik yang mengajukan kader-kadernya atau anggota partainya untuk menjabat dalam
suatu struktur pemerintahan yang dilakukan melalui pemilu, baik pemilu nasional
ataupun pemilu lokal. Bukan hanya modal mengajukan diri menjadi calon dalam pilkada
namun sebuah parpol harus merancang dengan baik apa yang akan dilakukan dalam
menghadapi pilkada.

Sebuah Partai Politik dalam mengusung kaderisasinya terlebih dahulu mengamati


lingkungan eksternal untuk melihat kesempatan dan ancaman, serta mengamati
lingkungan internal untuk melihat kekuatan dan kelemahan atau biasa kita kenal dengan
analisis SWOT. Ini berguna agar partai politik tersebut tidak gegabah dalam menentukan
arah, tujuan, visi, dan misi kedepannya.

Setelah mengidentifikasi- faktor-faktor strategis, manajemen mengevaluasi


interaksinya dan menentukan misi perusahaan yang sesuai. Langkah pertama dalam
formulasi strategi adalah pernyataan visi dan misi, yang berperan penting dalam
menentukan tujuan, strategi, dan kebijakan. Partai politik harus mempersiapkan apa
yang akan menjadi visi dan misinya kedepannya yang akan dipaparkan di depan rakyat.
Namun bukan hanya sekedar pernyataan visi dan misi yang dibutuhkan rakyat
melainkan implementasi dari calon yang diusungkan partai politik.

Seorang calon pemimpin yang diusung dari partai politik tertentu harus memikirkan
strategi apa yang akan digunakan dalam pilkada yang diikuti bukan hanya mengandalkan
kinerja dari partai politik yang diusung dengan hanya memberikan visi dan misi. Karena
menurut saya sekedar itu saja tanpa adanya manajemen strategi yang baik dalam
melaksanakan visi dan misi akan menjadi penghalang dalam penyelenggaraan pemilu.
Karena rakyat dimasa sekarang sudah sangat sadar akan pentingnya hak suara yang
akan dia buat, dia tidak akan memilih seseorang yang tidak memiliki strategi dalam
merealisasikan visi dan misi yang telah ia buat. Begitupun sebaliknya, rakyat akan
memilih calon yang dapat merealisasikan visi dan misi yang telah ia nyatakan.

Setiap parpol melaksanakan dua fungsi utama parpol dalam demokrasi perwakilam.
Pertama, parpol menyiapkan calon pemimpin dan menawarkan calon pemempinnya
kepada rakyat pada masa kampanye pemilu. Untuk fungsi ini, parpol melakukan
rekrutmen warga Negara menjadi anggota partai, melakukan kaderisasi secara terbuka,
partisipatif dan sistematis terhadap anggota, dan menominasikan kader menjadi calon
anggota DPR, DPRD, Presiden , Wakil Presidan, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
pada pemilu. Rakyat berharap bahwa dari pengkaderisasian ini lahir pemimpin yang
berkarakter dan berintegritas yang nantinya akan diusungkan partai politik tersebut
bukan asal memilih calon berdasarkan adanya kekuasaan yang lebih.

Kemudian hal yang paling penting dalam pengkaderisasian anggota partai politik
yaitu partai politik dapat membangun kedewasaan dalam kompetisi politik dengan sikap
sportif, sikap siap dalam menghadapi kemenangan dan kekalahan dalam
penyelenggaraan pemilu, sehingga akan terciptanya keadaan kondisif pasca pilkada.

Dan fungsi kedua, menyiapkan rancangan kebijakan public dan menawarkannya


kepada rakyat pada masa kampanye pemilu. Untuk fungsi ini, parpol harus
mendengarkan dan merumuskan aspirasi konstituen, dan menjabarkan ideology parpol
menjadi pola dan arah kebijakan public dalam berbagai bidang berdasarkan aspirasi
konstituen. Sebaliknya apabila parpol lebih berorientasi pragmatis baik dalam wujud
“mencari dan mempertahankan kekuasaan” yang terlepas dari fungsi menyiapkan calon
pemimpin dan dalam wujud rente politik, maka pemilu nasional serentak yang terpisah
dari pemilu lokal serentak tidak akan dapat menciptakan sinergi pemerintahan.

Yang paling menentukan manajemen strategi dalam penyelenggaraan pilkada yang


demokratis berada pada pihak partai politik tersebut. Pasalnya partai politik harus
mengutamakan munculnya kader internal dalam proses pilkada. Kemudian partai politik
juga harus meningkatkan kualitas anggota dan perfoma partai melalui peningkatan
wawasan dan keterampilan tata kelola partai, menjaga soliditas partai, dan berupaya
menepati janji-janji sehingga rakyat tetap konsisten dalam memilih partai tersebut.

