Anda di halaman 1dari 7

Konsep Makkiyah dan Madaniyyah

Dalam Al-Qur’an
(Sebuah Analisis Historis-Filosofis)
M. Bekti Khudari Lantong
Bekti.lantong@iain-manado.ac.id

Abstract. This article would try to elaborate an important concept in the Qur’an which deal
with the process of revelation. Major of ulama devided the process of revelation into two
periods, namely Makkah period (before hijrah) and Madinah period (after hijrah). According
to Abdullahi Ahmed An-Na’im and his teacher, Mahmoud Mohamed Taha, this two periods of
revelation contains different doctrines and teachings. Makkah period (Makkiyah) expressed a
universal-democratic-egalitarianism doctrines of Islam. Whereas, Madinah period
(Madaniyyah), is considered to be sectarian and discriminative. In this period, the prophet
and his adherents created a city-state with a multi-religious and multi-cultural community .
Therefore, they need a concrete and strict rules and regulations to manage the new state and
new community. An-Na’im stated that most of the verses in the Qur’an which deal with law
and regulations revealed through this period, including the relation between muslim and non-
muslim community.

Key words: concept, Makkah period, Madinah period, al-Qur’an

Abstrak. Artikel ini akan mencoba untuk menguraikan konsep penting dalam Al Qur'an
yang berhubungan dengan proses penyataan. Mayoritas ulama membagi proses penyataan
menjadi dua periode, yaitu periode Makkah (sebelum hijrah) dan periode Madinah (setelah
hijrah). Menurut Abdullahi Ahmed An-Na'im dan gurunya, Mahmoud Mohamed Taha, dua
periode wahyu ini mengandung doktrin dan ajaran yang berbeda. Periode Mekah
(Makkiyah) menyatakan doktrin universal-demokratis-egalitarianisme Islam. Padahal,
periode Madinah (Madaniyyah), dianggap sektarian dan diskriminatif. Pada periode ini,
nabi dan pengikutnya menciptakan negara-kota dengan komunitas multi-agama dan multi-
budaya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan aturan dan peraturan yang konkrit dan
ketat untuk mengelola negara baru dan komunitas baru. An-Na'im menyatakan bahwa
ayat-ayat dalam Al Qur'an yang berhubungan dengan hukum dan terungkap selama
periode ini, termasuk hubungan antara Muslim dan komunitas non-Muslim.

Kata kunci: konsep, periode Mekkah, periode Madinah, Alquran

A. Pendahuluan memiliki kekuatan luar biasa yang berada


Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah diluar kemampuan apapun :
“verbum dei” (Kalam Allah) yang “Seandainya kami turunkan al-Qur’an ini
diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw. kepada sebuah gunung, maka kamu akan
melalui perantaraan Jibril selama kurang melihatnya tunduk terpecah-pecah karena
lebih dua puluh tiga tahun. Kitab suci ini gentar kepada Allah” (QS. al-
Hasyr[59]:21). Kandungan pesan Ilahi

