Anda di halaman 1dari 2

1.

Empati
Henry backrack, 1976 dalam De Vito1989, mendefinisikan empati adalah kemampuan
seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu,
dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Pada praktiknya,
berempati adalah turut merasakan apa yang dirasakan orang yang sedang mengalaminya
akan tetapi tidak terlibat dalam aspek psikologis. Sehingga, ketika seseorang sedang
berempati saat berkomunikasi tidak hanya mampu memahami motivasi dan pengalaman
dari orang lain yang diajaknya berkomunikasi serta mampu memahami perasaan dari sikap
mereka. Hal ini dapat memungkinkan kita dapat lebih mudah menyesuaikan komunikasinya.
Misalnya, kita dapat menemani saat ia mengungkapkan perasaan sedihnya tanpa harus ikut
menangis, berikan tisuue atau sapu tangan untuk mengusap air matanya, memegang
tangannya (dengan izin), atau dengan memberinya waktu untuk bercerita sampai dia
sanggup untuk memulainya. Karena pada dasarnya bahwa empati yang tepat akan
melibatkan kepekaan terhadap perasaan yang ada maupun cara verbal yang tepat untuk
mengungkapkan apa yang dipahaminya.
Bagaimana cara kita mencapai empati dalam berkomunikasi? Menurut C.B Truax
(1961) dalam De Vito (1989) dan Riley (2012) ada beberapa langkah seperti berikut :
a. Cegah adanya keinginan untuk mendistraksi. Intinya adalah terfokus pada pemahaman.
Jika kita focus pada lawan bicara, maka komunikasi kita akan cepat/lancar. Memberikan
perhatian kepada lawan bicara kita akan meningkatkan cara kita untuk merubah situasi
atau kondisi emosi yang sedang dirasakan orang tersebut. Dengan demikian kita dapat
menguasai situasi sepenuhnya dan lebih efektif dalam berkomunikasi.
b. Ingatkan diri kita untuk focus kepada lawan bicara. Ingat bahwa prioritas kita adalah
mendengarkan dan menyimak sehingga secara verbal dapat terungkap bagaimana
pemahaman kita. Cara yang dilakukan adalah dengan berusaha untuk dapat menahan
diri tidak mengevaluasi, menilai, menafsirkan dan mengkritik apapun yang diungkapkan
lawan bicara. Sifat ingin tahu selalu menonjol dan sangat merugikan ketika lawan bicara
kita tiba-tiba menghentikan percakapan karena merasa bahwa kita tidak perlu
mendengarkannya karena merasa kita sudah tahu permasalahannya.
c. Perhatikanlah pesan verbal dan nonverbal dari pasien atau tim kita. Langkah berikutnya
adalah memperbanyak mengenal orang lain dan perdalamlah pengalamannya,
keinginannya, kemampuannya, ketakutannya, keraguannya, dan sebagainya. Dengan
mengenal lebih banyak orang maka kita bias melihat apa yang dilihat orang tersebut dan
bisa merasakan apa yang dirasakannya. Usaha lain dalam memahami perasaan orang
lain adalah mencoba mengerti alasan yang membuat orang tersebut merasa seperti apa
yang dirasakannya. Apabila anda masih merasa kesulitan dalam memahami perasaan
orang lain, maka cobalah bertanya, mencari kejelasan, dan mendorong orang tersebut
untuk berbicara/ mengungkapkan perasaanya. Dengarkanlah kata-kata yang
diungkapkan oleh pasien atau lawan bicara kita yang digunakan untuk menggambarkan
bagaimana perasaannya. Perhatikanlah bahwa lawan bicara kita juga mengatakan
perasaannya secara nonverbal.
d. Cobalah melihat permasalahan dari sudut pandang orang tersebut
e. Bertanyalah pada diri sendiri “ apa yang orang ini inginkan saat aku mendengarkannya?”
cobalah mengambil pesan prioritas dari apa yang disampaikan oleh pasien.
f. Tampilkan respon empati kita. Refleks verbal dari yang dirasakan pasien dan bagaimana
alasan respon tersebut. Yakinlah bahwa respon kita telah sesuai tingkat akurasi dan
spesifik. Perhatikan juga komunikasi non verbal lawan bicara kita. Tampilkan
kehangatan yang dianggap tepat dan yakin bahwa ekspresinya sesuai dengan intensitas
yang kita lakukan.
g. Cek untuk melihat apakah respon empati kita sudah efektif.

Anda mungkin juga menyukai