Saya juga beranggapan bahwa seorang yang ingin mengikuti pilkada harus betul
mempersiapkan dengan seksama bukan hanya mengandalkan nama partai politik yang
mengusung. Ia betul-betul harus menunjukkan kepada rakyat bahwa ia memang
memiliki kompetensi dalam hal memimpin. Namun bukan juga memberikan harapan
palsu ataupun janji-janji partai yang kelak ia akan lupa, karena itu juga akan
mempengaruhi citra partai yang mengusung dan dirinyana sendiri. Sehingga apabila
nantinya ia mencalonkan lagi, rakyat akan berfikir bahwa ia tidak layak untuk kembali
dipilih dan meninggalkan partai atau calon tersebut.

Kemudian strategi yang biasa dan paling sering diambil sebuah partai politik dalam
menghadapi pilkada serentak yaitu dengan membuat koalisi antar partai. Setiap partai
akan berupaya menjajagi dan mencari partai politik menjadi mitra koalisi berdasarkan
kedekatan ideologik dan berdasarkan persamaan atau kedekatan kriteria pasangan
calon. Kemudian apabila sudah terbentuk maka agenda selanjutnya yaitu membuat
materi kampanye pemilu baik nasional (presiden-wapres) ataupun pemilu lokal.

Selanjutnya perlu adanya Evaluasi strategi. Dimana evaluasi strategi merupakan


tahap akhir dalam manajemen strategik. Sangat perlu mengetahui kapan strategi
tertentu tidak berfungsi dengan baik; evaluasi strategi terutama berarti usaha untuk
memperoleh informasi ini. Semua strategi dapat dimodifikasi di masa depan karena
faktor-faktor eksternal dan internal selalu berubah. Evaluasi atau penilaian didefinisikan
sebagai upaya yang dilakukan secara sadar dan sistematik untuk membandingkan hasil
yang senyatanya dicapai dengan hasil yang seharusnya dicapai dikaitkan dengan tujuan,
sasaran, dan rencana dalam hal ini termasuk strategi sebagai produk proses
perencanaan setelah suatu tahap tertentu dalam proses operasional dilalui.

Evaluasi strategi penting karena pemerintah menghadapi lingkungan yang dinamis


dengan faktor-faktor eksternal dan internal berubah dengan cepat dan dramatis. Sukses
saat ini tidak menjamin sukses esok hari. Sebuah partai politik seharusnya tidak boleh
puas terbuai dengan sukses yang ia dapatkan jika anggotanya dapat terpilih dalam
pemilu nasional ataupun pemilu lokal. Banyak partai politi yang menikmati kemakmuran
dalam satu masa jabatan harus berjuang keras untuk dapat bertahan di masa jabatan
berikutnya. Evaluasi strategi meningkatkan kemampuan partai politik ataupun
pemerintah untuk menyesuaikan diri dengan sukses pada keadaan yang berubah atau
keadaan dimasa yang akan datang.

Evaluasi strategi, termasuk di dalamnya pengawasan/pengendalian strategi, dalam


kehidupan keseharian organisasi parpol tampaknya belum juga menjadi bagian dari
aktivitas yang builtin dalam setiap setiap gerak langkah dan riak organisasi. Padahal
terdapat tuntutan publik untuk pembenahan yang integral komprehensif kepada
segenap anggota parpol di tengah fakta yang tak terbantahkan bahwa citranya saat ini
di mata publik tengah mengalami kemerosotan sampai ke titik yang sangat
mengkhawatirkan. Ini tidak terlepas dari makin maraknya aksi-aksi korupsi dengan
segala bentuknya yang dilakukan oleh sebagian anggota/kader parpol, baik yang berada
di lembaga eksekutif maupun legislatif, termasuk yang berada di berbagai daerah.