1
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
yang disampaikan Nabi Saw. pada memilih dalam beragama dan keimanan,
permulaan abad ke-7 M. itu telah prinsipnya adalah ‘ishmah’, kebebasan
meletakkan basis untuk kehidupan untuk memilih tanpa ancaman atau
individual dan sosial kaum muslimin bayangan kekerasan dan paksaan apapun.
dalam segala aspeknya. Bahkan Sedangkan pesan Madinah adalah
masyarakat muslim mengawali kompromi praktis dan realistis, ketika
eksistensinya dan memperoleh kekuatan tingkat tertinggi dari pesan Makkah tidak
hidup dengan merespon dakwah al- dapat diterima oleh masyarakat-sejarah
Qur’an. Itulah sebabnya al-Qur’an berada abad VII M. Oleh karena itu, kalau ayat-
tepat di jantung kepercayaan muslim dan ayat yang turun dalam periode Makkah
berbagai pengalaman keagamaanya. Tanpa dapat disebut sebagai (menurut istilah An-
pemahaman yang semestinya terhadap al- Na’im) ayat-ayat “universal-egalitarian-
Qur’an, kehidupan pemikiran dan demokratis”, maka ayat-ayat Madinah
kebudayaan kaum muslimin tentunya dapatlah dinamai ayat-ayat “sektarian-
akan sulit dipahami.1 Dalam hal ini, diskriminatif”.2
kiranya kita perlu memahami lebih jauh Hijrah menandai tidak saja
aspek kesejarahan al-Qur’an, karena perubahan dramatik dalam pertumbuhan
bagaimanapun al-Qur’an diturunkan jumlah umat Islam dan pembentukan
dalam perspektif realitas masyarakat Arab masyarakat politik atau negara Islam
waktu itu. Meminjam istilah Prof. Amin pertama di Madinah; melainkan juga
Abdullah bahwa teks al-Qur’an tidak bisa peralihan yang signifikan dalam materi
dilepaskan dari konteks masyarakat – pokok dan isi misi Nabi. Secara umum
ruang dan waktu – di mana al-Qur’an itu disepakati bahwa selama periode Makkah
turun. Inilah yang akan dibahas secara al-Qur’an lebih banyak berisi tentang
ringkas dalam tulisan ini. ajaran agama dan moral, tidak
menyatakan norma-norma politik dan
B. Konsep Makkiyah dan Madaniyyah hukum secara khusus, yang baru
Secara kronologis periode turunya al- dikembangkan pada periode Madinah.
Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu; periode Penjelasan tentang perubahan ini adalah
Makkah (makkiyah) dan periode Madinah karena pada periode Madinah ini al-Qur’an
(Madaniyyah). Pembagian seperti ini harus memberikan respon terhadap
didasarkan atas dua parameter yaitu, kebutuhan sosial-politik yang konkrit
tempat (al-makan) dan waktu (al-zaman). dalam suatu komunitas yang dibangun.
Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dengan kemerdekaan untuk
pesan yang terkandung dalam ayat-ayat mengembangkan institusi-institusi yang
Makkiyah merupakan pesan Islam yang mereka miliki dan menerapkan norma-
abadi dan fundamental, yang menekankan norma agama baru mereka, umat Islam
martabat yang inheren pada seluruh umat memerlukan ajaran dan tuntunan norma
manusia, tanpa membedakan jenis yang lebih terinci.3
kelamin (gender), keyakinan agama, dan Mahmoud Mohamed Taha, seorang
ras. Pesan-pesan ini ditandai dengan pemikir Islam kontemporer dari Sudan,
persamaan antara laki-laki dan mengatakan bahwa ada perbedaan yang
perempuan dan kebebasan penuh untuk
2
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi
1
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al- Syari’ah, (Yogyakarta : LKiS, 1994), h.Viii-ix
3
Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2000), h.1 Ibid, h.27-28

