Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh
Waode Alfiani
27.0627
S1 Manajemen Pemerintahan
Rasa syukur yang penulis sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN MUKA
PENDAHULUAN
Dalam pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota sejak
Indonesia merdeka sebelum tahun 2005 hanya dipilih melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat
Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Pada tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPR-RI)
mengangkat isu terkait pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Sidang
Paripurna DPR-RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan
Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD.
Putusan pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI
yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang,
dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.
Namun hal tersebut membuat banyak kalangan kecewa bahwa pemilihan kepala
daerah melalui DPRD membuat demokrasi di Indonesia ini menjadi hilang yang
seharusnya pemimpin dipilih oleh rakyat untuk rakyat menjadi kewenangan DPRD.
Pada tanggal 17 Februari 2015 DPR mengesahkan UU No. 1 tahun 2015 tentang
pilkada. Disahkannya UU Pilkada, maka rakyat Indonesia tetap dapat memilih
langsung kepala daerah masing-masing.
Dengan kata lain, saat ini yang menjadi pertanyaan sentralnya adalah strategi
apa yang telah ditetapkan dan harus diimplementasikan parpol sebagai wujud nyata
kontribusinya bagi konsolidasi demokrasi. Secara lebih khusus, apa yang telah dan
harus diperbuatnya bagi kepentingan rakyat banyak melalui fungsionalisasi peran-
peran instrumentalnya dalam konteks kepentingan publik yang luas. Karena itu,
tulisan ini mengelaborasi lebih jauh tantangan, permasalahan dan prospek
penerapan manajemen strategik pada parpol di era demokratisasi
LANDASAN TEORI
Dalam sistem politik demokrasi, kehadiran pemilihan umum yang bebas dan adil
(free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan negara manapun sering menjadikan
pemilihan umum sebagai klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya. Di
negara-negara berkembang pemilihan umum seringkali tidak dapat dijadikan
parameter yang akurat dalam mengukur demokrasi atau tidaknya suatu sistem
politik, karena dalam praktiknya pemilu tidak dijalankan dengan menggunakan
prinsip-prinsip
Pemilihan kepala daerah atau yang biasa disebut PILKADA atau Pemilukada
dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang
memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan
wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang antara lain
Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, Bupati dan wakil bupati untuk
kabupaten, serta Wali kota dan wakil wali kota untuk kota.
PEMBAHASAN
3.1 Manajemen Strategik Partai Politik dalam Mengusung Anggotanya sebagai calon
Pilkada Serentak
Dalam sistem politik demokrasi, kehadiran pemilihan umum yang bebas dan adil
(free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan negara manapun sering menjadikan
pemilihan umum sebagai klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya. Di
negara-negara berkembang pemilihan umum seringkali tidak dapat dijadikan parameter
yang akurat dalam mengukur demokrasi atau tidaknya suatu sistem politik, karena
dalam praktiknya pemilu tidak dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip
demokrasi.
Fakta ini tentu saja menorehkan catatan positif bagi Indonesia yang masih
sedang berkonsolidasi demokrasi. Namun demikian, hal ini patut pula diacungi
pertanyaan mendasar tentang bagaimana kontribusinya bagi kemaslahatan dan
kepentingan bangsa yang lebih besar. Merupakan suatu keniscayaan bahwa dalam
sebuah negara yang mengklaim diri sebagai demokrasi, keberadaan dan fungsionalisasi
perannya akan menjadi parameter kunci, apakah dirinya hanya sekedar asesoris atribut
sistem politik demokrasi atau benar-benar telah bermakna fungsional bagi kepentingan
publik. Sejarah negeri ini dalam berparpol yang telah lebih dari 70 tahun dengan segala
riak dan dinamikanya tentu bakal menjadi fenomena menarik untuk terus menerus
dikaji.