Kenyataannya, evaluasi yang dilakukan lebih banyak terfokus pada bagian akhir dari
proses ritual politik lima tahunan, seperti pemilu (pileg dan pilpres) dan pilkada yang
hanya berkutat pada deretan angka-angka raihan suara atau kursi/jabatan publik.
Jarang sekali dilakukan terhadap proses pengawasan/ pengendalian yang akurat pada
saat sumber-sumber daya organisasi dimobilisasi, misalnya, ketika pemilu/pilkada
berlangsung. Demikian pula perhelatan rutin parpol sebagai puncak aktivitas organisasi
(kongres, muktamar atau nama lainnya) tidak selalu menjadi momentum strategis untuk
mengoreksi secara total berbagai kesalahan atau kekurangan yang terjadi. Publik justru
acapkali disuguhkan pemandangan rebutan posisi-posisi strategis yang didalamnya
diwarnai berbagai intrik yang justru kontraproduktif bagi lahirnya postur parpol sebagai
organisasi modern. Padahal, aktivitas fact finding yang dilakukan pada tahap ini
merupakan entrypoint sangat penting bagi berjalannya tahap evaluasi strategi secara
tepat, sehingga benar-benar kontributif bagi lahirnya sosok parpol yang berkeunggulan
kompetitif.

Harapan munculnya sosok parpol yang kinerjanya benar-benar diorientasikan


hanya untuk kepentingan publik merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan lagi.
Efektivitas parpol sebagai organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya menjadi agenda
besar dan mendasar dalam penataan parpol sebagai bagian dari pembangunan politik
saat ini. Dengan kata lain, efektivitas organisasi merupakan faktor penting dalam terus
mendorong konsolidasi demokrasi saat ini. Untuk dapat tampil dengan sosok seperti
yang diharapkan tersebut, maka penerapan manajemen strategik merupakan suatu
keniscayaan.

Seluruh anggota partai politik ditantang dan dituntut untuk dapat mewujudkan
penerapan manajemen strategik ini dalam setiap gerak langkahnya, melalui
operasionalisasi fungsi-fungsinya instrumentalnya sebagai pengusung aspirasi rakyat,
serta dengan komitmen dan kesungguhan untuk menjadikan parpol tempatnya
bernaung sebagai organisasi modern. Berbagai perangkat regulasi yang sedang berlaku
dan yang akan terbit terkait keberadaannya tak lebih hanyalah pemenuhan dimensi
formal yuridis bagi proses konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung. Faktor
penentu yang paling besar bagi penerapan manajemen strategik adalah innerwill yang
ditunjukkan oleh segenap manajer/ petinggi parpol di semua level organisasi tanpa
kecuali. Prospek konsolidasi demokrasi tampaknya masih mengandung optimisme
terutama dengan melihat kontrol publik yang selalu mengiringi setiap langkah institusi
politik, termasuk parpol. Dengan itu pula prospek penerapan manajemen strategik pada
parpol di era demokratisasi saat ini tampaknya masih mengandung secercah harapan.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran parpol dalam


berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting, karena hal ini
berkaitand engan upaya mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan ini,kemampuan
dirinya sangat dipertaruhkan dalam mengidentifikasi dan menganalisis perkembangan
perubahan lingkungan yang sangat cepat. Keberadaan strategi yang tepat sebagai
respon terhadap hal tersebut dipandang sangat menentukan bagi pelaksanaan fungsi-
fungsinya sebagai pilar demokrasi. Oleh karenanya, penerapan manajemen strategik
pada dirinya akan sangat mendorong lahirnya sosok parpol yang berkeunggulan
kompetitif dalam menghasilkan atau melahirkan calon pemimpin. Dalam kenyataannya,
penerapan manajemen strategik dalam setiap gerak langkah parpol masih dihadapkan
kepada berbagai tantangan dan permasalahan, baik internal maupun eksternal.
Kemauan serius segenap manajer/petinggi parpol pada semua level organisasi parpol
tanpa kecuali untuk berubah sesuai tuntutan publik akan memperkokoh eksistensinya.
Dengan demikian, hal ini akan memberi penguatan pada konsolidasi demokrasi yang
saat initengah berlangsung.

Hal yang direkomendasikan antara lain agar parpol selalu responsif dan adaptif
terhadap setiap gerak perkembangan lingkungan, khususnya tuntutan publik. Revisi
terhadap visi dan misi organisasi yang umumnya tergambar pada tujuan, fungsi atau
program serta aspek organisasi lainnya yang termuat dalam anggaran dasarnya perlu
terus dilakukan sejalan dengan dinamika organisasi. Peningkatan kualitas anggota atau
kader parpol, termasuk yang dipersiapkan menempati jabatan publik merupakan
sesuatu yang mutlak dilakukan. Evaluasi terhadap berbagai langkah organisasi dalam
kerangka manajemen strategik harus terus menerus dilakukan sehingga parpol
mendapatkan keunggulan kompetitif.

Anda mungkin juga menyukai