Anda di halaman 1dari 11

PERDARAHAN POSTPARTUM

Pengertian Perdarahan Postpartum didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml atau lebih


darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah seksio sesaria
(Leveno, 2009; WHO, 2012).

Etiologi Perdarahan Postpartum bisa disebabkan karena :


1. Atonia Uteri Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya miometrium
untuk berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis
dikontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada di sekitar
pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta
(Wiknjosastro, 2006). Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium
dapat menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah serta syok hipovolemik.
Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan oleh kelelahan karena
persalinan lama atau persalinan yang terlalu cepat, terutama jika dirangsang.
Selain itu, obat-obatan seperti obat anti-inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat,
beta-simpatomimetik, dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi
miometrium. Penyebab lain adalah situs implantasi plasenta di segmen bawah
rahim, korioamnionitis, endomiometritis, septikemia, hipoksia pada solusio
plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif (Rueda et al., 2013). Atonia uteri
merupakan penyebab paling banyak, hingga sekitar 70% kasus. Atonia dapat
terjadi setelah persalinan vaginal, persalinan operatif ataupun persalinan
abdominal. Penelitian sejauh ini membuktikan bahwa atonia uteri lebih tinggi pada
persalinan abdominal dibandingkan dengan persalinan vaginal (Edhi, 2013).
2. Laserasi jalan lahir Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan
dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik
akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin
persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir
biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forsep atau vakum
ekstraksi, atau karena versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2010).
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu (Rohani, Saswita dan
Marisah, 2011):
a. Derajat satu Robekan mengenai mukosa vagina dan kulit perineum.
b. Derajat dua Robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan otot perineum.
c. Derajat tiga Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot perineum,
dan otot sfingter ani eksternal.
d. Derajat empat Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot
perineum, otot sfingter ani eksternal, dan mukosa rektum.

3. Retensio plasenta Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan karena plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan.
Retensio plasenta merupakan etiologi tersering kedua dari perdarahan postpartum
(20% - 30% kasus). Kejadian ini harus didiagnosis secara dini karena retensio
plasenta sering dikaitkan dengan atonia uteri untuk diagnosis utama sehingga
dapat membuat kesalahan diagnosis. Pada retensio plasenta, resiko untuk
mengalami perdarahan post partum 6 kali lipat pada persalinan normal
(Ramadhani, 2011).
Jenis retensio plasenta antara lain:
a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan miometrium.
c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan serosa dinding uterus.
d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
4. Koagulopati
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karena kelainan pada pembekuan
darah. Penyebab tersering Perdarahan Post Partum adalah atonia uteri, yang
disusul dengan tertinggalnya sebagian plasenta. Namun, gangguan pembekuan
darah dapat pula menyebabkan Perdarahan Post Partum. Hal ini disebabkan
karena defisiensi faktor pembekuan dan penghancuran fibrin yang berlebihan.
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun
didapat. Kelainan pembekuan darah dapat berupa hipofibrinogenemia,
trombositopenia, Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP), HELLP syndrome
(hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count), Disseminated
Intravaskuler Coagulation (DIC), dan Dilutional coagulopathy (Wiknjosastro, 2006;
Prawirohardjo, 2010). Kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan dengan beberapa
kondisi kehamilan lain seperti solusio plasenta, preeklampsia, septikemia dan
sepsis intrauteri, kematian janin lama, emboli air ketuban, transfusi darah
inkompatibel, aborsi dengan NaCl hipertonik dan gangguan koagulasi yang sudah
diderita sebelumnya. Penyebab yang potensial menimbulkan gangguan koagulasi
sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga persiapan untuk mencegah
terjadinya Perdarahan Post Partum dapat dilakukan sebelumnya (Anderson, 2008).

Klasifikasi Perdarahan Postpartum:


1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum yang terjadi dalam 24
jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah
atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartum yang terjadi
setelah 24 jam pertama kelahiran.
3. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang
tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
Faktor Risiko
1. Faktor risiko sebelum kehamilan meliputi usia, indeks massa tubuh, dan riwayat
perdarahan postpartum.
2. Faktor risiko selama kehamilan meliputi usia, indeks massa tubuh, riwayat
perdarahan postpartum, kehamilan ganda, plasenta previa, preeklampsia, dan
penggunaan antibiotik.
3. Faktor risiko saat persalinan meliputi plasenta previa anterior, plasenta previa
mayor, peningkatan suhu tubuh >37⁰, korioamnionitis, dan retensio plasenta
(Briley et al., 2014).
4. Meningkatnya usia ibu merupakan faktor independen terjadinya Perdarahan Post
Partum. Pada usia lebih tua jumlah perdarahan lebih besar pada persalinan sesar
dibanding persalinan vaginal. Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu
yang hamil kembar memiliki 3-4 kali kemungkinan untuk mengalami Perdarahan
Post Partum (Anderson, 2008).
5. Perdarahan postpartum juga berhubungan dengan obesitas. Risiko perdarahan
akan meningkat dengan meningkatnya indeks massa tubuh. Pada wanita dengan
indeks massa tubuh lebih dari 40 memiliki resiko sebesar 5,2% dengan persalinan
normal (Blomberg, 2011).