2
KONSEP MAKIYAH DAN MADANIYAH DALAM AL-QUR’AN – M. Bekti Khudari Lantong

signifikan antara pesan Makkah dan pesan sedangkan dalam wahyu Makkah tidak ada
Madinah. Nabi diperintahkan oleh al- ayat semacam itu. Dengan berkurangnya
Qur’an untuk menyebarkan Islam di tingkat atau bentuk kekerasan selama
Makkah dengan cara damai dan tertutup, periode Makkah, orang memiliki
sesuai dengan kebebasan penuh untuk kebebasan penuh untuk memeluk Islam
memilih, misalnya dalam QS. an- atau menolaknya. Dengan hilangnya
Nahl[16]:125, dan QS. al-Kahfi[18]:29. tingkat kebebasan secara gradual selama
Substansi dari pesan Makkah menekankan periode Madinah, banyak orang kafir
pada nilai-nilai keadilan dan persamaan menunjukkan iman pada tampak luarnya
yang fundamental dan martabat yang untuk menghindarkan akibat negatif
melekat pada seluruh manusia. Sebagai (menyelamatkan diri) bila mereka
contoh, al-Qur’an selama periode Makkah menampakkan kekafiranya.
selau menyapa seluruh manusia,
menggunakan kata-kata seperti; “Wahai C. Konsepsi Al-Qur’an Tentang Non-
manusia” dan “wahai anak Adam”. Muslim: Analisis Historis-Filosofis
Sedangkan pesan Madinah mulai Islam dilahirkan dalam suatu
membedakan antara laki-laki dan lingkungan yang amat keras, dan
perempuan, umat Islam dan non-muslim, menerima reaksi yang sangat bermusuhan,
dalam status hukum dan hak mereka di berbagai ancaman dan serangan dari suku-
depan hukum. Semua ayat yang menjadi suku Arab abad ke-VII, karena itu umat
dasar diskriminasi terhadap perempuan Islam awal harus berperang untuk tetap
dan non-muslim merupakan ayat-ayat bertahan. Nabi dan para sahabat akhirnya
Madinah. Sebagai contoh, al-Qur’an surat menguasai seluruh jazirah Arab beberapa
ke empat yang dikenal sebagai surat an- saat menjelang wafatnya. Norma
Nisa (surat tentang perempuan), berisi hubungan antar suku yang ada sangat
aturan-aturan yang lebih rinci tentang tergantung pada penggunaan atau
perkawinan, perceraian, waris dan ancaman penggunaan kekuatan (force)
semacamnya dengan pengaruh untuk mempertahankan berbagai hak
diskriminasinya terhadap perempuan, bahkan hak untuk ada.5
diwahyukan selama masa Madinah.4 Penggunan ancaman kekerasan juga
Tumpang tindih antara periode Makkah merupakan norma di kalangan berbagai
dan Madinah, lebih mengantarkan pada entitas atau sistem politik kawasan itu,
satu pemahaman tentang perubahan termasuk dua imperium raksasa sebelah
gradual ketimbang perubahan yang cepat Timur Laut dan Barat Laut Arabia,
dalam isi pesan tersebut. Sebagai hasil dari Sasaniah dan Bizantium (imperium
peralihan isi pesan dan metode seruanya, Romawi). Sehingga, ketika negara Islam
beberapa orang berpura-pura masuk Islam pertama dibangun di Arabia pada abad VII,
tanpa keyakinan murni yang mendalam. kekerasan merupakan metode dasar untuk
Fenomena ini sebagian besar secara jelas mengatur “hubungan-hubungan
ditunjukan oleh acuan al-Qur’an yang internasional”. Oleh karena itu, tidak dapat
berulang-ulang pada kalimat al-munafiqun dielakkan bahwa Islam mengesahkan
(kaum munafik) dalam wahyu Madinah, penggunaan kekerasan dalam hubungan-

4 5
Mahmoud Mohamed Taha, The Second Haykal, Life of Muhammad, h. 15-16 dan Fred
Message of Islam, (Syracuse : Syracuse University Press, M. Donner, The Early Islamic Conquest, (Princeton:
1987), h.23 Princeton University Press, 1981), h. 20ff