Perkembangan lingkungan strategis organisasi parpol saat ini tentu saja sangat jauh
berbeda bila dibandingkan dengan kondisi politik di awal reformasi. Dalam konteks ini,
segenap jajaran parpol, khususnya yang berada pada level top management dituntut
merancang dan menetapkan keputusan strategis sehingga sebagai organisasi benar-
benar dirinya dapat mencapai tujuan organisasi secara lebih efektif. Dari perspektif
manajemen strategik, bahkan tujuan akhirnya adalah agar organisasi dapat tampil
dengan memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage). Sebagai contoh, makin
diminatinya jalur perseorangan dalam pencalonan pilkada merupakan satu indikasi
bahwa parpol sudah harus segera berbenah diri dengan sangat serius kalau tidak ingin
ditinggalkan pemilihnya.
Pilkada serentak penting dan strategis bagi bangsa Indonesia untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang kompeten, kredibel dan berintegrasi. Paling tidak
terdapat tiga alasan penting mengapa pilkada serentak harus dilaksanakan, yakni
memperkuat efetivitas system pemerintahan, efesiensi pembiayaan penyelenggaraan
pilkada, dan penataan siklus penyelenggaraan pemilu secara nasional.
Menurut saya inilah yang dibutuhkan dalam pilkada serentak khususnya bagi partai
politik yang mengajukan kader-kadernya atau anggota partainya untuk menjabat dalam
suatu struktur pemerintahan yang dilakukan melalui pemilu, baik pemilu nasional
ataupun pemilu lokal. Bukan hanya modal mengajukan diri menjadi calon dalam pilkada
namun sebuah parpol harus merancang dengan baik apa yang akan dilakukan dalam
menghadapi pilkada.
Seorang calon pemimpin yang diusung dari partai politik tertentu harus memikirkan
strategi apa yang akan digunakan dalam pilkada yang diikuti bukan hanya mengandalkan
kinerja dari partai politik yang diusung dengan hanya memberikan visi dan misi. Karena
menurut saya sekedar itu saja tanpa adanya manajemen strategi yang baik dalam
melaksanakan visi dan misi akan menjadi penghalang dalam penyelenggaraan pemilu.
Karena rakyat dimasa sekarang sudah sangat sadar akan pentingnya hak suara yang
akan dia buat, dia tidak akan memilih seseorang yang tidak memiliki strategi dalam
merealisasikan visi dan misi yang telah ia buat. Begitupun sebaliknya, rakyat akan
memilih calon yang dapat merealisasikan visi dan misi yang telah ia nyatakan.
Setiap parpol melaksanakan dua fungsi utama parpol dalam demokrasi perwakilam.
Pertama, parpol menyiapkan calon pemimpin dan menawarkan calon pemempinnya
kepada rakyat pada masa kampanye pemilu. Untuk fungsi ini, parpol melakukan
rekrutmen warga Negara menjadi anggota partai, melakukan kaderisasi secara terbuka,
partisipatif dan sistematis terhadap anggota, dan menominasikan kader menjadi calon
anggota DPR, DPRD, Presiden , Wakil Presidan, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
pada pemilu. Rakyat berharap bahwa dari pengkaderisasian ini lahir pemimpin yang
berkarakter dan berintegritas yang nantinya akan diusungkan partai politik tersebut
bukan asal memilih calon berdasarkan adanya kekuasaan yang lebih.
Kemudian hal yang paling penting dalam pengkaderisasian anggota partai politik
yaitu partai politik dapat membangun kedewasaan dalam kompetisi politik dengan sikap
sportif, sikap siap dalam menghadapi kemenangan dan kekalahan dalam
penyelenggaraan pemilu, sehingga akan terciptanya keadaan kondisif pasca pilkada.
Saya juga beranggapan bahwa seorang yang ingin mengikuti pilkada harus betul
mempersiapkan dengan seksama bukan hanya mengandalkan nama partai politik yang
mengusung. Ia betul-betul harus menunjukkan kepada rakyat bahwa ia memang
memiliki kompetensi dalam hal memimpin. Namun bukan juga memberikan harapan
palsu ataupun janji-janji partai yang kelak ia akan lupa, karena itu juga akan
mempengaruhi citra partai yang mengusung dan dirinyana sendiri. Sehingga apabila
nantinya ia mencalonkan lagi, rakyat akan berfikir bahwa ia tidak layak untuk kembali
dipilih dan meninggalkan partai atau calon tersebut.