Gejala Klinik
Perdarahan Postpartum Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah
sebelum hamil, derajat hipervolemia-terinduksi kehamilan, dan derajat anemia saat
persalinan. Gambaran Perdarahan Post Partum yang dapat mengecohkan adalah
kegagalan nadi dan tekanan darah untuk mengalami perubahan besar sampai terjadi
kehilangan darah sangat banyak. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan
tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat
dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2006; Cunningham, 2005).
Gambaran klinis pada hipovolemia dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel Gambaran klinis perdarahan obstetri
Volume darah yang Tensi (sistolik) Tanda dan gejala Derajat
hilang syok
500-1000 mL (<15-20%) Normal Tidak ditemukan -
1000-1500 mL (20-25%) 80-100 mmHg Takikardi (< 100X/menit) Ringan
Berkeringat
Lemah
1500-2000 mL (25-35%) 70-80 mmHg Takikardi (100-120x/menit) Sedang
Oliguria
Gelisah
2000-3000 mL (35-50%) 50-70 mmHg Takikardi (>120 X/menit) Berat
Anuria

Diagnosis Perdarahan Postpartum Diagnosis perdarahan postpartum dapat


digolongkan berdasarkan tabel berikut ini :

GEJALA DAN TANDA YANG SELALU ADA GEJALA DAN TANDA DIAGNOSIS
YANG KADANG- KEMUNGKINAN
KADANG ADA
- Uterus tidak berkontraksi dan lembek Syock Atonia Uteri
- Perdarahan segera setelah anak lahir
(Perdarahan Pasca persalinan Primer
atau P3)
- Perdarahan segera (P3) - Pucat Robekan jalan
- Darah segar yang mengalir segera - Lemah lahir
setelah bayi lahir (P3) - Menggigil
- Uterus kontraksi baik - Plasenta lengkap
- Plasenta belum lahir setelah 30 menit - Tali pusat putus Retensio
- Perdarahan segera (P3) akibat traksi Plasenta
- Uterus kontraksi baik berlebihan
- Inversio uteri
akibat tarikan
- Perdarahan
lanjutan
- Plasenta atau sebagian selaput tidak Uterus berkontraksi Tertinggalnya
lengkap tetapi tinggi fundus sebagian
- Perdarahan segera (P3) tidak berkurang plasenta
- Uterus tidak teraba - Syok neurogenik Inversio uteri
- Lumen vagina terisi massa - Pucat dan limbung
- Tampak tali pusat (jika plasenta belum
lahir)
- Perdarahan segera (P3)
- Nyeri sedikit atau berat
- Sub-involusi uterus - Anemia - Perdarahan
- Nyeri tekan perut bawah - Demam terlambat
- Perdarahan lebih dari 24 jam setelah - Endometritis
persalinan. Perdarahan sekunder atau atau sisa
P2S. plasenta
- Perdarahan bervariasi (ringan atau berat, (terinfeksi
terus menerus atau tidak teratur) dan atau tidak)
berbau (jika disertai infeksi)
- Perdarahan segera (P3) (Perdarahan - Syok Robekan
intraabdominal dan atau vaginum) - Nyeri tekan perut dinding uterus
- Nyeri perut berat - Denyut nadi ibu (ruptura uteri)
cepat

Penatalaksanaan:
Penatalaksanaan Penanganan pasien dengan Perdarahan Post Partum memiliki dua
komponen utama yaitu resusitasi dan pengelolaan perdarahan obstetri yang
mungkin disertai syok hipovolemik dan identifikasi serta pengelolaan penyebab dari
perdarahan.
Keberhasilan pengelolaan perdarahan postpartum mengharuskan kedua komponen
secara simultan dan sistematis ditangani
1. Penggunaan uterotonika (oksitosin saja sebagai pilihan pertama) memainkan
peran sentral dalam penatalaksanaan perdarahan postpartum.
2. Pijat rahim disarankan segera setelah diagnosis dan resusitasi cairan kristaloid
isotonik juga dianjurkan.
3. Penggunaan asam traneksamat disarankan pada kasus perdarahan yang sulit
diatasi atau perdarahan tetap terkait trauma.
4. Jika terdapat perdarahan yang terusmenerus dan sumber perdarahan diketahui,
embolisasi arteri uterus harus dipertimbangkan.
5. Jika kala tiga berlangsung lebih dari 30 menit, peregangan tali pusat terkendali
dan pemberian oksitosin (10 IU) IV/IM dapat digunakan untuk menangani retensio
plasenta. Jika perdarahan berlanjut, meskipun penanganan dengan uterotonika
dan intervensi konservatif lainnya telah dilakukan, intervensi bedah harus
dilakukan tanpa penundaan lebih lanjut