3
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
hubungan muslim dengan non-muslim. Anfal[8]:72-73, at-Taubah[9]:23 dan 71,
Namun, dalam melakukan itu syari’ah dan surat al-Mumtahanah[60]:1
memperkenalkan norma-norma baru mewajibkan umat Islam menghindari
untuk mengontrol berbagai alasan untuk kaum kafir sebagai ‘awliya’ (kawan,
melakukan peperangan, juga dalam pembantu dan pendukung) serta
praktik nyatanya.6 memerintahkan pertemanan dan
Mengingat perang di kalangan suku- mendorong kerjasama diantara umat
suku Arabia dan entitas politik kawasan Islam sendiri. Demikian pula, surat al-
tersebut didorong oleh pertimbangan- Maidah[5]:51 menginstruksikan kaum
pertimbangan seperti kehormatan suku, muslim untuk tidak mengambil kaum
perebutan wilayah dan ketamakan Yahudi dan Kristen sebagai pelindung
ekonomi, maka syari’ah (al-Qur’an) (awliya), seperti mereka memperlakukan
membatasi penggunaan kekerasan dalam umat Islam yang lain, dan barang siapa –
hubungan internasional, hanya untuk orang Islam – yang bekerja sama dengan
mempertahankan diri dan penyebaran mereka (bersahabat), maka ia menjadi
agama Islam. Bagi umat Islam, hanya itulah salah seorang dari golongan mereka.
alasan yang sah untuk melakukan perang. Ayat-ayat tersebut dan sunnah yang
Selebihnya, umat Islam dibatasi oleh terkait menyatakan konteks umum
ketentuan-ketentuan yang mengatur dimana sumber-sumber yang secara
perang yang benar. Sebagai contoh, khusus berhubungan dengan penggunaan
sebelum menggunakan kekerasan dalam kekuatan terhadap non-muslim dipahami
menyebarkan Islam, mereka dituntut dan diterapkan oleh umat Islam awal.
untuk menawarkan sisi lain dari manfaat Ayat-ayat di atas yang berkenaan dengan
memeluk kepercayaan itu tanpa harus larangan untuk bergaul dan bekerja sama
berperang. Jika peperangan tidak dapat dengan kaum Yahudi dan Kristen dalam
dielakkan, maka dibatasi hanya terhadap segala hal, diwahyukan selama periode
pasukan tentara yang bertugas berperang Madinah, bukan periode Makkah awal.
dan hanya dilakukan di medan perang. Sumber-sumber itu harus dilihat sebagai
Banyak ayat al-Qur’an yang dorongan psikologis untuk
diwahyukan setelah hijrah ke Madinah mempertahankan hidup dan kohesi umat
pada tahun 622 M menekankan kohesi Islam yang mudah diserang, dalam suatu
internal komunitas muslim dan berusaha lingkungan sosial dan fisik yang keras dan
membedakannya dari komunitas- bermusuhan.
komunitas lain dalam term-term Istilah yang umum dipakai
permusuhan dan antagonistik. Selama menyangkut penggunaan kekerasan dalam
masa Madinah, al-Qur’an berulang-ulang hubungan internasional adalah jihad. Arti
memerintahkan umat Islam untuk saling harfiah kata jihad adalah pengerahan daya
menolong antara satu dengan yang lain dan upaya, termasuk – tetapi tidak hanya –
dan untuk tidak tolong menolong dengan perang. Sehingga, di satu pihak, baik al-
non-muslim, serta memerangi mereka Qur’an maupun sunnah menggunakan
yang berkawan dan bersekutu dengan istilah jihad dalam pengertian lebih luas
non-muslim. Sehingga ayat-ayat al-Qur’an tentang pengerahan kekuatan, namun
surat al-‘Imran[3]:28, an-Nisa[4]:144, al- terkadang sama sekali tidak terkait dengan
penggunaan kekerasan. Di dalam sejumlah
6
Khadduri dan Liebesny, Law in the Middle ayat al-Qur’an seperti QS. al-
East, h. 353ff. Baqarah[2]:18, QS. al-Maidah[5]:54, dan
4
KONSEP MAKIYAH DAN MADANIYAH DALAM AL-QUR’AN – M. Bekti Khudari Lantong