Kemudian strategi yang biasa dan paling sering diambil sebuah partai politik dalam
menghadapi pilkada serentak yaitu dengan membuat koalisi antar partai. Setiap partai
akan berupaya menjajagi dan mencari partai politik menjadi mitra koalisi berdasarkan
kedekatan ideologik dan berdasarkan persamaan atau kedekatan kriteria pasangan
calon. Kemudian apabila sudah terbentuk maka agenda selanjutnya yaitu membuat
materi kampanye pemilu baik nasional (presiden-wapres) ataupun pemilu lokal.
Kenyataannya, evaluasi yang dilakukan lebih banyak terfokus pada bagian akhir dari
proses ritual politik lima tahunan, seperti pemilu (pileg dan pilpres) dan pilkada yang
hanya berkutat pada deretan angka-angka raihan suara atau kursi/jabatan publik.
Jarang sekali dilakukan terhadap proses pengawasan/ pengendalian yang akurat pada
saat sumber-sumber daya organisasi dimobilisasi, misalnya, ketika pemilu/pilkada
berlangsung. Demikian pula perhelatan rutin parpol sebagai puncak aktivitas organisasi
(kongres, muktamar atau nama lainnya) tidak selalu menjadi momentum strategis untuk
mengoreksi secara total berbagai kesalahan atau kekurangan yang terjadi. Publik justru
acapkali disuguhkan pemandangan rebutan posisi-posisi strategis yang didalamnya
diwarnai berbagai intrik yang justru kontraproduktif bagi lahirnya postur parpol sebagai
organisasi modern. Padahal, aktivitas fact finding yang dilakukan pada tahap ini
merupakan entrypoint sangat penting bagi berjalannya tahap evaluasi strategi secara
tepat, sehingga benar-benar kontributif bagi lahirnya sosok parpol yang berkeunggulan
kompetitif.
Seluruh anggota partai politik ditantang dan dituntut untuk dapat mewujudkan
penerapan manajemen strategik ini dalam setiap gerak langkahnya, melalui
operasionalisasi fungsi-fungsinya instrumentalnya sebagai pengusung aspirasi rakyat,
serta dengan komitmen dan kesungguhan untuk menjadikan parpol tempatnya
bernaung sebagai organisasi modern. Berbagai perangkat regulasi yang sedang berlaku
dan yang akan terbit terkait keberadaannya tak lebih hanyalah pemenuhan dimensi
formal yuridis bagi proses konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung. Faktor
penentu yang paling besar bagi penerapan manajemen strategik adalah innerwill yang
ditunjukkan oleh segenap manajer/ petinggi parpol di semua level organisasi tanpa
kecuali. Prospek konsolidasi demokrasi tampaknya masih mengandung optimisme
terutama dengan melihat kontrol publik yang selalu mengiringi setiap langkah institusi
politik, termasuk parpol. Dengan itu pula prospek penerapan manajemen strategik pada
parpol di era demokratisasi saat ini tampaknya masih mengandung secercah harapan.
Hal yang direkomendasikan antara lain agar parpol selalu responsif dan adaptif
terhadap setiap gerak perkembangan lingkungan, khususnya tuntutan publik. Revisi
terhadap visi dan misi organisasi yang umumnya tergambar pada tujuan, fungsi atau
program serta aspek organisasi lainnya yang termuat dalam anggaran dasarnya perlu
terus dilakukan sejalan dengan dinamika organisasi. Peningkatan kualitas anggota atau
kader parpol, termasuk yang dipersiapkan menempati jabatan publik merupakan
sesuatu yang mutlak dilakukan. Evaluasi terhadap berbagai langkah organisasi dalam
kerangka manajemen strategik harus terus menerus dilakukan sehingga parpol
mendapatkan keunggulan kompetitif.