Pencegahan Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil
saat perawatan antenatal dan melahirkan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan,
semua kehamilan mempunyai risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah
satunya adalah Perdarahan Post Partum

Pencegahan Perdarahan Post Partum dapat dilakukan dengan manajemen aktif kala
III.
Manajemen aktif kala III adalah kombinasi dari pemberian uterotonika segera setelah
bayi lahir, peregangan tali pusat terkendali, dan melahirkan plasenta. Setiap
komponen dalam manajemen aktif kala III mempunyai peran dalam pencegahan
perdarahan postpartum.
Semua wanita melahirkan harus diberikan uterotonika selama kala III persalinan
untuk mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin ( IM/IV 10 IU ) direkomendasikan
sebagai uterotonika pilihan.
Uterotonika injeksi lainnya dan misoprostol direkomendasikan sebagai alternatif untuk
pencegahan perdarahan postpartum ketika oksitosin tidak tersedia. Peregangan tali
pusat terkendali harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dalam
menangani persalinan. Penarikan tali pusat lebih awal yaitu kurang dari satu menit
setelah bayi lahir tidak disarankan (WHO, 2012).

Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan:


1. Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana tindakan :
a. Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya tetap
terlentang
R: Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan
memungkinkan darah keotak dan organ lain.
b. Monitor tanda vital
R: Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
c. Monitor intake dan output setiap 5-10 menit
R: Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal
d. Evaluasi kandung kencing
R: Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
e. Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakan
diatas simpisis.
R: Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan
placenta, satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya inversio uteri
f. Batasi pemeriksaan vagina dan rektum
R: Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan
terjadinya perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks /
perineum atau terdapat hematom
Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan cepat,
pasien merasa mengantuk, perdarahan semakin hebat, segera kolaborasi.
g. Berikan infus atau cairan intravena
R: Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular
h. Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R: Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan
i. Berikan antibiotik
R: Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan
j. Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )
R: Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh
2. Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan: Tanda vital dan gas darah dalam batas normal
Rencana keperawatan :
a. Monitor tanda vital tiap 5-10 menit
R: Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital
b. Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit
R: Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan
perifer berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin
c. Kaji ada / tidak adanya produksi ASI
R: Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin dimana diperlukan dalam
produksi ASI
d. Tindakan kolaborasi :
1) Monitor kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH
merupakan tanda hipoksia jaringan )
2) Berikan terapi oksigen (Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan
transportasi sirkulasi jaringan ).

3. Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman


kematian
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan
mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang.
Rencana tindakan :
a. Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
R: Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
b. Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
R: Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis
c. Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
R: Memberikan dukungan emosi
d. Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan
R: Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak
diketahui
e. Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R: Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
f. Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R: Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang
tepat.

4. Resiko infeksi sehubungan dengan perdarahan


Tujuan : Tidak terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal )
Rencana tindakan :
a. Catat perubahan tanda vital
R: Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi
b. Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang
lembek, dan nyeri panggul
R: Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang
tidak terdeteksi
c. Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea
R: Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang
berkepanjangan
d. Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran nafas,
mastitis dan saluran kencing
R: Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan
e. Berikan perawatan perineal,dan pertahankan agar pembalut
jangan sampai terlalu basah
R: pembalut yang terlalu basah menyebabkan kulit iritasi dan
dapat menjadi media untuk pertumbuhan bakteri,peningkatan
resiko infeksi.
f. Tindakan kolaborasi
1) Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
2) Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan
infeksi ).

5. Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.


Tujuan: Tidak terjadi shock (tidak terjadi penurunan kesadaran
dan tanda-tanda dalam batas normal)
Rencana tindakan :
a. Anjurkan pasien untuk banyak minum
R: Peningkatan intake cairan dapat meningkatkan volume intravascular
sehingga dapat meningkatkan volume intravascular yang dapat meningkatkan
perfusi jaringan.
b. Observasitanda-tandavital tiap 4 jam
R: Perubahan tanda-tanda vital dapat merupakan indikator terjadinya dehidrasi
secara dini.
c. Observasi terhadap tanda-tanda dehidrasi.
R: Dehidrasi merupakan terjadinya shock bila dehidrasi tidak ditangani secara
baik.
d. Observasi intake cairan dan output
R: Intake cairan yang adekuat dapat menyeimbangi pengeluaran cairan yang
berlebihan.
e. Kolaborasi dalam:
1) Pemberian cairan infus / transfusi
R: Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular yang dapat
meningkatkan perfusi jaringan sehingga dapat mencegah terjadinya shock
2) Pemberian koagulantia dan uterotonika
R: Koagulan membantu dalam proses pembekuan darah dan uterotonika
merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan.

Anda mungkin juga menyukai