QS. al-Anfal:72, istilah jihad dan besar bahayanya dari pada pembunuhan,
derivasinya digunakan untuk menyebut dan janganlah kamu memerangi mereka di
pengerahan kekuatan, baik dalam masjid al-Haram, kecuali jika mereka
peperangan maupun dalam masa damai. memerangi kamu disana. Maka jika mereka
Bahkan terhadap orang-orang kafir, QS. al- memerangi kamu disana, maka bunuhlah
Furqan[25]:52 memerintahkan nabi dan mereka. Demikianlah balasan bagi orang-
umat Islam untuk menggunakan al-Qur’an orang kafir. Tetapi jika mereka berhenti
dalam jihad terhadap orang kafir. Ini jelas (dari memusuhimu), maka sesungguhnya
merujuk pada pengunaan kekuatan dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
menurut argumen al-Qur’an, bukan Penyayang. Perangilah mereka sehingga
kekuatan senjata. Dalam sunnah ada tidak ada penindasan lagi dan yang ada
pernyataan nabi Saw. yang amat terkenal hanyalah keadilan dan keimanan kepada
yang menggambarkan bahwa penggunaan Allah; Tetapi jika mereka berhenti (dari
kekuatan dalam perang digolongkan memusuhimu), maka jangan ada lagi
sebagai jihad kecil (jihad al-asghar), permusuhan, kecuali terhadap orang-orang
sedangkan pengerahan kekuatan dalam yang melakukan kezhaliman”.
perdamaian dan upaya pribadi “Telah diizinkan (berperang) bagi
melaksanakan perintah Islam digolongkan orang-orang yang diperangi, karena
sebagai jihad besar (jihad al-akbar) dan sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan
agung. Dalam sunnah yang lain, nabi sesungguhnya Allah benar-benar Maha
menyatakan bahwa bentuk jihad yang Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-
paling baik adalah mengatakan kebenaran orang yang telah diusir dari kampung
di depan penguasa yang zhalim dan halaman mereka tanpa alasan yang benar,
menindas. kecuali karena mereka berkata: “Tuhan
Ayat-ayat al-Qur’an yang secara jelas kami hanya Allah”. Dan sekiranya Allah
membenarkan penggunaan kekuatan oleh tiada menolak (keganasan) sebagian
kaum muslimin terhadap non-muslim manusia dengan sebagian yang lain,
diwahyukan di Madinah, setelah nabi dan tentulah telah dirobohkan biara-biara
para sahabatnya berhijrah dari Makkah Nasrani, gereja-gereja, sinagog-sinagog
pada tahun 622M. Menurut perkiraan Ibn kaum Yahudi dan masjid-masjid, yang di
Katsir dalam tafsirnya yang terkenal, ayat- dalamnya banyak disebut nama Allah”.
ayat al-Qur’an yang pertama Seluruh surat at-Taubah yang
memerintahkan kaum muslimin diidentifikasi oleh Ibn Katsir diwahyukan
menggunakan kekuatan dalam jihad/qital pada tahun kesembilan hijrah, yakni
terhadap orang kafir adalah QS. al- sekitar tahun 631 M, secara umum
Baqarah[2]:190-193 dan QS. al- diterima sebagai surat yang diturunkan
Hajj[22]:39, yang mungkin diartikan menjelang penutupan pewahyuan al-
masing-masing sebagai berikut : Qur’an. Ayat-ayat dalam surat ini, seperti
“Dan perangilah di jalan Allah mereka ayat 5, 12, 29, 36, 73, dan 123, berisi
yang memerangi kamu, tetapi janganlah pembenaran paling jelas bagi penggunaan
kamu melanggar batas, karena kekuatan untuk melawan non-muslim dan
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- secara umum telah mrngganti (nasakh)
orang yang melampaui batas. Bunuhlah ayat-ayat tertentu yang melarang atau
mereka dimana pun kamu jumpai, usirlah membatasi penggunaan kekuatan.
mereka dari tempat mereka mengusir Khususnya ayat 5 surat ini dikatakan telah
kamu (dari Makkah); dan fitnah itu lebih mengganti lebih dari seratus ayat al-
5
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
Qur’an yang semula memerintahkan umat mempertahankan diri. Klaim ini tidak ada
Islam untuk menggunakan cara damai dan dasar fakta baik di dalam al-Qur’an
argumentasi untuk meyakinkan orang- maupun sunnah. Sampai menjelang
orang kafir agar memeluk Islam.7 wafatnya nabi, pembenaran penggunaan
Beberapa kesimpulan dapat ditarik kekuatan dalam menyebarkan Islam sama
dari telaah terhadap al-Qur’an seperti mempertahankan diri. Tidak
menyangkut penggunaan kekuatan oleh masuk akal untuk menyatakan bahwa
kaum muslim terhadap non-muslim. umat Islam awal sedang dalam keadaan
Kesimpulan pertama, adalah bahwa hal ini mempertahankan diri ketika mereka
secara eksklusif sebagai fenomena menaklukan dan memerintah seluruh
Madinah (berhubungan dengan periode wilayah Syria, Irak, Afrika bagian Utara
Madinah setelah nabi hijrah dari Makkah). dan Spanyol bagian Selatan di Barat dan
Sebaliknya, sebagian besar ayat al-Qur’an Persia, serta India bagian Utara di Timur.
yang mempersilakan kebebasan memilih Seperti dengan jelas ditunjukkan oleh
dalam kepercayaan dan kesamaan praktek nabi terakhir dan para
konsekuensi dan tidak melakukan khalifahnya, demikian juga sejarah
diskriminasi terhadap non-muslim dalam ekspansi Islam, syrai’ah membatasi dan
masalah hukum jika diimplementasikan di mengatur penggunaan kekuatan oleh
dalam syari’ah, adalah ayat-ayat periode kaum muslim terhadap non-muslim, tidak
Makkah. Sebelum hijrah ke Madinah tahun hanya dalam mempertahankan diri,
622 M, tidak ada keabsahan hukum dalam melainkan juga sebagai sarana penyebaran
al-Qur’an untuk menggunakan kekuatan Islam.
terhadap non-muslim. Dengan demikian, banyak kita
Kesimpulan kedua, ada suatu temukan riwayat dari nabi dan khalifah
progres di dalam pembenaran al-Qur’an sesudahnya, yang memerintahkan tentara
terhadap penggunaan kekuatan oleh kaum muslim untuk menawarkan kesempatan
muslim untuk melawan non-muslim dari pihak non-muslim untuk memeluk Islam.
penggunaan kekuatan untuk Jika mereka menerima tawaran itu, tidak
mempertahankan diri sampai penggunaan boleh menggunakan kekuatan untuk
kekuatan dalam penyebaran Islam. Tetapi melawan mereka. Jika pihak non-muslim
karena al-Qur’an surat al-Taubah di antara menolak ajakan muslim untuk memeluk
wahyu terakhir, diambil oleh beberapa ahli Islam, dan kebetulan mereka Ahli Kitab,
hokum muslim untuk menghapus, atau maka mereka ditawarkan pada pilihan
dihapus untuk tujuan syari’ah, seluruh kedua, dimasukkan pada posisi dzimmah
pewahyuan dengan jelas tidak sesuai dengan kaum muslim, dengan syarat
dengan ayat-ayat al-Qur’an. mereka setuju membayar jizyah, dan
Kesimpulan ketiga, Penggunaan tunduk kepada kedaulatan umat Islam
kekuatan tidak diijinkan kecuali untuk dengan imbalan jaminan jiwa dan harta
mempertahankan diri dan menyebarkan benda mereka, serta dibolehkan
Islam. Sejumlah penulis modern mempraktekan agama mereka serta
mengklaim bahwa syari’ah mengijinkan menerapkan hukum mereka sendiri.
penggunaan kekuatan hanya untuk
D. Kesimpulan
7 Periode Makkah dan Madinah
Lihat Zayd, al-Naskh fil al-Qur’an al-Karim,
1:289-501-83; dan Ahmad Hasan, The Early ternyata bukan sekadar rentang tempat
Development of Islamic Jurisprudence, h. 67-68. dan waktu (locus dan tempus) semata,
6
KONSEP MAKIYAH DAN MADANIYAH DALAM AL-QUR’AN – M. Bekti Khudari Lantong

tetapi ia – dengan konteks dan kultur terhadap al-Qur’an bukanlah sesuatu yang
masyarakat tempat turunya yang berbeda sudah “final”, melainkan bersifat dinamis,
– berakibat pada pemaknaan dan sesuai dinamika dan konteks kehidupan
penafsiran yang berbeda pula terhadap al- manusia itu sendiri. Wa Allah a’lam bi al-
Qur’an. Sehingga, sejatinya penafsiran shawab
.
Haykal, Muhammad Husayn, The Life of
Muhammad, terj. Isma’il al-Faruqi,
DAFTAR PUSTAKA
(Indianapolis: American Trust
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Publication, 1976)
Al-Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2000)
Khadduri, Madjid, and Herbert Liebesny,
Law in the Middle East, (Washington
An-Na’im, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi D.C.: Middle East Institute, 1955)
Syari’ah : Wacana Kebebasan Sipil,
HAM dan Hubungan Internasional Taha, Mahmoud Mohamed, The Second
dalam Islam (Yogyakarta : LKiS, Message of Islam, (Syracuse :
1994) Syracuse University Press, 1987)

Anda mungkin juga menyukai